Share

Keputusan pergi

"A-apa maksudmu, Ndri?

Ibu mertua dan Mas Bagus tertegun, mungkin tak menyangka aku akan seberani ini mengatakan hal itu. Mas Bagus tergagap, tapi tidak dengan Ibu mertua.

"Heh, kamu kira kamu ini siapa? Rumah ini sudah dibayar suamiku untuk 5 tahun, dan baru berjalan 2 tahun. Jangan sok berkuasa di rumah ini!" hardiknya dengan menunjuk wajahku.

Kupejampkan mata ini, menarik nafas besar menghadapi mertua ajaib satu ini. 

"Oke baiklah, kalau begitu biar saya saja yang keluar dari rumah ini. Saya kembalikan anak Ibu tanpa kurang satu apapun." tegasku menatap Ibu mertua lalu beralih pada suamiku.

"Hanya, setelah ini. Kembalikan aku dengan cara baik-baik seperti dulu kamu memintaku juga dengan cara baik-baik. Biarpun aku orang miskin, tapi aku masih punya orang tua lengkap. Dulu, kamu yang datang pada Bapak memintaku jadi istrimu, sekarang jika sudah tak menginginkan aku lagi maka kembalikan aku pada Bapakku dengan cara yang baik pula." tegasku tanpa ragu. Sudah, cukup sudah selama ini aku bertahan dengan lelaki model begini. Lelaki yang selalu bersembunyi di ketiak Ibunya.

"Ndri-" 

Aku bergegas berbalik, masuk ke kamarku perlahan. Tidak, jangan lagi menangis Indri! Kuat, kamu harus kuat. Masih kudengar di luar sana Mas Bagus berdebat dengan Ibunya, tapi aku tak peduli apa yang tengah mereka perdebatkan. Fokusku hanya satu, segera berkemas dan pergi dari neraka ini.

Segera aku keluarkan tas besar milikku karena tidak memiliki koper. Lalu dengan cepat aku kemasi semua bajuku yang tak terlalu banyak itu ke dalam tas. Rupanya, Mas Bagus menyusulku ke kamar setelah berdebat dengan Ibunya. Kamar yang menjadi saksi perjuangan kami untuk mendapatkan keturunan selama lebih dari 2 tahun lamanya, tapi sekarang sudah tidak ada artinya lagi.

"Ndri, bukan begini yang aku mau. Dengarkan aku, Indri!" ucapnya dengan mencekal tanganku yang tengah memasukkan baju-bajuku.

"Pelankan suaramu, Mas! Aku tak mau tidur anakku terganggu dengan suaramu!" tegasku melirik Zaki yang masih pulas tertidur.

"Ndri-"

"Patuhlah pada perintah Ibumu! Bukankah surgamu ada padanya? Maka biarkan aku hidup dengan putraku, tak perlu menahanku pergi!" tandasku enggan menoleh.

"Ndri, bukan perpisahan yang aku mau. Tolonglah, jangan seperti ini." rengeknya lagi.

"Apa lagi, Mas. Semua sudah jelas, bukan?" sergahku malas menanggapinya lagi. Segera aku lanjutkan berkemas.

"Indri! Jangan kekanak-kanakan! Aku hanya mau kita seperti dulu. Damai, rukun dan bahagia!" pintanya dengan memelas.

"Itu hanya dalam hayalanmu saja, Mas!"

"Kamu kenapa egois sekali sih? Aku capek!" aku menoleh, tersenyum kecut untuk ucapannya barusan.

"Aku egois? Ya, aku akui itu. Kamu sadar atau tidak sih? Jika saja kamu tidak selalu mengadu pada Ibumu semua tak akan seperti ini." tegasku.

"Jangan selalu bawa-bawa Ibuku dalam masalah kita!"

"Bukan aku yang bawa Ibumu, Mas! Kamu sendiri yang selalu mengadu padanya. Lalu, Ibumu akan datang untuk melabrakku. Kamu Mikir, Mas. Apa pantas seorang laki-laki yang sudah berumah tangga selalu mengadu pada Ibunya?"

