Share

BAWA ANAK LELAKIMU PULANG, BU! (DI ANTARA DUA PILIHAN)
BAWA ANAK LELAKIMU PULANG, BU! (DI ANTARA DUA PILIHAN)
Author: Atiexbhawell

Bawa anak lelakimu pulang, Bu!

"Indri!!! Anakmu berisik sekali!! Angkatlah cepat!" 

Aku yang tengah mencuci di kamar mandi sontak berdiri, lalu tergopoh menghampiri sumber suara yang memekakkan gendang telingaku. Sang pemilik suara yang tak lain adalah suamiku sendiri tengah menatap kedatanganku dengan raut wajah kesal dan mata melotot karena kesenangannya terganggu.

Tidak, bukan wajah marah itu perhatianku. Tapi, suara melengking dari putraku yang tergeletak tak jauh dari tempat suamiku duduk. Putraku yang tengah belajar berdiri itu tergeletak dengan menangis kencang. Tubuhnya terlentang tak jauh dari meja di depan suamiku duduk.

Segera aku menghampiri putraku, betapa murkanya aku ketika melihat kening putraku benjol membiru. Tak jauh dari kepalanya, kotak tisu tergelak. Segera aku angkat dia dan membawanya ke dalam pelukanku. Saat kuraba kepala belakangnya, semakin mendidih darahku saat tanganku merasai benjolan serupa. 

Entah bagaimana putraku terjatuh tadi? Yang membuat amarahku memuncak adalah suamiku yang adalah ayah kandung dari bayi lelaki berusia 8 bulan itu justru tak acuh. Membiarkan anaknya terjatuh sedangkan dirinya asyik menekuri game di ponselnya.

Seketika amarah naik ke ubun-ubun. Tanpa ba bi bu, aku rebut ponselnya dan aku banting ke lantai dengan sekuat tenaga hingga pecah tak berbentuk.

"Indri!" sontak dia berdiri, menatapku nyalang seolah akan menelanku hidup-hidup. Wajahnya merah padam, matanya melotot, nafasnya memburu. Tapi, aku tak peduli. Aku tak takut padanya. 

Plak,

Perih, panas, seketika menghantam wajahku. Saking kerasnya tamparan itu telingaku sampai berdenging sakit. Tapi, sekali lagi aku tidak peduli. Aku hanya memastikan kedua kakiku masih kuat menopang tubuh ini agar jangan oleng karena ada putraku yang masih menangis di pelukanku.

Dia marah? Aku pun marah. Dia sebagai suami dan ayah tidak becus menjaga anaknya sendiri. Bahkan tidak peduli sama sekali pada anaknya yang sudah menangis terkapar di lantai, justru matanya asyik dengan game PUBG di ponselnya. Ayah macam apa itu?

"Apa? Kamu marah karena hpmu aku banting?" desisku menantang matanya.

Dia tertegun, menatap tangannya yang baru saja mendarat kuat di wajahku, bahkan mungkin jemarinya terlukis jelas di pipi kiriku. Ini kali pertama sepanjang 5 tahun pernikahan kami. 

"Aku bahkan tak segan membunuhmu yang sudah tega membiarkan putraku menangis karena terjatuh. Lihat, kepala depan dan belakangnya sampai benjol begini! Dan kamu masih asyik dengan hp-mu! Kamu punya ot*k apa tidak, hah?" teriakku tak kalah keras. Putra dalam gendonganku kembali menangis kencang setelah sebelumnya agak berkurang tangisnya.

"Salahkan anakmu yang tak mau diam itu! Aku lelah, aku ingin bersantai saat libur kerja. Bukan untuk menjaga anakmu yang tak mau diam itu!" balasnya turut berteriak.

"Dia anakmu juga!" emosiku benar-benar memuncak kali ini. Aku dorong tubuhnya hingga terduduk di sofa yang ada di belakangnya.

