Herin merasa lelah, usahanya untuk kembali mengambil simpati dari suaminya hanya sia-sia. Buktinya, Farhan masih tidur membelakangi. Sejak malam, ia bahkan tidak menyapa.
Wanita itu hanya membuat sarapan sederhana, itu pun belum disentuh suaminya. Ia duduk berselonjor sembari membaca majalah. Hanya terlihat dari luar, jujur pikirannya penat sekali memikirkan bagaimana cara mengambil mobil yang sudah terlanjur diberikan Farhan kepada anak tirinya. Herin melirik, Farhan baru keluar dari kamar. Wajahnya terlihat muram. "Di mana Hayfa?" tanyanya. "Hayfa?" Herin langsung berdiri, nada suara suaminya sudah berbeda. Ini memang hari minggu anak-anaknya tidak sekolah. "Haifa!" panggil Farhan. Herin semakin cemas, jelas sekali nadanya sangat berbeda dengan biasanya. Suaminya terlihat marah. "Hayfa! Apa kamu tidak dengar aku memanggilmu!" teriak Farhan lagi. "Biar aku yang menyusulnya, Mas," ujar Herin. "Tidak perlu! Apa yang dia kerjakan di atas sampai tidak menyahut panggilan orang tua sendiri!" Emosi Farhan semakin naik. "Hayfa, Papa memanggil. Apa yang sedang kamu lakukan?!" Herin ikut memanggil karena sudah dipastikan suaminya akan semakin marah, jika Hayfa tidak lantas turun. Ia pun naik tangga hampir setengahnya. "Ada apa, Ma? Aku baru saja dari kamar mandi." Gadis itu masih muka bantal dengan rambut yang sedikit acak-acakan. Sepertinya ia baru bangun tidur dan menyempatkan diri cuci muka sebelum turun. "Papa memanggilmu, turunlah!" perintah Herin. Farhan sudah menunggu di ruang keluarga. Di tangannya terdapat ponsel yang sejak dari keluar kamar terus digenggam. Herin dan Fatin duduk bersebelahan. Jarang sekali, Farhan marah, mungkin ini pertama kalianya sejak mereka tinggal bersama. "Apakah ini kamu?" Farhan menunjukkan sebuah rekaman dari cctv kampus. Hayfa melirik pada ibunya. Herin memberi isyarat agar dia tidak membawa-bawa namanya. Bola mata wanita itu membulat sempurna, Hayfa semakin ketakutan. "Kamu tega melakukan itu pada, Fatin, Hayfa?" Rekaman di cctv itu sudah jelas. Farhan hanya ingin menanyakan kejujuran dari putri tirinya itu. Herin mengambil alih ponsel dan melihat dengan seksama. Ia tahu tidak bisa membantu putrinya untuk mengelak. Membuat alasan hanya akan membuat Farhan semakin murka. "Minta maaf pada papa, Hayfa!" ujar Herin. "Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk berbuat buruk seperti itu!" Hayfa mengepalkan tangannya. Ia terus mendapat tekanan dari ibunya untuk mengakui itu dan meminta maaf. Sedangkan, ia pun harus menyembunyikan kebenaran kalau hal itu atas perintah ibunya sendiri. "Aku tidak mau!" celetuk Hayfa. Herin langsung melotot. Mengancam putrinya melalui tatapan yang sangat tajam. "Kamu tidak mau meminta maaf?" ujar Farhan. "Gadis di video ini benar-benar wajahmu, Hayfa. Kamu telah mencelakakan Fatin. Sebab ulahmu, dia kecelakaan dan menabrak pagar rumah. Sudah untung dia tidak terluka. Tapi, kamu benar-benar merasa tidak bersalah dan tidak ingin meminta maaf?" Farhan menggeleng tidak percaya. "Rupanya aku sudah terlalu memanjakanmu. Apa ini balasanmu telah aku sayangi?" Pria itu berdiri. "Hayfa mungkin syok, Mas. Aku akan berbicara padanya, sebentar." Herin mencoba mendamaikan suasana ini. Ia geram sekali pada putrinya yang tidak tahu caranya menyelamatkan diri. "Cukup, Herin!" Farhan tidak ingin mendengarkan penjelasan. Pria itu mencari nomor kontak di