Langit desa Srigading diselimuti awan gelap ketika Rafiandra Siregar berdiri di depan rumah Simbo dengan selembar brosur di tangannya. Di bagian atas brosur itu, tercetak tebal:
"Kompetisi Inovasi Muda Nasional – Untuk Pelajar SMP dan SMA se-Indonesia." Hadiah utama? Uang tunai lima juta rupiah dan pelatihan bisnis langsung dari pengusaha muda nasional. Tapi bukan itu yang membuat Rafi menatap kertas itu lama—melainkan satu kalimat kecil di bawahnya: “Pemenang akan mendapatkan akses penuh ke program beasiswa nasional.” Sebuah kesempatan. Sebuah celah baru untuk mendaki lebih tinggi. --- “Simbo, aku mau ikut lomba ini,” ucap Rafi malam itu sambil menyodorkan brosur. Simbo membacanya pelan, lalu menatap wajah Rafi yang serius. “Kamu yakin, Nak? Saingannya se-Indonesia.” “Aku gak takut saingan, Simbo. Aku takut gak nyoba.” Simbo tersenyum. Senyum itu seperti mentari pertama setelah hujan panjang. “Kalau kamu sudah yakin, Simbo dukung. Tapi jangan lupa jaga kesehatan.” --- Esok harinya, Rafi mengumpulkan semua catatan bisnis kecilnya: penjualan pot tanaman, pemasukan, pengeluaran, strategi pemasaran sederhana. Ia mulai menulis proposal ide bisnis berjudul: “Pemanfaatan Limbah Botol untuk Budidaya Tanaman Herbal Rumahan.” Ide itu sederhana, tapi kuat. Dan sangat Rapi. Ia begadang tiga malam menyiapkan dokumen dan video presentasi. Raline membantu merekam, mengedit, bahkan memperbaiki kalimat-kalimat formalnya. Mereka duduk berdampingan di ruang belajar sederhana rumah Rafi, diterangi lampu seadanya. “Kalau menang, lo mau ngapain?” tanya Raline. “Bangun lahan sendiri. Beli alat-alat pertanian yang layak. Dan... bantu Simbo,” jawab Rafi. Raline tersenyum. “Kamu emang beda.” --- Tiga minggu kemudian, Rafi menerima email: Selamat, Anda lolos seleksi tahap awal dan masuk ke tahap semifinal. Degup jantungnya langsung tak karuan. Ia mengabari Simbo, Paman Damar, dan tentu saja—Raline. Sejak itu, hari-harinya berubah total: pagi sekolah, siang ladang, malam belajar presentasi. --- Ia belajar cara berbicara di depan kamera, menyusun kalimat meyakinkan, membaca strategi bisnis modern dari koran bekas. Paman Damar ikut membantu, memberi saran dan teknik negosiasi dasar. “Kamu harus bisa bedain kapan ngomong, kapan dengar, dan kapan diam yang justru lebih nyaring dari seribu kata.” Rafi menyerap semuanya. --- Hari semifinal tiba. Rafi melakukan presentasi virtual dari ruang guru, meminjam laptop kepala sekolah. Raline duduk diam di pojok, memberi semangat lewat tatapan. Di layar, tiga juri: pengusaha muda, dosen universitas, dan perwakilan kementerian. Rafi bicara dengan tenang, kalimat rapi, mata tajam. “Program ini bertujuan menggabungkan edukasi lingkungan dan kewirausahaan remaja, dengan pendekatan rendah biaya namun berkelanjutan...” Juri kagum. Salah satu dari mereka berkata, “Kamu terdengar seperti mahasiswa tahun akhir.” --- Beberapa hari kemudian, email baru masuk: "Selamat, Anda terpilih sebagai salah satu finalis Kompetisi Inovasi Muda Nasional." Rafi terdiam menatap layar. Ia lolos. Benar-benar lolos. Simbo menangis. Paman Damar menepuk bahunya. Raline menelepon dengan suara semangat luar biasa. “Lo gila, Fi. Gue bangga banget!” --- Final akan diselenggarakan di Jakarta. Ini pertama kalinya Rafi pergi sejauh itu. Tapi panitia menanggung semua biaya. Sebelum berangkat, ia berdiri di depan rak tanamannya. Menyentuh satu pot kecil berisi daun mint. “Gue bakal balik, dan bikin ini gede,” bisiknya. --- Jakarta. Gedung tinggi, jalanan padat, dan