Rafiandra Siregar.
Nama itu terdengar megah. Nama yang seharusnya membuka pintu kemewahan dan kehormatan. Keluarga Siregar dikenal sebagai penguasa dunia bisnis—perusahaan besar, gedung pencakar langit, dan deretan aset yang tak terhitung. Tapi bagi Rafi kecil, nama itu hanyalah cap sunyi. Sebuah luka yang dibungkus silsilah. Di usianya yang baru lima tahun, Rafi tidak tidur di kamar luas berkasur empuk. Ia tidak dibangunkan oleh kecupan hangat seorang ibu. Ia tidak dipeluk oleh seorang ayah saat pulang ke rumah. Ia tinggal di rumah kayu sederhana di pinggiran desa. Tak ada listrik penuh, tak ada TV, tak ada mainan mahal. Yang ada hanya suara jangkrik, aroma tanah basah, dan senyuman orang-orang yang mencintainya bukan karena darah. Paman Damar dan Bibi Nira. Mereka bukan orang tua kandungnya, bahkan tak punya hubungan darah. Tapi mereka merawat Rafi dengan sepenuh hati. Lalu ada Simbo—perempuan tua yang dulu bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Siregar. Simbo yang kini jadi ibu sejatinya, yang sejak lahir tak pernah meninggalkannya. Setiap pagi, Simbo akan duduk di tepi ranjang, membelai rambut Rafi yang acak-acakan. "Bangun, Nak. Hari ini ladangnya banyak panen. Ayo bantu Paman, ya." Rafi mengangguk. Matanya masih mengantuk, tapi tubuhnya langsung bergerak. Sudah jadi kebiasaannya bangun sebelum matahari muncul. Di usia lima tahun, ia sudah terbiasa mencabut rumput, menyiram tanaman, dan memanggul keranjang panen yang lebih besar dari tubuhnya. "Kalau kamu capek, berarti kamu belum cukup kuat," kata Paman Damar setiap melihat Rafi terhuyung. Ucapan itu bukan ejekan. Itu pelajaran. Damar tahu, hidup tak akan adil pada anak ini. Dunia bahkan menolak keberadaan Rafi sejak lahir. Maka, ia membentuk bocah itu dengan keras—tapi diam-diam, dengan cinta. Malam-malam, saat semua tidur, Damar sering duduk di beranda, menatap langit. "Maafkan Paman harus keras, Nak... Tapi kamu akan jadi orang besar. Dunia akan tunduk padamu." --- Hari pertama masuk SD adalah luka pertama yang disaksikan langsung Rafi. Ia datang sendiri, mengenakan seragam lusuh dan sepatu bolong. Anak-anak menatapnya aneh. Beberapa terkikik. "Eh, bajunya kusut, kayak belum disetrika." "Sepatunya robek tuh, kayak dari tempat sampah." "Dia anak tani ya? Hahaha." Rafi hanya menunduk. Duduk di bangku paling pojok. Tapi matanya tak lepas dari papan tulis. Ia mendengar. Ia mengingat. Tapi ia tak membalas. Dalam hati, ia hanya berbisik: Suatu hari, kalian akan berhenti menertawakanku. Dan memang, di kelas, Rafi selalu yang paling cepat memahami pelajaran. Tak pernah lupa PR, selalu jadi yang pertama maju ke depan. Ia pendiam, tapi gurunya tahu, anak ini menyimpan bara. --- Setiap pulang sekolah, Rafi langsung ke ladang. Kalau tidak, ia berlatih bela diri bersama Paman Damar. Tamparan angin dan rasa lelah adalah temannya. Tubuh kecilnya mulai mengeras. Pukulannya makin bertenaga. "Kamu harus bisa jaga diri. Dunia nggak akan selalu adil," kata Damar. "Kamu bukan anak biasa. Suatu hari kamu akan naik tinggi. Tapi kamu harus kuat dulu." Rafi belum sepenuhnya mengerti. Tapi dia percaya pada pamannya. Dan itu cukup. --- Ada satu rumah yang selalu membuat Rafi menatap lama—rumah besar di ujung jalan. Gerbang besi, tembok tinggi, kamera di sudut-sudut. Mobil-mobil mewah keluar masuk. “Simbo, itu rumah siapa?” Simbo