Lorong hotel terasa lebih sunyi dari seharusnya. Hanya langkah Detektif Otero dan Alphonse yang menggema saat mereka mendekati kamar 207—tempat Marilyn Cass ditemukan tidak bernyawa. Tanpa banyak bicara, Detektif Otero mengeluarkan lencananya dan menunjukkannya pada dua petugas polisi yang berjaga di luar kamar. Salah satu petugas mengangguk, mengangkat sedikit garis polisi yang membentang di ambang pintu, lalu membiarkan mereka masuk.
“Seperti yang kau lihat. Situasinya seperti ini,” ujar Detektif Otero, suaranya terbungkus dalam ketenangan.
Bau khas bahan kimia dan kematian menyambut mereka begitu melewati ambang pintu. Kilatan lampu kamera forensik membelah kegelapan ruangan, menciptakan bayangan-bayangan tajam di dinding berwarna krem. Para petugas bergerak dalam keheningan profesional, mengumpulkan bukti tanpa membiarkan emosi mengintervensi. Di samping tempat tidur, sebuah kantong mayat berwarna hitam tergeletak dengan ritsleting yang tertutup rapat.
“Ada perkembangan?” tanya Detektif Otero tegas pada salah satu petugas forensik.
“Belum ada temuan signifikan,” jawab petugas itu, suaranya sedikit teredam di balik masker. Sekilas, matanya melirik ke arah Alphonse sebelum kembali fokus pada Detektif Otero.
Detektif itu sedikit mengangguk sebelum berkata, “Alphonse Magnus, detektif konsultan yang kusebutkan tadi. Biarkan dia melihat kondisi korban.”
Setelah mendengar perintah Detektif Otero, petugas forensik itu ragu sejenak sebelum akhirnya memberi isyarat dengan dagunya ke arah kantong mayat di samping tempat tidur.
“Silakan,” ujarnya singkat.
Alphonse tidak langsung bergerak. Pandangannya menyapu ruangan, menangkap detail-detail kecil—cara tirai dibiarkan sedikit terbuka, sekuntum mawar merah yang kelopaknya mulai layu di atas meja rias yang tampak rapi kecuali satu laci yang sedikit terbuka, dan sepatu hak tinggi yang tergeletak tidak berpasangan di dekat sofa. Ketika pikirannya mulai kembali ke dunia nyata, indera penciuman Alphonse segera mencium aroma samar lavender yang masih tertinggal di udara.
Detektif Otero memperhatikannya sejenak sebelum bertanya, “Apa yang ada di kepalamu?”
Alphonse mendekati kantong mayat, menekuk satu lutut, dan menatap ritsleting yang tertutup rapat. “Beri aku waktu satu menit.” Suaranya pelan, hampir seperti gumaman.
Petugas forensik bertukar pandang dengan Detektif Otero sebelum akhirnya berjongkok dan perlahan membuka ritsleting kantong mayat. Suara gesekannya terdengar tajam di antara kesunyian ruangan. Dan di sanalah dia—Marilyn Cass.
Mata wanita itu terbuka lebar, seolah membeku dalam momen terakhir yang dipenuhi ketakutan. Mulutnya menganga dengan lidah menjulur kaku. Sheet mask masih melekat di wajahnya. Lapisan tipis itu menyisakan bekas lipstik di bawahnya yang membaur dengan riasan mata yang mulai luntur.
Alphonse merogoh saku mantelnya, mengeluarkan sepasang sarung tangan silikon. Jari-jarinya berhenti sejenak sebelum dia memakainya, seolah memberi waktu pada pikirannya untuk mencerna gambaran yang ada di hadapannya. Lalu, dengan gerakan perlahan, tangannya mulai memeriksa tubuh Marilyn.
“Katakan padaku,” ucap Alphonse dengan nada serius. Matanya tidak lepas dari wajah Marilyn. “Apa yang akan kau lakukan sebelum memakai sheet mask?”
Detektif Otero mengerjapkan mata, lalu melirik sekilas ke arah Alphonse, seolah memastikan bahwa pertanyaan itu memang ditujukan padanya. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara kerja benda itu,” gumamnya, sebelum menambahkan, “Well, tapi Isabel sering memakainya.”
Alphonse mendesah pelan, tapi sudut bibirnya sedikit tertarik—hampir seperti senyum tipis. Dia menoleh sekilas ke arah Detektif Otero sebelum kembali menatap wajah Marilyn Cass.
“Mendekatlah,” pintanya tegas. “Lihat wajahnya baik-baik. Apa yang berbeda dibandingkan wajah adikmu saat dia memakai sheet mask?”
