Alana yang hendak menyusul Albian tersentak di depan kamar sendiri begitu melihat Ranti—sang ibu—pulang dengan wajah ditekuk. Wanita itu bahkan tidak menyapa anak gadisnya melainkan bergegas masuk kamar Alana. Menggeram, Ranti merasa dugaannya semakin kuat setelah melihat ruangan yang menjelma seperti kapal pecah.
"Seharian ini kamu ngapain aja, Na?" Sebuah pertanyaan yang terdengar biasa saja padahal memiliki maksud tersendiri yang tidak Alana mengerti.
"Nonton, Ma."
"Tadi mama ketemu Al di depan, kamu yakin nggak ngelakuin apa-apa sama dia? Kalian itu pacaran, mustahil kalau di rumah cuman ngobrol. Mama pernah muda dan sudah sering melihat atau mendengar cerita teman yang peluk cium sama pacarnya. Mama bisa percaya sama kamu, 'kan?"
"Pasti, Ma. Albian itu anak baik, nggak mungkin lah mau ngerusak aku."
Wajah Ranti merah padam mendengar jawaban Alana padahal tadi hanya pertanyaan pancingan. Dia membuang tas tangan—yang selalu dibawanya ke sekolah—ke sembarang arah. Wanita itu tahu kalau anak gadisnya berusaha menutupi kebenaran. Maka dengan emosi yang meluap, dia bergerak membuka laci seperti mencari sesuatu.
"Mama, jangan, Ma!" teriak Alana menyusul, air matanya menggenang.
Ranti terpaku di tempat dengan kedua tangan memegang strip berwarna biru putih yang sebelumnya tergeletak di lantai. Dua garis merah terpampang jelas di sana menandakan pemiliknya positif hamil. Selain Alana, maka tidak ada tersangka lain dalam benak Ranti karena hanya ada mereka berdua di rumah itu.
"Tes Pack siapa ini?!" tanya Ranti penuh penekanan. Ada semburat merah pada bola mata wanita itu. Alana terkejut bukan main karena menyadari sang ibu sangat jarang semarah itu.
"Ma, itu bu-bukan pu–"
"Bukan punya kamu? Lalu siapa? Albian?" Ranti menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar. "Jawab!" teriaknya begitu melihat Alana hanya diam.
Ibu mana yang tidak hancur ketika melihat hasil Test Pack positif milik anak gadisnya? Ranti sudah berusaha menjaga Alana bahkan beberapa kali memaksa gadis itu untuk putus dengan Albian, tetapi dia selalu membantah dengan dalih bahwa hanya Albian lah lelaki yang selalu peduli dan sayang padanya.
Seperti sebuah tanaman. Jika seseorang mencintai bunga, maka dia akan merawat sepenuh hati, bukan merusak dan menjadikannya layu. Dengan kenyataan itu, apakah Albian bisa dikatakan cinta dan sayang pada kekasihnya? Tidak, Ranti sulit percaya pada cinta karena dia menikah dulu sebab dijodohkan.
"Mama jangan marah, itu punya temenku, Ma. Dia minta aku simpan Test Pack itu biar nggak ketahuan sama orangtuanya."
"Oh, begitu?" Ranti menatap muak pada anak gadisnya.
Ketika Alana mengangguk, dia langsung mendapat sebuah tamparan yang sangat keras. Alana memang pantas mendapat hukuman karena sudah melakukan perbuatan dosa. Gadis itu ditampar lagi ketika berani mengangkat wajahnya. Bagi Ranti, tidak ada maaf untuk seorang anak yang mencoreng nama baik keluarga.
"Dua orang dewasa berada dalam satu rumah yang sepi, kamu pikir mama percaya kalau kalian tidak akan melakukan sesuatu?" Suara Ranti keluar di antara gigi yang mengatup. Dia membuang napas kasar, kemudian melanjutkan, "susul Albian dan minta tanggungjawab, sekarang!"
Alana mengangguk ketakutan, lalu mengambil dompet dan swear di dalam kamar hendak menuju rumah Albian. .Dia berharap kekasihnya mau bertanggungjawab. Jika tidak, maka mungkin Alana harus mengakhiri hidup daripada tersiksa melihat ibunya menangis sepanjang hari seperti ketika mendiang kakaknya melalukan hal yang sama. Dengan air mata berderai, dia menunggu di depan rumah setelah memesan ojek online.
Alana tahu kalau ibunya sangat kecewa. Selain tetangga, mungkin kabar itu akan beredar di sekolah, lalu semua orang pasti merendahkannya. Dia menyesal tidak ikut kakeknya di kota besar daripada menjadi pengangguran di rumah.
