Share

Bab 2

Author: Pena_kinan
last update Last Updated: 2023-04-09 21:23:59

"Nggak papa, kenapa turun?" 

Lelaki itu terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Tidak pernah aku pungkiri lelaki itu masih sama. Dia mengusap keringat yang hendak menetes pada kening. 

"Dek, kamu jual dulu ya cincin kamu?" pinta Mas Bambang.

****

"Tapi, Mas. Ini kan cincin terakhir yang aku punya."

"Iya, aku ngerti. Besok aku ganti, Mas janji."

"Bukan masalah ganti atau tidaknya. Tapi ini kan cincin pernikahan kita. Masak iya harus dijual?"

"Lantas bagaimana kita makan, Dek? Aku sudah tidak punya uang lagi."

"Makanya, kerja dong Mas!"

"Kan kamu tahu sendiri aku juga lagi berusaha, jadi untuk saat ini kita jual cincin ini dulu ya!"

"Ya sudah kalau begitu, Ini!" Aku melepas cincin itu dengan terpaksa. Memberikannya pada Mas Bambang yang sedari tadi menatapku. 

Aku terus saja setia mengikuti kemana laki-laki itu membawaku. 

Tidak butuh waktu lama, Mas Bambang melajukan kendaraannya  hingga tiba di salah satu toko emas tempat dimana aku dan juga Mas Bambang dulu membelinya.

"Surat-suratnya mana, Dek?"

"Surat apaan?" Aku berlagak tidak tahu. Meskipun pada kenyataannya surat yang di maksud Mas Bambang adalah surat cincin itu. Bagaimana bisa kita menjual emas tanpa surat-suratnya bisa-bisa harganya tidak seperti yang diperkirakan. Kan sayang. 

"Surat cincin ini?" Lelaki itu kembali bertanya. Aku mengusap perutku yang sudah besar sembari membuang wajah ke sembarang arah. 

"Nggak tahu."

"Kok nggak tahu sih?" tanya lelaki itu. Rahangnya mulai mengeras saat melihatku yang enggan memberi surat cincin tersebut. Lelaki itu tahu bahwa aku sebenarnya tidak rela melepas cincin pemberiannya. 

Dibawanya aku pada kursi tunggu yang terlihat ada beberapa orang tengah duduk. Lelaki itu menggenggam tanganku lalu menatapku lekat. 

"Mas janji akan mengganti semuanya. Tapi untuk saat ini kita butuh uang. Satu-satunya jalan keluar kita harus menjual cincin ini."

Entah mengapa bulir-bulir air mata itu tumpah juga pada akhirnya. Aku tidak bisa menahan tangis. Meskipun dengan sekuat tenaga aku menahannya.

Dibawanya kepalaku ke dalam dadanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkin lelaki itu saat ini juga marah dengan kondisi dan juga keadaan. 

Kami tidak peduli dengan tatapan banyak orang ke arah kami. Memang kenyataannya kami tengah kesulitan.

Aku mengurai pelukan Mas Bambang. Lalu mengusap jejak air mataku dengan ujung jilbab persegi berwarna ungu.

Tanganku merogoh dompet berwarna merah muda. Warnanya yang sudah mulai pudar itu terlihat usang. Aku mengambil selembar kertas berwarna kuning yang aku lipat hingga kecil. 

"Ini, Mas."

"Terima kasih, Dek. Aku janji nanti kalau sudah dapet kerjaan aku ganti semua."

Aku hanya bisa mengangguk. Karena memang begini kondisiku saat ini, miris.

Aku masih setia menunggu lelaki itu yang tengah menjual cincin satu-satunya yang aku miliki. Kupandangi jari jemari yang masih jelas terlihat bekas cincin melingkar.

Tidak berapa lama lelaki itu sudah datang. Dia memasukan uang kedalam saku celananya lalu mengajakku pergi.

"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bambang selama di perjalanan.

"Kita pulang saja, Mas. Sayang uangnya. Kita lagi nggak punya uang."

"Nggak papa, sekali-kali boleh. Coba tanya sama anak kita. Dia mau makan apa hari ini?"

Aku tersenyum, memang selama hamil aku selalu menahan keinginan karena memang tidak punya uang. Daripada membeli makanan keinginanku sendiri lebih baik aku membelanjakan kebutuhan rumah. Meskipun aku dan Mas Bambang masih mengontrak tentunya.

****

Jam menunjukan angka empat tepat. Aku menggeliat, mengusap perutku yang sudah besar. Lalu tersenyum ke arahnya.

"Alhamdulilah, kita masih diberi nafas untuk hari ingin ya sayang ya. Terima kasih ya, kamu sudah bersabar menemani Ibu sampai saat ini. Ibu udah nggak sabar lagi ketemu kamu. Kamu sehat-sehat ya di sini. Kita ketemu dua bulan lagi." Aku berbicara sendiri. Tidak berapa lama suara adzan berkumandang. Aku segera membangunkan Mas Bambang lalu menuruni ranjang menuju kamar mandi.