Kalau tak ingat sedang menggendong Zaki, sudah aku hajar lelaki tak tahu diri itu. Dia yang sekarang amat congkak, baru beberapa minggu mendapat promosi jabatan sebagai supervisor saja lagaknya sudah seperti manajer saja. Apa-apa maunya dilayani, tak mau direpotkan dengan urusan rumah tangga dan anak. Bahkan, sekedar aku mintai tolong untuk menjaga Zaki yang memang sedang aktif-aktifnya saja berakhir seperti ini.

"Arrght. .istri sial*n tak tahu diuntung! Menyebalkan, menyusahkan saja bisanya. Urus anakmu sendiri, aku tak sudi!" bentaknya lalu melenggang keluar rumah. Aku tahu ke mana tujuannya, yang tak lain adalah mengadu ke rumah Ibunya yang hanya berjarak 200 meter dari kontrakan ini. 

Setelah ini, aku yakin akan ada tamu tak diundang datang untuk mengamuk, atau sekedar memaki-maki aku di rumah kontrakanku sendiri. Tapi, aku tak takut. Kali ini, akan aku tunjukkan siapa Indri yang selalu mereka hina-hina. Aku akan tentukan ke mana arah bahtera rumah tangga yang sudah tak sehat ini. 

Yang terpenting sekarang adalah putraku, putra yang telah lama aku nantikan sepanjang pernikahan bersama Mas Bagus, lelaki yang menikahiku 5 tahun yang lalu.

Menghela nafas besar, menetralkan amarah yang meluap agar putraku tak semakin rewel dalam gendonganku. Aku timang dia penuh kasih sayang, kuusap-usap benjolan di keningnya. Benjolan sebesar biji salak yang sudah membiru itu membuatku ikut merasakan ngilunya. 

Perlahan tapi pasti, tangisnya reda. Menyisakan isak yang sesekali masih terdengar. Kuciumi keningnya, kubisikkan kalimat sayang di telinganya. Kutimang dia penuh cinta hingga tak lama ia tertidur, mungkin terlalu lelah menangis hingga tanpa nen ataupun dot ia sudah tertidur.

Kuletakkan dia perlahan ke atas kasur, kupandangi wajah tampannya. Sesekali masih sesenggukan tetapi pulas tidurnya. Kuabaikan perih di wajahku, tanpa terasa air mataku mengalir deras sambil menatap wajah polosnya.

Rumah tangga ini sudah tak sehat, sejak satu tahun lalu. Dulu, meski kerap bertengkar karena hal-hal kecil tak sampai membuat Mas Bagus berteriak padaku. Paling banter dia akan mendiamkan aku sampai 2 hari dan selebihnya sudah baikan lagi. Tapi, sejak satu tahun lalu, sejak kepindahan mertua dan kakak iparku ke rumah yang tak jauh dari sini semua berubah. Bahkan sekarang, bukan hanya bentakan tetapi sudah berani main tangan padaku.

Mas Bagus semakin tak kukenali, pernah waktu itu dia tak menjemputku yang lembur kerja. Meski jarak dari pabrik ke rumah hanya butuh waktu 15 menit saja dengan jalan kaki. Dia membiarkan aku pulang jalan kaki, kehujanan dan dalam kondisi hamil 6 bulan. 

Saat sampai di rumah rupanya ia tengah bersenda gurau dengan Ibu serta kakak dan keponakannya yang baru lahir waktu itu. Mengabaikan aku yang kepayahan dan kedinginan. Malah, tanpa perasaan dia menyuruhku memasak untuk menjamu Ibu dan Kakaknya. 

Sejak saat itu, semua berubah. Hangatnya hubungan pernikahan kami selama ini menjadi tidak ada artinya lagi. Binar bahagia dan antusias kami menyambut kelahiran anugerah yang telah lama kami nanti pun tidak ada lagi.

Setiap malam aku lalui sendiri, tanpa peluk hangat suamiku lagi. Ia abai, memilih membentangkan jarak antara aku dan dia. Entah apa salahku? Aku pun tak tahu.