"Mama berharap kamu tidak pernah kembali." Terdengar bisikan halus di telinga Alana padahal Ranti tidak berdiri di sana. Dia menundukkan kepala, menatap semut yang berbaris di dekat kakinya.
Apakah semut itu tahu masalah yang Alana hadapi saat ini? Ataukah mereka sedang menertawakan manusia yang berlumur dosa itu? Alana mendesah, kepalanya berdenyut nyeri. Untung saja, ojek yang dia pesan sudah datang atau hatinya akan semakin resah.
***
Butuh waktu setengah jam bagi Alana untuk tiba di rumah Albian. Sebuah rumah minimalis, tetapi sedikit lebih besar dari rumah Alana. Gadis itu melangkah ragu, kemudian mengetuk pintu bernuansa cokelat.
Sedikit yang dia tahu bahwa tante Albian itu memiliki watak buruk, makanya dia selalu dilarang untuk datang. Akan tetapi, sekarang harus nekat untuk menemui Albian di sana atau dirinya dipastikan tidak bahagia dalam tekanan. Motor lelaki itu terparkir di depan rumah, artinya Alana tidak sia-sia melakukan perjalanan itu.
"Alana?" Albian terkejut begitu dia membuka pintu. Mustahil baginya untuk menemui Alana membuat Albian hendak menutup pintu kembali. Namun, gadis itu mencegahnya.
"Hanya sebentar, tolong!" pinta Alana dengan mata berkaca-kaca.
Albian mendesah pelan, lalu membuka daun pintu lebar karena tantenya tidak ada di rumah. Dia yatim piatu setelah kedua orangtua harus meregang nyawa dalam kecelakaan beruntun saat Albian masih kecil. Beruntung dirinya dan sang kakak bisa diselamatkan.
"Duduk!" pintanya acuh tak acuh.
Hening, hanya terdengar helaan napas kasar di antara keduanya. Alana menatap mata Albian lekat untuk mencari jawaban apakah masih ada cinta untuknya atau tidak. Bagaimana pun, mustahil untuk berjuang sendirian karena hal itu hanya menambah luka.
Bukankah jodoh itu harus diusahakan? Sehingga tidak mungkin jika salah satunya sudah berhenti melangkah. Meski begitu, Alana harus berusaha. Ini adalah kesempatan besar untuk menyampaikan perasaannya pada Albian menyadari hanya ada mereka berdua di sana.
"Kenapa diam?" cetus Albian tanpa perasaan.
"Al, mama aku udah tahu semuanya karena tadi mama masuk ke kamar dan menemukan Test Pack itu. Aku datang ke sini karena dipaksa memintamu bertanggungjawab. Kamu tahu bagaimana resiko jika kita tidak menikah, bukan?"
Sesuatu yang sudah Alana duga sebelumnya bahwa Albian akan mendengus kasar. Bagaimana dia bisa melakukan itu padahal janin yang ada dalam rahim Alana adalah hasil perbuatan mereka sendiri? Seorang lelaki sepatutnya bertanggungjawab, bukan hanya mendengus atau meminta kekasihnya menggugurkan kandungan itu.
"Salah kamu sendiri, Na. Kenapa kamu sampai melakukan tes kehamilan segala? Kalau dirasa hamil, harusnya langsung makan obat, kelar. Lah ini, aku diminta menikah sama kamu sementara kamu tahu sendiri kalau aku ini pengangguran, gak ada kerja, gak ada orangtua. Boleh aja kalau kamu siap kerja setelah kita menikah karena aku cuma mau tidur di kamar."
Jawaban apa yang baru saja Albian berikan itu? Alana menggeleng tidak percaya pada lelaki yang selama ini sangat dia cintai. Bukankah Albian memiliki badan yang sehat untuk bekerja, kenapa seolah memaksa Alana menjadi tulang punggung nanti?
Alana datang bukan karena mengemis setelah diperkosa oleh orang asing. Gadis itu menuntut haknya untuk dinikahi. Jika Albian sadar bahwa dirinya hanyalah seorang pengangguran dan tidak punya orangtua, kenapa memaksa Alana untuk menyerahkan keperawanannya?
"Albian!"
"Kita putus!" Kalimat itu Albian ucapkan dengan jelas seolah tanpa beban.
