Buku tulis tebal dengan hard cover sebagian sudah penuh oleh tulisan iseng Lisa saat menunggu bus datang. Kadang jika tak ada inspirasi menulis, ia hanya membaca hasil tulisan tangannya. Kebanyakan tulisannya diambil dari pengamatan saat menunggu bus. Ternyata banyak inspirasi yang mudah dilihat dalam rutinitas sehari-hari yang bisa ditulis. Sering ia tersenyum sendiri melihat hasil tulisannya karena teringat bagaimana tingkah manusia sangat aneh dan lucu. Dan bisa jadi ia juga aneh, senyum-senyum saat membaca tulisannya sendiri.
Tapi hari ini cukup aneh. Beberapa orang tersenyum padanya termasuk seorang perempuan yang pernah menjadi bahan tulisannya. Mungkin karena mereka adalah sesama penumpang bus yang rutin menunggu pada jam yang sama. Lisa membalas senyum mereka. Ada yang salah dengannya, hingga di satu titik, Lisa merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak dan mukanya memerah. Saat menunduk sambil menggoyangkan kaki, tak disadari ia memakai sepatu yang berbeda. Sebelah kanan sepatu warna hitam bintik putih, sebelah kiri warna pink. Pantas saja! Entah bagaimana Lisa menyembunyikan rasa malu. Wajahnya memerah. Ingin Lisa pulang dan mengganti sepatu tapi pasti akan terlambat masuk kerja. Ia melirik ke arah sekitar. Tak ada yang melihatnya, kecuali that bastard!
Lelaki itu, seperti biasa, memasang muka minim senyum, bahkan tak ada keceriaan sama sekali. Demikian juga saat ini, ia mendekati Lisa tanpa ekspresi sambil menyodorkan kantong plastik. “Aku bawakan sandal jepit buat kamu. Ukuran sembilan. Ganti sepatu kamu dengan ini.” Hah… Tanpa pikir panjang, Lisa mengambil tas plastik dari tangan lelaki itu lalu mengganti sepatunya dengan sandal. Ukurannya pas. Dengan muka merah, Lisa memandang lelaki itu. “Terima kasih.” “Apa yang kamu pikirkan sampai salah pakai sepatu?” Lisa menggeleng, ”Hanya bad mood.” Lelaki itu tersenyum tipis. Lisa melihatnya tersenyum dua kali. Pertama saat lelaki itu membaca sesuatu di hand phone miliknya, kedua pada saat ini. Lisa membalas dengan tersenyum. Bukan apa-apa, karena membalas senyumnya adalah kesopanan dan penghargaan untuknya yang telah memberikan pengganti sepatu. “Sekali lagi, terima kasih. Kok bisa tahu ukuran kakiku?” “Menebak saja.” Pembicaraan terputus setelah mendengar petugas Trans Jakarta berteriak menginfokan rute bus. Lisa pun berdiri, bersiap masuk bus. “Aku pergi dulu. Terima kasih, ya.” Bastard –ehm- lelaki itu, hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. Ia memandang Lisa hingga masuk ke dalam bus. ***Entah bagaimana ia muncul dan menyeringai ke arah Lisa. Dan, entah bagaimana gadis itu merasakan kesenangan sekaligus rasa malu. “Simpan rasa malu kamu.” Suara beratnya berbisik.Bagaimana ia… “Muka kamu memerah. Tanda kamu ingat kejadian kemarin saat melihatku.”Lisa melirik ke arah kakinya. “Bagaimana kabar kamu hari ini?” Ia bertanya. “Tebak.” “Senang?” “Apa tandanya?” “Wajahnya kamu memerah jambu, senyum kecil dan menghindar kontak mata denganku. Tandanya kamu senang saat kamu tahu orang yang kamu cari sudah ada di sini.” Ia kembali menyeringai. Lelaki itu, seperti kemarin-kemarin, tak berg
Di ujung senja, Lisa masih berkutat dengan pekerjaannya. Ia merasa akan terlambat dengan janji bertemu, atau sama sekali tidak datang. Dan lucunya, mereka berdua tak ingat bertukar nomor. Lisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Mungkin besok mereka akan bertemu di tempat yang sama, dan Lisa bisa jadi akan melihat wajah sebal Didit. Menjelang malam, messenger berbunyi. "Hei Lisa, ini Didit. Jangan lupa dengan janji kita.' Pesan disertai emo senyum. Huft, dia mencariku juga di media sosial. 'Hei. Aku masih sibuk di kantor.' Dan enter. Lalu ia melanjutkan pekerjaannya. Tak lama balasan masuk. 'Baiklah.'Hanya itu? Baiklah. Lalu apa lagi setelahnya? Huft. Ada sedikit kecewa karena Didit tak bertanya lebih jauh. Berbeda dengan Rio. A
Lisa mematut diri di depan cermin. Hari Senin sangatlah sibuk di kantor. Seperti biasa, awal pekan banyak laporan yang harus ia kerjakan. Sejak pertemuannya dengan Didit seminggu lalu, mereka hanya berhubungan lewat chat. Lisa menolak jika Didit ingin menghubungi lewat video call. Nanti saja, saat bertemu pasti akan melihat langsung, begitu alasannya. Namun sejak Didit hadir, Lisa menjadi terbiasa memberi kabar pada saat malam sebelum tidur dan pagi sebelum berangkat ke kantor. Saat makan siang, Lisa lebih sering mengirim gambar menu makanannya. Hah! Sangat biasa pada orang-orang yang sedang menjajaki suatu hubungan. Sedang Didit lebih sering mengirim video kegiatannya. Ah…jadi begini rasanya sebuah rindu, pikir Lisa. Dulu, saat bersama Rio, Lisa tak pernah merasa rindunya terbalas. Hubungan mereka hanya sebatas kebutuhan lelaki itu belaka. Rio butuh Lisa karena pekerjaannya yang sangat memerlukan jasa perusahaa
