Share

Bab 2. Ketahuan Ibu

Alana yang hendak menyusul Albian tersentak di depan kamar sendiri begitu melihat Ranti—sang ibu—pulang dengan wajah ditekuk. Wanita itu bahkan tidak menyapa anak gadisnya melainkan bergegas masuk kamar Alana. Menggeram, Ranti merasa dugaannya semakin kuat setelah melihat ruangan yang menjelma seperti kapal pecah.

"Seharian ini kamu ngapain aja, Na?" Sebuah pertanyaan yang terdengar biasa saja padahal memiliki maksud tersendiri yang tidak Alana mengerti.

"Nonton, Ma."

"Tadi mama ketemu Al di depan, kamu yakin nggak ngelakuin apa-apa sama dia? Kalian itu pacaran, mustahil kalau di rumah cuman ngobrol. Mama pernah muda dan sudah sering melihat atau mendengar cerita teman yang peluk cium sama pacarnya. Mama bisa percaya sama kamu, 'kan?"

"Pasti, Ma. Albian itu anak baik, nggak mungkin lah mau ngerusak aku."

Wajah Ranti merah padam mendengar jawaban Alana padahal tadi hanya pertanyaan pancingan. Dia membuang tas tangan—yang selalu dibawanya ke sekolah—ke sembarang arah. Wanita itu tahu kalau anak gadisnya berusaha menutupi kebenaran. Maka dengan emosi yang meluap, dia bergerak membuka laci seperti mencari sesuatu.

"Mama, jangan, Ma!" teriak Alana menyusul, air matanya menggenang.

Ranti terpaku di tempat dengan kedua tangan memegang strip berwarna biru putih yang sebelumnya tergeletak di lantai. Dua garis merah terpampang jelas di sana menandakan pemiliknya positif hamil. Selain Alana, maka tidak ada tersangka lain dalam benak Ranti karena hanya ada mereka berdua di rumah itu.

"Tes Pack siapa ini?!" tanya Ranti penuh penekanan. Ada semburat merah pada bola mata wanita itu. Alana terkejut bukan main karena menyadari sang ibu sangat jarang semarah itu.

"Ma, itu bu-bukan pu–"

"Bukan punya kamu? Lalu siapa? Albian?" Ranti menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar. "Jawab!" teriaknya begitu melihat Alana hanya diam.

Ibu mana yang tidak hancur ketika melihat hasil Test Pack positif milik anak gadisnya? Ranti sudah berusaha menjaga Alana bahkan beberapa kali memaksa gadis itu untuk putus dengan Albian, tetapi dia selalu membantah dengan dalih bahwa hanya Albian lah lelaki yang selalu peduli dan sayang padanya.

Seperti sebuah tanaman. Jika seseorang mencintai bunga, maka dia akan merawat sepenuh hati, bukan merusak dan menjadikannya layu. Dengan kenyataan itu, apakah Albian bisa dikatakan cinta dan sayang pada kekasihnya? Tidak, Ranti sulit percaya pada cinta karena dia menikah dulu sebab dijodohkan.

"Mama jangan marah, itu punya temenku, Ma. Dia minta aku simpan Test Pack itu biar nggak ketahuan sama orangtuanya."

"Oh, begitu?" Ranti menatap muak pada anak gadisnya.

Ketika Alana mengangguk, dia langsung mendapat sebuah tamparan yang sangat keras. Alana memang pantas mendapat hukuman karena sudah melakukan perbuatan dosa. Gadis itu ditampar lagi ketika berani mengangkat wajahnya. Bagi Ranti, tidak ada maaf untuk seorang anak yang mencoreng nama baik keluarga.

"Dua orang dewasa berada dalam satu rumah yang sepi, kamu pikir mama percaya kalau kalian tidak akan melakukan sesuatu?" Suara Ranti keluar di antara gigi yang mengatup. Dia membuang napas kasar, kemudian melanjutkan, "susul Albian dan minta tanggungjawab, sekarang!"

Alana mengangguk ketakutan, lalu mengambil dompet dan swear di dalam kamar hendak menuju rumah Albian. .Dia berharap kekasihnya mau bertanggungjawab. Jika tidak, maka mungkin Alana harus mengakhiri hidup daripada tersiksa melihat ibunya menangis sepanjang hari seperti ketika mendiang kakaknya melalukan hal yang sama. Dengan air mata berderai, dia menunggu di depan rumah setelah memesan ojek online.