"Aku tidak mengadu, tapi aku meminta pendapat Ibuku. Itu wajar karena dia Ibuku, aku lebih dulu punya mereka timbang kamu."

"Wajar katamu? Kalau begitu kembalilah pada Ibumu, tak usah menahanku!" 

"Indri-"

"Apa? Kamu masih belum sadar juga? Dulu kita bahagia karena apa? Karena tidak ada campur tangan Ibumu dalam rumah tangga kita. Dulu, walau kau beri aku uang 300 ribu yang hanya cukup untuk bayar kosan, tapi kita bahagia. Karena tidak ada suara sumbang Ibumu yang terus memojokkan aku. Aku tak pernah protes saat separuh uangmu kamu berikan pada Ibumu, karena uangku masih cukup untuk makan kita. Sejak kedatangan Ibu dan kakakmu, semua berubah. Kamu mulai bertingkah, Mas. Kamu lupa diri. Kamu lupa jika masih makan dengan hasil keringatku." 

"Jangan sombong kamu! Memangnya berapa uangmu yang sudah kumakan? Ya wajarlah, kita suami istri. Uangmu ya, uangku. Jadi, jangan diungkit-ungkit lagi. Dan aku tidak suka kamu selalu mengungkit-ungkit semua itu."

"Mikir, Mas. Aku ini istri, harusnya kamu yang nafkahi aku bukan aku yang harus nafkahi kamu!"

"Kita ini suami istri saling membantu dan saling melengkapi apa salahnya?"

"Cukup, Mas! Aku sudah tidak sanggup lagi menafkahimu. Lebih baik, kembali saja pada Ibumu! Kamu dikit-dikit Ibumu, apa-apa Ibumu! Aku capek, Mas!"

"Apa salahnya menuruti kata-kata Ibu, sih? Toh, semua untuk kebaikan kita." 

"Bukan kebaikan kita, tapi kebaikan kamu saja!" sergahku cepat, nafasnya memburu, matanya memerah. Aku tahu dia semakin marah dengan bantahanku.

Perdebatan kami semakin memanas, tapi kulihat Zaki masih anteng dan tak terganggu. 

"Indri! Apa kamu tidak kasihan pada Zaki?" suaranya mulai melemah, aku menoleh seketika tawaku meledak mendengar ucapannya.

"Apa, Mas? Zaki? Ngelindur kamu? Apa mabok genjer?" aku tertawa dengan hati yang terluka.

"Sejak kapan kamu menganggap Zaki ada di hidupmu? Bahkan sejak dia lahir tak sekalipun aku lihat kamu menyapanya, mengajaknya bicara, mengajaknya bermain seperti yang kamu lakukan pada Sheril. Apalagi sampai menggunakan uangmu untuk membeli kebutuhannya seperti yang kamu berikan pada Sheril. Dan aku sangat yakin, bahkan kamu saja tidak ingat kapan dia dilahirkan, kan?" tandasku dengan suara parau, sakit sekali hati ini setiap mengingat perlakuan suamiku terhadap anak kandungnya sendiri.

Begitulah seorang ibu, dia akan tegar walau hatinya disakiti sedemikian rupa tetapi jika menyangkut soal anak, dia akan pasang badan di garda terdepan untuk melindunginya.

"Jawab?" tekanku semakin sakit di hati ini. Dia diam, tetapi nafasnya memburu. 

"Ndri, aku-"

"Kenapa? Kamu lebih percaya bualan Ibumu, kan?" sahutku mencoba tetap tenang walau gemuruh emosi sudah hampir meledak di dalam dadaku.

"Kamu-"

"Ya, aku sudah dengar ini sejak lama. Di luar sana Ibumu berkoar-koar jika Zaki bukan anak kamu, kan? Di luar sana, Ibumu memfitnahku selingkuh, kan?" ucapku menatap wajahnya yang diliputi kebimbangan. 5 tahun hidup bersama sedikit banyak aku sudah bisa membaca ekspresi wajahnya ketika berbicara.

"Katakan sejujurnya, Ndri. Zaki anak siapa?" tanyanya pelan namun menohok. Aku geleng-geleng kepala dibuatnya. Pertanyaan bodoh yang membuatku semakin membenci laki-laki ini.

