Share

Bab 07 Ambisi

Bab 07  Ambisi

Winarno meluaskan senyum sempurna, dia terlihat begitu berambisi kini. "Gak, Pak. Karyo namanya."

Bapak mangut-mangut seraya memainkan janggutnya yang panjang menjuntai lancip, mirip janggut kambing saja sekilas dilihat.

Sementara itu Kang Karyo mengemasi dagangannya yang tersisa karena hari sudah beranjak  siang. Pasar tradisional pun sudah sepi pengunjung. Terlihat Kang Karyo sangat bahagia walau gurat lelah tersirat jelas, hasilnya hari ini lumayan banyak ditambah lagi dengan rezeki nomplok tadi. 

Kang Karyo menghentikan motor di sebuah kedai bakso terlihat begitu ramai. Aroma kaldu  kuahnya membuat perut yang keroncongan memberontak menjerit!

 "Mas, baksonya satu mangkuk!" pinta Kang Karyo pada seorang pelayan yang melintasinya, seraya menjatuhkan pantat di kursi. Dia duduk di antara ramainya pengunjung lainnya.

Setelah selesai makan, Kang Karyo segera membayar menggunakan lembaran uang merah. Kemudian, Kang Karyo kembali melanjutkan perjalanan pulang di desa sebelah rumahnya, perutnya terasa penuh membuat semangat pulih.

******

Mobil melaju kencang, kini sudah memasuki jalur bebas hambatan, Kota Surabaya. Sebentar lagi  mereka akan sampai rumah.

Winarno membunyikan klakson berulang. Seorang perempuan mengenakan kupluk rajutan benang wol  hitam, dengan setelan daster batik tampak tergopoh keluar. Kemudian  dengan cekatan mendorong pintu gerbang pagar. Mobil keluaran terbaru milik Haji Karsan langsung  masuk  dan parkir dalam garasi.  

"Langsung tutup saja, Bu. Gembok sekalian!" Bapak memberikan titah sesat setelah keluar dari dalam mobil.

 Ibu buru-buru menutup kembali pintu gerbang, melaksanakan titah Bapak. Ketiganya langsung masuk ke rumah.

Bapak langsung berbincang dengan Ibu di ruang keluarga dengan mimik wajah serius. Sementara Winarno langsung melengos ke dalam kamar.

Setelah cukup lama dalam kamar, Winarno keluar dengan handuk yang tersampir di bahunya. Kemudian, dia langsung bergegas menuju kamar mandi yang letaknya di area dapur. 

Selang beberapa saat kemudian, terlihat Winarno berjalan keluar. Hanya mengenakan handuk kuning, melilit separuh area vitalnya. Dada bidangnya dibiarkan telanjang memamerkan deretan bulu halus nun menggoda hasrat. Namun, seketika langkahnya terhenti. "Win, Kamu jangan pulang dulu!" tegur Bapak saat Winarno melintas.

"Iya, jika itu titah, Bapak." Kemudian, Winarno melenggang masuk ke dalam kamar seraya mengibas rambut basahnya, ke depan dan belakang berulang kali menggunakan kedua tangan.

Saat sedang mengenakan pakaian di depan cermin. Winarno terperanjat! 

"Aduh, Gusti!" jeritnya, Winarno tadi melihat sosok hitam tinggi besar tepat di belakangnya, sekelebat tertangkap pantulan cermin. Namun, saat Winarno  menoleh tidak tampak apa pun, membuat jantungnya serasa nyaris lepas dari tempatnya!

"Hufff, sialan! Kirain nyata tadi!"  Winarno merutuk. sambil memegangi dada.

Malam kian larut, Bapak sudah berada dalam kamar khusus yang terletak di lantai dua. Tidak sembarang kolega bisa  berada di area itu. Hanya  Haji Karsan dan istrinya  saja yang bisa menjejakkan kaki. Selama berpuluh tahun lamanya aturan itu berlaku.

Tirai jendela putih melayang terbang  dipermainkan angin. Bapak duduk bersila di lantai kamar tersebut, ditemani remang cahaya lilin membuat penglihatan sangat terbatas, hanya samar.

Karpet hijau itu sudah ter gelar sejak lama. Tampak deretan sesaji sudah ada di atasnya. Beraneka rupa ada  buah pisang, apel, kopi dan bunga tiga rupa dalam satu canang diletakkan di atas ancak kecil. Satu yang paling mencolok perhatian, ingkung ayam cemani hitam polos di atas ancak(wadah yang terbuat dari bahan bambu kombinasi pelepah pisang) berukuran jumbo, lengkap dengan nasi kuning dan nasi ketan hitam, berada dalam satu ancak.

