Share

Bab 06 Kembali ke Alam Nyata

Ketiganya keluar menampakkan diri satu per satu dari balik  jerami,  tepat di samping rumah Mbah Lasiem. Kemudian, masuk lewat pintu belakang seperti pada saat mereka keluar  untuk berangkat tadi. 

Bapak dan Winarno mengikuti langkah Mbah Lasiem masuk, kemudian duduk bersila menghadap meja. Mbah Lasiem lincah memindahkan sesuatu ke dalam kain putih. Dia mengambilnya dari wadah sesaji yang memang ada di atas meja. Tampak berbagai macam bentuk ada botol-botol kecil berisikan wewangian media yang di perlukan klien.

Mbah Lasiem mengulurkan sesuatu yang dibungkusnya tadi, pada Winarno, tetapi Winarno seperti masih terhipnotis, dia geming membisu dengan pandangan kosong. Hingga satu sikutan Bapak mendarat di lengannya dengan keras! Sontak membuat Winarno tersadar! Dia langsung menerima pemberian Mbah Lasiem. Wajah Winarno terlihat begitu lelah, bibirnya pucat, mungkin dia masih merasakan efek keperkasaannya tadi.

"He he! Hehehehe! Sepertinya, anakmu lelah, San!”

Bapak tersenyum seraya melirik kondisi fisik  Winarno. Rupanya anaknya tidak setangguh dirinya dulu, membuatnya ingin mengejek dan tertawa! Seperti yang dilakukan oleh Mbah Lasiem.

"Berikan dia syarat, Mbah. Biar sedikit bugar," pinta Bapak membuat Mbah Lasiem kembali terkekeh geli.

Suasana terasa mencair tidak setegang saat baru sampai. Sesekali Bapak berbincang hal yang tidak penting. Hingga mengundang tawa khas perempuan tua itu, di sela-sela saat Mbah Lasiem menjelaskan, detail syarat khusus yang harus Winarno lakukan, nantinya.

Mbah Lasiem mengambil satu botol air mineral, yang memang sudah ada berjejer rapi di samping meja ritual. Kemudian, dia  membuka  tutup air mineral berukuran sedang itu, lalu membacakan matra. Selang beberapa menit kemudian, dia meniupkan kodam jopa-japu matra ke dalam botol itu hingga tiga kali.

“Cuh!Cuh!Cuh!”

Terlihat asap hitam masuk ke dalam air mineral, tetapi tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.

"Ini, minumlah. Sisakan sedikit untuk membasuh wajahmu," ucap Mbah Lasiem seraya terkekeh geli.

Bapak kembali menyikut lengan Winarno dengan kasar. Sontak membuat Winarno terperanjat dan langsung menerima uluran tangan Mbah Lasiem. 

"Cepat, minum. Sisakan sedikit untuk membasuh wajahmu,” Bapak memperjelas dengan nada membisik.

Tidak menunggu titah kedua kalinya, Winarno menenggak, seperti yang dipinta.  Setelah itu keajaiban langsung terjadi, dalam sekejap kesadaran Winarno terlihat kembali pulih.

Malam kian larut, Bapak berpamitan setelah semuanya dijelaskan tadi, oleh Mbah Lasiem. Keduanya sudah dipersilahkan untuk pulang, malam itu juga. Suasana di sekitar rumah Mbah Lasiem sangat sepi. Mungkin karena tidak ada satu pun rumah penduduk yang menyalakan lampu, jadi seakan-akan tidak ada rumah lain. Hanya rumah megah Mbah Lasiem yang tampak terang benderang. Padahal siang  tadi begitu ramai, banyak warga berjalan kaki dan  lalu-lalang kendaraan. Mungkin milik warga desa setempat? Atau desa sebelah? Entahlah.

"Bagaimana, Win? Sudah bisa menyetir, kan?" tanya Bapak saat sudah berada dekat mobilnya.

"Hem, bisa." Winarno menjawab singkat seraya mengusap wajahnya, lalu menerima kunci yang diulurkan oleh Bapak.

