****Sejak tiba di Jakarta, Helmi sengaja menonaktifkan ponselnya. Namun, justru bukan ketenangan yang ia rasakan, hasrat ingin kembali kepada Dinda malah semakin menjadi-jadi.'Dinda, dugaanku salah. Kamu tetap bertahta di hatiku, bodohnya, aku terlambat menyadari itu semua!' batin Helmi.'Andai saja, kamu mau memaafkanku dan memberiku kesempatan lagi untuk membersamaimu, aku pasti bahagia sekali.' Matanya berkabut ketika kenangan manis dulu melintas di pikirannya. Menggodanya untuk bernostalgia, dan akhirnya ia merasakan pilu karena kebodohannya sendiri.'Apa salahnya aku mencobanya? Ya, mencoba mengajak Dinda untuk rujuk kembali.'Tiba-tiba senyuman melengkung di bibirnya, ia sangat berharap Dinda bersedia menerima permintaannya untuk kembali rujuk dan memulainya dari awal lagi.Tangannya mulai mengetik pesan untuk mantan yang tak bisa ia lupakan. Bagaimana ia bisa lupa? S
****Wulan kembali masuk ke rumah sakit ketika pihak rumah sakit menyampaikan kalau Mariah kembali drop. Tentu saja itu membuatnya semakin khawatir dengan bayi yang berada dalam kandungan menantunya itu."Ma, biarin saja lah si Mariah itu di rumah sakit sendirian. Biar dia tahu rasa di campakkan suami itu rasanya seperti apa?" cetus Galuh."Nggak bisa gitu, Galuh. Dia nggak punya siapa-siapa selain Mama dan Helmi. Sekarang Helmi pun entah di mana keberadaannya.""Pastinya si Helmi itu pergi karena udah bosan dengan kelakuan si Mariah yang nggak tahu diri itu!" sahut Galuh. Galuh heran kenapa Wulan begitu baik pada Mariah, sedangkan sama Dinda, ia begitu membencinya. Padahal, kalau bukan karena kebaikan Dinda, tak mungkin ia masih tinggal di rumah peninggalan Papa ini, sebab ia pernah menggadaikan rumah ini ke rentenir demi menopang gaya sosialitanya di depan teman-teman arisannya."Hustt,
****Malam telah datang, Mariah kembali merasakan dirinya dalam kehampaan. Ia terbiasa dengan sentuhan Helmi di setiap malam-malamnya. Kini, entah di mana keberadaan lelaki tua yang telah membawa separuh hatinya."Menikahlah denganku, Mariah! Akan kubuat kamu bahagia meskipun hanya sebagai ratu kedua, tapi aku akan adil seadil-adilnya," mohon Helmi kala itu, ucapan janjinya terus saja terngiang-ngiang di telinganya sampai saat ini.Mariah mengambil ponselnya, lalu ia membuka galeri fotonya. Memperhatikan secara detail setiap gaya foto suaminya yang tak lagi muda itu, lalu menangis tersedu-sedu. Ada rindu yangbtak bisa ia sampaikan.'Kamu di mana, Mas? Bukankah kamu mengharapkan anak perempuan dariku, lalu kenapa kamu pergi meninggalkanku?' ratapnya dalam hati.'Memang dulu aku tidak mencintaimu, bahkan sekarang pun entah aku mencintaimu atau tidak, tapi yang jelas anak ini butuh Ayah, Mas!'