ponselnya. Lalu, menghubungi seseorang. [Hallo.] [Ini aku Farhan.] [Aku ingin berbicara denganmu, sekarang! Ada hal penting yang harus kita diskusikan. Kami sedang menunggumu, Herlan.] [Ya. Ini tentang putrimu Hayfa. Aku harap kamu masih ingat pada anakmu sendiri!] Farhan bicara penuh penekanan. Delapan tahun lamanya, ayah Hayfa tidak pernah sekali pun mengunjunginya, apalagi memberikan uang. Kelakuannya sama persis seperti dirinya pada Fatin. "Mas!" Herin langsung mendekat dan mencoba mencegah saat Farhan berbicara dengan mantan suaminya itu. Tapi, tangan Farhan menentang. Bergerak kasar, menyingkirkan Herin dari dekatnya. Herin segera menarik putrinya naik ke lantai 2. Setengah menggusur dengan kasar. "Kenapa kamu bodoh, Hayfa!" Herin meremas rambutnya setelah mendorong Hayfa ke atas kasur. "Apa kamu tidak mengerti dengan kode yang aku berikan?" Hayfa hanya diam, menahan kemarahannya pada sang ibu. "Kamu hanya tinggal meminta maaf, Hayfa. Maka, semua ini tidak akan terjadi!" Herin menarik napas, mencoba menenangkan diri. Ia sulit berpikir jernih setelah mendengar percakapan Farhan dengan mantan suaminya itu. "Belum terlambat! Ayo, cepat turun! Kamu harus minta maaf pada papamu, sekarang!" Herin kembali menarik tangan Hayfa. Tapi, gadis itu menepisnya. "Hayfa!" "Aku tidak mau, Ma!" "Why?!" "Karena itu bukan salahku! Kenapa Mama tidak mengakuinya saja kalau itu perintah, Mama? Kenapa Mama malah menumbalkan aku untuk ini!" "Hayfa?" Herin tidak percaya kalau putrinya akan berkata seperti itu. "Aku melakukannya untukmu!" "Tidak, Ma. Mama tidak melakukannya untukku. Tapi, untuk diri Mama sendiri. Mama bahkan rela mengkambinghitamkan aku di depan papa. Bukankah seharusnya seorang ibu melindungi anaknya, meski ia tahu anaknya bersalah?" Herin mencelos. Ia kehilangan kata saat Hayfa berkata seperti itu. "Mama sebaiknya keluar dari kamarku!" Gadis itu berdiri dan memberi isyarat untuk ibunya pergi. Herin menganga. Pintu kamar bahkan ditutup kasar ketika wajahnya masih sangat dekat dan kembali berbalik. Herin menjadi sangat pening. Anaknya malah ikut marah. "Itu jelas salahmu, Hayfa! Harusnya kamu sedikit pintar saat melakukannya, bukan malah menunjukkan wajahmu di sana!" teriak Herin di balik pintu. Brank! Suara pecahan barang terdengar dari dalam kamar. Herin menghentikkan sikapnya dan segera turun. Bagaimana pun ia harus mencari cara merayu suaminya agar mengurungkan niat untuk bertemu Herlan. [Maaf ya, Nak. Papa merasa sangat bersalah untuk ini. Terimakasih, sudah percayakan pada papa untuk menyelesaikan masalah ini.] Herin mendengar suaminya tengah berbicara lewat telepon, dan ia menyebut nama putrinya. "Jadi, Fatin yang memberikan rekaman cctv itu?" Herin merasa syok. Ia tidak tahu kalau anak tirinya yang lugu dan mudah ditindas itu bisa bersikap pintar. Farhan menyelesaikan panggilan. Herin segera menghampiri. "Mas." Farhan hanya melirik dan mengacuhkannya. "Aku meminta maaf untuk Hayfa, Mas. Dia masih remaja dan labil. Sebelum berangkat kuliah, kemarin. Dia bertanya karena sikap kamu berbeda dari biasanya. Dia pun mengeluhkan kendaraan umum yang sesak dan bau. Hayfa tidak biasa. Lalu, ia menghubungiku karena melihat mobil kita ada di kampus, Hayfa pikir aku ada di sana. Dia merasa kamu tidak adil padanya. Dan, mungkin itu yang membuat dia lupa diri hingga iseng mengempeskan ban mobil yang di bawa Fatin." Herin mencoba