Lisa bergegas keluar kamar. Pagi ini Ia akan berangkat bersama Sarita yang rutenya searah dengan letak rumah kos gadis itu. Lisa menunggu di depan jalan rumah. Hanya menunggu sekitar lima menit, mobil milik Sarita tiba. Gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. “Hei, Lisa. Aku lupa beritahu kamu. Tiga hari lalu Rio meneleponku. Ia kesulitan menghubungi kamu. Katanya ada pemesanan barang yang mandeg. Aku bilang itu bukan pekerjaan Lisa lagi.”Lisa tersenyum. “Ignore him, Ta. Itu cuma alasannya saja.”Sarita mengerti. Ia yang paling tahu kisah Lisa dengan Rio. Dari awal, Sarita melihat Rio bukanlah lelaki yang tepat bagi Lisa, tapi ia tak bisa menahan perasaan temannya. “Untunglah kamu dipindahkan menangani brand baru jadi tak lagi berurusan dangan bastard itu.”Lisa menoleh ke arah Sarita l
'Lisa, bagaimana kabar kamu? Kamu suka buket yang kukirim?''Lisa? Kok nggak ada balasan? Aku telepon kamu juga tak mengangkat?' Lisa menghela nafas. Entah, bagaimana ia akan membalas pesan-pesan Rio. Haruskah ia bertanya tujuannya mengirimkan buket bunga, hanya untuk membuatnya kecewa. Bahkan dirinya tak lagi mengharap kehadiran Rio. Dipandanginya buket tersebut. Rio sebenarnya lelaki baik, sangat perhatian dan yang menarik adalah, lelaki itu mampu membuat hati Lisa menunggu penuh harapan meskipun kenyataannya ia hanya bisa berharap. Gadis itumenggelengkan kepala. Kartu ucapan yang tadi dipegang kemudian dikembalikan ke tempat semula dan meletakkan buket tersebut di bawah meja kerja. Ia akan membuangnya nanti saat pulang. Pandangan Lisa beralih pada makan siangnya. Seporsi mi kangkung ditata dan ia mulai mengambil foto, lalu dikirim ke Didit berikut caption ‘Untuk kamu. Maafkan aku.’Ia tak meng
Langit sedikit teduh seiring jatuhnya matahari ke barat. Lisa masih sibuk di depan komputer kala telepon berbunyi. “Halo.” “Hey, Lisa. Sudah jam lima, bersiaplah. Pekerjaan masih bisa menunggu besok.” Suara Sarita terdengar di seberang telepon. “Aye-aye, Captain.”Sarita tertawa kecil. “Kutunggu di lobi bawah jam setengah enam lewat lima. Jangan lebih dan jangan kurang, oke?” “Oke, Sis.” Telepon ditutup. Waktu begitu cepat jika kita begitu fokus pada apa yang dikerjakan. Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Namun seperti kata Sarita, masih ada hari esok. Jangan sampai menjadi tua karena memikirkan pekerjaan, begitu Sarita pernah berkata. Pukul setengah enam lewat, Lisa sudah berada di lobi bersama Sarita dan dua orang rekan kerja
Hampir Lisa tersedak cheese cake demi mendengar perkataan Didit. Oh, mengapa ia tak menyadarinya? Mengapa ia tak berpikir ke arah sana? Yang Lisa pikirkan adalah pastilah pemilik Three Times Coffee sangat mengenal Didit. Pantas saja kita bisa makan nasi goreng waktu itu, ucap Lisa dalam hati. Ia menepuk-nepuk jidatnya sendiri. Feel silly. Tiba-tiba Lisa teringat sesuatu. Ia bangkit dan berjalan menuju rak buku. Dengan menaiki kursi, ia mengambil bundle kumpulan majalah anak-anak lalu kembali duduk di tempat semula. “Jadi, ini pasti memiliki cerita.” Lisa memperlihatkan bundle majalah di depan layar hand phone. Melihat itu, Didit tertawa ringan. “Ya. Itu kenangan masa kecil yang indah. Kamu akan tahu ceritanya setelah aku kembali.” “Gambar depannya bagus, aku menyukainya. Kamu yang menggambar?” &nbs
"Selamat pagi, Nona Lisa. Aku senang dengan balasan chat kamu tadi malam.” “Selamat pagi, Kapten. Tadi malam sangat menyenangkan.” “Good to know. Sekarang, kamu simak video ini.” Didit mengalihkan layar hand phone ke arah laptop miliknya. Sebuah video music dengan lagu berirama riang. “Nona Lisa? Aku pernah mendengarnya. Siapa deh, yang nyanyi?” “Yap, Nona Lisa dari Chrisye. Keren, kan? Nanti kamu akanmendengarnya saat menuju kantor, karena Pak Sapri sedang dalam perjalanan menjemput kamu dan akan tiba sekitar lima belas menit.” “Apa? Didit, aku tak bisa.” “Ayolah, Lisa. Pasti tadi malam melelahkan, bukan? Kamu bisa istirahat selama empat puluh lima menit dalam mobil tanpa khawatir tertinggal bus atau terlambat.”Ya, memang tadi malam cukup melelahkan, pulang larut d