"Kamu jangan bercanda, Al. Aku datang ke sini untuk menuntut pertanggungjawaban. Kamu yang hamilin aku, merusak masa depan aku!" Hidung Alana kembang kempis mendengar penuturan Albian."Masa depan? Sekarang lebih baik kamu pulang karena aku nggak punya uang buat nikahin kamu!" usir Albian berkacak pinggang berdiri menghadap Alana."Al, ini jawaban kamu? Ternyata sebelum kita melakukan perbuatan hina itu, kamu cuma mengiming-imingiku dengan pernikahan dan cinta. Sekarang aku sadar kalau semua yang kamu katakan itu bohong." Alana bangkit, kemudian memberi tamparan di wajah kekasihnya.Wajah yang dulu selalu dia rindukan setiap hari, bahkan hadir dalam mimpinya. Wajah teduh itu berubah sangar karena sekarang Alana pun mendapat tamparan yang sangat keras dari sebelumnya. Alana memegangi pipi kiri, merasakan panas yang luar biasa. Cinta, apakah dia masih bisa percaya akan keberadaannya?"Sejak dulu aku emang pengen pisah sama kamu karena sadar kalau perbuatan kita sudah melampaui batas, te
"Dia mantan kamu, 'kan?" tanya Nia lagi memastikan."Iya, mantan, tapi baru tadi diputusin."Nia menghela napas berat. Kini, gadis yang satu tahun lebih tua dari adiknya itu tahu kalau Albian memang tidak mencintai Alana lagi, sejak beberapa bulan terakhir. Jika memang cinta, seharusnya dia tidak mengatakan kalau mereka sudah berpisah."Oh, gitu." Nia memindai sekitar, kemudian mendekati Alana seraya berbisik. "Na, lebih baik kamu pulang dan nggak usah nyari Al lagi. Kamu udah nggak punya tempat di hatinya. Aku kasihan loh kalau ngeliat perempuan nangis gara-gara pacarnya, apalagi kalau itu kamu. Perempuan itu harus punya harga diri!"Alana mundur begitu mendengar apa yang diucapkan Nia. Gadis itu tahu kalau dia sedang mendapat sindiran. Sekalipun Nia selalu membantunya bertemu Albian, tetap saja bisa berubah dalam sekejap. Bukankah siang akan berganti malam apabila sudah waktunya?"Aku nggak perlu disuruh pergi. Tenang aja, aku nggak bakal ngusik Albian lagi, kok.""Bagus, aku juga n
Sepanjang malam, Alana tidak bisa tidur bahkan sulit untuk memejamkan mata barang sebentar. Dia sibuk memikirkan bagaimana cara lepas dari masalah itu tanpa harus menciptakan masalah yang lain.Sinar mentari menembus kamar melalui celah ventilasi dan Alana masih duduk memeluk lutut di tempat tidurnya. Ada garis hitam di bawah mata gadis itu, dia terlihat kuyu tidak terawat. Perutnya merasakan lapar yang luar biasa karena sang ibu melarangnya makan tadi malam.Ponsel gadis itu berdering. Ketika menoleh ke nakas, dia melihat nama Albian tertera di sana. Sebuah senyum tersungging di bibir Alana, lalu lekas mengangkat telepon. "Halo?""Na, hubungan kita benar-benar berakhir kemarin, nggak ada kesempatan kedua dan aku sudah menemukan penggantimu. Lupakan tentang cinta dan harapan yang kita bangun bersama. Janin itu ... gugurkan saja karena sampai kapan pun aku nggak akan pernah mengakuinya. Tidak ada bukti kuat kalau aku ayah biologisnya."Sebelum Alana kembali membuka suara, panggilan sud
"Kenapa nggak masuk?" tegur Ranti membuat. Alana tersentak. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya agar tidak ketahuan."Ma, ada hal penting yang mau aku omongin."Ranti mengangguk pelan. Jika boleh dikata, wanita tua itu masih sangat kecewa pada anaknya. Akan tetapi, jika terus mendiamkan Alana, maka besar kemungkinan anak gadisnya akan semakin tertekan dalam dosa masa lalunya."Kemarin, semoga Mama mau maafin aku karena sempat marah waktu ditanya tentang Albian. Maaf, Ma, aku nggak berhasil memintanya bertanggungjawab. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi dia tetap menolak bahkan mengusirku dari sana. Mungkin benar, kami bukan jodoh dan aku akan berjuang sendiri untuk menjaga kandungan ini, lalu membesarkannya tanpa ayah," kata Alana yakin begitu mereka duduk berhadapan di kursi ruang tamu.Tidak ada jawaban, Ranti hanya menatap Alana lekat. Gadis itu ingin menunduk, hanya saja dia penasaran apa yang ada dalam benak sang ibu. Dia tidak tahu kalau sebenarnya Ranti dengan menc