selembut mungkin menjelaskan. Meski, di dalam setiap katanya tetap saja membenarkan perilaku putrinya. "Iseng?" Farhan menoleh. "Anak remaja, Mas. Kamu juga tahu sendiri, seusia mereka itu lagi labil-labilnya." "Aku menganggapnya sebagai anak sendiri. Itu artinya, Fatin adalah saudarinya. Dia iseng pada saudarinya hingga mengalami kecelakaan dan aku tidak berbuat apa-apa untuk menjelaskan bahwa keisengannya itu sangat berbahaya?" "Ayolah, Mas. Dia tidak akan melakukannya lagi!" Herin masih mencoba merayu saat suara bel rumahnya berbunyi. Ia mengintip dari jendela kaca kamarnya. "Herlan!" gumamnya. Mantan suaminya benar-benar datang ke rumah. Bersambung ...."Mau aku antar lagi?" Fatin mengacuhkan suara itu dan bergegas mengambil langkah. Langkah Hans tak kalah cepat menyeimbangi."Mungkin cukup. Berandalan itu sudah bisa mengenali wajahmu. Tidak akan ada lagi yang berani mengganggu.""Baguslah!""Terus, untuk apa kamu masih terus membuntutiku?" Fatin berhenti dan menoleh."Kamu lupa sudah menggunakan uangku untuk ongkos taksi. Eum---kurang lebih 50 ribu dikali 5. Berapa ya?""Apa?!" Fatin membuang wajah keki sembari meronggoh tas. 'Asem!' umpatnya berkali-kali dalam hati."Aku hanya bercanda." Hans tergelak. "Mana ada pria kaya sepertiku meminta uang pada perempuan."Mata Fatin melotot kesal! Ia segera kembali menyimpan uangnya ke dalam tas. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap Hans lagi.Fatin tidak lagi ingin mendengar. Mempercepat langkahnya sebisa mungkin, malas berbicara dan enggan menanggapi. Apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh Hans hanya untuk menggodanya saja. Pria menyebalkan yang mirip permen kare
"Maafkan aku, Ma.""Jangan pikirkan itu. Tugasmu adalah sembuh!"Hayfa masih menoleh ke belakang saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil petugas. Ia akan dipindahkan ke tempat rehabilitasi. Cukup jauh jaraknya, butuh beberapa jam untuk bisa ke sana. Tempatnya berada di pinggiran kota. Herin bahkan tidak bisa ikut karena harus menaiki angkutan umum dengan ongkos lumayan, sedangkan uangnya tinggal beberapa lembaran hijau saja.Air mata Herin menetes, tapi ia segera menepisnya. Mobil yang ditumpangi putrinya perlahan menjauh. Hayfa masih melirik ke belakang, memandang ibunya yang tengah mematung melambaikan tangan.Herin menyeka pelipis, terik panas matahari membuat keningnya berkeringat. Tapi, bukan masalah itu yang menghimpit hatinya saat ini. Terik matahari itu seolah bukan lagi masalah besar. "Ibu harus menyiapkan uang sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya untuk biaya Hayfa selama berada di tempat rehabilitasi," ujar pengacara sebelum gadis itu dipindahkan.Herin hanya bisa men
"Makanlah!" Herin meraih tangan Hayfa untuk menyentuh makanan yang ia bawa. Tangan gadis itu terasa begitu dingin seperti tidak bernyawa. Tatapannya kosong dan tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berani menatap wajah ibunya."Di dalam sel, kamu tidak bisa makan makanan seperti ini. Jadi, makanlah dengan cepat sekarang!" pinta Herin lagi. Namun, tangan Hayfa terlalu lemas untuk meraihnya. Sorot mata itu? Seolah tidak ada kehidupan lagi di dalamnya."Belikan aku sedikit saja obat itu, Ma." Bibir Hayfa yang kering dan pias bergerak pelan. "Aku sangat tersiksa dan merasa akan mati saat ini."Herin menatap lekat putrinya saat kata-kata meluncur dari sana. Ia menyeka tetesan air mata yang lolos dengan sendirinya. Tangannya gamang menyentuh jemari Hayfa yang bergetar. "Kamu akan sembuh, Nak," ucap Herin pelan. Lalu, berusaha menyuapi putrinya. Ia membeli makanan kesukaan Hayfa. Gadis itu mengunyah pelan dengan tatapan kosong."Kamu sudah bertemu dengan pengacaranya bukan? Dia akan mengelua
