Rafiandra Siregar duduk di bawah pohon mangga tua, menatap ladang milik pamannya yang perlahan berubah wajah. Di satu sisi, tanaman cabai tumbuh dalam barisan rapi. Di sisi lain, rak kayu buatan sendiri berdiri, menampung pot-pot kecil berisi tanaman herbal.
Keringat membasahi wajahnya. Tangan kirinya menggenggam ponsel tua milik Simbo. Di layarnya, muncul pesan baru: "Order 3 botol madu dan 5 pot daun mint. Kirim ke SMP Bakti Mandiri. — Bu Leni (Guru Biologi)" Senyum kecil muncul di wajah Rafi. Bisnis kecilnya, “Tanaman Sehat Rafi,” mulai bernapas. --- Semuanya berawal dari pelajaran Biologi. Bu Leni membahas tanaman herbal dan manfaatnya. Rafi angkat tangan, menyebut kalau pamannya menanam tanaman seperti itu. “Kalau kamu bisa bawa contoh daun mint, lidah buaya, atau serai minggu depan, saya kasih nilai tambahan,” ujar Bu Leni. Rafi datang dengan semua yang diminta. Lengkap, rapi, disertai penjelasan khasiatnya. Dan sejak saat itu, beberapa guru mulai bertanya—bisa beli? Ia melihat celah. Peluang. “Paman, aku mau coba jual sebagian hasil ladang. Yang kecil-kecil aja. Aku kemas sendiri, kasih label, kirim ke sekolah.” Paman Damar mengangguk. “Selama kamu tanggung jawab, jalanin.” --- Modal pertamanya: karung bekas, pot dari botol plastik, label dari potongan kardus. Ditulis tangan: “Tanaman Sehat Rafi – Asli dari Alam, Dirawat dengan Hati.” Ia susun semuanya di rak bambu buatan sendiri, lalu dipotret pakai ponsel jadul. Kiriman foto itu masuk ke grup W******p wali kelas dan guru. Dan... pesanan pertama datang. Di sekolah, Rafi mulai dikenal bukan cuma sebagai anak pintar dan kuat, tapi juga pengusaha muda. --- “Eh, lo beneran jualan tanaman sekarang?” tanya Aldi, teman sekelas yang dulu suka ngeledek. “Daripada ngemis ke orang tua,” jawab Rafi, tenang. Aldi nyengir, kalah sebelum bertarung. Tapi seperti biasa, tak semua suka. Beberapa kakak kelas mulai bergosip. “Anak tani sok pebisnis,” kata Rian. “Pakai tanah ladang buat skincare, ya?” Tawa menyebar. Rafi hanya menoleh sebentar, lalu melanjutkan mendorong sepeda tuanya yang penuh pot di belakang. --- Suatu pagi, Simbo menemukan rak tanamannya rusak parah. Pot berserakan, tanaman injak-injak. “Rafi... ini dirusak orang,” katanya, menahan amarah. Rafi hanya menatap. Lalu, tanpa kata, mengambil palu dan paku. Ia membangun ulang. Simbo ikut bantu. Paman Damar menyumbang papan dan cat bekas. Dua hari kemudian, rak itu berdiri kembali. Lebih kuat. Lebih rapi. Di depannya, terpajang papan kecil bertuliskan: “Tak perlu marah untuk membalas. Cukup tumbuh lebih tinggi dari yang menjatuhkan.” Dan anehnya, sejak itu, pemesan justru bertambah. --- Di antara semua yang memperhatikan, Raline Hasibuan adalah yang paling jujur mengagumi. “Lo keren, Fi. Jualan, dapet duit, tetap juara kelas.” “Biasa aja.” “Biasa dari mana? Anak cowok di sekolah kita mah nongkrong doang.” Raline tertawa. Rafi hanya mengulas senyum tipis. Mereka makin sering bareng. Raline bantu motret produk, bikin akun I*******m, bahkan mengatur caption promosi. “Ini bisnis lo, tapi aku bantu dikit. Aku suka yang begini.” Sejak itu, mereka tak hanya partner belajar, tapi juga partner tumbuh. --- Suatu malam, Rafi pulang membawa uang hasil jualan. Tak seberapa, dua ratus ribu. Tapi buatnya, itu seperti sejuta. Paman Damar melihatnya. “Kamu tahu uang itu buat