Aku berdiri, dia pun ikut berdiri di hadapanku. Kutatap lekat kedua matanya. Ku ulas sebuah senyum untuk membuktikan bahwa aku masih kuat.

"Dengar Bagus Dwi Putra, Danindra Alzaki Maulana adalah anakku! Anak dari seorang Ibu bernama Indri Kartika Sari. Hanya anakku, bukan yang lain. Percayalah pada Ibumu. Sejak dalam kandungan, Zaki sudah tidak punya Ayah. Jadi, tidak usah peduli pada kami lagi." tegasku dengan mata mulai berkabut. Kuseret tubuh lelaki itu keluar dari kamar ini lalu kututup pintunya dan kukunci dari dalam. 

Tak kuhiraukan lagi panggilannya, seiring pintu tertutup luruh sudah segala ketegaran yang aku bangun. Air mata mengalir tanpa dikomando, kenapa sesakit ini, ya Allah!

Allah. .Allah. .

Isakku kian terdengar, sakit sekali mengingat putraku ditolak oleh ayah kandungnya sendiri. Mataku tak lepas dari raga montok yang tengah terbaring lelap itu. Perlahan, tubuh itu menggeliat lalu tengkurap dengan cepat. Segera kuhampiri dia, kupeluk dan kuciumi wajahnya.

"Ibu janji akan merawatmu dengan baik, Nak. Ibu janji akan jadi Ibu sekaligus Ayah yang hebat untukmu." janjiku tak hanya padanya tapi juga pada diriku sendiri.

Cukup sudah aku meratap, yang harus aku pikirkan sekarang adalah ke mana aku harus pergi? Seketika ingatanku tertuju pada Retno, anak pemilik kosan tempatku kos dulu. Segera aku raih hp yang sedang aku carge, lalu menghubungi Retno dengan segera.

"Halo, Ndri! Tumben telepon, ada apa?" tanyanya segera setelah tersambung.

"Halo, Ret. Aku mau minta tolong bisa tidak?"

"Minta tolong apa? Pinjem duit? Maaf kalau soal satu itu, aku juga lagi enggak ada. Tanggal tua ini!" kelakarnya terbahak, memang seperti itulah dia, ceplas-ceplos tapi anaknya baik.

"Bukan soal uang, tapi aku mau tanya kamar kamu masih ada yang kosong tidak?" 

"Eh, maksudnya gimana?"

Lantas kuceritakan sekilas permasalahanku yang harus segera menemukan tempat tinggal. Akhirnya, dia bersedia membantu karena memang masih ada kamar kosong di kosannya. Segera kupesan grab untuk mengantarku ke sana. Sembari menunggu mobil datang, aku kembali berkemas. 

Semua baju sudah terkemas ke dalam 2 tas besar. Satu milikku dan satu lagi milik Zaki. Lantas aku keluar dari kamar, sudah tak kutemukan lagi suamiku di rumah. Ah, sudah pasti dia tengah mengadu pada Ibunya lagi, ke mana lagi dia jika tak ke sana?

Aku bergegas mengemas semua barang yang dibeli dengan uangku, semua akan aku bawa sekalian. Termasuk perabotan rumah tangga juga tak luput aku bawa. Baju-baju kotor yang sudah terendam dan sejatinya akan aku cuci tadi tak luput juga aku bawa, aku masukkan ke dalam plastik dan ember panjang tapi milik suamiku aku tinggalkan.

Semua barang telah terkemas, menjadi 2 tas besar berisi pakaian, 2 kardus besar dan 3 kardus kecil. Sebuah mobil avanza hitam memasuki halaman seiring dengan aku mengeluarkan kardus terakhir. Pak supir segera membantuku menaikkan barang-barang ini.

"Loh, Ind, mau pindahan?" kejut Mbak Yanti, tetangga samping kanan rumahku yang cukup  dekat denganku.

"Iya, Mbak. Maaf kalau selama menjadi tetangga aku banyak salah dan sering merepotkan Mbak Yanti" ucapku tulus. Biar bagaimanapun tetangga di sini baik padaku. Tak pernah menjulidiku dan bahkan mereka sering membantuku menjaga Zaki saat aku kerepotan.