Dua rakaat sudah ditunaikan. Aku mencium tangan Mas Bambang dengan takzim. Lalu lelaki itu mencium puncak kepalaku.

"Kamu mau masak apa hari ini?" 

"Mas Bambang mau dimasakin apa?" 

"Hem, kita goreng ikan aja ya? Sama sayur buat kamu gimana?" 

"Ikan? Bukannya mahal ya?"

"Nggak papa sekali-sekali."

Aku tersenyum lalu mengangguk.

Mas Bambang selalu menemaniku jalan pagi. Karena nantinya kami akan mampir sekalian di warung tempat jualan sayur. 

Disaat aku tengah memilih ikan segar. Tiba-tiba suara yang aku kenal terdengar nyaring di telinga.

"Lho … katanya nggak punya duit. Kok belanja ikan?" 

Aku menoleh ke sumber suara. Benar saja wanita tua yang begitu aku kenal itu terlihat mencebik. Lalu memutar bola matanya dengan malas tanpa menatap ke arahku.

Beberapa pembeli lainnya terdengar berbisik. Sedangkan Mas Bambang terlihat menggelengkan kepala. 

"Ibu pelankan suaramu itu, malu dilihat orang," bisik Mas Bambang melihat tingkah ibunya itu.

"Malu kamu bilang, Bambang? Yang malu itu seharusnya kamu dan istri kamu ini. Kemarin bilang mau pinjam uang. Sekarang malah beli ikan. Kamu mau nipu Ibu? Ha?" Suara wanita itu semakin lantang tidak bisa di kontrol. Sedangkan Mas Bambang yang mendengarnya hanya bisa memejamkan mata lalu membukanya kembali.

Aku masih diam. Meskipun dalam hati, gemuruh hebat ingin sekali menjawab ucapan menohok mertuaku itu. Namun sayang, ada janin yang harus aku jaga

 Berkali-kali aku istighfar dalam hati agar janin yang tengah aku kandung tidak terjadi apa-apa. Sesekali aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. 

"Bu …."

"Apa? Kamu mau bilang kalau istrimu itu baik hati dan juga tidak sombong?!"

"Astagfirullahaladzim, ini banyak orang lho Bu. Ibu nggak malu?" Bambang menenangkan Ibunya. Namun entah setan apa yang sudah merasuki wanita tua itu. Pagi-pagi seperti ini dia sudah berada di warung tempat aku berbelanja. Meskipun jarak antara rumah ibu mertua dengan kontrakanku tidak terlalu jauh. Namun jika Ibu pergi ke warung yang sama denganku. Rasanya terlalu jauh jika hanya sekedar ingin membeli sayur.

"Ibu bicara seperti itu justru memperlihatkan sikap Ibu yang sebenarnya. Iya kan Ibu-ibu?" Akhirnya pertahananku jebol juga pada akhirnya.

"Iya, Ibu ini kalau baik tidak akan berbicara seperti itu."

"Sa-saya itu baik kalau menantu saya juga baik. Kalian bisa menilai sendiri kan, gimana saya bersikap? Berarti memang menantu saya yang tidak baik."

"Mbak Wiranti Itu baik kok orangnya sama tetangga.  Masak iya sama Ibu mertua tidak baik?" tanya salah satu warga.

Ibu mertuaku terlihat mencebik. Lalu menatap ke arahku dengan tatapan tidak suka.

"Kamu mau mempermalukan Ibu?" tanya Ibu dengan nada berbisik.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 17

    "Maksud kamu apa, Mbak?" Toni mengalihkan pandangannya pada Ranti. "Iya, kata Ibu. Beliau menggunakan sapi-sapi meninggalkan bapak untuk membiayai kuliahmu. Jadi sekarang buktikan kalau sekolahmu bukan dari keringat Mas Bambang." Dengan santai Ranti berbicara. Entah keberanian dari mana wanita itu dapatkan. Kini Ranti lebih tegas pada Toni."Haduh, baru ambil sapi saja sudah sombong kamu, Mbak. Apalagi kalau sudah punya banyak sapi," sungut Toni tidak terima mendengar pernyataan Ranti."Amin, makasih ya doanya.""Haist …." Toni mendesah pelan. Dia keluar dari aplikasi game online. Dimana dia kalah ketika berbicara dengan Ranti. Bertambah kesal ketika Ranti bukannya marah justru berterima kasih pada Toni. Ya semudah itu adik ipar Ranti tersinggung. Tanpa mengucap salam maupun permisi Toni meninggalkan Ranti. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jarak antara kontrakan Ranti dengan rumah sang mertua tidak terlalu jauh. Kisaran lima belas menit saja jika mengunakan motor.

