Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik.
Lisa mengangguk.
"Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut.
"Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini."
Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin.
"Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag
Dear readers, Jangan lupa like dan vote. Keep falling in love, ya. Much heart, Ri.
Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan
Selamat pagi. Itu saja. Tak ada pesan apapun lagi. Lisa cuma membacanya, tanpa membalas. Kali ini ia tak lagi main-main. Rio sudah banyak mengecewakannya, dan ini sudah tak bisa ia terima. Bergegas gadis itu keluar kamar. Ojek online sudah menunggu untuk mengantarkannya ke terminal busway. Semoga tidak terlambat masuk kantor, harapnya. Tadi malam Lisa ada janji dengan Sarita. Teman kantornya itu mendapat tiket gratis nonton film di sebuah mal untuk dua orang. Mereka terlalu asyik menikmati suasana malam hingga lupa jika malam merenggut waktu istirahat. Dan pagi ini, hampir saja ia terlambat bangun jika Uni Ami, teman kos sebelah kamarnya, tidak menggedor-gedor pintu disebabkan ingin meminjam pencatok rambut milik Lisa. Telepon berdering dua kali dari orang yang sama. Sudah waktunya gadis itu meninggalkan harapan yang tak pernah terjadi dan tak perlu melayani permintaan di luar kebutuhan kerja. Lisa mengh
Rutinitas pagi yang sama. Lisa menekuri setiap pergerakan orang-orang di sekitar peron terminal. Duduk di pojok sambil memegang buku dan pensil berpenghapus di ujungnya. Wanita setengah baya yang sering terlihat berjalan sambil bicara lewat hand phone itu terlihat mondar mandir, tentu dengan ear phone di telinganya. Entah apa yang ia bicarakan hingga beberapa kali melewati bus yang menjadi tujuan tumpangannya. Dan seorang Bapak, dengan koran di tangan kiri. Sering memberikan senyum ramah pada Lisa. Bapak ini sepertinya pensiunan sebuah instansi, namun hampir setiap hari menggunakan bus. Wajahnya bersih, membawa tas kulit lusuh dan koran yang baru dibeli di pojokan peron. Baju batik yang rapih licin disetrika dan sepatu yang tak mengilat. Lisa pun sering memperhatikan seorang gadis yang usianya mungkin beberapa tahun lebih tua darinya. Memakai setelan jas dan rok selutut dengan sepatu high heel setinggi tiga senti menurut perkiraan Lisa. Wajahnya bermake up
Sepagi ini Lisa telah tiba di peron terminal. Tadi malam, Sarita banyak bercerita tentang isu pergantian beberapa staf pemegang brand. Dalam isu tersebut, nama Lisa termasuk yang akan memegang brand terbaru. Itu artinya kinerjanya mendapat hasil yang baik, dan diberi kepercayaan menangani produk yang pertama kali akan dijual di Indonesia. Isu itu membuatnya sulit tidur. Awalnya ia hanya mendengar bahwa perusahaannya akan menjual beberapa brand baru, namun kabar tentang staf yang akan memegang produk baru tersebut tak pernah ia dengar sebelumnya. “Kalau isu itu benar, kita akan berpisah. Jangan lupakan aku, ya.” Lisa tertawa. “Itu baru isu. Aku belum dipanggil oleh Bu Tari.” “Semoga benar, Lis.” Dan pagi ini, Lisa duduk di pojokan peron, memerhatikan or
Sarita yang menyambut Lisa pertama kali saat gadis itu tiba di kantor. Ia mengajaknya ke toilet bersama. ”Dandan yang cetar, Lis. Siap-siap bertemu Bu Tari.” Ujar Sarita sambil mengeluarkan blush on dari dalam tas make up miliknya. Senyumnya mengembang. “Apa udah ada kepastian?” “Dandan aja dulu. Masalah pasti atau tidaknya itu belakangan.” Lisa memandang refleksi dirinya di cermin. Ia jadi teringat gadis modis pelanggan bus way. Sangat percaya diri. Sedang Lisa hanya mengerti dasar make up. Dan sekarang, Sarita telah berada di depannya, mengeluarkan alat make up yang bahkan belum terpikirkan oleh Lisa untuk dibeli. Kegiatan dandan ini memakan waktu kurang lebih lima belas menit. Sarita memandang hasi
Sore telah menghiasi langit. Beberapa teman Lisa telah pulang, termasuk Sarita. Lisa masih menyiapkan berkas-berkas yang akan diserahterimakan saat hand phone miliknya berbunyi. “Lisa, apa kabar?” Suara berat Rio menyapa. “Hai, Rio. I am good, trims.” “Akhirnya dijawab juga teleponku setelah lama kamu cuekin aku.” Ujar Rio, lalu, “Apa sekarang aku tak bisa lagi mengajak kamu untuk sekedar makan malam?” “Aku sedang banyak pekerjaan. Bisa jadi pulang larut malam ini.” “Aku akan merindukan kerja bareng kita.” “Maksud kamu?” “Kapan kamu akan pindah divisi?”Bahkan Rio sudah mengetahui sebelum 24 jam. “Kok tahu?”Rio tertawa kecil. “Hal-hal yang berkaitan de
Buku tulis tebal dengan hard cover sebagian sudah penuh oleh tulisan iseng Lisa saat menunggu bus datang. Kadang jika tak ada inspirasi menulis, ia hanya membaca hasil tulisan tangannya. Kebanyakan tulisannya diambil dari pengamatan saat menunggu bus. Ternyata banyak inspirasi yang mudah dilihat dalam rutinitas sehari-hari yang bisa ditulis. Sering ia tersenyum sendiri melihat hasil tulisannya karena teringat bagaimana tingkah manusia sangat aneh dan lucu. Dan bisa jadi ia juga aneh, senyum-senyum saat membaca tulisannya sendiri. Tapi hari ini cukup aneh. Beberapa orang tersenyum padanya termasuk seorang perempuan yang pernah menjadi bahan tulisannya. Mungkin karena mereka adalah sesama penumpang bus yang rutin menunggu pada jam yang sama. Lisa membalas senyum mereka. Ada yang salah dengannya, hingga di satu titik, Lisa merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak dan mukanya memerah. Saat m
Entah bagaimana ia muncul dan menyeringai ke arah Lisa. Dan, entah bagaimana gadis itu merasakan kesenangan sekaligus rasa malu. “Simpan rasa malu kamu.” Suara beratnya berbisik.Bagaimana ia… “Muka kamu memerah. Tanda kamu ingat kejadian kemarin saat melihatku.”Lisa melirik ke arah kakinya. “Bagaimana kabar kamu hari ini?” Ia bertanya. “Tebak.” “Senang?” “Apa tandanya?” “Wajahnya kamu memerah jambu, senyum kecil dan menghindar kontak mata denganku. Tandanya kamu senang saat kamu tahu orang yang kamu cari sudah ada di sini.” Ia kembali menyeringai. Lelaki itu, seperti kemarin-kemarin, tak berg