Herin mondar-mandir di ruang tamu. Ia sudah mendorong dan memecahkan banyak barang. Kekesalannya masih belum reda. Wanita itu tidak terima saat suaminya harus membagi uang dan kekayaan milik mereka pada anak tirinya.
"Ada apa ini, Ma?" Haifa membuka headset dan mengerutkan alisnya, lalu melangkahi pecahan beling dari benda yang berserakan. "Kakak." Seorang anak laki-laki merengek ketakutan di sudut pintu. Haifa hanya melirik dan enggan menghampiri. "Tidur! Ngapain kamu diam di situ!" ucapnya pada adik lelakinya itu. Damar menutup pintu kamarnya perlahan, anak berusia 7 tahun itu ketakutan karena mendengar suara-suara keras dari barang-barang yang ibunya pecahkan. Herin mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suaminya lagi. Kekesalannya tidak akan mereda sampai mobil itu kembali, atau ia dan putrinya pun dibelikan mobil baru. 'Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar area. Silahkan ----' "Kemana dia?" Napas Herin semakin memburu saat ponsel suaminya malah tidak aktif. Ia mengambil switer dan tas untuk mencari keberadaan suaminya. "Haifa! Jaga adikmu!" teriaknya sebelum pergi. Wanita itu terpaksa mencegat taksi. Ia menggerutu sepanjang perjalanan karena kondisi mobil yang sudah kurang bagus. Jok keras, AC kecil. "Aku susah begini karena anak itu dan ibunya!" cercanya lagi. Sebenarnya, badannya kepanasan bukan hanya masalah AC mobil, tapi hatinya terasa terbakar. Herin berpikir mungkin suaminya kembali ke kantor tempatnya bekerja. Namun, sebelum ia sampai di gedung tempat suaminya bekerja, mata Herin mengenali mobil yang terparkir di depan sebuah cafe. "Bukankah itu mobil Mas Farhan?" gumamnya. Lalu, melirik pada gedung tinggi yang tidak jauh dari sana. Rupanya, suaminya tidak kembali ke kantor, malah masuk ke cafe di dekat kantornya. Emosi Herin semakin meluap, suaminya enak-enakan pergi ke cafe padahal ia masih begitu kesal. Wanita itu turun dari taksi yang ditumpanginya. Berjalan cepat dan menyapu di mana keberadaan suaminya berada. Mata Herin melotot saat pria itu tengah duduk dengan seorang wanita. "Maaf, Mas. Aku tidak meminta Fatin mengirim pesan padamu, kemarin. Akhir-akhir ini dia memang mengeluh karena tempat kuliahnya jauh dan ia kesulitan mendapat angkutan umum. Aku masih belum bisa membelikannya kendaraan. Aku akan segera meminta Fatin mengembalikannya lagi padamu. Dia bilang kalian sampai bertengkar." "Jadi, kamu di sini, Mas! Dan sengaja mematikan ponsel agar aku tidak tahu kelakukanmu, ini!" Herin langsung menyerobot. Lanita sampai berdiri dan sedikit menjauhi meja. "Berani sekali kalian bertemu di belakangku?" Herin menatap suaminya, lalu melihat wanita di depannya. "Kami hanya berkomunikasi tentang Fatin, Herin," ujar Lanita. "Fatin! Fatin! Fatin lagi! Kamu memang selalu pintar mengambil alasan!" "Hentikkan, Herin!" sentak pelan Farhan karena ia tidak ingin membuat keributan di tempat umum. "Lani, kamu sudah menjanda 8 tahun. Selama itu, kamu tidak bisa move on dari suamiku? Apa susahnya untukmu dan anakmu itu pergi dari kehidupan kami dan jangan jadi bayang-bayang penghalang lagi!" "Herin!" suara Farhan kembali memperingatkan. "Pulang!" Pria itu meraih tangan istrinya untuk pergi dari sana. Herin menghempaskan tangannya dari genggaman Farhan dan kembali menatap wanita di depannya. "Jangan ajari anakmu untuk manja! Biasakan dia cukup dengan apa yang dimilikinya! Mas Farhan sudah banyak beban, dia harus menanggung istri dan 2 anak di rumah kami! Hayfa dan Damar bahkan tidak memiliki kendaraan sendiri!" "Herin, cukup!" sentak Farhan menarik tangan wanita itu. "Ayo pulang!" Ia menggusurnya kasar karena orang-orang di dalam cafe sudah menatap mereka. Farhan terpaksa meninggalkan Lanita dan menarik paksa istrinya untuk masuk ke dalam mobil. Ia