Bapak komat-kamit, sesaat kemudian dia menyalakan dupa dan menyelipkannya di atas ancak, wadah aneka sesaji yang berisikan  buah. Tidak lama setelahnya Bapak memberi sujud hormat, menangkup tangan depan dada sejajar dagu seraya berjalan mundur dengan posisi jongkok. Sesaat lalu bangkit dan berdiri, saat sudah berada di  luar. Bapak  langsung menutup rapat-rapat pintu dan segera meninggalkan tempat itu di lantai dua.

Malam kian larut, sekelebat bayangan hitam masuk menembus dinding celah jendela kaca, setelah Bapak meninggalkan lantai dua tadi. Asap hitam itu samar terlihat menyerupai bentuk tubuh manusia, tapi berbentuk  halimun, perlahan benar-benar menyerupai manusia, tetapi berkali lipat tinggi besar ukuran tubuhnya.

Dari cahaya temaram lilin, bayangan tubuh itu begitu jelas terlihat. Tangannya terlihat sedang mengangkat ingkung ayam cemani, lalu melahapnya dengan rakus. Suara onomatope kecapannya menggema di langit kamar, dengan penerangan kian minim. Setelah itu, kemudian lanjut buah-buahan di masukannya semua dalam mulut dengan begitu rakusnya, hingga tidak tersisa.

*******

"Rah, Dek. Rah ....” Winarno berbisik.

"Lho, Mas, Kok?" Rahayu melirik kedua anaknya  yang tidur dengan pulasnya meringkuk di balik selimut. Mungkin karena hujan rintik-rintik membuat hawanya terasa begitu dingin. Membuat nyaman tidur dalam buai mimpi.

"Hussszzzt." Satu telunjuk Winarno  menempel di bibir tipis milik istrinya. Membuat Rahayu seketika membisu, patuh.

"Jangan di sini, Mas." Suara Rahayu membisik seraya merangkul leher kekar Winarno dengan mata mengerling menahan kantuk.

Winarno membopong tubuh Rahayu, sangat romantis,  masuk ke dalam kamar, tepat peraduan mereka saat beradu kasih seperti biasanya. Selama ditinggal pergi, Rahayu memilih tidur bersama anaknya.

Mata Rahayu begitu dikuasai kantuk yang teramat sangat, berulang dia mencoba membuka mata, tetapi tidak kuasa. Dengan rakusnya Winarno menikmati keindahan tubuh istrinya, perpisahan yang hanya beberapa hari sudah  membuat libido seksnya meledak-ledak hingga ubun-ubun. Deru nafasnya memburu meredam nafsu yang teramat.

Rahayu membiarkan tubuhnya dipermainkan sesuka hati oleh suaminya. Antara sadar dan tidak Rahayu mulai menikmati, seraya menahan kantuk kian  teramat sangat. Kebuasan  Winarno membuat Rahayu  menggelinjang, mendesah lirih walau dalam pengaruh kantuk. 

Hingga akhirnya pujian lirih keluar dari bibir tipis Rahayu dengan mata yang masih enggan terbuka. "Mas, ini serius dirimu? Liar banget sih, tapi aku suka. Rasanya seperti saat kita malam pertama, dulu.” Jemari Rahayu mengusap lembut punggung Winarno yang dipenuhi bulu halus nun rapi. Membuat Winarno menyeringai.

Winarno tidak menjawab, sejak tadi dia lebih suka menunjukkan aksi dalam diam. Cekatan Winarno mengenakan pakaian kembali, satu per satu, setelah puas menyalurkan hasrat birahinya. 

Sementara Rahayu sudah kembali tertidur dengan pulasnya, terbuai dalam mimpi semula, masih dengan kondisi  berantakan, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh indahnya.

Kokok ayam jago bersahutan, melenyapkan kantuk di mata Rahayu. Wanita berparas ayu itu terjaga, tetapi  dia kaget bukan kepalang! Karena dirinya sudah berpindah tempat tidur! Rahayu tampak celingak-celinguk saat menyadari. Cekatan dia langsung menarik selimut guna menutupi tubuh polosnya.

'Lho, kok. Mimpiku semalam nyata.' Rahayu membatin. Cekatan dia  mengenakan pakaian.

Kemudian, secepatnya dia bangkit. Langsung berjalan menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Rahayu segera mandi besar. Akan tetapi, dalam hatinya masih saja  bertanya-tanya. ‘Kenapa mimpiku menjadi nyata?’

Jantung Rahayu berdesir hebat saat jemarinya membersihkan area sensitif miliknya, jantungnya serasa bermanuver. 

'Lah, kok, kenapa bisa  ada beneran? Cairan kentalnya?' Batin Rahayu mengganjal. Namun, dia coba menghempas pikiran yang aneh-aneh.