suasana yang asing. Tapi Rafi tak gentar. Ia bertemu anak-anak hebat dari seluruh Indonesia, tapi tak ada rasa minder. Ia tahu siapa dirinya. --- Hari final. Panggung besar. Aula megah. Penonton puluhan orang. Rafi dipanggil. Ia naik dengan tenang, memakai batik sederhana, sepatu tuanya tetap setia. Presentasinya mantap. Juri terkesima. Tepuk tangan menyusul. Malamnya, pengumuman pemenang: “Juara pertama Kompetisi Inovasi Muda Nasional tahun ini adalah... Rafiandra Siregar, dari SMP Tunas Bangsa, Srigading!” Aula meledak tepuk tangan. Rafi berdiri di bawah cahaya lampu. Matanya menatap ke atas, seolah menembus langit, membayangkan wajah Simbo, Paman Damar, dan Raline. Tangannya menggenggam trofi. Tapi yang ia genggam sebenarnya adalah keyakinan: Bahwa anak desa, dengan tekad dan tanah di tangan, bisa menggetarkan panggung nasional. Malam itu, untuk pertama kalinya, Rafi tidur di kota orang—bukan sebagai tamu... Tapi sebagai pemenang. To be continued...Langit Jakarta siang itu mendung, seolah ikut menahan napas bersama Rafi yang duduk di ruang meeting kecil lantai dua kantor pusat Siregar Group. Di depannya, meja kayu panjang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa pria dan wanita dewasa dengan jas mahal dan wajah serius.“Jadi... kamu anak desa yang menang lomba itu?” tanya salah satu pria berkacamata bundar dengan senyum tipis.“Namaku Rafiandra Siregar,” jawab Rafi tenang. “Saya ke sini bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik ide.”Salah satu wanita tertawa kecil. “Berani juga kamu ngomong kayak gitu.”Tante Winda yang duduk di pojok memberi isyarat halus. “Mereka hanya menguji keberanianmu.”Rafi menatap mereka satu per satu. Ia tak gentar. Yang duduk di depannya mungkin berdasi dan punya saham, tapi Rafi punya hal yang lebih penting — tekad dan waktu yang tidak ia sia-siakan.Mereka mulai membahas proposal Rafi soal green space terpadu di lahan-lahan kosong milik Siregar Group yang bisa dijadikan pusat urban farming dan pendidika
Langit Jakarta sore itu dipenuhi warna jingga saat Rafiandra Siregar turun dari kereta. Hiruk-pikuk kota begitu asing, namun langkahnya mantap. Di tangannya, ia menggenggam surat undangan dari keluarga Siregar—keluarga yang dulu membuangnya, kini mengundangnya datang. Mobil jemputan sudah menunggu di luar stasiun. Seorang sopir berpakaian rapi membungkuk sedikit dan berkata, “Selamat datang, Tuan Rafiandra. Kami diminta untuk mengantar Anda ke rumah utama keluarga.” Rafi tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil, matanya menatap keluar jendela, menatap bangunan-bangunan tinggi yang menyimpan begitu banyak kisah dan rahasia. --- Rumah utama keluarga Siregar lebih mirip istana dibanding rumah biasa. Pilar marmer, taman luas, air mancur, dan lampu gantung kristal menyambut kedatangannya. Namun semua itu tak membuat Rafi kagum. Ia hanya menatapnya datar—karena bukan kemewahan yang ia cari di sini. Sesaat setelah masuk, ia disambut oleh seorang pria tua berjas abu-abu: Pak Jatmiko,
