Share

CHAPTER 5

       Sore telah menghiasi langit. Beberapa teman Lisa telah pulang, termasuk Sarita. Lisa masih menyiapkan berkas-berkas yang akan diserahterimakan saat hand phone miliknya berbunyi. 

       “Lisa, apa kabar?” Suara berat Rio menyapa. 

       “Hai, Rio. I am good, trims.”

       “Akhirnya dijawab juga teleponku setelah lama kamu cuekin aku.” Ujar Rio, lalu, “Apa sekarang aku tak bisa lagi mengajak kamu untuk sekedar makan malam?”

       “Aku sedang banyak pekerjaan. Bisa jadi pulang larut malam ini.”

       “Aku akan merindukan kerja bareng kita.”

       “Maksud kamu?”

       “Kapan kamu akan pindah divisi?”

Bahkan Rio sudah mengetahui sebelum 24 jam.

       “Kok tahu?”

Rio tertawa kecil. 

       “Hal-hal yang berkaitan dengan kamu pasti akan cepat kuketahui.”

       Lisa memicingkan mata. Tak mungkin Sarita memberitahu Rio karena dialah yang pertama kali mengingatkannya tentang Rio dan tak menyukai hubungan mereka. Tapi untuk saat ini, Lisa tak ingin memikirkan lebih jauh. Hal tersebut pun menjadi tidak penting lagi.

       “Aku pergi dulu, Rio. Masih banyak yang kukerjakan.”

       “Jadi kita tak bisa bersama malam ini? Makan malam perpisahan?”

       Lisa tertawa, “Aku masih di sini, hanya beda divisi.”

       “Lisa, jawablah teleponku. Aku suka sekali jika kita masih bisa ngobrol bareng.”

Lisa tersenyum kecil.

       “Trims telah meneleponku. See you.”

       Lisa menghela nafas sesaat setelah telepon ditutup. Bergegas, gadis itu membereskan berkas pekerjaannya lalu pulang. Saat keluar gedung, langit telah gelap, lampu jalanan menghiasi malam. Lisa berjalan pelan menuju halte busway. Gadis itu telah terbiasa dengan situasi pekerjaannya dan tak merasa khawatir jika harus pulang terlambat. Jalanan sekitar gedung tempatnya  bekerja ramai oleh orang-orang yang juga sepertinya, bekerja hingga di luar jam kantor. Banyak pula mereka sengaja pulang terlambat karena menghindari kemacetan, atau menghindari peraturan ganjil genap. Pun sepanjang jalan banyak pedagang makanan berjualan. 

       Dalam bus, Lisa berdiri di bagian tengah. Meski sudah malam, penumpang busway masih penuh. Untungnya jalanan tidak macet sehingga Lisa memperkirakan waktu yang ditempuh kurang lebih 45 menit. Gadis itu melihat sekelilingnya. Kebanyakan penumpang asyik dengan gadget masing-masing. Lisa masih ingat kata-kata Bapak; nikmati sekeliling kita, meskipun di dalam kendaraan. Dan Lisa menyukai kenikmatan memandang keluar jendela. Mungkin matanya lelah berkutat dengan komputer dan berkas pekerjaan. 

       Bus berhenti di salah satu halte. Beberapa penumpang keluar dan masuk, menyebabkan ia harus menggeser agak ke dalam. Sesaat Lisa melihat wajah seseorang yang telah dihafalnya. Lisa memastikan jika orang itu benar seperti yang ia duga. Ia pun menoleh, dan di sanalah dia, tengah memandang Lisa. The bastard berwajah dingin tanpa ekspresi. Lelaki itu juga menggunakan bus dengan jurusan yang sama. Jangan-jangan selama ini mereka sering satu bus. Huft. Ya, ampun. Apa yang ia lihat dari aku?, pikir gadis itu. Wajahnya terlihat lelah, mungkin juga make up yang dikenakannya telah luntur. Ah, mestinya tadi dia pakai masker seperti Sarita. Jika pulang bareng, Sarita tak lupa dengan masker berikut cairan pembersih tangan. Menurutnya, jika memakai masker, kita tak terlihat apakah bermake up, lelah, kesal, bahkan jika kita sedih. Jadi tujuan utamanya bukan karena kesehatan, tapi karena tampilan. Hahahah! What a bummer. Tapi ada benarnya juga, sih. Sekarang akhirnya Lisa merasa insecure hanya karena memikirkan tampilan. 

       Bus memasuki terminal. Lisa bersiap-siap turun bersama penumpang lain. Bergegas gadis itu keluar terminal, menuju ojek online yang telah menunggu. Ia lupakan lelaki yang akhir-akhir ini menarik perhatian. Lelah menderanya.

                            ***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status