Share

Bab 3

"Sa-saya itu baik kalau menantu saya juga baik. Kalian bisa menilai sendiri kan, gimana saya bersikap? Berarti memang menantu saya yang tidak baik."

"Mbak Wiranti Itu baik kok orangnya sama tetangga.  Masak iya sama Ibu mertua tidak baik?" tanya salah satu warga.

Ibu mertuaku terlihat mencebik. Lalu menatap ke arahku dengan tatapan tidak suka.

"Kamu mau mempermalukan Ibu?" tanya Ibu dengan nada berbisik.

****

Mas Bambang berpamitan pergi mencari kerja. Merapalkan doa-doa untuk keselamatannya dan juga semoga pekerjaan itu segera di dapatkannya. Aku segera menyapu seluruh lantai kontrakan. Tidak lupa mengepel sekalian. Meskipun perutku sudah besar namun tidak membuatku bermalas-malasan.

Kring-kring

Suara dering ponsel milikku terdengar cukup keras. Aku meletakan alat pel dan juga ember ditempatnya. Tidak lupa mengusap tangan pada belakang daster yang aku kenakan.

"Halo, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Ti, kamu kemana saja kok lama?" 

"Eh, Emak. Ini lagi ngepel. Jadi beresin dulu alat pel ya. Ada apa, Mak? Emak sehat kan?"

"Alhamdulilah, Emak sehat. Cuma mau memastikan kalau kamu baik-baik saja. Gimana, Nduk. Sehatkan semuanya?"

"Alhamdulilah, Mak. Semuanya sehat."

"Suamimu kemana?" 

"Cari kerja, Mak," jawabku apa adanya karena memang Mas Bambang tengah pergi mencari pekerjaan.

"Kalau begitu, nanti kalau dia sudah pulang. Minta suamimu datang ke rumah Emak. Emak sudah panen. Kamu ambil beras ya? Kan lumayan tidak perlu membeli beras. Uangnya bisa digunakan untuk keperluan lain."

"Alhamdulilah. Iya, Mak. Nanti Ranti sampaikan pada Mas Bambang." 

"Perasaan Emak nggak enak. Kamu nggak papa kan, Ti?"

Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Karena bagaimanapun juga Emak adalah Ibuku. Dia akan tahu juga pada akhirnya. Semakin lama aku menutupi mungkin rasa sakitnya akan semakin dalam. Akankah aku menceritakan semua kepadanya. Atau menyimpan untukku sendiri? Namun aku khawatir akan menambah beban hidupnya.

Ah, hidup memang sulit. Tidak seperti yang aku bayangkan selama ini.

"Ranti, kamu masih disana, Nduk?"

"Masih, Mak."

"Kenapa? Cerita sama Emak!"

"Nanti saja, Mak. Kalau Ranti pulang."

"Ya sudah kalau begitu. Jangan lupa makan dan juga tetap beribadah."

"Iya, Mak." Setelah mengucap salam aku akhirnya menutup teleponnya. Lalu aku  kembali meletakan benda pipih itu diatas meja. Bokong kujatuhkan  pada kursi. Aku menatap langit-langit kontrakan. Dadaku sesak seperti dihimpit batu besar. 

Jika saja aku belum hamil, aku akan mencari pekerjaan untuk membantu Mas Bambang. Namun apalah daya. Harapanku yang ingin segera menimang bayi dikabulkan oleh Allah SWT. Tidak butuh waktu lama. Allah langsung mempercayakan kepada kami seorang anak yang kini aku jaga dalam rahimku. 

Aku mengusap perutku yang bergerak kekanan dan ke kiri. Janin yang ada di dalam kandunganku sangat sehat, terbukti dia bergerak aktif setiap saat.

"Ranti …." Suara melengking yang terdengar di halaman rumah begitu memekakan telinga. Aku pun tergopoh-gopoh berjalan menemuinya. Benar saja, wanita tua itu tidak lain tidak bukan adalah Ibu mertuaku. Seorang janda yang ditinggal mati suaminya tujuh tahun lalu. Romlah namanya.

"Ada apa, Bu?"

"Ada apa, ada apa. Kamu ini gimana sih, ditelepon Toni kenapa nggak diangkat?" Aku mengerutkan alis, sedari tadi baru Panggilan dari Emak yang aku terima. Perasaanku Toni tidak menelpon. Apakah aku yang tidak mendengarnya?

"Ranti nggak denger, Bu. Maklum, Ranti bares-beres rumah."

"Ya sudah kalau begitu, kamu ke rumah sekarang mau ada tamu. Besan Ibu mau datang jadi kamu bantu masak di rumah."