menarik tangannya. "Jangan ke sana. Itu bukan tempatmu." "Tapi nama mereka sama kayak aku, kan? Siregar?" Simbo tersenyum. Senyum yang menyakitkan. "Nanti kamu akan mengerti." Rafi belajar menyimpan pertanyaannya dalam-dalam. --- Tahun demi tahun berlalu. Rafi menjadi juara kelas. Ia menang lomba cerdas cermat tingkat desa. Anak-anak yang dulu mencemooh, kini diam. Ada yang mulai menghormati. Ada pula yang diam-diam iri. Tapi Rafi tak peduli. Ia pulang, menenteng piala kecil dari plastik, dan memeluk Simbo. "Lihat, Simbo! Aku menang!" Air mata Simbo jatuh. Ia memeluk Rafi erat. "Simbo bangga... Kamu anak hebat." Malamnya, Paman Damar memberi Rafi sebilah pisau tua bersarung kayu. "Ini dulu milik Paman. Sekarang milikmu. Jaga baik-baik." Di tangan Rafi, pisau itu terasa berat. Tapi dia tahu, itu bukan sekadar benda. Itu simbol. Bahwa ia tak lagi anak kecil biasa. --- Beberapa bulan kemudian, kepala sekolah memanggilnya. "Rafi, kamu dapat beasiswa penuh ke SMP Tunas Bangsa. Nilai dan prestasimu luar biasa. Selamat." Kabar itu cepat sampai rumah. Simbo menangis, Bibi Nira memeluknya. Dan Paman Damar? Ia hanya berkata singkat: "Ini baru awal. Jalanmu masih panjang." Malam itu, Rafi duduk di beranda rumah. Memandang bintang. Ia belum tahu siapa ibunya sebenarnya. Ia belum tahu kenapa ia dibuang. Ia belum tahu kenapa nama Siregar malah jadi tembok baginya. Tapi satu hal ia tahu pasti: Dia akan berdiri di puncak. Dan dunia akan tahu siapa sebenarnya Rafiandra Siregar. To be continued...Angin malam menusuk tajam ketika Rafi melajukan motornya menembus jalanan sepi. Suara knalpot meraung, seolah ikut menyalurkan gejolak di dadanya. Tangan kirinya masih bergetar—bukan cuma karena sakit akibat benturan, tapi juga karena kata-kata terakhir Bang Raga yang terus terngiang di kepalanya. "Ada orang lain di balik semua ini." Rafi menggertakkan gigi. Dalang besar? Siapa lagi yang ngincer dia dan keluarganya? Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil—rumah pamannya, tempat Ara tadi ia sembunyikan. Rafi turun, napasnya masih terengah. Tubuhnya penuh lebam, tapi pikirannya cuma satu: memastikan Ara baik-baik saja. Begitu pintu dibuka, Ara langsung berlari menyambut. Wajahnya pucat, matanya sembab, jelas dia habis nangis. “Rafi!” serunya, memeluk cowok itu erat-erat. “Kamu nggak apa-apa? Aku takut banget…” Rafi diam sesaat, lalu pelan membalas pelukan itu. Rasa sakit di tubuhn
Suara sirene mobil patroli masih terdengar samar di kejauhan. Jalanan yang tadi penuh suara benturan dan teriakan kini lengang, hanya menyisakan bau darah dan debu. Rafi berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya berat, tangannya masih mengepal. Lawannya—Bang Raga—sudah tumbang, tapi sebelum pingsan, mulut pria itu sempat berucap sesuatu yang bikin dada Rafi sesak. "Anak muda… lo kira semua ini cuma gue yang mainin? Hahaha… di atas gue masih ada yang jauh lebih gede." Kata-kata itu bergema di kepalanya. Rafi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya kacau. Dalang lebih besar? Siapa? Kenapa terus-menerus ada orang yang ngincer dirinya? “Rafi!” suara Ara terdengar panik dari kejauhan. Dia berlari menghampiri, wajahnya pucat melihat tubuh Rafi yang penuh lebam. “Ya Tuhan… kamu kenapa bisa kayak gini?” Rafi berusaha berdiri tegak, menahan sakit. “Aku nggak apa-apa. Cuma luka kecil.”