"Ya Allah. .kenapa mendadak begini? Mana Bagus? Zaki?" cecarnya, lalu tanpa disuruh Mbak Yanti melenggang masuk ke dalam rumahku. Segera meraih Zaki yang tengah melantai. Menciumi pipi gembul putraku itu.

"Ya Allah, Le. Kenapa pindah? Mana Budhe lagi gak pegang uang." ucapnya sembari terus menciumi putraku dengan air mata yang sudah mengalir di kedua pipinya. Ya, sesayang itu orang lain terhadap putraku, tapi kenapa Ayah kandungnya sendiri tidak?

Mataku kembali merebak, tak kuasa melihat pemandangan mengharukan di depan mata.

"Ndri, kamu mau pindah ke mana? Bukannya masa kontrak rumah ini masih 3 tahun lagi?" cecar Mbak Yanti sesenggukan.

Belum sempat aku menjawab, masuk lagi dua orang tetangga belakang dan samping kanan rumah.

"Mbak Indri mau pindahan, to?" tanya Ismi.

"Iya, is. Maafkan segala kesalahanku selama menjadi tetanggamu ya, Is. Mbak Nurul, juga. Maaf kalau selama ini aku banyak ngerepotin kalian." ungkapku tulus.

"Sama-sama, Mbak Ind. Kami juga minta maaf kalau selama ini banyak salah. Jangan lupakan kami, sering-sering main ke sini. Bentar lagi musim mangga, loh, kita rujakan bareng-bareng lagi." ucap Mbak Nurul dengan menahan tangis. Kami lalu berpelukan sesaat. Setelahnya, aku beralih pada Mbak Yanti yang masih menggendong Zaki.

"Mbak-" Mbak Yanti memelukku erat, wanita bertubuh tambun ini paling dekat denganku sudah seperti kakak sendiri. Aku yakin, tanpa aku cerita pun dia sudah tahu apa yang terjadi.

"Yang kuat, Ndri. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan telepon aku!" bisiknya di sela tangis. Aku mengangguk juga dengan sesenggukan.

"Jangan lupakan kami, segera kasih tahu di mana alamatmu yang baru. Biar sewaktu-waktu aku kangen sama Kenang (Zaki) aku bisa ke sana." 

"Iya, Mbak. Nanti aku kabari segera." jawabku mengangguk. Lalu meraih Zaki untuk segera pergi sebab pak supir sudah selesai memasukkan semua barangku.

"Ini, Ndri. Aku cuma ada pegangan segini, buat bayar mobilnya." ucap Mbak Yanti lagi sembari menyelipkan lipatan uang dalam tanganku.

"Gak usah, Mbak. Malah merepotkan." tolakku sungkan.

"Enggak, Ndri. Ini hanya buat bayar mobilnya, kalau kurang kamu tambahin sendiri." paksanya kembali. Mau tak mau aku menerimanya. 

Berpamitan sekali lagi, lalu aku naik ke dalam mobil. Dengan keteguhan hati, aku pergi meninggalkan segala luka di sini. Mendekap erat tubuh gembul putraku, membisikan kalimat penguat untuknya yang juga untukku sendiri. 

Meninggalkan tempat ini, dengan membawa segala rasa yang tersisa menyambut masa depan kami. Aku sadar sepenuhnya, setelah ini akan banyak lagi kerikil tajam menghadang  langkahku tapi aku tak akan mundur. Demi Zaki, putraku.

Perlahan tapi pasti, mobil bergerak meninggalkan rumah ini. Rumah penuh kenangan yang telah aku lalui hingga hadirlah Zaki dalam hidupku. Sampai detik ini tak kulihat lagi Mas Bagus datang lagi, semakin kuat keyakinanku bahwa dia memang tak lagi membutuhkanku.

Selamat tinggal kenangan, selamat tinggal duka dan lara. Selamat datang masa depan, peluklah aku dan putraku dalam kebahagiaan.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar suami gak ada akhlak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status