Home / Fantasi / BAYANGAN DARAH SIREGAR / Bab 5 - Bayangan yang Berbisik

Share

Bab 5 - Bayangan yang Berbisik

Author: Kaeyaa Avery
last update Last Updated: 2025-06-21 20:33:15

Langit sore di Desa Srigading masih tampak sama—tenang, sejuk, dan sederhana. Tapi hidup Rafiandra Siregar berubah sejak ia pulang dari Jakarta membawa piala juara Kompetisi Inovasi Muda Nasional. Warga desa menyambutnya dengan kagum, bahkan kepala desa mengundangnya ke balai dusun untuk memberikan pidato.

“Anak petani bisa juara nasional,” begitu kata mereka. Tapi bagi Rafi, itu baru permulaan.

---

Sejak kemenangan itu, bisnis kecilnya mulai dilirik. Beberapa guru dari sekolah lain menghubungi untuk memesan pot herbal. Bahkan ada wartawan lokal yang datang mewawancarainya.

Raline, yang sejak awal membantunya, membuatkan akun media sosial khusus untuk “Tanaman Sehat Rafi”. Dalam dua minggu, pengikutnya menembus 3.000 orang. Pesanan mulai berdatangan dari luar kota.

“Fi, lo sadar gak? Ini mulai gede,” kata Raline suatu sore saat mereka membungkus pesanan di teras rumah Simbo.

Rafi mengangguk pelan. “Makanya gue mulai bingung, harus tetap kecil tapi aman, atau coba ekspansi?”

“Kalau butuh tim, kita bisa ajak anak-anak di desa,” saran Raline.

Dan itulah yang mereka lakukan. Rafi membentuk tim kecil: lima remaja sebaya yang ia latih cara menanam, membungkus, dan mengelola pesanan.

Ia membagi penghasilan mereka secara adil. Tidak banyak, tapi cukup membuat semangat tumbuh di hati anak-anak desa.

---

Suatu malam, setelah semua pulang dan rumah sepi, Rafi duduk di beranda. Simbo datang membawa teh hangat, lalu duduk di sampingnya.

“Pikiranku berat, Simbo.”

Simbo tersenyum, menatapnya lembut. “Karena kamu mulai melangkah lebih jauh. Makin tinggi kamu naik, anginnya makin kencang.”

Rafi memandangi langit. “Simbo... kemarin waktu di Jakarta, ada yang datang ke aku. Orang dari Yayasan Siregar.”

Simbo terdiam.

“Mereka ngajak ketemu. Tapi aku gak jawab.”

Simbo menggenggam tangannya. “Rafi, cepat atau lambat, kamu memang harus hadapi bayangan masa lalu itu. Tapi bukan sekarang, kalau kamu belum siap.”

Rafi menunduk. “aku gak pengin ketemu mereka karena gue butuh. Kalau nanti ketemu, gue pengen udah berdiri sejajar.”

Simbo mengangguk, air matanya menggenang. “Itu kata-kata dari anak yang udah jadi lelaki.”

---

Beberapa hari kemudian, Rafi diundang ke seminar bisnis remaja di kota kabupaten. Di sana, ia bertemu dengan mentor baru: seorang pengusaha muda bernama Gibran, yang dulu pernah jadi juara kompetisi yang sama.

“Gue lihat proposal lo. Gue terkesan,” ujar Gibran saat pertama bertemu. “Lo gak cuma jualan, lo bikin sistem.”

Rafi sedikit kikuk. “Masih belajar, Bang.”

“Nah, karena itu gue tertarik. Mau gak, gue ajarin lo bikin bisnis yang lebih profesional? Gue gak minta imbalan. Anggap aja ini investasi gue ke masa depan.”

---

Rafi pulang dari seminar itu dengan kepala penuh rencana. Ia mulai menyusun sistem keuangan sederhana, mencatat pemasukan dan pengeluaran timnya. Gibran mengirimkan modul pelatihan online, dan setiap akhir pekan mereka video call untuk evaluasi.

Paman Damar menyaksikan perubahan Rafi dengan mata bangga, meski ia tak banyak komentar.

“Dia anak yang keras kepala, tapi arahnya benar,” ucapnya pada Simbo.

“Dan dia gak sendirian,” jawab Simbo sambil tersenyum.

---

Namun, malam itu juga, sebuah mobil hitam berhenti jauh di ujung jalan desa. Seorang pria berkacamata turun, menatap rumah Simbo dari kejauhan. Ia mengeluarkan ponsel dan menelepon.

“Dia masih di sana. Anak itu... mirip sekali dengan Pak Aditya waktu muda.”

