Kuantar Ririn sampai ke rumah Mbak Santi karena mobilnya ia parkir di sana. Ririn dilepas oleh pelukan hangat dari Ibu dan Mbak Santi, hal yang tak pernah kulihat mereka melakukan itu pada Indri, istriku sendiri. Sampai di sini semakin aku yakin akan menikahi Ririn.Aku segera pulang karena di rumah Mbak Santi, masih ada Mas Anwar dan aku malas sekali mendengar petuah sok bijaknya itu.Rupanya, Ibu dan Mbak Santi mengikutiku. Mereka penasaran dengan apa yang kami bicarakan sepanjang sore ini. Tentu kuceritakan semua apa yang kami obrolkan tetapi tidak kukatakan kalau kami baru saja be***nta. Namun, aku yakin Mbak Santi dan Ibu paham apa yang kami lakukan tadi karena melihat rambut kami sama-sama basah."Baguslah kalau kamu sudah sadar sekarang, Gus. Matamu sudah bisa melihat mana yang masa depannya cerah dan mana yang suram!" sanjung Mbak Santi tertawa girang."Berarti bonusku cair dong, Gus?" lanjutnya lagi dengan senyum lebar. Aku tahu apa yang dia maksud. Belum lama ini dia meminta
"Nduk, ini Kk sama KTPmu yang asli, simpan dulu. Nanti kalau dibutuhkan, Lelek minta lagi," ujar Lek Tri sembari menyerahkan berkas penting milikku itu. Kuterima dan kupandangi sekali lagi dengan nanar, 5 tahun akan berganti 3x surat kependudukan itu. Dari berdua menjadi bertiga dan nanti akan kembali menjadi berdua, ah, rasanya ... Entahlah!"Sudah, tidak usah disesali. Hidup hanya sekali, jangan dipakai untuk menyesali hal-hal yang tidak seharusnya disesali. Kita tidak bisa mengulang masa lalu, tapi kita bisa mengubah masa depan. Setelah ini, tatap masa depanmu, ubah menjadi lebih baik karena mulai sekarang kamu tidak sendiri tetapi berdua dengan putramu." wejang beliau mengusap lembut bahuku.Aku tersenyum, betapa selama ini aku menjauh dari mereka yang tulus menyayangiku hanya untuk menjaga hati yang sama sekali tidak menyayangiku. Sekali lagi aku tertampar oleh kenyataan."Dalam 2 minggu ini, persiapkan dirimu. Mungkin Senin depan sudah ada panggilan sidang pertama. Kalau suami
"Pak, kata Lek Tri, biaya perceraian Indri Bapak yang tanggung. Benar, Pak?" tanyaku pada Bapak usai kami makan malam.Bapak yang tengah memangku Zaki pun menoleh, "kenapa memang?" tanyanya."Bapak uang dari mana? Indri yakin biayanya gak sedikit, Pak." tanyaku pelan, tak ingin membuat Bapak tersinggung."Sudah, Nduk. Yang penting, statusmu segera jelas. Masalah uang, kami masih punya simpanan." sela Emak ikut bersuara."Mak, Pak, Indri sudah terlalu banyak nyusahin kalian. Masa, masih juga harus menguras simpanan kalian untuk kepentingan Indri." cegahku penuh sesal."Nduk, anak Emak cuma kamu sama adikmu, Edi. Sekarang ini, kamu yang lebih membutuhkan sokongan kami. Masa iya, kami mau diam saja." sahut Emak."Mak, tapi Indri, kan, sudah kerja. Punya pemasukan meski tak banyak." bantahku."Gajimu, pakailah untuk keperluan Kenang. Soal ini, biarlah kami yang usahakan." sela Bapak kemudian."Ada Edi yang masih butuh banyak uang, Pak." "Sekarang ini, Edi belum membutuhkan itu. Insya All
Kulangkahkan kaki mengekor Bapak dan Edi yang lebih dulu masuk ke puskesmas desa, di sini tak kulihat siapapun selain 4 motor yang terparkir di luar dan salah satunya adalah motor milik Lek Tri. Rupanya, Lek Tri bersama dua teman Edi ada di bagian dalam puskesmas ini."Assalamaualaikum!" salam Bapak memecah keheningan. "Walaikumsalam!" balas Lek Tri dan dua teman Edi serempak.Dua teman Edi lantas bangkit berdiri begitu melihat kami datang, raut wajah keduanya tak bisa kugambarkan dengan jelas. Apakah itu ekspresi takut atau biasa saja? Edi segera berdiri bergabung dengan mereka, sedangkan aku berdiri di samping Bapak menghadap Lek Tri."Gimana, Le?" tanya Bapak."Sudah diobati, Mas. Tak parah juga, cuma lebam sedikit. Cuma dari tadi merintih terus kayak yang luka parah saja, atau memang sengaja cari perhatian kali," ucap Lek Tri meoleh ke belakang dimana ada Mas Bagus di dalam.Halah, drama!"Coba kita lihat, Pak? Separah apa dia, apakah mulutnya perlu diamputasi atau tidak?" celetu