bergegas memutar dan duduk di kursi pengemudi sebelum istrinya itu berbuat keributan lagi. "Kamu memalukan, Herin!" Farhan menarik lengan istrinya masuk ke rumah saat mereka sampai. Ia melihat rumah yang berantakan dan pecahan kaca berserakan. "Apa kamu tidak bisa mengendalikan emosimu itu!" "Bagaimana aku bisa mengendalikannya, Mas! Kamu baru saja memberikan mobil kita pada Fatin dan kemudian pergi berdua ke cafe bersama ibunya. Bagaimana mungkin aku bisa menahan emosiku?!" "Jadi, masalahnya masih mobil itu?" "Tentu saja. Itu mobi kita!" "Ya, benar. Itu mobil kita, aku yang membelinya dengan keringat sendiri. Dan, kamu tahu Fatin adalah putriku, darah dagingku! Posisinya sama dengan Damar. Apa aku tidak boleh memberikan mobil hasil keringatku sendiri pada putri kandungku?" "Tapi, Haifa bahkan tidak kamu berikan, Mas." "Dia masih punya ayah 'kan? Aku dengar ayahnya baru saja mendapatkan proyek besar. Kenapa kamu tidak meminta dia untuk membelikannya, Herin?" "Dia tidak peduli pada anaknya sendiri, Mas." "Dan, aku bertahun-tahun membiarkan anakku sendiri juga! Hah!" Farhan merasa pikirannya pecah. Ia merasa begitu lelah karena istrinya tidak pernah ingin mengerti. "Hentikkan ocehanmu! Jika, kamu tidak ingin aku meminta Herlan mengambil Haifa dari rumah ini!" Herlin langsung terdiam mendengar itu. Ia tidak lagi bisa membuka suara ketika Farhan membanting pintu dan menguncinya dari dalam kamar. Bersambung ...."Mau aku antar lagi?" Fatin mengacuhkan suara itu dan bergegas mengambil langkah. Langkah Hans tak kalah cepat menyeimbangi."Mungkin cukup. Berandalan itu sudah bisa mengenali wajahmu. Tidak akan ada lagi yang berani mengganggu.""Baguslah!""Terus, untuk apa kamu masih terus membuntutiku?" Fatin berhenti dan menoleh."Kamu lupa sudah menggunakan uangku untuk ongkos taksi. Eum---kurang lebih 50 ribu dikali 5. Berapa ya?""Apa?!" Fatin membuang wajah keki sembari meronggoh tas. 'Asem!' umpatnya berkali-kali dalam hati."Aku hanya bercanda." Hans tergelak. "Mana ada pria kaya sepertiku meminta uang pada perempuan."Mata Fatin melotot kesal! Ia segera kembali menyimpan uangnya ke dalam tas. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap Hans lagi.Fatin tidak lagi ingin mendengar. Mempercepat langkahnya sebisa mungkin, malas berbicara dan enggan menanggapi. Apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh Hans hanya untuk menggodanya saja. Pria menyebalkan yang mirip permen kare
"Maafkan aku, Ma.""Jangan pikirkan itu. Tugasmu adalah sembuh!"Hayfa masih menoleh ke belakang saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil petugas. Ia akan dipindahkan ke tempat rehabilitasi. Cukup jauh jaraknya, butuh beberapa jam untuk bisa ke sana. Tempatnya berada di pinggiran kota. Herin bahkan tidak bisa ikut karena harus menaiki angkutan umum dengan ongkos lumayan, sedangkan uangnya tinggal beberapa lembaran hijau saja.Air mata Herin menetes, tapi ia segera menepisnya. Mobil yang ditumpangi putrinya perlahan menjauh. Hayfa masih melirik ke belakang, memandang ibunya yang tengah mematung melambaikan tangan.Herin menyeka pelipis, terik panas matahari membuat keningnya berkeringat. Tapi, bukan masalah itu yang menghimpit hatinya saat ini. Terik matahari itu seolah bukan lagi masalah besar. "Ibu harus menyiapkan uang sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya untuk biaya Hayfa selama berada di tempat rehabilitasi," ujar pengacara sebelum gadis itu dipindahkan.Herin hanya bisa men