Alana tahu kalau ibunya sangat kecewa. Selain tetangga, mungkin kabar itu akan beredar di sekolah, lalu semua orang pasti merendahkannya. Dia menyesal tidak ikut kakeknya di kota besar daripada menjadi pengangguran di rumah.

"Mama berharap kamu tidak pernah kembali." Terdengar bisikan halus di telinga Alana padahal Ranti tidak berdiri di sana. Dia menundukkan kepala, menatap semut yang berbaris di dekat kakinya.

Apakah semut itu tahu masalah yang Alana hadapi saat ini? Ataukah mereka sedang menertawakan manusia yang berlumur dosa itu? Alana mendesah, kepalanya berdenyut nyeri. Untung saja, ojek yang dia pesan sudah datang atau hatinya akan semakin resah.

***

Butuh waktu setengah jam bagi Alana untuk tiba di rumah Albian. Sebuah rumah minimalis, tetapi sedikit lebih besar dari rumah Alana. Gadis itu melangkah ragu, kemudian mengetuk pintu bernuansa cokelat.

Sedikit yang dia tahu bahwa tante Albian itu memiliki watak buruk, makanya dia selalu dilarang untuk datang. Akan tetapi, sekarang harus nekat untuk menemui Albian di sana atau dirinya dipastikan tidak bahagia dalam tekanan. Motor lelaki itu terparkir di depan rumah, artinya Alana tidak sia-sia melakukan perjalanan itu.

"Alana?" Albian terkejut begitu dia membuka pintu. Mustahil baginya untuk menemui Alana membuat Albian hendak menutup pintu kembali. Namun, gadis itu mencegahnya.

"Hanya sebentar, tolong!" pinta Alana dengan mata berkaca-kaca.

Albian mendesah pelan, lalu membuka daun pintu lebar karena tantenya tidak ada di rumah. Dia yatim piatu setelah kedua orangtua harus meregang nyawa dalam kecelakaan beruntun saat Albian masih kecil. Beruntung dirinya dan sang kakak bisa diselamatkan.

"Duduk!" pintanya acuh tak acuh.

Hening, hanya terdengar helaan napas kasar di antara keduanya. Alana menatap mata Albian lekat untuk mencari jawaban apakah masih ada cinta untuknya atau tidak. Bagaimana pun, mustahil untuk berjuang sendirian karena hal itu hanya menambah luka.

Bukankah jodoh itu harus diusahakan? Sehingga tidak mungkin jika salah satunya sudah berhenti melangkah. Meski begitu, Alana harus berusaha. Ini adalah kesempatan besar untuk menyampaikan perasaannya pada Albian menyadari hanya ada mereka berdua di sana.

"Kenapa diam?" cetus Albian tanpa perasaan.

"Al, mama aku udah tahu semuanya karena tadi mama masuk ke kamar dan menemukan Test Pack itu. Aku datang ke sini karena dipaksa memintamu bertanggungjawab. Kamu tahu bagaimana resiko jika kita tidak menikah, bukan?"

Sesuatu yang sudah Alana duga sebelumnya bahwa Albian akan mendengus kasar. Bagaimana dia bisa melakukan itu padahal janin yang ada dalam rahim Alana adalah hasil perbuatan mereka sendiri? Seorang lelaki sepatutnya bertanggungjawab, bukan hanya mendengus atau meminta kekasihnya menggugurkan kandungan itu.

"Salah kamu sendiri, Na. Kenapa kamu sampai melakukan tes kehamilan segala? Kalau dirasa hamil, harusnya langsung makan obat, kelar. Lah ini, aku diminta menikah sama kamu sementara kamu tahu sendiri kalau aku ini pengangguran, gak ada kerja, gak ada orangtua. Boleh aja kalau kamu siap kerja setelah kita menikah karena aku cuma mau tidur di kamar."

Jawaban apa yang baru saja Albian berikan itu? Alana menggeleng tidak percaya pada lelaki yang selama ini sangat dia cintai. Bukankah Albian memiliki badan yang sehat untuk bekerja, kenapa seolah memaksa Alana menjadi tulang punggung nanti?

Alana datang bukan karena mengemis setelah diperkosa oleh orang asing. Gadis itu menuntut haknya untuk dinikahi. Jika Albian sadar bahwa dirinya hanyalah seorang pengangguran dan tidak punya orangtua, kenapa memaksa Alana untuk menyerahkan keperawanannya?

"Albian!"

"Kita putus!" Kalimat itu Albian ucapkan dengan jelas seolah tanpa beban.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status