apa?” “Bukan buat jajan. Buat muter lagi. Buat lebih besar.” Paman mengangguk. “Kamu mulai ngerti.” Ia duduk di beranda bersama Rafi, menyeduh teh. “Bisnis itu bukan soal cepat kaya. Tapi soal pondasi kuat. Kamu sudah mulai. Tapi ingat, yang kuat bukan cuma otot atau angka. Tapi hati.” Rafi diam. Tapi mengerti. Malam itu, ia kembali menatap langit. Ia belum kaya. Belum dikenal. Tapi ia sudah punya sesuatu yang jarang dimiliki anak seusianya: Kendali atas masa depan. Dan langkah kecil ini... Akan membawanya ke tempat yang besar. To be continued...Angin malam menusuk tajam ketika Rafi melajukan motornya menembus jalanan sepi. Suara knalpot meraung, seolah ikut menyalurkan gejolak di dadanya. Tangan kirinya masih bergetar—bukan cuma karena sakit akibat benturan, tapi juga karena kata-kata terakhir Bang Raga yang terus terngiang di kepalanya. "Ada orang lain di balik semua ini." Rafi menggertakkan gigi. Dalang besar? Siapa lagi yang ngincer dia dan keluarganya? Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil—rumah pamannya, tempat Ara tadi ia sembunyikan. Rafi turun, napasnya masih terengah. Tubuhnya penuh lebam, tapi pikirannya cuma satu: memastikan Ara baik-baik saja. Begitu pintu dibuka, Ara langsung berlari menyambut. Wajahnya pucat, matanya sembab, jelas dia habis nangis. “Rafi!” serunya, memeluk cowok itu erat-erat. “Kamu nggak apa-apa? Aku takut banget…” Rafi diam sesaat, lalu pelan membalas pelukan itu. Rasa sakit di tubuhn
Suara sirene mobil patroli masih terdengar samar di kejauhan. Jalanan yang tadi penuh suara benturan dan teriakan kini lengang, hanya menyisakan bau darah dan debu. Rafi berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya berat, tangannya masih mengepal. Lawannya—Bang Raga—sudah tumbang, tapi sebelum pingsan, mulut pria itu sempat berucap sesuatu yang bikin dada Rafi sesak. "Anak muda… lo kira semua ini cuma gue yang mainin? Hahaha… di atas gue masih ada yang jauh lebih gede." Kata-kata itu bergema di kepalanya. Rafi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya kacau. Dalang lebih besar? Siapa? Kenapa terus-menerus ada orang yang ngincer dirinya? “Rafi!” suara Ara terdengar panik dari kejauhan. Dia berlari menghampiri, wajahnya pucat melihat tubuh Rafi yang penuh lebam. “Ya Tuhan… kamu kenapa bisa kayak gini?” Rafi berusaha berdiri tegak, menahan sakit. “Aku nggak apa-apa. Cuma luka kecil.”
Suara motor sport hitam meraung memecah keheningan malam, sementara Ara memeluk erat pinggang Rafi dari belakang. Jalanan yang mereka lewati udah mulai sepi, cuma ditemani lampu jalan yang redup.Rafi sengaja melambatkan laju motor ketika sampai di jembatan tua yang sepi. Dia berhenti, matiin mesin, lalu menoleh ke Ara.“Kamu beneran nggak apa-apa?” tanya Rafi lembut sambil menyentuh bahu Ara.Ara menelan ludah, matanya masih menyisakan takut. “Aku masih gemeteran, Raf… Tapi selama ada kamu, aku yakin bisa kuat.”Rafi menarik napas panjang. “Mulai sekarang, kamu jangan sendirian lagi. Aku salah tadi ngelepas kamu jalan sendiri.”Ara menggeleng cepat. “Itu bukan salah kamu. Mereka yang keterlaluan. Tapi… sebenernya siapa sih yang nargetin aku?”Rafi menatap jauh ke depan, lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. “Bang Raga. Orang yang udah lama nyimpen dendam ke keluarga gue. Dan sekarang, dia coba nyerang lewat kamu.”