"Makanlah!" Herin meraih tangan Hayfa untuk menyentuh makanan yang ia bawa. Tangan gadis itu terasa begitu dingin seperti tidak bernyawa. Tatapannya kosong dan tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berani menatap wajah ibunya."Di dalam sel, kamu tidak bisa makan makanan seperti ini. Jadi, makanlah dengan cepat sekarang!" pinta Herin lagi. Namun, tangan Hayfa terlalu lemas untuk meraihnya. Sorot mata itu? Seolah tidak ada kehidupan lagi di dalamnya."Belikan aku sedikit saja obat itu, Ma." Bibir Hayfa yang kering dan pias bergerak pelan. "Aku sangat tersiksa dan merasa akan mati saat ini."Herin menatap lekat putrinya saat kata-kata meluncur dari sana. Ia menyeka tetesan air mata yang lolos dengan sendirinya. Tangannya gamang menyentuh jemari Hayfa yang bergetar. "Kamu akan sembuh, Nak," ucap Herin pelan. Lalu, berusaha menyuapi putrinya. Ia membeli makanan kesukaan Hayfa. Gadis itu mengunyah pelan dengan tatapan kosong."Kamu sudah bertemu dengan pengacaranya bukan? Dia akan mengelua
"Bagaimana hasilnya, dokter?" Seorang dokter tersenyum melihat dua pasang bola mata yang tidak berkedip menatapnya. "Saya harap dokter tidak menyembunyikan apapun dari saya," timpal Lanita. Ia bersikap seolah begitu tegar dan siap mendengar apapun hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukannya. Setelah beberapa hari berada di Rumah Sakit untuk mendapatkan beberapa pemeriksaan, Lanita belajar untuk bisa menerima semuanya."Baik, Pak Arya dan Bu Lanita. Saya sudah mendapatkan hasil dari serangkaian pemeriksaan yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter spesial serupa untuk melihat hasilnya."Tangan Lanita sudah begitu dingin, mengepal pakaian yang dikenakannya untuk menguatkan hati. Arya melirik dan mengangguk pelan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja."Bapak dan Ibu bisa lihat sendiri." Dokter itu berbalik dan menunjukkan sebuah layar di sampingnya. Terlihat sebuah gambar jaringan otak yang sengaja diperbesar. "Kekebalan tubuh Ibu L
"Aku takut, Mas." Lanita terlihat gelisah saat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang mirip tabung. Arya membawanya bertemu dengan dokter spesialis saraf. Salah satu dokter terbaik di negeri ini."Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan melihatku lagi setelah diperiksa." Mata Arya meyakinkan. Lanita terlihat resah, pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan MRI seperti ini. Selain karena begitu takut dengan hasilnya, Lanita sangat mengkhawatirkan putrinya, ia sangat takut matanya terpejam saat pemeriksaan dan tidak bisa membuka mata untuk melihat putrinya lagi. Fatin sengaja tidak diberitahu dan dilakukan saat ia tengah kuliah. Lanita bersedia diobati, tanpa harus merepotkan putrinya itu. Ia tidak ingin Fatin terganggu dalam belajar.Lanita mencoba untuk tenang. Tanganya yang bersidekap di atas perut, tampak dingin dan lemas. Rupanya ia benar-benar ketakutan, padahal dokter sudah mengatakan kalau pemeriksaan ini tidak akan menimbulkan sakit, ia hanya diminta untuk tenang, berbaring dan
"Bagaimana keadaan Hayfa?" Bu Fatma yang sejak pagi menunggu kabar langsung memburu Herin saat datang. Pak Ramzi ayahnya hanya diam sembari mengisap sebatang rokok yang hampir habis."Dia harus ditahan dan tinggal di penjara.""Astagfirullahal'adzim." Bu Fatma memekik kaget mendengar jawaban itu. Cucu dari anak sambungnya itu memang tidak lagi terlihat batang hidungnya selain pada malam kedatangannya. Mobil yang ia antarkan tiba-tiba saja ada di halaman rumah. Sejak itu, Hayfa menghilang dan Herin terus mencari-carinya. Sekalinya dapat info malah panggilan dari kantor polisi."Kenapa Hayfa harus di penjara?" tanya Bu Fatma lagi. Hatinya masih bergetar karena syok.Herin melihat pada ayahnya yang masih diam sembari menyembulkan asap dari hisapan rokok yang hanya tinggal beberapa inci dari jarinya. "Dia terjerat nar koba.""Astagfirullah!" Bu Fatma memekik untuk kedua kalinya. Berkali-kali ia bahkan mengelus dada. Jantungnya sudah tidak sekuat dulu saat mendengar kabar-kabar mengejutka