Padahal, waktu hamilpun aku masih bekerja di garment yang menjadi tempat pertemuanku dengannya. Aku dan dia bekerja di pabrik yang sama, dia sebagai tehnisi sedang aku operator sewing alias tukang jahit. 

Kedekatan kami terjalin karena ia sering membenahi mesin yang rusak di bagianku bekerja. Dia lelaki yang ulet, rajin dan selalu bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dalam bergaulpun dia termasuk pria yang mudah bergaul, sopan, ramah dan bisa berteman dengan siapa saja. Hingga benih-benih kekaguman itu tumbuh menjadi cinta. 

Tak lama kami dekat, akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Di hari libur kerja, dia membawaku bertemu keluarganya di daerah Karang jati, Ungaran. Tanggapan keluarganya saat itu, datar-datar saja. Tidak yang senang sekali tapi tidak menolak juga. Entahlah, mungkin perasaanku saja.

Sedang di libur berikutnya, dia menemui keluargaku di pinggiran Ambarawa. Tepatnya, tempat tinggalku di lereng bukit Banyu Biru. Aku orang kampung, ya aku akui itu. Untuk itulah aku mengadu nasib bekerja di salah satu garment besar kota Ungaran dan memilih kos untuk menghemat biaya hidup. Sedang gajiku bisa aku tabung sebagian dan sebagian lagi untuk biaya hidupku sehari-hari.

Selama menjadi istrinya, aku sudah melakukan segala hal yang aku mampu. Gajinya tak banyak, hanya sebatas UMR kota Semarang. Sebagian ia berikan pada Ibunya. Tak mengapa, aku sadar sepenuhnya bahwa ia memiliki tanggung jawab kepada Ibunya juga. Sedangkan sebagian lain, sudah habis untuk dibagi-bagi. Ya, untuk cicilan motor yang waktu itu baru berjalan 5x dari 36x, untuk bensin, rokok dan makannya sendiri. Bisa dibilang, nafkahnya padaku sangat tidak layak karena selama hampir 3 tahun aku hanya menerima 300 ribu saja sebulan. Padahal uanh segitu hanya cukup untuk bayar kosan kami saja, itupun masih kurang dan aku yang nomboki.

Untuk itulah, aku pun masih bekerja juga. Gajiku, aku pakai untuk membiayai hidup kami sehari-hari. Hingga suatu hari, Bapak mertua menyarankan kami untuk tinggal di rumahnya supaya uang kami tidak selalu habis untuk bayar kos dan makan. Tapi, dengan alasan jauh dari tempat kerja dan justru semakin menambah biaya bensin, aku menolak dan Mas Bagus tidak memaksa.

Akhirnya, Bapak mertua berinisiatif untuk mengontrakkan kami rumah di dekat pabrik. Yang beliau bayar untuk 5 tahun ke depan dengan harapan kami bisa kembali menabung. Aku rasa, hanya Bapak mertua yang peduli terhadap kami sedang Ibu dan Kakak ipar seolah tak mau tahu keadaan kami. Sayangnya, Bapak mertua berpulang 1 bulan setelah kami menempati rumah ini.

Entah bagaimana awalnya, kakak iparku bisa membeli rumah yang tak jauh dari rumah kontrakan kami. Tak heran sebab suami dari Mbak Santi merupakan pegawai Bank Swasta dengan gaji yang lumayan. Katanya, sewaktu berkunjung ke rumah kami setahun lalu, dia melihat rumah itu sedang diiklankan untuk dijual. 

Katanya iseng saja tapi rupanya sang pemilik langsung deal dengan harga yang dia tawarkan. Akhirnya, sejak saat itu Mbak Santi memboyong Ibu pindah ke rumah itu, sedangkan rumah yang di kampung ditempati oleh adik bungsu Mas Bagus dengan suaminya. Entah itu memang sebuah kebetulan atau merupakan konspirasi mereka saja, aku juga tak tahu. Yang jelas, sejak kepindahan mertua dan iparku rumah tanggaku mengalami goncangan.