“Lanjutkan pengawasan. Tapi jangan ganggu dia dulu,” jawab suara di ujung telepon.

Mobil itu melaju perlahan, meninggalkan debu tipis di jalan desa.

Dan tanpa Rafi sadari, bayangan masa lalu yang selama ini ia hindari... mulai bergerak mendekat.

---

Beberapa hari setelah itu, suasana rumah Simbo sedikit berubah. Rafi mulai merasa ada orang asing yang mondar-mandir di desa. Seorang ibu penjual nasi uduk bahkan bilang ada pria kota yang sempat bertanya soal dia.

“Mereka kelihatan sopan, tapi tatapan matanya kayak pengawas,” ucap ibu itu saat Rafi mampir.

Simbo mendengar itu dan langsung menutup pagar rumah tiap malam. Paman Damar juga mulai lebih sering berjaga di malam hari, menyimpan parang di dekat pintu.

Namun Rafi tetap tenang. Di balik kesibukan usahanya, ia menulis ulang rencana lima tahun ke depan: memperluas sistem pembibitan, membuat pelatihan pertanian untuk remaja desa, dan membangun koperasi kecil khusus tanaman herbal.

Ia bahkan menargetkan untuk membuka toko fisik pertama di pasar tradisional dalam satu tahun.

“Lo gak takut gagal?” tanya Raline saat mereka duduk di tepian sawah.

“Takut. Tapi kalau berhenti karena takut, ya gak bakal maju,” jawab Rafi.

Sore itu, matahari tenggelam di balik pegunungan jauh. Dan Rafi tahu, langkahnya belum berhenti.

Bayangan masa lalu boleh datang kapan saja.

Tapi ia tidak akan pernah lagi lari.

To be continued...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 12 – Bisik Rahasia dan Badai yang Mendekat

    Langit Jakarta siang itu mendung, seolah ikut menahan napas bersama Rafi yang duduk di ruang meeting kecil lantai dua kantor pusat Siregar Group. Di depannya, meja kayu panjang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa pria dan wanita dewasa dengan jas mahal dan wajah serius.“Jadi... kamu anak desa yang menang lomba itu?” tanya salah satu pria berkacamata bundar dengan senyum tipis.“Namaku Rafiandra Siregar,” jawab Rafi tenang. “Saya ke sini bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik ide.”Salah satu wanita tertawa kecil. “Berani juga kamu ngomong kayak gitu.”Tante Winda yang duduk di pojok memberi isyarat halus. “Mereka hanya menguji keberanianmu.”Rafi menatap mereka satu per satu. Ia tak gentar. Yang duduk di depannya mungkin berdasi dan punya saham, tapi Rafi punya hal yang lebih penting — tekad dan waktu yang tidak ia sia-siakan.Mereka mulai membahas proposal Rafi soal green space terpadu di lahan-lahan kosong milik Siregar Group yang bisa dijadikan pusat urban farming dan pendidika

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 11 – Undangan dari Masa Lalu

    Langit Jakarta sore itu dipenuhi warna jingga saat Rafiandra Siregar turun dari kereta. Hiruk-pikuk kota begitu asing, namun langkahnya mantap. Di tangannya, ia menggenggam surat undangan dari keluarga Siregar—keluarga yang dulu membuangnya, kini mengundangnya datang. Mobil jemputan sudah menunggu di luar stasiun. Seorang sopir berpakaian rapi membungkuk sedikit dan berkata, “Selamat datang, Tuan Rafiandra. Kami diminta untuk mengantar Anda ke rumah utama keluarga.” Rafi tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil, matanya menatap keluar jendela, menatap bangunan-bangunan tinggi yang menyimpan begitu banyak kisah dan rahasia. --- Rumah utama keluarga Siregar lebih mirip istana dibanding rumah biasa. Pilar marmer, taman luas, air mancur, dan lampu gantung kristal menyambut kedatangannya. Namun semua itu tak membuat Rafi kagum. Ia hanya menatapnya datar—karena bukan kemewahan yang ia cari di sini. Sesaat setelah masuk, ia disambut oleh seorang pria tua berjas abu-abu: Pak Jatmiko,

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 10 – Jejak Masa Lalu dan Tamu Tak Diundang

