Share

CHAPTER 5

Author: Ri
last update Last Updated: 2021-06-21 11:27:51

       Sore telah menghiasi langit. Beberapa teman Lisa telah pulang, termasuk Sarita. Lisa masih menyiapkan berkas-berkas yang akan diserahterimakan saat hand phone miliknya berbunyi. 

       “Lisa, apa kabar?” Suara berat Rio menyapa. 

       “Hai, Rio. I am good, trims.”

       “Akhirnya dijawab juga teleponku setelah lama kamu cuekin aku.” Ujar Rio, lalu, “Apa sekarang aku tak bisa lagi mengajak kamu untuk sekedar makan malam?”

       “Aku sedang banyak pekerjaan. Bisa jadi pulang larut malam ini.”

       “Aku akan merindukan kerja bareng kita.”

       “Maksud kamu?”

       “Kapan kamu akan pindah divisi?”

Bahkan Rio sudah mengetahui sebelum 24 jam.

       “Kok tahu?”

Rio tertawa kecil. 

       “Hal-hal yang berkaitan dengan kamu pasti akan cepat kuketahui.”

       Lisa memicingkan mata. Tak mungkin Sarita memberitahu Rio karena dialah yang pertama kali mengingatkannya tentang Rio dan tak menyukai hubungan mereka. Tapi untuk saat ini, Lisa tak ingin memikirkan lebih jauh. Hal tersebut pun menjadi tidak penting lagi.

       “Aku pergi dulu, Rio. Masih banyak yang kukerjakan.”

       “Jadi kita tak bisa bersama malam ini? Makan malam perpisahan?”

       Lisa tertawa, “Aku masih di sini, hanya beda divisi.”

       “Lisa, jawablah teleponku. Aku suka sekali jika kita masih bisa ngobrol bareng.”

Lisa tersenyum kecil.

       “Trims telah meneleponku. See you.”

       Lisa menghela nafas sesaat setelah telepon ditutup. Bergegas, gadis itu membereskan berkas pekerjaannya lalu pulang. Saat keluar gedung, langit telah gelap, lampu jalanan menghiasi malam. Lisa berjalan pelan menuju halte busway. Gadis itu telah terbiasa dengan situasi pekerjaannya dan tak merasa khawatir jika harus pulang terlambat. Jalanan sekitar gedung tempatnya  bekerja ramai oleh orang-orang yang juga sepertinya, bekerja hingga di luar jam kantor. Banyak pula mereka sengaja pulang terlambat karena menghindari kemacetan, atau menghindari peraturan ganjil genap. Pun sepanjang jalan banyak pedagang makanan berjualan. 

       Dalam bus, Lisa berdiri di bagian tengah. Meski sudah malam, penumpang busway masih penuh. Untungnya jalanan tidak macet sehingga Lisa memperkirakan waktu yang ditempuh kurang lebih 45 menit. Gadis itu melihat sekelilingnya. Kebanyakan penumpang asyik dengan gadget masing-masing. Lisa masih ingat kata-kata Bapak; nikmati sekeliling kita, meskipun di dalam kendaraan. Dan Lisa menyukai kenikmatan memandang keluar jendela. Mungkin matanya lelah berkutat dengan komputer dan berkas pekerjaan. 

       Bus berhenti di salah satu halte. Beberapa penumpang keluar dan masuk, menyebabkan ia harus menggeser agak ke dalam. Sesaat Lisa melihat wajah seseorang yang telah dihafalnya. Lisa memastikan jika orang itu benar seperti yang ia duga. Ia pun menoleh, dan di sanalah dia, tengah memandang Lisa. The bastard berwajah dingin tanpa ekspresi. Lelaki itu juga menggunakan bus dengan jurusan yang sama. Jangan-jangan selama ini mereka sering satu bus. Huft. Ya, ampun. Apa yang ia lihat dari aku?, pikir gadis itu. Wajahnya terlihat lelah, mungkin juga make up yang dikenakannya telah luntur. Ah, mestinya tadi dia pakai masker seperti Sarita. Jika pulang bareng, Sarita tak lupa dengan masker berikut cairan pembersih tangan. Menurutnya, jika memakai masker, kita tak terlihat apakah bermake up, lelah, kesal, bahkan jika kita sedih. Jadi tujuan utamanya bukan karena kesehatan, tapi karena tampilan. Hahahah! What a bummer. Tapi ada benarnya juga, sih. Sekarang akhirnya Lisa merasa insecure hanya karena memikirkan tampilan. 