Hampir setiap hari Ibu mengomeliku perkara sepele. Menu makanan, misalnya. 

"Apa ini, Ndri? Sayur bening sama sambel terasi? Mana sehat untuk anakku! Kasihlah makanan yang sehat dan bergizi, dia itu kerja loh, cari uang buat kamu. Kamu juga harus perhatikan makanannya, jangan asal-asalan begini. Nanti dia sakit perut, lalu sakit, gak bisa kerja. Kan, kamu juga yang rugi. Penghasilannya berkurang, otomatis uang belanjamu juga berkurang." omelnya di suatu pagi lalu membanting mangkuk berisi sayur bayam yang baru saja matang hingga tumpah ke meja.

"Indri, kalau libur itu jangan leha-leha. Itu baju menumpuk, disetrika biar rapi. Motor suamimu dicuci, biar kinclong. Kalau penampilan suamimu bersih, rapi, makin ganteng, kan kamu juga yang dapat pujian dari orang-orang!" 

Dan berbagai omelan perkara sepele yang akhirnya berbuntut panjang. Tak segan Ibu datang hanya untuk memakiku jika kami tengah berselisoh paham dan Mas Bagus mengadu ke Ibunya. Memakiku dengan bahasa kasar yang tak pantas diucapkan oleh seorang Ibu. Tak jarang, Mas Bagus memilih menginap di rumah Mbak Santi. Dengan alasan lebih nyaman di sana. Tidak berantakan dan tidak bau ompol ketika Zaki baru bisa merangkak dan kadang ngompol di lantai karena aku tak mampu lagi membeli diapers.

Sering makan di sana dengan alasan menu yang variatif dan bergizi, tidak seperti di rumah. Yang menu andalannya adalah tahu dan tempe, paling bagus telur ceplok dan sambal terasi. Tapi, uang belanja yang ia berikan jauh dari kata layak, beruntung aku masih bekerja dan memiliki penghasilan lain yang bisa aku pakai untuk membeli kebutuhan putraku yang tidak dipedulikan kebutuhannya oleh ayahnya sendiri.

Bahkan sejak dia dapat promosi jabatan sebagai supervisor 3 minggu lalu, sikapnya semakin sombong dan congkak. Apa-apa maunya dilayani bak raja. Makan, minum, baju, sepatu maunya diambilkan. Sedangkan dia tak pernah melihatku, tak pernah mau tahu kerepotanku. Ia selalu asyik dengan hpnya, hp yang dibeli dengan 95% uangku. Makanya aku tak menyesal dan tak merasa takut sudah menghancurkan hp yang tergolong mahal itu.

Air mata masih setia mengalir di kedua pipiku, pikiranku sibuk menekuri ingatan masa lalu. Hingga suara yang sudah aku tebak akan datang terdengar nyaring.

Aku gegas bangkit untuk menemui mertuaku tersayang itu sebelum suara cemprengnya membangunkan putraku yang baru saja terlelap. Sebelum beranjak, aku susun bantal dan guling di sekitaran tubuh putraku agar ia tak terguling lalu jatuh dari kasur.

"Indri! Kurang ajar kamu! Kamu apakan anakku, hah?" pekiknya terdengar marah.

"Ibu bisa tidak, tidak usah teriak-teriak? Anakku baru saja tidur karena lelah menangis akibat ulah anak Ibu yang membuatnya terluka!" hardikku sembari menutup pintu kamarku dengan perlahan.

"Berani kamu sama saya, ya! Jangan membual kamu, mantu tidak berguna. Kalau anakmu jatuh ya salahnya sendiri kenapa tidak mau diam. Anakku bukan pengasuh anakmu!" ucapnya percaya diri sekali. Aku geleng-geleng dibuatnya. 