"Bagaimana hasilnya, dokter?" Seorang dokter tersenyum melihat dua pasang bola mata yang tidak berkedip menatapnya. "Saya harap dokter tidak menyembunyikan apapun dari saya," timpal Lanita. Ia bersikap seolah begitu tegar dan siap mendengar apapun hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukannya. Setelah beberapa hari berada di Rumah Sakit untuk mendapatkan beberapa pemeriksaan, Lanita belajar untuk bisa menerima semuanya."Baik, Pak Arya dan Bu Lanita. Saya sudah mendapatkan hasil dari serangkaian pemeriksaan yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter spesial serupa untuk melihat hasilnya."Tangan Lanita sudah begitu dingin, mengepal pakaian yang dikenakannya untuk menguatkan hati. Arya melirik dan mengangguk pelan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja."Bapak dan Ibu bisa lihat sendiri." Dokter itu berbalik dan menunjukkan sebuah layar di sampingnya. Terlihat sebuah gambar jaringan otak yang sengaja diperbesar. "Kekebalan tubuh Ibu L
"Aku takut, Mas." Lanita terlihat gelisah saat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang mirip tabung. Arya membawanya bertemu dengan dokter spesialis saraf. Salah satu dokter terbaik di negeri ini."Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan melihatku lagi setelah diperiksa." Mata Arya meyakinkan. Lanita terlihat resah, pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan MRI seperti ini. Selain karena begitu takut dengan hasilnya, Lanita sangat mengkhawatirkan putrinya, ia sangat takut matanya terpejam saat pemeriksaan dan tidak bisa membuka mata untuk melihat putrinya lagi. Fatin sengaja tidak diberitahu dan dilakukan saat ia tengah kuliah. Lanita bersedia diobati, tanpa harus merepotkan putrinya itu. Ia tidak ingin Fatin terganggu dalam belajar.Lanita mencoba untuk tenang. Tanganya yang bersidekap di atas perut, tampak dingin dan lemas. Rupanya ia benar-benar ketakutan, padahal dokter sudah mengatakan kalau pemeriksaan ini tidak akan menimbulkan sakit, ia hanya diminta untuk tenang, berbaring dan
"Bagaimana keadaan Hayfa?" Bu Fatma yang sejak pagi menunggu kabar langsung memburu Herin saat datang. Pak Ramzi ayahnya hanya diam sembari mengisap sebatang rokok yang hampir habis."Dia harus ditahan dan tinggal di penjara.""Astagfirullahal'adzim." Bu Fatma memekik kaget mendengar jawaban itu. Cucu dari anak sambungnya itu memang tidak lagi terlihat batang hidungnya selain pada malam kedatangannya. Mobil yang ia antarkan tiba-tiba saja ada di halaman rumah. Sejak itu, Hayfa menghilang dan Herin terus mencari-carinya. Sekalinya dapat info malah panggilan dari kantor polisi."Kenapa Hayfa harus di penjara?" tanya Bu Fatma lagi. Hatinya masih bergetar karena syok.Herin melihat pada ayahnya yang masih diam sembari menyembulkan asap dari hisapan rokok yang hanya tinggal beberapa inci dari jarinya. "Dia terjerat nar koba.""Astagfirullah!" Bu Fatma memekik untuk kedua kalinya. Berkali-kali ia bahkan mengelus dada. Jantungnya sudah tidak sekuat dulu saat mendengar kabar-kabar mengejutka