Bab 07  Ambisi

Winarno meluaskan senyum sempurna, dia terlihat begitu berambisi kini. "Gak, Pak. Karyo namanya."

Bapak mangut-mangut seraya memainkan janggutnya yang panjang menjuntai lancip, mirip janggut kambing saja sekilas dilihat.

Sementara itu Kang Karyo mengemasi dagangannya yang tersisa karena hari sudah beranjak  siang. Pasar tradisional pun sudah sepi pengunjung. Terlihat Kang Karyo sangat bahagia walau gurat lelah tersirat jelas, hasilnya hari ini lumayan banyak ditambah lagi dengan rezeki nomplok tadi. 

Kang Karyo menghentikan motor di sebuah kedai bakso terlihat begitu ramai. Aroma kaldu  kuahnya membuat perut yang keroncongan memberontak menjerit!

 "Mas, baksonya satu mangkuk!" pinta Kang Karyo pada seorang pelayan yang melintasinya, seraya menjatuhkan pantat di kursi. Dia duduk di antara ramainya pengunjung lainnya.

Setelah selesai makan, Kang Karyo segera membayar menggunakan lembaran uang merah. Kemudian, Kang Karyo kembali melanjutkan perjalanan pulang di desa sebelah rumahnya, perutnya terasa penuh membuat semangat pulih.

******

Mobil melaju kencang, kini sudah memasuki jalur bebas hambatan, Kota Surabaya. Sebentar lagi  mereka akan sampai rumah.

Winarno membunyikan klakson berulang. Seorang perempuan mengenakan kupluk rajutan benang wol  hitam, dengan setelan daster batik tampak tergopoh keluar. Kemudian  dengan cekatan mendorong pintu gerbang pagar. Mobil keluaran terbaru milik Haji Karsan langsung  masuk  dan parkir dalam garasi.  

"Langsung tutup saja, Bu. Gembok sekalian!" Bapak memberikan titah sesat setelah keluar dari dalam mobil.

 Ibu buru-buru menutup kembali pintu gerbang, melaksanakan titah Bapak. Ketiganya langsung masuk ke rumah.

Bapak langsung berbincang dengan Ibu di ruang keluarga dengan mimik wajah serius. Sementara Winarno langsung melengos ke dalam kamar.

Setelah cukup lama dalam kamar, Winarno keluar dengan handuk yang tersampir di bahunya. Kemudian, dia langsung bergegas menuju kamar mandi yang letaknya di area dapur. 

Selang beberapa saat kemudian, terlihat Winarno berjalan keluar. Hanya mengenakan handuk kuning, melilit separuh area vitalnya. Dada bidangnya dibiarkan telanjang memamerkan deretan bulu halus nun menggoda hasrat. Namun, seketika langkahnya terhenti. "Win, Kamu jangan pulang dulu!" tegur Bapak saat Winarno melintas.

"Iya, jika itu titah, Bapak." Kemudian, Winarno melenggang masuk ke dalam kamar seraya mengibas rambut basahnya, ke depan dan belakang berulang kali menggunakan kedua tangan.

Saat sedang mengenakan pakaian di depan cermin. Winarno terperanjat! 

"Aduh, Gusti!" jeritnya, Winarno tadi melihat sosok hitam tinggi besar tepat di belakangnya, sekelebat tertangkap pantulan cermin. Namun, saat Winarno  menoleh tidak tampak apa pun, membuat jantungnya serasa nyaris lepas dari tempatnya!

"Hufff, sialan! Kirain nyata tadi!"  Winarno merutuk. sambil memegangi dada.

Malam kian larut, Bapak sudah berada dalam kamar khusus yang terletak di lantai dua. Tidak sembarang kolega bisa  berada di area itu. Hanya  Haji Karsan dan istrinya  saja yang bisa menjejakkan kaki. Selama berpuluh tahun lamanya aturan itu berlaku.

Tirai jendela putih melayang terbang  dipermainkan angin. Bapak duduk bersila di lantai kamar tersebut, ditemani remang cahaya lilin membuat penglihatan sangat terbatas, hanya samar.

Karpet hijau itu sudah ter gelar sejak lama. Tampak deretan sesaji sudah ada di atasnya. Beraneka rupa ada  buah pisang, apel, kopi dan bunga tiga rupa dalam satu canang diletakkan di atas ancak kecil. Satu yang paling mencolok perhatian, ingkung ayam cemani hitam polos di atas ancak(wadah yang terbuat dari bahan bambu kombinasi pelepah pisang) berukuran jumbo, lengkap dengan nasi kuning dan nasi ketan hitam, berada dalam satu ancak.

