****Dinda batal berkunjung ke rumah Umi Aisah di minggu pagi, Sebab, kota Bandung sejak dini hari di guyur hujan. Beruntungnya, menjelang sore hujan telah benar-benar reda dan mereka telah siap berangkat.Dinda sengaja mengajak Mbak Sri untuk ikut serta karena ia khawatir saat ia asik bercengkrama dengan keluarga, Alif rewel. Sesampainya di sana, Umi telah menyiapkan banyak menu makanan kesukaan Dinda."Umi, aku 'kan sudah bilang jangan repot-repot seperti ini! Aku jadi berasa datang ke ondangan bukan ke rumah Umi," rengek Dinda manja."Umi nggak repot. Kan, banyak yang bantu, Disha sama Abi juga bantu, loh!" sahut Umi Aisah."Iya. Sampai pegal, loh, ini tanganku!" Sambung Disha, membuat semua yang ada di ruangan ini ikut tertawa."Bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya Abi, ketika Dinda mencium kedua tangan cinta pertamanya itu."Alhamdulilah, baik, Abi.""Perceraian kamu?" tanya Abi lagi, membuat Umi Aisyah menyik
****Pertemuan Dinda dengan keluarganya membawa hal positif. Terutama, ucapan lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu ada benarnya, kenapa ia harus susah-susah menjaga hubungan baik dengan mantan suaminya itu, jika ia sendiri tak ada itikat baik sedikit pun.'Manusia itu tak akan selamanya muda, seiring waktu ia akan menua. Wajah yang tampan pun akan jadi keriput, beruntung kalau di akhir usianya tidak sakit-sakitan. Si Helmi itu tidak mikir sampai situ?' kata-kata Abah terus saja terngiang di telinganya. Dinda duduk di taman belakang rumah, bunga-bunga sedang bermekaran. Mbak Sri memang patut diacungi empat jempol kalau bisa, dia sangat pandai merawat bunga. Ingatannya Dinda menerawang jauh ke beberapa tahun lalu, dimana ia pernah membicarakan tentang poligami demi memiliki seorang anak perempuan, tapi Helmi menolak mentah-mentah. Alasannya, ia tak mau melukai perasaan anak-anaknya. Buktinya, ia diam-diam menjalin hubu
****"Hm, toko ini milikku," sahut Dinda lirih."Astaga, bukankah ini punya Pak Helmi?" Samudra tampak kaget."Dulu." jawab Dinda singkat."Apa dia bangkrut? Lalu menjual toko ini pada Bu Dinda.""Bukan, dia mantan suamiku." ucap Dinda.Sebenarnya Dinda risih dengan pertanyaan dari Pak Sam, hingga akhirnya ia mengucapkan semuanya dengan jelas. Berharap Pak Sam tak akan pernah bertanya-tanya lagi tentang dirinya."Maaf, aku tak bermaksud," ucap Sam."Tidak apa-apa.""Aku permisi ada urusan yang harus segera kuselesaikan, mungkin lain waktu aku mampir ke sini lagi.""Mampir?""Maksudnya, mampir untuk melihat langsung hasil karya tangan Bu Dinda." Sam gugup.Kegugupan dalam diri Sam terbaca oleh Dinda, tapi ia tak ambil pusing. Mungkin saja, karena ia secara tak langsung merasa tak enak hati telah mengorek masa lalu Dinda, meskipun tanpa di sengaja.****Ga
****"Bagaimana perasaanmu sekarang, Din?" tanya Vio."Jauh lebih baik, lihatlah! Apa sekarang aku kurus atau terlihat banyak pikiran?" Dinda dengan senang hati berdiri, lalu memutar badannya di depan sahabat terbaiknya itu."Syukurlah, aku senang mendengarnya, Din.""Mau minum apa?" tanya Dinda, ia mendongak pada wajah sahabatnya yang tiba-tiba muram."Tidak perlu. Aku sengaja mampir ke sini karena aku rindu sama kamu, Din.""Jangan begitu! Kamu duduk yang manis, biar aku buatkan minum untuk kamu, ya!"Vio hanya menganggukkan kepala tanpa menyahut ucapan sahabatnya.Dinda kembali dengan dua cangkir kopi di tangannya, di sambut dengan senyuman yang merekah di bibir Vio."Siapa yang buat?" tanya Vio tiba-tiba, ketika ia telah menyeruput kopinya sebagian."Aku.""Bukan Mbak Sri?""Mbak Sri lagi sibuk, Vio.""Pantas dia betah lama-lama kerja sama kamu, Din.""Cu
****"Akhirnya kamu kembali, Hel. Mama dan Mariah sangat merindukanmu." Wulan tak mampu lagi membendung air matanya saat berada dalam pelukan putranya."Mas," sapa Mariah.Alih-alih Helmi membalas sapaan Mariah, wajahnya malah mencelos ke sembarang arah, menghindari tatapan Mariah. "Istrimu sudah lama menunggu kepulanganmu. Kamu dari mana saja, Hel?" tanya Wulan kemudian."Maaf, aku tidak mau membahas masalah itu sekarang, permisi." Helmi melewati Mariah begitu saja. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Galuh yang sampai saat ini masih belum sadar juga.Sepeninggalnya Helmi, Mariah tampak menangis. Buliran air bening tumpah begitu saja ketika sikaf Helmi yang begitu dingin terhadap dirinya."Ma, aku salah apa? Kenapa Mas Helmi berubah dingin seperti ini?" tanya Mariah pada Wulan."Kamu sabar dulu, Mar! Mama mohon beri dia waktu sampai dia mau berbicara dengan sendirinya."Mariah hanya sa
****"Ikat mereka di pojokan!" titah lelaki bertubuh penuh tato. Ternyata, bukan hanya dua orang yang menyeret Amel saja yang menjadi penjahat di sini, masih ada beberapa lagi yang tempangnya lebih sangar menyeramkan.Alif masih pingsan ketika Amel sadar dari pingsannya. Entah apa yang mereka lakukan pada Alif. Ia juga merasakan tengkuknya sakit luar biasa akibat pukulan di taman tadi."Bos, sepertinya luka di tengkuk perempuan ini berdarah banyak, apa nggak pa-pa dibiarkan begitu saja?" tanya lelaki yang menyeret Amel tadi."Gak pa-pa biarkan saja! Lagian si Bos nggak masalah kalau mereka berdua mati saat ini juga, hahaha." Tawa yang menggelegar membuat Alif terbangun dari pingsannya."Mbak, Alif takut." Tubuh mungil itu berusaha mendekat pada Amel dengan susah payah karena tangan dan kakinya dalam keadaan terikat dengan kuat."Jangan takut, ada Mbak di sini!""Kenapa mereka mengi
****Bram kembali menerima sebuah telepon. Bibirnya tersenyum saat mendengarkan lawan bicara dari seberang telepon sedang menjelaskan sesuatu padanya. "Adinda, bersiap-siaplah! Titik terakhir tempat yang di singgahi Amel sudah di temukan. Apa kamu keberatan jika aku meminta bantuan temanku yang jago karate mengamati terlebih dahulu, dan memastikan keberadaan mereka?" tanya Bram.Dinda menggelengkan kepalanya, tanda ia setuju-setuju saja dengan ide Bram saat ini. Binar di matanya menjelaskan ia sangat bersyukur Bram mau membantunya menemukan Alif dengan cepat."Kamu siap berangkat sekarang, Din!" "Aku siap, Bram."Bram tampak khawatir dengan keadaan Dinda yang kacau, andai saja ia dapat memeluknya untuk sedikit menenangkan pikirannya saat ini.'Argh, aku mikir apa?' gerutu Bram dalam hatinya.Bram, memfokuskan dirinya untuk menyetir mobil yang akan membawanya menemuk
****Mariah begitu kaget ketika mendengar kabar penculikan itu diungkap Bram di depan Helmi. Bahkan, Bram tak segan-segan menyebut dirinya sebagai perempuan kriminal. Namun, ia harus berusaha bertingkah seolah tidak tahu menahu dengan apa yang dituduhkan Bram padanya. Beruntung, Mama Wulan keluar tepat waktu dan menyelamatkannya dari tuduhan-tuduhan Bram."Ma, bantu aku bangunkan Mas Helmi!" rengek Mariah. Sengaja ia buat seolah kepayahan saat membangunkan Helmi, untuk mengalihkan perhatian Bram."Kalian itu seperti anak kecil saja, apa-apa selalu pakai kekerasan. Lihat, di dalam sana Istri kamu sedang terbaring lemah, Bram!" bentak Wulan.Bram sengaja diam dan tak menanggapi ucapan mertuanya, berdebat dengannya hanya akan buang-buang waktu saja. Percuma, bukan?Mariah sibuk mengobati luka-luka Helmi yang di sebabkan oleh Bram. Hatinya mulai gelisah, bagaimana bisa penculikan ini bisa tercium cepat oleh Bram? Lalu, kenapa orang-oran