Pagi itu, kabut masih menggantung di perbukitan desa Srigading saat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Simbo. Pintu mobil terbuka pelan, dan keluar seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, berkacamata hitam, dan berpenampilan elegan.Simbo yang tengah menyapu halaman langsung menegakkan tubuhnya, matanya menajam.“Bu Ratna?” gumamnya nyaris tak terdengar.Wanita itu menurunkan kacamatanya perlahan, menatap langsung ke arah Simbo.“Sudah lama ya, Simbo.”Simbo mematung. Jari-jarinya menggenggam erat gagang sapu.Dari dalam rumah, Rafi muncul sambil membawa ember kecil. Melihat mobil asing dan dua wanita yang saling tatap tanpa suara, ia mendekat pelan.“Simbo, siapa—”Seketika mata wanita itu beralih padanya. Wajahnya kaku. Nafasnya tercekat.“...Rafi?”Rafi mengernyit. “Ibu kenal saya?”Tak ada jawaban. Hanya mata yang berkaca-kaca dan bibir yang bergetar.---Raline datang beberapa menit kemudian, membawa laporan pengiriman mingguan. Namun saat melihat suasana di halaman
Hari itu, aula forum nasional kembali ramai dengan presentasi dan diskusi. Namun bagi Rafi, pikirannya masih tertinggal di percakapan dengan Armand Hidayat, wakil direktur PT Mitra Nusantara Hijau. Ia masih tak percaya, dari ribuan peserta forum, ada satu pihak nyata dari dunia bisnis yang menawarkan kemungkinan kerja sama. Malamnya, di penginapan tempat ia menginap bersama para finalis, Rafi membuka catatannya. Ia menuliskan semua hal penting dari pembicaraan tadi. Produk ramah lingkungan berbasis desa Model penjualan hybrid (online dan offline) Distribusi skala kecil-kecamatan Ia menatap lembaran itu lama. “Gue gak boleh setengah-setengah,” gumamnya. --- Keesokan harinya, sesuai janji, ia mendatangi kantor pusat PT Mitra Nusantara Hijau di kawasan bisnis Jakarta. Ia mengenakan kemeja bersih, celana kain hitam, dan tetap memakai sepatu lamanya yang disemir dengan telaten. Di dalam kantor modern itu, ia disambut staf muda yang membawanya ke ruang rapat lantai tiga. Di sana,
Udara pagi Srigading terasa berbeda. Sejuknya menusuk tapi menenangkan, seakan menyambut kepulangan seseorang yang telah menaklukkan satu lapis takdir. Rafi turun dari ojek desa, membawa ransel lusuh dan sekotak kecil oleh-oleh. Ia menatap jalan tanah yang mengarah ke rumah Simbo, lalu menarik napas dalam. “aku pulang.” Simbo menyambutnya dengan pelukan hangat dan air mata yang tak bisa ia tahan. Paman Damar mengangguk singkat—seperti biasa—tapi senyum di wajahnya kali ini lebih hangat dari biasanya. “Gimana Jakarta?” “Rame. Tapi gak ada sawahnya,” jawab Rafi ringan. “Bagus. Berarti kamu belum lupa dari mana kamu tumbuh.” --- Tak butuh waktu lama bagi berita kepulangan Rafi menyebar. Siswa-siswa di SMP Tunas Bangsa kembali menyapanya dengan cara berbeda—lebih banyak hormat, lebih sedikit sindiran. Namun satu orang yang membuat hari pertama di sekolah jadi lebih istimewa: Raline. Ia berdiri di depan kelas, memegang satu pot kecil berisi bibit baru. “Welcome home, Partner.”
Semenjak pulang dari Jakarta, nama Rafiandra Siregar mulai disebut-sebut di banyak tempat—dari grup WhatsApp guru, forum pelajar hingga media lokal. Foto dirinya saat menerima trofi dengan pakaian sederhana sempat viral, menimbulkan kekaguman sekaligus tanda tanya besar.“Siapa sebenarnya anak ini?”Namun bagi Rafi, perhatian itu bukan hal yang membuatnya terlena. Justru jadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh.---Pagi itu, di rumah Simbo, Rafi duduk di depan rak tanamannya yang makin rapi. Ia memandangi brosur baru yang barusan dicetak dengan bantuan Raline: “Rafi Farm – Tanaman Herbal & Edukasi Lingkungan.”Ia tak hanya menjual tanaman sekarang. Ia membuka pelatihan pertanian mini untuk anak-anak sekolah dasar. Setiap minggu, beberapa anak datang dan belajar langsung di ladang kecilnya. Ia ajarkan cara menanam, menyiram, bahkan membuat pupuk kompos sederhana.“Bertani bukan soal tanah, tapi soal hati dan sabar,” katanya pada mereka.---Suatu sore, ketika ia dan Raline tengah meny