Home / Fantasi / BAYANGAN DARAH SIREGAR / Bab 33 – Riak yang Menggelora di Balik Nama

Share

Bab 33 – Riak yang Menggelora di Balik Nama

Author: Kaeyaa Avery
last update Last Updated: 2025-09-02 13:35:58

Pagi di desa Srigading terasa lebih hangat dari biasanya. Embun belum sempat mengering ketika suara sepeda Rafi terdengar dari gang kecil dekat rumah. Ia baru saja pulang dari kantor pos kecamatan, mengirim berkas tambahan untuk pendaftaran "Youth Global Innovation Program" yang diterimanya semalam.

Rafi tahu peluang ini bukan hanya tentang belajar. Tapi tentang membuka jembatan ke dunia luar. Ia ingin semua orang tahu bahwa dari desa sekecil Srigading pun, seseorang bisa bicara untuk Indonesia—atau bahkan lebih.

---

Setelah sarapan bersama, Rafi masuk ke ruang belakang rumah yang kini telah ia ubah jadi ruang kerja sederhana. Di atas meja, terdapat peta desa, tabel produksi tanaman herbal mingguan, dan daftar nama relawan muda yang mulai ikut bergabung dalam proyek "Tumbuh dari Tanah".

Ia mengambil satu lembar laporan dari laci, menuliskan catatan kecil: “Pengiriman tahap dua dimulai Jumat depa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 35 – Langkah di Atas Bara

    Senja menyelimuti langit Jakarta dengan semburat jingga yang lembut, tapi hati Rafiandra Siregar justru semakin diliputi awan mendung. Ia berdiri di depan jendela hotel tempatnya menginap, menatap lalu lintas ibu kota yang sibuk tanpa henti. Tangannya masih memegang amplop besar berisi dokumen penting: undangan resmi dari Perusahaan Nusantara Holding—grup bisnis milik keluarga Siregar. "Ini bukan hanya undangan," gumam Rafi pelan, "ini ujian." --- Sehari sebelumnya, ia menerima surat itu melalui perwakilan resmi dari perusahaan. Undangan itu mengharuskannya hadir dalam pertemuan internal eksekutif muda, yang diadakan setiap tahun untuk menjaring bibit-bibit baru calon pemimpin bisnis nasional. Rafi tidak menyangka, namanya masuk dalam daftar rekomendasi. Namun, yang paling membuatnya terkejut bukan undangan itu—melainkan nama yang tertera di bagian pengundang: Ratna Siregar,

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 34 – Jejak Luka di Balik Kemenangan

    Jakarta kembali basah oleh hujan malam ketika Rafiandra Siregar membuka pintu kamarnya di wisma pelatihan. Trofi di meja kerjanya masih mengilap, mencerminkan cahaya lampu temaram yang menggantung di langit-langit. Tapi tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini ia tidak sedang menyusun strategi bisnis atau membaca jurnal kewirausahaan. Ia duduk diam, matanya menatap kosong ke arah jendela. Sudah seminggu sejak ia diumumkan sebagai juara pertama Kompetisi Inovasi Muda Nasional. Sejak itu, jadwalnya padat—undangan seminar, wawancara radio, hingga tawaran kerja sama dari beberapa perusahaan start-up berbasis agrikultur. Namun hatinya tidak tenang. Ada satu momen yang membekas sejak ia turun dari panggung kemenangan. Di antara kerumunan yang menyalaminya, ia melihat sosok wanita paruh baya, mengenakan blazer hitam dan kacamata gelap. Wajahnya nyaris tak terlihat jelas, tapi tatapannya—meski dari kejauhan—mengguncang se

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 33 – Riak yang Menggelora di Balik Nama