"Iya, tunggu sebentar ya, Bu. Saya kunci rumah dulu!"

"Eh, maksud kamu apa? Mau nebeng?"

"Lha iya, kan Ibu bawa motor. Masak saya jalan kaki. Kan  lumayan jauh Bu."

"Nggak bisa, ibu mau ke warung sekalian. Mau belanja, Ibu nggak bisa bawa kamu, berat." Wanita tua itu menatapku dari ujung kaki ke ujung kepala. Karena selama hamil berat badanku naik drastis. 

"Lha terus aku gimana?"

"Terserah kamu! Mau terbang kek, mau lari kek. Ibu nggak peduli! Yang pasti kamu harus sudah ada di rumah saat Ibu udah pulang."

"Kenapa nggak sekalian sih, Bu?"

"Kamu bud*g ya? Kan Ibu sudah bilang kalau Ibu mau ke warung ditambah badanmu itu yang kek gajah. Mana kuat Ibu boncengan kamu!"

"Astagfirullahaladzim, sabar Bu."

"Sabar … sabar. Nggak usah ngajarin Ibu. Sudah pergi sana! Ibu mau ke warung yang ada di ujung jalan dulu. Mau beli kebutuhan lainnya."

Aku beristighfar berkali-kali dalam hati. Kemudian menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. 

Aku menatap Ibu mertua yang pergi membawa motor matic serupa vespa berwarna crem itu.

"Ya sudah kalau begitu." Aku kembali masuk kedalam rumah. Mengambil handuk berniat membersihkan badan dengan mandi. 

Aku membasahi seluruh tubuh ini dengan air. Begitu menyegarkan, membuat janin yang ada di dalam rahimku menggeliat. Membuatku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Karena memang terasa sedikit nyeri di bagian perut di mana dia kerap kali menendang.

Setelah selesai aku segera membuka tudung saja. Tadi pagi aku sudah menggoreng ikan dan juga membuat sambal bawang. Rasanya aku ingin makan lagi, meskipun ini adalah sarapan yang kedua kali. Entah mengapa semanjak hamil nafsu makanku berlipat-lipat. Mungkin karena ada janin yang kini ikut menikmatinya. Ah, rasanya hamil ini begitu luar biasa nikmatnya bagiku.

Aku menikmati makanan yang ada dihadapanku. Setelah selesai aku membawa piring kotor pada wastafel. Mencuci tangan lalu mengeringkan tangan dengan kain lap.

Ketika aku hendak ke belakang, terdengar ponselku yang terus menjerit ingin segara diangkat. Aku pun dengan tergopoh-gopoh menghampiri benda pipih itu yang tergeletak diatas meja makan. 

Nama Toni tertera di sana. Lingkaran hijau yang terus melompat-lompat segera aku geser ke atas.

"Mbak, disuruh Ibu ke sini sekarang!"

Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Lalu membuangnya perlahan.

Aku harus bisa melawan. Kalau tidak, sampai kapanpun aku akan ditindas dan juga dihina karena uang tidak aku punya. Apalagi berharap Mas Bambang tiba-tiba memiliki pekerjaan dengan gaji besar, mustahil.

"Nanti kalau Mas Bambang pulang!"

"Lho … mau kesini jam berapa? Ibu kan sudah bilang kalau kamu harus sudah ada dirumah saat ibu pulang. Malah sekarang masih ada di rumah!" Tiba-tiba suara Toni berubah menjadi Ibu mertuaku. Membuatku memutar bola malas dengan ponsel yang menempel pada telinga.

"Tadi Ranti mau bareng nggak boleh!"

"Kamu berat, Ran. ibu nggak kuat."

"Ya sudah kalau begitu, suruh Tini jemput Ranti sekarang, Bu!"

"Halah, manja banget. Minta dijemput!"

"Ya sudah kalau begitu. Nanti Ranti kesana kalau Mas Bambang sudah pulang."

"Heeh. Ton, jemput Mbakmu Ranti di kontrakannya sekarang! Keburu besan datang belum siap makanannya." Terdengar Ibu mertuaku meminta Toni  untuk menjemputku. Meskipun terdengar nada bicaranya tak enak. Namun tidak masalah, toh aku juga tidak bisa melihat wajahnya secara langsung.

Setelah telepon itu dimatikan secara sepihak. Aku segera mengambil jilbab instan dan juga tas untuk menyimpan ponsel dan juga dompet. Mengunci pintu rumah lalu menunggu di kursi teras. 

Disela-sela aku menunggu. Aku habiskan untuk membaca novel kesukaanku. 

Namun mataku membelalak ketika melihat satu status dari seseorang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status