Pertemuan Lisa dengan Didit begitu tidak biasa, jauh dari kesan mewah dan berkelas. Hubungan keduanya pun penuh dinamika. Lisa, seorang gadis yang sering kecewa dalam hubungan, bertemu dengan Didit, lelaki yang terlihat sembrono dalam penampilan, ternyata menyimpan latar kehidupan yang juga penuh dengan kecewa dan penyesalan.
View MoreSelamat pagi.
Itu saja. Tak ada pesan apapun lagi. Lisa cuma membacanya, tanpa membalas. Kali ini ia tak lagi main-main. Rio sudah banyak mengecewakannya, dan ini sudah tak bisa ia terima. Bergegas gadis itu keluar kamar. Ojek online sudah menunggu untuk mengantarkannya ke terminal busway. Semoga tidak terlambat masuk kantor, harapnya. Tadi malam Lisa ada janji dengan Sarita. Teman kantornya itu mendapat tiket gratis nonton film di sebuah mal untuk dua orang. Mereka terlalu asyik menikmati suasana malam hingga lupa jika malam merenggut waktu istirahat. Dan pagi ini, hampir saja ia terlambat bangun jika Uni Ami, teman kos sebelah kamarnya, tidak menggedor-gedor pintu disebabkan ingin meminjam pencatok rambut milik Lisa. Telepon berdering dua kali dari orang yang sama. Sudah waktunya gadis itu meninggalkan harapan yang tak pernah terjadi dan tak perlu melayani permintaan di luar kebutuhan kerja. Lisa menghela nafas dan menolak panggilan telepon lalu mematikan benda itu. Bergegas ia memakai helm dan naik ke jok belakang motor, menuju terminal busway. Deru kendaraan saling berpacu menuju tujuannya masing-masing, demikian pula motor yang ditumpangi Lisa. Tapi tak seperti hidupnya. Sering ia merasa jika tujuannya sekarang hanyalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Di usianya yang menginjak 25 tahun, tak satupun dari hubungannya yang serius. Mereka hanya mendekati kemudian seperti Rio, hanya untuk kepentingan sendiri. Tak ada yang menginginkan keseriusan dan melanjutkan hubungan ke depan, hingga akhirnya Lisa tak lagi menginginkan sebuah hubungan. Tujuannya saat ini adalah bekerja sebaik mungkin. Ia hanyalah seseorang diantara sekian banyak perantau yang ingin mengalahkan ibu kota. Bertahan agar tidak tersingkir dan pulang ke rumah diiringi kebanggaan orang tua. Motor berhenti persis di depan jalan masuk menuju terminal. Bergegas Lisa mengeluarkan kartu lalu masuk. Menunggu sambil duduk di kursi, gadis itu mengeluarkan buku tulis tebal hard cover dari dalam tas. Sebenarnya ia sedang rindu dengan keluarganya di Magelang. Ia rindu nasi lesah dan tempe mendoan buatan ibu, ngeteh sore bersama bapak di teras samping rumah sambil mengawasi tiga keponakannya bermain dan mendengarkan celotehan lucu mereka. Keponakan Lisa yang pertama bernama Alif, baru masuk sekolah dan sedang rajin belajar menulis dan membaca. Lebaran tahun kemarin adalah terakhir Lisa mengunjungi mereka. Saat akan kembali ke Jakarta, Alif menulis pesan di buku tulis Lisa; 'Tante Lisa, selamat memasak'. Begitu pesan Alif. Di belakang tulisan, ada resep buntil daun talas a la ibu. Lisa memandang ke depan. Bus tujuannya telah tiba. Bergegas Lisa bangkit, berjalan cepat agar tidak tertinggal. Dengan sabar ia mengikuti orang-orang yang sedang mengantri masuk. Di belakangnya, perempuan setengah baya sedang berbicara lewat telepon genggam. Ia hanya mengucap 'aaha, iya, lalu' berulang-ulang. Hampir Lisa memasuki badan bus, tiba-tiba seorang lelaki menyeruak keluar. Ia tak memperhatikan sosok tersebut namun sempat terdengar lelaki itu mengucap kata maaf. "Salah naik", kata petugas. Tubuhnya lumayan tambun hingga tubuh kecil Lisa dipaksa menggeser mengakibatkannya jauh dari antrian. Lisa menghela nafas kesal. Bus telah penuh dan ia harus menunggu bus berikutnya.Gadis itu melirik jam di tangan. Pukul delapan. Sepertinya ia tak akan sampai kantor tepat waktu. Bergegas Lisa berjalan keluar terminal, memesan ojek online. Tangannya sigap memencet tuts hand phone sambil berjalan cepat menuju pintu keluar, namun jalannya melambat saat petugas pintu bicara dengan seorang lelaki. “Enggak bisa merokok di dalam peron, Mas. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.”Lisa melihat, batang rokok itu masih baru dinyalakan. Wah, pasti dia orang baru di dunia perbuswayan. Lelaki jangkung itu mengangguk, bersiap mematikan rokok. Namun sempat-sempatnya ia melirik ke arah Lisa yang sudah keluar pintu. Alih-alih mematikan rokok, ia malah mengucapkan terima kasih kepada petugas. Lisa menggelengkan kepala. Aneh. Kembali gadis itu memperhatikan hand phonenya. Ojek online sudah tiba di depan pintu masuk terminal. Dengan langkah cepat Lisa menuju pengemudi. Sempat Lisa menoleh ke belakang. Lelaki itu juga berjalan keluar terminal sambil berbicara lewat hand phone miliknya. Jarak mereka agak berjauhan, namun Lisa bisa melihat wajah jernih lelaki itu, meski rambutnya sedikit berantakan. Rambutnya yang ikal sedikit menjulur di jidat. "Kak Lisa?" Sebuah suara memanggil namanya. Lisa mengangguk. Dengan sigap Lisa memakai helm dan duduk di sebelah pengemudi motor. "Siap Kak?" "Iya." Motor ojek online yang dinaiki Lisa meluncur menembus jalan menuju kantor tempat gadis itu bekerja. ***Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan
Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag
Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit
Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam
Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs
Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments