Langkah Rafi memasuki SMP Tunas Bangsa bagaikan melangkah ke semesta baru. Seragamnya kini lebih bersih, gedung sekolahnya menjulang tinggi, dan wajah-wajah di sekitarnya penuh percaya diri—anak-anak dari keluarga berada, pewaris nama besar. Tapi Rafi tetap melangkah tegap, dengan ransel usang di punggung dan sepatu bekas yang ia semir sendiri. Matanya lurus, fokus, menatap ke depan.
"Selamat datang para siswa terpilih. Ingat, kalian ada di sini bukan karena keberuntungan, tapi karena usaha," ucap kepala sekolah di podium. Rafi mengangguk pelan. Ia percaya itu. Ia di sini bukan karena belas kasihan—ia di sini karena ia pantas. --- Hari-hari awal tak mudah. Lingkungan asing, wajah-wajah sinis, dan bisikan-bisikan merendahkan jadi makanan sehari-hari. “Heh, anak beasiswa ya?” bisik seorang siswa berambut klimis. “Lihat tuh, tasnya. Pasti peninggalan jaman dulu,” timpal yang lain, tertawa. Rafi tetap diam. Tatapannya tak berubah. Ia pernah lebih diremehkan dari ini. Dan ia tahu, balasan terbaik bukan kata-kata, tapi pembuktian. Nilai-nilainya langsung melejit. Matematika, IPA, Bahasa Inggris—semua dilahap dengan mudah. Guru-guru mulai melirik. Beberapa bahkan memujinya terang-terangan di depan kelas. Itu membuat kagum, sekaligus memantik iri. --- Tapi tak semua bersikap dingin. Satu orang berbeda. Raline Hasibuan—siswi cerdas dan anggun, anak pengusaha batu bara, aktif di OSIS, dan punya mata yang tajam menilai. Suatu hari, saat istirahat: “Rafi, kamu belajar dari mana? Nilai kamu keren banget,” ujarnya ramah. “Belajar sendiri. Di rumah,” jawab Rafi singkat. “Boleh ngajarin aku? Ada soal yang aku gak ngerti.” Rafi mengangguk. Ia memang tak banyak bicara, tapi tak pernah menolak jika diminta dengan tulus. Sejak saat itu, Raline mulai sering duduk bersamanya di perpustakaan. Mereka belajar, kadang bercanda ringan. Beberapa teman mulai menggossip. “Raline suka anak beasiswa?” “Serius? Yang sepatunya tambalan itu?” Raline tak peduli. Ia tak melihat Rafi dari status, tapi dari isi kepala dan cara berpikirnya. “Aku suka cowok yang nggak gampang kebawa omongan orang,” ucap Raline suatu sore di taman. “Aku nggak punya waktu buat dengerin yang nggak penting,” balas Rafi, datar. Dan dari percakapan singkat itu, rasa tumbuh. Perlahan. Tapi nyata. --- Tapi kehidupan tidak selalu manis. Suatu hari di parkiran belakang, Rafi dikepung oleh sekelompok siswa kelas delapan. Mereka dikenal sebagai pembuat onar. “Lo ngerasa paling pinter, ya?” kata Bimo, pemimpin geng. “Ngabisin muka kami semua di nilai ujian.” Rafi tetap tenang. “Aku belajar. Kalian juga bisa kalau mau.” Bimo mendorongnya. “Sok bijak!” Sebuah pukulan melayang. Tapi Rafi lebih cepat. Ia menangkis, memelintir tangan Bimo, dan menjatuhkannya ke tanah dalam satu gerakan. Teman-temannya melongo. Rafi berdiri, napasnya stabil. “Aku nggak nyari ribut. Tapi aku juga nggak takut kalau harus jaga diri.” Kejadian itu menyebar. Sejak saat itu, tak ada yang berani menyentuhnya. Tapi sebutan baru mulai muncul: "anak misterius." --- Hidup Rafi tetap sederhana. Pulang sekolah ia langsung ke ladang. Ganti pakaian, makan secukupnya, lalu membantu Paman Damar hingga petang. Latihan bela diri makin intens. Bahkan Damar mulai mengajarinya dasar-dasar bisnis. "Kalau kamu mau maju, kamu nggak cukup cuma kuat. Kamu harus bisa membaca peluang," kata Damar, menunjukkan catatan penjualan. Rafi menyimak dan mencatat. Ia tahu—ini bekal, bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk membangun sesuatu yang besar. --- Suatu malam, saat