Napas Albian memburu, lelaki itu terlihat sangat gugup. Alana sendiri menunggu jawaban sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Seorang lelaki yang sudah menodai kesuciannya, juga datang untuk menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Apakah ada kata maaf dari Alana? Mungkin itu sesuatu yang mustahil terjadi. "Aku nggak mungkin tahu kalau Alana di rumah sendirian kalau saja dia nggak ngasih tahu. Jadi, Alana ngundang aku ke sini bahkan berani bawa aku ke kamarnya. Tentu sebagai lelaki normal, aku tergiur untuk melakukan sesuatu yang lebih terutama Alana tidak melakukan penolakan. Siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan emas? Pemuda di luar sana juga akan melakukannya kalau berduaan dengan gadis seksi dalam kamar. Apa aku benar?" "Hentikan bualanmu itu, Al. Aku mungkin sudah tidak suci lagi, tetapi kamu harus tahu kalau aku bukan pelacur!" gertak Alana semakin merasa terhina. Dia menyesal pernah menaruh hati dan kepercayaan pada sosok seperti Albian. Jika saja tahu mereka akan berakhi
Alana murka karena melihat Albian datang bersama Bella. Kenapa harus gadis itu yang berdiri di sisinya? Akan tetapi, Alana harus menyembunyikan rasa cemburu sebelum terbaca oleh mereka berdua. Kedatangannya ke rumah itu bukan untuk bertengkar apalagi menambah beban pikiran. Entah kenapa dia sendiri merasa yakin kalau Albian masih ingin kembali."Kamu ternyata emang tempramental, ya, Na? Tante Hesti itu saudara kandung mendiang mamaku, tetapi kamu malah menjambak rambutnya. Selain itu, umur kalian terpaut jauh, di mana sopan santunmu? Apa mungkin kamu masih sakit hati? Ayolah, lupakan saja masalah itu biar kamu bisa hidup tenang."Alana tertawa kecil mendengar penuturan Albian. Melupakan? Apa dia sudah gila? Oh, tidak, Alana harus bisa mengalahkan mereka bertiga bahkan ketika dia harus kehilangan nyawanya. Bukankah bagus jika mereka menjadi tersangka pembunuhan?Sekarang pandangan matanya fokus pada Bella yang menatap penuh tanda tanya. Namun, Alana tidak ingin mengambil pusing selama
"Antar?" Alana berdecih. "Aku bisa pulang sendiri, tetapi sebelum itu kamu harus jawab, sejak kapan kamu pacaran sama Al?"Jantung Alana berdegup terlalu cepat karena tersulut emosi. Ah, bahkan rasa amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan agar bisa menenangkan diri. Dengan perasaan malu kepada Tuhan, dia membaca dzikir karena pernah mendengar penceramah meminta para jamaah untuk berzikir ketika pikiran sedang kacau."Besok sudah tiga bulan. Puas?"Tiga bulan? Itu bukan waktu yang singkat. Berarti selama ini Albian berbohong bahwa dirinya sibuk di luar untuk mencari pekerjaan, ternyata demi menemui Bella. Meskipun masih samar, Alana yakin itu lah yang terjadi. Dalam tiga bulan itu pula, dia sering dicium secara tiba-tiba sehingga melahirkan bunga-bunga cinta.Alana tidak menduga jika Albian melakukannya karena tidak ingin ketahuan telah selingkuh. Setiap sentuhan darinya ternyata berubah menjadi kutukan dan penghinaan. Alan
"Kamu sudah gila? Aku bahkan tidak tahu nama kamu, tapi sudah ngajak pacaran aja. Kamu siapa, sih?!"Lelaki itu melepaskan cengkramannya, beralih menjabat paksa tangan Alana. Dia tersenyum penuh percaya diri seolah dia seorang pangeran. "Aku Rasya, ingat itu."Alana tertegun. Dia berusaha memutar otak mengingat hari-hari sebelumnya. Tidak, bahkan sejak kecil gadis itu belum pernah mempunyai teman dengan nama Rasya. Akan tetapi, lelaki itu terlihat familiar, entah dia datang dari mana."Aku nggak kenal sama kamu.""Jangan jutek seperti itu, Na. Kalau kamu nggak kenal sama aku, lebih baik aku perkenalkan diri. Gimana?"Lelaki yang sangat nekat, Alana bisa langsung menebak kalau dia tipikal egois dan ingin menang sendiri. Namun, mengajak berpacaran di pertemuan pertama membuat gadis itu merasa curiga.Tentu bukan tanpa alasan dia mengutarakan cintanya bahkan ketika menatap mata Rasya, yang ada hanya kebohongan dan luka di sana. Alana memahami karena sudah sering berkaca dengan ekspresi i