Malam turun dengan cepat, dan kota kecil tempat Rafi tinggal berubah jadi labirin lampu jalan yang temaram. Dari kamarnya, Rafi duduk menatap tumpukan kertas di meja—dokumen kerja sama dengan Pak Rendra, laporan keuangan, rencana distribusi. Semua keliatan teratur, tapi pikirannya jauh dari tenang.Pesan ancaman yang tadi siang masuk masih kebayang jelas di kepalanya. Kata “bayangan” bikin dia sadar: orang-orang ini bukan main-main. Mereka punya jaringan, punya kekuatan, dan jelas bukan tipe musuh yang gampang ditaklukin dengan satu kali pukul.Pikirannya buyar ketika ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan nomor asing. Nama Karin muncul di layar.Rafi mendesah pelan. Dia sempat ragu, tapi akhirnya menjawab.“Ada apa lagi, Karin?”Suara di seberang terdengar tergesa. “Raf, lo harus dengerin gue. Orang yang lo lawan bukan orang sembarangan. Kalau lo nekat terus—”“Lo nyari perhatian gue dengan cara ini? Udah cukup, Karin. Gue nggak but
Pagi itu matahari belum terlalu tinggi, tapi suasana sekolah udah ramai. Anak-anak nongkrong di kantin, ada yang ribut soal PR, ada yang sekadar ngegosip soal pasangan baru. Semua keliatan normal, biasa aja, seolah dunia baik-baik aja. Tapi buat Rafi, setiap langkah di koridor sekolah terasa berat. Kayak ada bayangan yang terus nempel di pundaknya.Dia masih inget jelas semalam—dua orang yang nyerang, suara rantai besi yang nyaris nyambit kepala, dan tatapan Ara yang pucat ketakutan. Setiap kali dia merem, adegan itu muter lagi di kepalanya.“Pagi, Raf.” Ara muncul dengan senyum tipis, berusaha keliatan ceria. Tapi Rafi bisa baca jelas dari sorot matanya: cewek itu belum tenang. Dia duduk di sebelah Rafi, pura-pura sibuk ngeluarin buku dari tas.“Pagi,” jawab Rafi pendek. Dia sendiri berusaha nyembunyiin resahnya, tapi Ara tahu. Cewek itu udah terlalu sering ngeliat ekspresi asli Rafi.Sepanjang pelajaran, Ara beberapa kali nyolek Rafi. Tapi cowok
Langkah Rafi keluar dari kelas terasa ringan, tapi kepalanya penuh dengan tanda tanya. Kata-kata cowok asing tadi terus terngiang di telinganya. “Bos gue mau ketemu.” Bos siapa? Apa hubungannya sama kerja sama dengan Pak Rendra? Atau jangan-jangan… ini ada kaitannya sama masa lalu keluarganya yang masih penuh rahasia?Rafi menuruni tangga sekolah dengan ekspresi tenang, meskipun dalam hati ia sudah siaga penuh. Sejak kecil dia belajar, kalau musuh sudah mulai mengincar, maka yang pertama harus dijaga adalah orang-orang terdekat. Dan kali ini, yang paling dia pikirkan hanyalah Ara.Di parkiran, Ara sudah menunggu sambil duduk di motor Rafi. “Kamu lama banget. Aku kira kamu udah pulang duluan.”Rafi tersenyum tipis. “Ada yang nyamperin tadi. Nggak penting, cuma sok kenal doang.”Ara menatapnya dengan curiga, tapi akhirnya menghela napas dan tidak bertanya lagi. Mereka berdua pun melaju meninggalkan sekolah.Namun, baru beberapa ratus meter