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 16

    Semenjak Bambang mengambil sapi paksa dari kandang Romlah selama itu wanita tua itu tidak lagi bertandang ke rumah kontrakan Bambang. Bertanya Kabar melalui sambungan telepon pun tidak. Begitu juga dengan laki-laki itu, dia justru sibuk merawat sapinya. Mencarikan rumput dan membersihkan kandang. Ketika Bambang sibuk di kandang. Ranti tengah makan siang dengan lauk sayur bayam di meja makan. Begitu juga dengan Suminah. Mereka duduk berhadapan menyantap makanan sederhana itu. Sedangkan sang putri dia biarkan tidur di kamar dengan ditutupi kerodong bayi."Nduk, kamu sudah sehat kan? Emak mau pulang dulu, emak kan juga harus ngurus ayam di rumah yang sudah dua Minggu di urus sama tetangga. Masa iya, Emak minta tolong terus. Kan sungkan!" ucap Suminah di sela-sela dia mengunyah makanan. Ranti yang mendengarnya pun mengangguk. Dia sudah merasakan jahitan sudah tidak nyeri lagi. Kontrol ke rumah sakit pun sudah tidak perlu, kata dokter jahitan Ranti sudah mengering dengan sempurna. Apa ya

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 15

    "Bambang nekat mengambil sapi milik ibunya. Sekarang ibunya marah-marah!""Astaghfirullah hal adzim," celetuk Ranti spontan begitu juga dengan Suminah. Mereka saling berpandangan. Apa yang ditakutkan terjadi, Bambang nekat dengan keyakinannya."Bagaimana ini, Mak. Ranti tidak mungkin meninggalkan Filzah di rumah.""Emak juga tidak mungkin datang ke sana, Ranti. Emak takut dikira ikut campur.""Kalau begitu kita tunggu saja Bambang di rumah.""Tapi, Mak. Nanti kalau Ibu marah-marah bagaimana? Mas Bambang ngadepin Ibu sendirian, kasihan dia!" Baru saja kedua wanita itu selesai bicara terdengar suara riuh dari luar sana yang terdengar semakin lama semakin mendekat. Ranti dan juga Suminah terus menunggu sebenarnya apa yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, segerombolan orang sudah datang membawa sapi dengan berjalan cepat. Begitu juga dengan Mas Bambang dia terlihat menarik sapi betina itu dengan tali yang dikalungkan di leher."Pegang yang kuat, Pak. Kita masukan sapinya ke kandang sekaran

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 14

    Setelah terungkapnya kebenaran itu. Bambang tidak lagi datang ke rumah orang tuanya. Dia juga tidak lagi mengungkit-ungkit masalah uang. Yang ada kini justru sibuk menyiapkan sebuah kandang hewan di belakang rumah kontrakan. Wiranti yang semula hanya memperhatikan kini membernaikan diri bertanya."Mas, itu buat apa?""Kandang sapi, Dek.""Kandang sapi?" Wiranti membeo. Bersamaan dengan itu Suminah datang menghampiri. Ikut berdiri di samping sang putri menatap Bambang penuh arti."Kamu dapat uang dari mana buat beli sapi?" tanya Wiranti dengan polosnya. Karena yang dia tahu. Tidak mungkin dia meminta sapi pada mertuanya itu, meskipun gelar ibu kandung di sandangnya tidak mungkin wanita itu rela membagi sapi itu pada anaknya. Bambang yang tengah memukul paku menghentikan kegiatannya. Lantas dia mengusap keningnya yang berkeringat. Menatap kedua wanita yang saat ini memperhatikan itu dengan seksama."Mas mau ngambil sapi yang seharusnya milik kita, Ti.""Maksud Mas Bambang apa? Ranti ng

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 13

    Romlah diam, netranya terus bergerak kesana-kemari. Bambang yang mendengar penuturan Bagas baru saja terlihat menatap adik kandungnya itu dengan seksama. Sorot matanya menggambarkan bahwa ia kini tengah menanti suatu penjelasan."Maksud kamu apa, Gas?" pertanyaan Bambang membuat Romlah semakin gelisah. Wanita itu terus membenarkan rambut kemudian menyelipkannya di antara telinga. "Bu, jelaskan kepada Mas Bambang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Agar semuanya jelas dan juga tidak salah paham begini!" Kini giliran Bagas yang meminta wanita itu untuk berterus terang. Bambang yang semula memperhatikan ibunya kini beralih pada Bagas yang duduk tidak jauh dengan Romlah."Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sapi-sapi itu dibeli dengan menggunakan uang Ibu. Titik!" ucap Romlah dengan nada ketus. Wajahnya melengos setelah selesai berucap. Tidak ingin menatap Bambang lebih lama."Bu …." Bagas memohon. Akan tetapi, Romlah seakan tidak peduli. Dia tetap dengan pendiriannya. Berdiri dari tempat di

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 12

    "Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status