    Pagi di desa Srigading terasa lebih hangat dari biasanya. Embun belum sempat mengering ketika suara sepeda Rafi terdengar dari gang kecil dekat rumah. Ia baru saja pulang dari kantor pos kecamatan, mengirim berkas tambahan untuk pendaftaran "Youth Global Innovation Program" yang diterimanya semalam. Rafi tahu peluang ini bukan hanya tentang belajar. Tapi tentang membuka jembatan ke dunia luar. Ia ingin semua orang tahu bahwa dari desa sekecil Srigading pun, seseorang bisa bicara untuk Indonesia—atau bahkan lebih. --- Setelah sarapan bersama, Rafi masuk ke ruang belakang rumah yang kini telah ia ubah jadi ruang kerja sederhana. Di atas meja, terdapat peta desa, tabel produksi tanaman herbal mingguan, dan daftar nama relawan muda yang mulai ikut bergabung dalam proyek "Tumbuh dari Tanah". Ia mengambil satu lembar laporan dari laci, menuliskan catatan kecil: “Pengiriman tahap dua dimulai Jumat depa

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 32 – Jalan Baru yang Terbuka

    Pagi itu, matahari muncul malu-malu dari balik kabut tipis yang menyelimuti desa Srigading. Rafi berdiri di depan rumah, mengenakan jaket ringan dan celana bahan hitam, bersiap berangkat ke kota. Tapi kali ini bukan untuk seminar atau kompetisi—melainkan menghadiri undangan khusus dari salah satu universitas terbaik di Jawa Barat: Universitas Pratama Mandala. Mereka mengundangnya untuk menghadiri acara "Young Entrepreneurs Gathering", ajang temu pelajar SMA sederajat, mahasiswa, dan investor. Rafi, yang masih duduk di bangku SMP, menjadi satu-satunya peserta termuda. “Jangan lupa makan siang, ya,” ujar Ratna sambil merapikan kerah baju Rafi. Rafi tersenyum. “Iya, Bu. Aku jaga diri, kok.” Paman Damar menepuk bahunya. “Bawa nama desa dengan kepala tegak.” Rafi mengangguk. Dengan koper kecil dan ransel berisi sampel produk herbal kering, ia berangkat naik mobil jemputan dari panitia

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 31 – Bayangan Masa Lalu yang Menyala

    Hujan rintik-rintik membasahi pekarangan rumah kecil Simbo malam itu. Langit seakan menyimpan rindu yang tak sempat disampaikan, dan Rafi berdiri di bawahnya, membiarkan air hujan mengguyur kepalanya tanpa perlindungan apa pun. Di tangannya, sebuah foto usang yang baru saja ditemukan di antara buku-buku lama peninggalan Simbo. Di foto itu, terlihat seorang wanita muda dengan sorot mata yang sangat mirip dirinya. Wajah itu—meski kabur karena usia foto—terasa tak asing. Dan tepat di belakang wanita itu, berdiri seorang pria mengenakan setelan jas mahal, menatap kamera dengan ekspresi datar. Rafi menatapnya lekat-lekat. “Ibu…” gumamnya. --- Setelah menemukan foto itu, Rafi duduk bersama Paman Damar di beranda. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan kenangan yang terlupa. “Paman… siapa pria di foto ini?” Paman Damar

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 30 – Jejak Langkah di Dua Dunia

    Mentari pagi menerobos kaca jendela rumah Simbo, memantul pelan di meja kerja Rafi yang penuh dengan tumpukan dokumen, sketsa desain, dan sisa-sisa ide yang sempat ia coret semalam. Di ujung meja, piala dari Kompetisi Inovasi Muda Nasional masih berdiri gagah, mengingatkannya akan langkah awal yang telah ia capai. Namun kini, dunia Rafi telah terbagi dua: dunia sekolah dan dunia bisnis. Dua dunia yang tidak saling menunggu, tetapi harus ia jalani bersamaan. --- “Fi, kamu sarapan dulu ya, jangan langsung kerja,” kata Simbo dari dapur sambil menghidangkan nasi goreng sederhana dan telur dadar. “Iya, Simbo,” jawab Rafi sambil tersenyum. Ia menghampiri meja makan dan duduk, menatap penuh syukur pada makanan yang tersaji. Simbo menatapnya lembut. “Kamu udah besar ya... sekarang pinter, sibuk, dan tetap ingat makan di rumah.” Rafi tersenyum. “Simbo rumah aku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status