Bapak komat-kamit, sesaat kemudian dia menyalakan dupa dan menyelipkannya di atas ancak, wadah aneka sesaji yang berisikan  buah. Tidak lama setelahnya Bapak memberi sujud hormat, menangkup tangan depan dada sejajar dagu seraya berjalan mundur dengan posisi jongkok. Sesaat lalu bangkit dan berdiri, saat sudah berada di  luar. Bapak  langsung menutup rapat-rapat pintu dan segera meninggalkan tempat itu di lantai dua.

Malam kian larut, sekelebat bayangan hitam masuk menembus dinding celah jendela kaca, setelah Bapak meninggalkan lantai dua tadi. Asap hitam itu samar terlihat menyerupai bentuk tubuh manusia, tapi berbentuk  halimun, perlahan benar-benar menyerupai manusia, tetapi berkali lipat tinggi besar ukuran tubuhnya.

Dari cahaya temaram lilin, bayangan tubuh itu begitu jelas terlihat. Tangannya terlihat sedang mengangkat ingkung ayam cemani, lalu melahapnya dengan rakus. Suara onomatope kecapannya menggema di langit kamar, dengan penerangan kian minim. Setelah itu, kemudian lanjut buah-buahan di masukannya semua dalam mulut dengan begitu rakusnya, hingga tidak tersisa.

*******

"Rah, Dek. Rah ....” Winarno berbisik.

"Lho, Mas, Kok?" Rahayu melirik kedua anaknya  yang tidur dengan pulasnya meringkuk di balik selimut. Mungkin karena hujan rintik-rintik membuat hawanya terasa begitu dingin. Membuat nyaman tidur dalam buai mimpi.

"Hussszzzt." Satu telunjuk Winarno  menempel di bibir tipis milik istrinya. Membuat Rahayu seketika membisu, patuh.

"Jangan di sini, Mas." Suara Rahayu membisik seraya merangkul leher kekar Winarno dengan mata mengerling menahan kantuk.

Winarno membopong tubuh Rahayu, sangat romantis,  masuk ke dalam kamar, tepat peraduan mereka saat beradu kasih seperti biasanya. Selama ditinggal pergi, Rahayu memilih tidur bersama anaknya.

Mata Rahayu begitu dikuasai kantuk yang teramat sangat, berulang dia mencoba membuka mata, tetapi tidak kuasa. Dengan rakusnya Winarno menikmati keindahan tubuh istrinya, perpisahan yang hanya beberapa hari sudah  membuat libido seksnya meledak-ledak hingga ubun-ubun. Deru nafasnya memburu meredam nafsu yang teramat.

Rahayu membiarkan tubuhnya dipermainkan sesuka hati oleh suaminya. Antara sadar dan tidak Rahayu mulai menikmati, seraya menahan kantuk kian  teramat sangat. Kebuasan  Winarno membuat Rahayu  menggelinjang, mendesah lirih walau dalam pengaruh kantuk. 

Hingga akhirnya pujian lirih keluar dari bibir tipis Rahayu dengan mata yang masih enggan terbuka. "Mas, ini serius dirimu? Liar banget sih, tapi aku suka. Rasanya seperti saat kita malam pertama, dulu.” Jemari Rahayu mengusap lembut punggung Winarno yang dipenuhi bulu halus nun rapi. Membuat Winarno menyeringai.

Winarno tidak menjawab, sejak tadi dia lebih suka menunjukkan aksi dalam diam. Cekatan Winarno mengenakan pakaian kembali, satu per satu, setelah puas menyalurkan hasrat birahinya. 

Sementara Rahayu sudah kembali tertidur dengan pulasnya, terbuai dalam mimpi semula, masih dengan kondisi  berantakan, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh indahnya.

Kokok ayam jago bersahutan, melenyapkan kantuk di mata Rahayu. Wanita berparas ayu itu terjaga, tetapi  dia kaget bukan kepalang! Karena dirinya sudah berpindah tempat tidur! Rahayu tampak celingak-celinguk saat menyadari. Cekatan dia langsung menarik selimut guna menutupi tubuh polosnya.

'Lho, kok. Mimpiku semalam nyata.' Rahayu membatin. Cekatan dia  mengenakan pakaian.

Kemudian, secepatnya dia bangkit. Langsung berjalan menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Rahayu segera mandi besar. Akan tetapi, dalam hatinya masih saja  bertanya-tanya. ‘Kenapa mimpiku menjadi nyata?’

Jantung Rahayu berdesir hebat saat jemarinya membersihkan area sensitif miliknya, jantungnya serasa bermanuver. 

'Lah, kok, kenapa bisa  ada beneran? Cairan kentalnya?' Batin Rahayu mengganjal. Namun, dia coba menghempas pikiran yang aneh-aneh.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jenar Moksa
keren banget ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status