bulan menggantung terang, Rafi duduk di depan rumah. Simbo datang dengan secangkir teh hangat. “Simbo,” ucap Rafi perlahan, “kenapa aku nggak pernah lihat ibu?” Simbo terdiam. Tatapannya menembus langit malam. “Ibumu... wanita kuat, Nak. Tapi dunia memaksa dia menyerah. Kamu nggak salah. Kamu nggak pernah salah.” “Lalu kenapa aku nggak diakui?” “Nanti, Rafi. Saat kamu udah cukup kuat. Saat kamu bisa bedain mana pahit yang menyembuhkan, dan mana pahit yang mematikan. Saat itu datang, semua akan terjawab.” Rafi tak bertanya lagi. Ia hanya memandang langit. Diam. Tapi dalam diamnya, tekadnya bertambah kuat. --- Waktu berjalan. Rafi menang olimpiade matematika tingkat kabupaten. Ia aktif di klub debat. Namanya mulai dikenal. Guru-guru menjagokannya sebagai siswa unggulan. Tapi satu hal tak pernah berubah: ia tetap naik sepeda tua, tetap memakai sepatu tambalan, dan tetap bekerja di ladang setiap sore. Semua mulai mengenal siapa dia. Tapi belum ada yang tahu... Siapa dia sebenarnya. To be continued...Langit Jakarta siang itu mendung, seolah ikut menahan napas bersama Rafi yang duduk di ruang meeting kecil lantai dua kantor pusat Siregar Group. Di depannya, meja kayu panjang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa pria dan wanita dewasa dengan jas mahal dan wajah serius.“Jadi... kamu anak desa yang menang lomba itu?” tanya salah satu pria berkacamata bundar dengan senyum tipis.“Namaku Rafiandra Siregar,” jawab Rafi tenang. “Saya ke sini bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik ide.”Salah satu wanita tertawa kecil. “Berani juga kamu ngomong kayak gitu.”Tante Winda yang duduk di pojok memberi isyarat halus. “Mereka hanya menguji keberanianmu.”Rafi menatap mereka satu per satu. Ia tak gentar. Yang duduk di depannya mungkin berdasi dan punya saham, tapi Rafi punya hal yang lebih penting — tekad dan waktu yang tidak ia sia-siakan.Mereka mulai membahas proposal Rafi soal green space terpadu di lahan-lahan kosong milik Siregar Group yang bisa dijadikan pusat urban farming dan pendidika
Langit Jakarta sore itu dipenuhi warna jingga saat Rafiandra Siregar turun dari kereta. Hiruk-pikuk kota begitu asing, namun langkahnya mantap. Di tangannya, ia menggenggam surat undangan dari keluarga Siregar—keluarga yang dulu membuangnya, kini mengundangnya datang. Mobil jemputan sudah menunggu di luar stasiun. Seorang sopir berpakaian rapi membungkuk sedikit dan berkata, “Selamat datang, Tuan Rafiandra. Kami diminta untuk mengantar Anda ke rumah utama keluarga.” Rafi tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil, matanya menatap keluar jendela, menatap bangunan-bangunan tinggi yang menyimpan begitu banyak kisah dan rahasia. --- Rumah utama keluarga Siregar lebih mirip istana dibanding rumah biasa. Pilar marmer, taman luas, air mancur, dan lampu gantung kristal menyambut kedatangannya. Namun semua itu tak membuat Rafi kagum. Ia hanya menatapnya datar—karena bukan kemewahan yang ia cari di sini. Sesaat setelah masuk, ia disambut oleh seorang pria tua berjas abu-abu: Pak Jatmiko,