       Bus memasuki terminal. Lisa bersiap-siap turun bersama penumpang lain. Bergegas gadis itu keluar terminal, menuju ojek online yang telah menunggu. Ia lupakan lelaki yang akhir-akhir ini menarik perhatian. Lelah menderanya.

                            ***

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 41

    Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 40

    Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 39

    Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 38

    Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 37

    Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 36

    Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 35

    Sayup-sayup lagu You mengalun di dalam kafe. Didit menggenggam tangan Lisa, melewati kursi-kursi yang telah penuh oleh pengunjung, berjalan ke arah meja barista menuju pintu yang didesain seperti tembok. Begitu masuk, yang pertama kali terlihat adalah ruang kantor dengan luas sekitar tiga kali tiga meter berjendela kaca hingga ruangan tersebut bisa terlihat dari luar. Di sisi kanan, Lisa melihat dapur yang kelihatannya kecil tapi memiliki peralatan masak lengkap. Paling pojok terdapat meja makan untuk dua orang. Seorang barista sedang memasak sesuatu. Sepertinya disinilah mereka bisa beristirahat dan memasak makanan sendiri. Begitu melihat Didit, ia tersenyum dan menyapa. Didit membalas dengan menepuk pundaknya, lalu berjalan menuju lemari pendingin. "Kita akan masak apa, Lisa?" Tanya Didit seraya membuka lemari pendingin, melihat-lihat sebentar, lalu pandangannya beralih ke arah Lisa. "Ehm, n

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 34

    'Hei, Lisa. Aku merindukanmu.'Lisa tercenung menatap pesan dari Rio. Perlukah dirinya membalas pesan itu? Apa yang akan ia katakan? Hei, Rio. Aku tak merindukanmu. Atau, Hei, Rio. Jangan hubungi aku lagi. Oh. Ia takkan menulis itu. Rio tetaplah lelaki yang pernah menghiasi relung hati dan selalu ada pada awal ia bekerja di perusahaan sekarang, sering memberi tahu cara kerja mereka dan tak bisa ia lupa betapa hangat sikap lelaki itu. Ia masih tetap baik di mata Lisa. "Lisa, kamu sudah siap?" Suara Didit terdengar dari balik pintu kamar. Sore telah menjamah waktu tanpa terasa, dan mereka berencana akan ke Three Times Coffee. Pada sabtu malam, kafe itu ramai oleh pengunjung, karena gedung perkantoran tempat Three Times Coffee bersebelahan dengan mal. Lisa membuka pintu. Di luar, lelaki itu telah menunggu. Ia tersenyum melihat pakaian Lisa yang begit

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 33

    Seketika otak Lisa membeku, tak bisa berpikir apapun kecuali satu kata spontan yang telah keluar dari mulutnya sejenak setelah mendengar apa yang barusan dikatakan Didit. Antara percaya dan tidak, beberapa detik semua kata menghilang. Didit mengangguk, lalu, "Aku sudah bertemu bapak dan ibu kamu sebelum kencan kita yang kedua. Saat kuutarakan maksudku, ibumu menangis dan bertanya, apakah kamu hamil. Ibumu sangat mudah panik dan menangis dan menelepon kakak lelaki kamu, Mas Setya. Aku jelaskan bahwa kamu baik-baik saja, tak ada yang hamil dan tak terjadi apa-apa di antara kita." Lisa mengangkat tangannya sebagai tanda agar Didit berhenti bicara. "Kamu ke rumah orang tuaku? Are you insane?" "Tidak. Aku memikirkan semuanya, Lisa." Lisa bangkit dari duduk, berdiri gelisah sambil memegang

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status