Mbah Lasiem menghantarkan kepergian kliennya hingga pelataran. Setelah membunyikan klakson, mobil perlahan meninggalkan halaman rumah itu. Mbah Lasiem terkekeh, matanya membulat sempurna menatap mobil kliennya kian jauh meninggalkan gubuk bambu miliknya. Tawanya memekik memecah keheningan malam, hutan belantara. 

Mobil terus melaju, akhirnya sudah melewati batas desa Karang Anyar. Winarno mempercepat laju kendaraan meninggalkan desa itu. Bapak tidak melakukan ritual pamit lagi, di bawah gerbang. Kini mobil sudah memasuki jalanan desa lain dengan deretan rumah penduduk yang menyalakan lampu. Leher Winarno terasa begitu kaku, karena sejak tadi tidak bisa menoleh, apalagi menengok ke belakang pun, bicara.

Masih lumayan jauh perjalanan menuju rumah. Mungkin mereka akan tiba saat hari sudah mulai terang. Sepanjang perjalanan Bapak tampak tertidur. Hingga akhirnya Bapak terjaga saat menyadari bahwa sudah tampak semburat jingga penghantar pagi.

"Win, nanti di Desa Wonosari  berhenti sejenak." Bapak memberikan titah.

"Iya--- di pasar kriek, Pak?"

"Iya---"

Desa Wonosari tinggal beberapa kilometer lagi. Akhirnya sampai juga mereka di pasar kriek(tradisional) yang dimaksud. Winarno memperlambat laju kendaraan, kemudian memarkirkan mobilnya dibahu jalan. Winarno turun, dia mendekati seorang pria yang berdagang buah pisang. 

"Monggo, matang di pohon, Mas. Tidak usah khawatir. Monggo dibeli untuk penglaris."  

Pedagang pisang itu begitu antusias  mempromosikan dagangannya, saat melihat Winarno kian mendekatinya.

"Dengan Kang siapa, ini?" tanya Winarno ramah.

"Karto, Mas. Sepertinya kok, sampean ini bukan orang sini, ya?"

"Iya--- saya dalam perjalanan, Kang." Winarno menjawab sekenanya. Seraya memilah beberapa sisir pisang kluthuk. Dengan tingkat kematangan sesuai. 

Pria setengah baya, mengenakan kaus lengan panjang dengan setelan trining biru  itu antusias, sumringah tersirat sepagi itu sudah mendapatkan calon  pembeli dengan dandanan modis.

"Berapa harganya, Kang?" 

"Lima ribu saja, satu sisirnya. Biasanya sih, saya jual tujuh ribuan, Mas."

"Wah, terima kasih. Aku dikasih murah, dapat diskon, ini." Winarno menggoda.

"Iya--- gak apa-apa, biar gangsar jualan saya."

Winarno memilah empat sisir pisang, dengan cekatan Kang Karto mengaitkan tali di antara celah pisang. Kemudian, menerima uang lima puluh ribu, dari  Winarno. 

“Mas! Kembaliannya!” panggil Kang Karyo.

Namun, Win geming hingga kembali Kang Karyo mengulang. 

“Ambil saja, Kang! Anggap saja sedekah dariku!” Winarno menoleh saat menjawab.

“Alhamdulillah, Gusti! Kok, ada orang sebaik itu!”

Setelah itu terlihat Kang Karyo mengibaskan uang ke atas pisang-pisang  dagangannya berulang seraya berkata, "Laris! Laris!" Dengan lantang.

Winarno tergesa meningalkan tempat itu dan masuk ke dalam mobil, kemudian perlahan meninggalkan pasar tradisional. Bapak terus saja melihat ke arah kaca belakang, mengamati Kang Karto, si pedagang pisang tadi, tampak begitu senangnya mendapatkan rezeki nomplok.

"Alhamdulillah, Gusti!" jerit Kang Karyo seraya merapikan gulungan uang kertas, warna merah.

Kang Karyo barusan memungut uang dari tanah tepat di samping dagangan. Sangking senangnya sampai-sampai dia menempelkan uang itu tepat di jidatnya. Kang Karyo girang bukan kepalang.

Bapak terbahak seraya menepuk pundak Winarno. "Tidak lupa dengan nama orang tadi, Win---?”

Bersambung ....

Sulawesi Senin, 07Maret 2022

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jenar Moksa
keren banget ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status