    Pagi itu, kabut masih menggantung di perbukitan desa Srigading saat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Simbo. Pintu mobil terbuka pelan, dan keluar seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, berkacamata hitam, dan berpenampilan elegan.Simbo yang tengah menyapu halaman langsung menegakkan tubuhnya, matanya menajam.“Bu Ratna?” gumamnya nyaris tak terdengar.Wanita itu menurunkan kacamatanya perlahan, menatap langsung ke arah Simbo.“Sudah lama ya, Simbo.”Simbo mematung. Jari-jarinya menggenggam erat gagang sapu.Dari dalam rumah, Rafi muncul sambil membawa ember kecil. Melihat mobil asing dan dua wanita yang saling tatap tanpa suara, ia mendekat pelan.“Simbo, siapa—”Seketika mata wanita itu beralih padanya. Wajahnya kaku. Nafasnya tercekat.“...Rafi?”Rafi mengernyit. “Ibu kenal saya?”Tak ada jawaban. Hanya mata yang berkaca-kaca dan bibir yang bergetar.---Raline datang beberapa menit kemudian, membawa laporan pengiriman mingguan. Namun saat melihat suasana di halaman

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 9 – Undangan Besar dan Masa Depan yang Terbuka

    Hari itu, aula forum nasional kembali ramai dengan presentasi dan diskusi. Namun bagi Rafi, pikirannya masih tertinggal di percakapan dengan Armand Hidayat, wakil direktur PT Mitra Nusantara Hijau. Ia masih tak percaya, dari ribuan peserta forum, ada satu pihak nyata dari dunia bisnis yang menawarkan kemungkinan kerja sama. Malamnya, di penginapan tempat ia menginap bersama para finalis, Rafi membuka catatannya. Ia menuliskan semua hal penting dari pembicaraan tadi. Produk ramah lingkungan berbasis desa Model penjualan hybrid (online dan offline) Distribusi skala kecil-kecamatan Ia menatap lembaran itu lama. “Gue gak boleh setengah-setengah,” gumamnya. --- Keesokan harinya, sesuai janji, ia mendatangi kantor pusat PT Mitra Nusantara Hijau di kawasan bisnis Jakarta. Ia mengenakan kemeja bersih, celana kain hitam, dan tetap memakai sepatu lamanya yang disemir dengan telaten. Di dalam kantor modern itu, ia disambut staf muda yang membawanya ke ruang rapat lantai tiga. Di sana,

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 8 – Titik Balik dan Pintu Baru

    Udara pagi Srigading terasa berbeda. Sejuknya menusuk tapi menenangkan, seakan menyambut kepulangan seseorang yang telah menaklukkan satu lapis takdir. Rafi turun dari ojek desa, membawa ransel lusuh dan sekotak kecil oleh-oleh. Ia menatap jalan tanah yang mengarah ke rumah Simbo, lalu menarik napas dalam. “aku pulang.” Simbo menyambutnya dengan pelukan hangat dan air mata yang tak bisa ia tahan. Paman Damar mengangguk singkat—seperti biasa—tapi senyum di wajahnya kali ini lebih hangat dari biasanya. “Gimana Jakarta?” “Rame. Tapi gak ada sawahnya,” jawab Rafi ringan. “Bagus. Berarti kamu belum lupa dari mana kamu tumbuh.” --- Tak butuh waktu lama bagi berita kepulangan Rafi menyebar. Siswa-siswa di SMP Tunas Bangsa kembali menyapanya dengan cara berbeda—lebih banyak hormat, lebih sedikit sindiran. Namun satu orang yang membuat hari pertama di sekolah jadi lebih istimewa: Raline. Ia berdiri di depan kelas, memegang satu pot kecil berisi bibit baru. “Welcome home, Partner.”

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 7 - Bayangan dari Jakarta

    Semenjak pulang dari Jakarta, nama Rafiandra Siregar mulai disebut-sebut di banyak tempat—dari grup WhatsApp guru, forum pelajar hingga media lokal. Foto dirinya saat menerima trofi dengan pakaian sederhana sempat viral, menimbulkan kekaguman sekaligus tanda tanya besar.“Siapa sebenarnya anak ini?”Namun bagi Rafi, perhatian itu bukan hal yang membuatnya terlena. Justru jadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh.---Pagi itu, di rumah Simbo, Rafi duduk di depan rak tanamannya yang makin rapi. Ia memandangi brosur baru yang barusan dicetak dengan bantuan Raline: “Rafi Farm – Tanaman Herbal & Edukasi Lingkungan.”Ia tak hanya menjual tanaman sekarang. Ia membuka pelatihan pertanian mini untuk anak-anak sekolah dasar. Setiap minggu, beberapa anak datang dan belajar langsung di ladang kecilnya. Ia ajarkan cara menanam, menyiram, bahkan membuat pupuk kompos sederhana.“Bertani bukan soal tanah, tapi soal hati dan sabar,” katanya pada mereka.---Suatu sore, ketika ia dan Raline tengah meny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status