Pagi itu, kabut masih menggantung di perbukitan desa Srigading saat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Simbo. Pintu mobil terbuka pelan, dan keluar seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, berkacamata hitam, dan berpenampilan elegan.Simbo yang tengah menyapu halaman langsung menegakkan tubuhnya, matanya menajam.“Bu Ratna?” gumamnya nyaris tak terdengar.Wanita itu menurunkan kacamatanya perlahan, menatap langsung ke arah Simbo.“Sudah lama ya, Simbo.”Simbo mematung. Jari-jarinya menggenggam erat gagang sapu.Dari dalam rumah, Rafi muncul sambil membawa ember kecil. Melihat mobil asing dan dua wanita yang saling tatap tanpa suara, ia mendekat pelan.“Simbo, siapa—”Seketika mata wanita itu beralih padanya. Wajahnya kaku. Nafasnya tercekat.“...Rafi?”Rafi mengernyit. “Ibu kenal saya?”Tak ada jawaban. Hanya mata yang berkaca-kaca dan bibir yang bergetar.---Raline datang beberapa menit kemudian, membawa laporan pengiriman mingguan. Namun saat melihat suasana di halaman
Hari itu, aula forum nasional kembali ramai dengan presentasi dan diskusi. Namun bagi Rafi, pikirannya masih tertinggal di percakapan dengan Armand Hidayat, wakil direktur PT Mitra Nusantara Hijau. Ia masih tak percaya, dari ribuan peserta forum, ada satu pihak nyata dari dunia bisnis yang menawarkan kemungkinan kerja sama. Malamnya, di penginapan tempat ia menginap bersama para finalis, Rafi membuka catatannya. Ia menuliskan semua hal penting dari pembicaraan tadi. Produk ramah lingkungan berbasis desa Model penjualan hybrid (online dan offline) Distribusi skala kecil-kecamatan Ia menatap lembaran itu lama. “Gue gak boleh setengah-setengah,” gumamnya. --- Keesokan harinya, sesuai janji, ia mendatangi kantor pusat PT Mitra Nusantara Hijau di kawasan bisnis Jakarta. Ia mengenakan kemeja bersih, celana kain hitam, dan tetap memakai sepatu lamanya yang disemir dengan telaten. Di dalam kantor modern itu, ia disambut staf muda yang membawanya ke ruang rapat lantai tiga. Di sana,
Udara pagi Srigading terasa berbeda. Sejuknya menusuk tapi menenangkan, seakan menyambut kepulangan seseorang yang telah menaklukkan satu lapis takdir. Rafi turun dari ojek desa, membawa ransel lusuh dan sekotak kecil oleh-oleh. Ia menatap jalan tanah yang mengarah ke rumah Simbo, lalu menarik napas dalam. “aku pulang.” Simbo menyambutnya dengan pelukan hangat dan air mata yang tak bisa ia tahan. Paman Damar mengangguk singkat—seperti biasa—tapi senyum di wajahnya kali ini lebih hangat dari biasanya. “Gimana Jakarta?” “Rame. Tapi gak ada sawahnya,” jawab Rafi ringan. “Bagus. Berarti kamu belum lupa dari mana kamu tumbuh.” --- Tak butuh waktu lama bagi berita kepulangan Rafi menyebar. Siswa-siswa di SMP Tunas Bangsa kembali menyapanya dengan cara berbeda—lebih banyak hormat, lebih sedikit sindiran. Namun satu orang yang membuat hari pertama di sekolah jadi lebih istimewa: Raline. Ia berdiri di depan kelas, memegang satu pot kecil berisi bibit baru. “Welcome home, Partner.”
Semenjak pulang dari Jakarta, nama Rafiandra Siregar mulai disebut-sebut di banyak tempat—dari grup WhatsApp guru, forum pelajar hingga media lokal. Foto dirinya saat menerima trofi dengan pakaian sederhana sempat viral, menimbulkan kekaguman sekaligus tanda tanya besar.“Siapa sebenarnya anak ini?”Namun bagi Rafi, perhatian itu bukan hal yang membuatnya terlena. Justru jadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh.---Pagi itu, di rumah Simbo, Rafi duduk di depan rak tanamannya yang makin rapi. Ia memandangi brosur baru yang barusan dicetak dengan bantuan Raline: “Rafi Farm – Tanaman Herbal & Edukasi Lingkungan.”Ia tak hanya menjual tanaman sekarang. Ia membuka pelatihan pertanian mini untuk anak-anak sekolah dasar. Setiap minggu, beberapa anak datang dan belajar langsung di ladang kecilnya. Ia ajarkan cara menanam, menyiram, bahkan membuat pupuk kompos sederhana.“Bertani bukan soal tanah, tapi soal hati dan sabar,” katanya pada mereka.---Suatu sore, ketika ia dan Raline tengah meny