Dia pikir, apa yang bisa dilakukan bayi berusia 8 bulan? Apa dulu anak-anaknya tidak melalui fase seperti ini? Apa dulu anak-anaknya ujug-ujug (tiba-tiba) dewasa seperti sekarang ini? Dan lagi, apa tadi katanya? Anaknya bukan pengasuh anakku, hanya anakku dia bilang? Anakku tidak akan hadir kalau anaknya tidak menanam benih di rahimku. Apa Ibu mertuaku itu sedang ngelindur? Anakku juga cucunya, darah dagingnya sendiri. Sama sperti Sheril, anak Mbak Santi. Ya Allah, ajaib sekali wanita sepuh ini.

Belum sempat aku bersuara, suamiku muncul di belakang Ibunya. Menatapku dengan raut marah yang masih bersisa.

"Kamu pikir kamu siapa, hah? Beraninya kamu menjadikan anakku pengasuh anakmu. Dia sudah lelah bekerja dan saat libur begini biarkan dia menikmati waktunya. Kamu jangan recoki dia dengan menyuruhnya menjaga anakmu yang tidak bisa diam itu. Kalau dia mau main game ya biarkan saja, gak usah gaya-gayaan marah lalu main banting hp saja. Kalau sudah begini, kamu mau tanggung jawab? Ganti hp anakku sekarang juga!" bentaknya berapi-api, sedangkan suamiku hanya diam mendukung Ibunya marah-marah.

"Anakku anak kandung dari anak Ibu! Laki-laki itu, ayah dari anakku. Dan apa ibu bilang tadi? Dia lelah bekerja? Ya, dia memang lelah bekerja. Sama, aku pun juga lelah bekerja. Ibu pikir aku tidak lelah? Apa Ibu lupa kalau aku juga bekerja? Bahkan anak laki-laki Ibu itu makan dari hasil kerjaku. Dan soal hp, Ibu tahu uang siapa yang dipake untuk membeli hp yang sudah hancur itu? Uangku, uang hasil dari cuti melahirkan yang diberikan perusahaan padaku. Dia hanya nombok 100 ribu dari total 3 juta 700 ribu. Dan sekarang Ibu minta ganti rugi? Baiklah, akan aku kembalikan uang anak Ibu yang dia pakai untuk beli hp itu." balasku tak kalah emosi. 

Jika mereka manusia normal tentu akan tertohok dengan ucapanku. Aku segera merogoh saku dasterku dan beruntung masih ada dua lembar uang warna biru yang sejatinya akan aku pakai untuk membayar tagihan PDAM. Aku lemparkan tepat di hadapan dua manusia ajaib ini.

"Kurang ajar kamu! Jangan sombong kamu, kamu pikir kamu siapa, hah? Kamu hanya orang lain yang aku ambil sebagai istri, jadi jangan berlaku seolah kamu adalah ratu di sini!" bentak suamiku tak terima aku melemparkan uang itu ke hadapan Ibunya. 

Sampai di sini, aku semakin paham jika kehadiranku memanglah tidak ada artinya sama sekali.

"Baik, aku sadar siapa aku di sini. Maka, Ibu Nuryati yang terhormat, bawa anak lelakimu ini pulang, Bu. Aku sudah tak membutuhkannya lagi, biarlah Ibu saja yang ngelonin anak lelakimu ini." ujarku tenang. 

Menatap tajam Ibu dan anak yang terkejut dengan ucapanku itu. Keduanya melebarkan mata dengan mulut menganga lebar. Biarlah, jika memang bahtera ini sudah kehilangan nahkodanya, untuk apa aku bertahan? Lebih baik keluar dan menyelamatkan diri dari bahtera yang tinggal menunggu karamnya saja, bukan?

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ditampar sampai berbekas di pipi mu aja udah cukup alasan utk menendang suami mu. kau aja yg selama ini terlalu menye2
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status