****Dinda batal berkunjung ke rumah Umi Aisah di minggu pagi, Sebab, kota Bandung sejak dini hari di guyur hujan. Beruntungnya, menjelang sore hujan telah benar-benar reda dan mereka telah siap berangkat.Dinda sengaja mengajak Mbak Sri untuk ikut serta karena ia khawatir saat ia asik bercengkrama dengan keluarga, Alif rewel. Sesampainya di sana, Umi telah menyiapkan banyak menu makanan kesukaan Dinda."Umi, aku 'kan sudah bilang jangan repot-repot seperti ini! Aku jadi berasa datang ke ondangan bukan ke rumah Umi," rengek Dinda manja."Umi nggak repot. Kan, banyak yang bantu, Disha sama Abi juga bantu, loh!" sahut Umi Aisah."Iya. Sampai pegal, loh, ini tanganku!" Sambung Disha, membuat semua yang ada di ruangan ini ikut tertawa."Bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya Abi, ketika Dinda mencium kedua tangan cinta pertamanya itu."Alhamdulilah, baik, Abi.""Perceraian kamu?" tanya Abi lagi, membuat Umi Aisyah menyik
****Pertemuan Dinda dengan keluarganya membawa hal positif. Terutama, ucapan lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu ada benarnya, kenapa ia harus susah-susah menjaga hubungan baik dengan mantan suaminya itu, jika ia sendiri tak ada itikat baik sedikit pun.'Manusia itu tak akan selamanya muda, seiring waktu ia akan menua. Wajah yang tampan pun akan jadi keriput, beruntung kalau di akhir usianya tidak sakit-sakitan. Si Helmi itu tidak mikir sampai situ?' kata-kata Abah terus saja terngiang di telinganya. Dinda duduk di taman belakang rumah, bunga-bunga sedang bermekaran. Mbak Sri memang patut diacungi empat jempol kalau bisa, dia sangat pandai merawat bunga. Ingatannya Dinda menerawang jauh ke beberapa tahun lalu, dimana ia pernah membicarakan tentang poligami demi memiliki seorang anak perempuan, tapi Helmi menolak mentah-mentah. Alasannya, ia tak mau melukai perasaan anak-anaknya. Buktinya, ia diam-diam menjalin hubu
****"Hm, toko ini milikku," sahut Dinda lirih."Astaga, bukankah ini punya Pak Helmi?" Samudra tampak kaget."Dulu." jawab Dinda singkat."Apa dia bangkrut? Lalu menjual toko ini pada Bu Dinda.""Bukan, dia mantan suamiku." ucap Dinda.Sebenarnya Dinda risih dengan pertanyaan dari Pak Sam, hingga akhirnya ia mengucapkan semuanya dengan jelas. Berharap Pak Sam tak akan pernah bertanya-tanya lagi tentang dirinya."Maaf, aku tak bermaksud," ucap Sam."Tidak apa-apa.""Aku permisi ada urusan yang harus segera kuselesaikan, mungkin lain waktu aku mampir ke sini lagi.""Mampir?""Maksudnya, mampir untuk melihat langsung hasil karya tangan Bu Dinda." Sam gugup.Kegugupan dalam diri Sam terbaca oleh Dinda, tapi ia tak ambil pusing. Mungkin saja, karena ia secara tak langsung merasa tak enak hati telah mengorek masa lalu Dinda, meskipun tanpa di sengaja.****Ga
****"Bagaimana perasaanmu sekarang, Din?" tanya Vio."Jauh lebih baik, lihatlah! Apa sekarang aku kurus atau terlihat banyak pikiran?" Dinda dengan senang hati berdiri, lalu memutar badannya di depan sahabat terbaiknya itu."Syukurlah, aku senang mendengarnya, Din.""Mau minum apa?" tanya Dinda, ia mendongak pada wajah sahabatnya yang tiba-tiba muram."Tidak perlu. Aku sengaja mampir ke sini karena aku rindu sama kamu, Din.""Jangan begitu! Kamu duduk yang manis, biar aku buatkan minum untuk kamu, ya!"Vio hanya menganggukkan kepala tanpa menyahut ucapan sahabatnya.Dinda kembali dengan dua cangkir kopi di tangannya, di sambut dengan senyuman yang merekah di bibir Vio."Siapa yang buat?" tanya Vio tiba-tiba, ketika ia telah menyeruput kopinya sebagian."Aku.""Bukan Mbak Sri?""Mbak Sri lagi sibuk, Vio.""Pantas dia betah lama-lama kerja sama kamu, Din.""Cu
****"Akhirnya kamu kembali, Hel. Mama dan Mariah sangat merindukanmu." Wulan tak mampu lagi membendung air matanya saat berada dalam pelukan putranya."Mas," sapa Mariah.Alih-alih Helmi membalas sapaan Mariah, wajahnya malah mencelos ke sembarang arah, menghindari tatapan Mariah. "Istrimu sudah lama menunggu kepulanganmu. Kamu dari mana saja, Hel?" tanya Wulan kemudian."Maaf, aku tidak mau membahas masalah itu sekarang, permisi." Helmi melewati Mariah begitu saja. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Galuh yang sampai saat ini masih belum sadar juga.Sepeninggalnya Helmi, Mariah tampak menangis. Buliran air bening tumpah begitu saja ketika sikaf Helmi yang begitu dingin terhadap dirinya."Ma, aku salah apa? Kenapa Mas Helmi berubah dingin seperti ini?" tanya Mariah pada Wulan."Kamu sabar dulu, Mar! Mama mohon beri dia waktu sampai dia mau berbicara dengan sendirinya."Mariah hanya sa