Kuhela nafas besar, dada ini tetiba sesak melihat pemandangan itu. Ketegaranku runtuh bersama air mata ini. Sakit, kecewa, duka dan amarah tak lagi dapat kujabarkan dengan bahasa yang bisa diterima akal sehat, semua itu lenyap dengan apa yang mata ini lihat.Tawa riang putraku, celoteh girang serta gerak tubuh yang menggambarkan betapa ia bahagia bermain bersama ... Ayahnya!Sesuatu yang selama ini aku rindukan dan selalu aku bayangkan. Sekarang benar-benar terwujud, tapi kenapa baru sekarang? Setelah ikatan ini terputus. Harus apa aku sekarang? Bahagiakah? Atau sedihkah?Kusandarkan tubuh di balik daun pintu yang baru sedikit terbuka, tak kuat hatiku melanjutkan melihat pemandangan itu. Zaki begitu bahagia, binar mata dan raut wajahnya tak bisa berbohong. Kulihat Mas Bagus pun begitu tulus bermain dengannya, senyum dan tawanya kian menggambarkan bahwa ia begitu bahagia.Pertahananku runtuh, hatiku goyah. Ini yang aku inginkan sejak dulu, sejak Zaki terlahir ke dunia ini. Namun sekara
Usai membayar sesuai aplikasi, aku beranjak turun dengan Zaki yang anteng di gendonganku. Dibantu Mas supir, aku membawa barang-barangku turun.Menyadari kedatanganku, dua orang yang duduk di depan kamarku segera berdiri."Assalamualaikum ..." salamku begitu aku mendekat."Walaikum salam ..." jawab mereka serentak.Segera kubuka kamarku meletakkan barang yang kubawa dengan dibantu Mas supir. Setelah Mas supir pergi, segera kutemui dua tamuku itu."Jadi benar sekarang kamu kos di sini, Ind?" todong mantan iparku itu begitu aku berbalik badan menghadapnya."Iya, Mas. Maaf. Ada perlu apa?" jawabku singkat."Sejak kapan? Lalu Bagus?" kejarnya tak mengindahkan pertanyaanku."Sudah satu minggu dan sudah selama itu juga Mas Bagus menceraikanku, Mas." tegasku. Kedua orang itu sedikit terkejut tetapi kemudian Mas Anwar tersenyum."Baguslah, Ind. Kamu terbebas dari lelaki benalu seperti Bagus. Semoga kehidupanmu ke depan jauh lebih baik setelah berpisah dari Bagus," ujarnya mengulas senyum."A
Bagus meremas ponsel barunya dengan mata yang mulai berair, sekian lama menunggu pesan dari ibu putranya itu akhirnya apa yang ia tunggu datang juga. Pesan terakhir tak lagi dibalas oleh mantan istrinya, Bagus terpekur dalam penyesalan dan kesedihannya sendiri.Sekian bulan mengabaikan istri dan anak kandungnya demi ibu dan kakak perempuannya, nyatanya dua wanita yang selalu dia agung-agungkan itu berbuat curang padanya.Dengan tanpa perasaan, dua wanita tercintanya itu memakai ilmu hitam untuk menundukkannya agar membenci istri dan anaknya sendiri. Terlambat menyadari dan kini ia dikurung dalam lembah penyesalan setelah berpisah dengan istri dan anaknya."Gus ... Kamu gak mau makan dulu, Le?" lirih bujukan sang ibu hanya menambah luka penyesalan dalam batinnya."Kamu masih marah sama Ibu, Gus?" suara sang ibu kembali mengisi kesunyian malam, karena sang anak tak berniat mengeluarkan suara untuk menjawab.Di dalam kamar, Bagus merutuki diri yang terlampau jauh dari sang pencipta hing
"Jadi, gimana, Gus?" tanya Bu Yati dua hari setelah kejadian Bagus mengurung diri dan menghindarinya."Apanya, Bu?" jawabnya tanpa menoleh ke arah ibu dan kakaknya. Matanya masih terus fokus pada layar ponsel."Ya, itu, rencana lamaran kamu sama Ririn?" jelas Bu Yati, sedangkan Santi hanya menyimak saja.Mendengar nama Ririn, Bagus mengalihkan fokus dari ponsel. Ia menoleh, menatap ibu dan kakak perempuannya."Apa kalau Bagus jadi menikahi Ririn, Ibu dan Mbak Santi akan memperlakukan Ririn seperti Indri?" tanyanya menatap dua wanita yang berperan dalam kehancuran rumah tangganya terdahulu."Gus, kok, ngomongnya begitu? Tentu tidak, Le. Ririn itu menantu idaman Ibu, tidak mungkin Ibu memperlakukannya dengan buruk. Yakan, San?" ujarnya lalu menoleh kepada anak sulungnya. Santi mengangguk meyakinkan."Ririn itu berbeda kelas sama mantan istrimu, Gus. Dia lebih berkelas dan lebih pantas untukmu," ucap Santi membanggakan Ririn, wanita yang ia kenal kala mengurus surat pindah dirinya. Yang