Suara motor sport hitam meraung memecah keheningan malam, sementara Ara memeluk erat pinggang Rafi dari belakang. Jalanan yang mereka lewati udah mulai sepi, cuma ditemani lampu jalan yang redup.Rafi sengaja melambatkan laju motor ketika sampai di jembatan tua yang sepi. Dia berhenti, matiin mesin, lalu menoleh ke Ara.“Kamu beneran nggak apa-apa?” tanya Rafi lembut sambil menyentuh bahu Ara.Ara menelan ludah, matanya masih menyisakan takut. “Aku masih gemeteran, Raf… Tapi selama ada kamu, aku yakin bisa kuat.”Rafi menarik napas panjang. “Mulai sekarang, kamu jangan sendirian lagi. Aku salah tadi ngelepas kamu jalan sendiri.”Ara menggeleng cepat. “Itu bukan salah kamu. Mereka yang keterlaluan. Tapi… sebenernya siapa sih yang nargetin aku?”Rafi menatap jauh ke depan, lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. “Bang Raga. Orang yang udah lama nyimpen dendam ke keluarga gue. Dan sekarang, dia coba nyerang lewat kamu.”
Malam turun dengan cepat, dan kota kecil tempat Rafi tinggal berubah jadi labirin lampu jalan yang temaram. Dari kamarnya, Rafi duduk menatap tumpukan kertas di meja—dokumen kerja sama dengan Pak Rendra, laporan keuangan, rencana distribusi. Semua keliatan teratur, tapi pikirannya jauh dari tenang.Pesan ancaman yang tadi siang masuk masih kebayang jelas di kepalanya. Kata “bayangan” bikin dia sadar: orang-orang ini bukan main-main. Mereka punya jaringan, punya kekuatan, dan jelas bukan tipe musuh yang gampang ditaklukin dengan satu kali pukul.Pikirannya buyar ketika ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan nomor asing. Nama Karin muncul di layar.Rafi mendesah pelan. Dia sempat ragu, tapi akhirnya menjawab.“Ada apa lagi, Karin?”Suara di seberang terdengar tergesa. “Raf, lo harus dengerin gue. Orang yang lo lawan bukan orang sembarangan. Kalau lo nekat terus—”“Lo nyari perhatian gue dengan cara ini? Udah cukup, Karin. Gue nggak but
Pagi itu matahari belum terlalu tinggi, tapi suasana sekolah udah ramai. Anak-anak nongkrong di kantin, ada yang ribut soal PR, ada yang sekadar ngegosip soal pasangan baru. Semua keliatan normal, biasa aja, seolah dunia baik-baik aja. Tapi buat Rafi, setiap langkah di koridor sekolah terasa berat. Kayak ada bayangan yang terus nempel di pundaknya.Dia masih inget jelas semalam—dua orang yang nyerang, suara rantai besi yang nyaris nyambit kepala, dan tatapan Ara yang pucat ketakutan. Setiap kali dia merem, adegan itu muter lagi di kepalanya.“Pagi, Raf.” Ara muncul dengan senyum tipis, berusaha keliatan ceria. Tapi Rafi bisa baca jelas dari sorot matanya: cewek itu belum tenang. Dia duduk di sebelah Rafi, pura-pura sibuk ngeluarin buku dari tas.“Pagi,” jawab Rafi pendek. Dia sendiri berusaha nyembunyiin resahnya, tapi Ara tahu. Cewek itu udah terlalu sering ngeliat ekspresi asli Rafi.Sepanjang pelajaran, Ara beberapa kali nyolek Rafi. Tapi cowok
Langkah Rafi keluar dari kelas terasa ringan, tapi kepalanya penuh dengan tanda tanya. Kata-kata cowok asing tadi terus terngiang di telinganya. “Bos gue mau ketemu.” Bos siapa? Apa hubungannya sama kerja sama dengan Pak Rendra? Atau jangan-jangan… ini ada kaitannya sama masa lalu keluarganya yang masih penuh rahasia?Rafi menuruni tangga sekolah dengan ekspresi tenang, meskipun dalam hati ia sudah siaga penuh. Sejak kecil dia belajar, kalau musuh sudah mulai mengincar, maka yang pertama harus dijaga adalah orang-orang terdekat. Dan kali ini, yang paling dia pikirkan hanyalah Ara.Di parkiran, Ara sudah menunggu sambil duduk di motor Rafi. “Kamu lama banget. Aku kira kamu udah pulang duluan.”Rafi tersenyum tipis. “Ada yang nyamperin tadi. Nggak penting, cuma sok kenal doang.”Ara menatapnya dengan curiga, tapi akhirnya menghela napas dan tidak bertanya lagi. Mereka berdua pun melaju meninggalkan sekolah.Namun, baru beberapa ratus meter