Detektif Otero menuruti perintah Alphonse, mendekat dan memeriksa wajah Marilyn Cass dengan seksama. Mata coklat tuanya menatap lekat setiap detail, berusaha mencari sesuatu yang terasa... janggal.
Lalu, dia mengerutkan kening. Hening sesaat. Kemudian, seolah baru menyadari sesuatu, dia bersiul pelan. "Tunggu... Isabel selalu membersihkan wajahnya sebelum memakai sheet mask.”
Alphonse mengangguk, matanya kembali tertuju pada wajah korban dengan sorot iba yang samar, lalu dia berkata, “Seseorang memasangkan masker ini tanpa membersihkan wajah korban, mungkin setelah dia membunuhnya.”
Detektif Otero menyipitkan mata. “Kau yakin? Maksudku, bisa saja Marilyn Cass memang tidak sempat membersihkan wajahnya.”
Alphonse menarik napas pelan, lalu menunjuk bagian tertentu di wajah korban. “Kalau dia memang berniat memakai masker ini sendiri, wajahnya pasti sudah bersih. Tapi lihat ini.” Jemarinya, terbungkus sarung tangan silikon, melayang di atas dagu Marilyn Cass. “Masih ada sisa foundation dan lipstik di bawah masker. Itu bukan sesuatu yang kau abaikan kalau kau terbiasa memakai ini.”
Detektif Otero berjongkok sedikit lebih dekat, “Tapi mungkin dia hanya malas membersihkan wajahnya. Kau tahu, orang bisa saja tertidur tanpa menghapus riasan.”
“Kau bilang sendiri tadi,” kata Alphonse datar. “Isabel sering memakai sheet mask. Apa dia pernah melakukannya tanpa membersihkan wajahnya dulu?”
Otero membuka mulutnya, seolah ingin membantah, tapi lalu mengerjapkan mata dan menghembuskan napas. “...Tidak.”
“Seseorang memasangkan masker ini setelah dia mati,” gumamnya. Alphonse berdiri, melepas sarung tangan silikonnya, dan menoleh ke arah si petugas forensik. “Bersihkan riasan di area lehernya, dan kita akan tahu bagaimana cara pelaku membunuhnya.”
Petugas forensik berhenti sejenak, menatap Alphonse dengan ekspresi sedikit bingung. “Kami sudah tahu penyebab kematiannya. Strangulasi.”
Detektif Otero melirik Alphonse, seolah menunggu reaksinya. “Nah, kau dengar sendiri,” katanya santai sambil menyilangkan tangan di dada. “Kasusnya jelas, bukan?”
Namun, Alphonse tidak bergeming. Tatapannya tetap tertuju pada Marilyn Cass. “Kau sempat mengatakan jika ini adalah kasus bunuh diri terencana. Aku nggak berpikir begitu,” ucapnya tajam. “Dan kita akan membuktikannya setelah melihat apa yang ada di balik riasan di lehernya.”
Detektif Otero mengernyit. “Apa maksudmu?”
Alih-alih langsung menjawab, Alphonse menggeser pandangannya ke arah petugas forensik, lalu ke Detektif Otero. “Jika seseorang menjeratnya dengan tali, akan ada bekas jeratan mendatar berwarna merah kecoklatan yang bersambung di leher.” Dia menarik napas pendek, memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan. “Tapi jika dia mati karena gantung diri, tanda jeratannya akan miring dan terputus.”
Petugas forensik ragu sejenak, lalu melirik Detektif Otero seolah meminta persetujuan. Detektif itu menghela napas panjang. “Baiklah, lakukan saja.”
Sebelum petugas bergerak, Alphonse menambahkan dengan tenang, “Anda pasti juga tahu. Lokasinya akan berbeda. Jeratan akibat pembunuhan biasanya berada di bawah tiroid. Tapi kalau benar bunuh diri—” dia mengangkat dagu sedikit, meniru posisi korban yang tergantung, “—tandanya ada di antara dagu dan laring.”
Detektif Otero menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. Dia tidak suka ke mana arah percakapan ini menuju. Jika Alphonse benar, maka kasus ini tidak sesederhana yang dia harapkan. Tidak ada kepuasan menutup perkara dengan cepat, tidak ada laporan singkat yang mudah dicerna. Justru sebaliknya, akan ada lebih banyak pertanyaan, lebih banyak kemungkinan, dan tentu saja lebih banyak pekerjaan.
“Aku benci saat kau mulai menjelaskan hal-hal seperti ini,” gumamnya. Dia menatap Alphonse dengan ekspresi jengkel dan pasrah.
Petugas forensik akhirnya mengangguk dan mulai membersihkan riasan di leher Marilyn Cass dengan kapas yang dibasahi larutan pembersih. Butuh beberapa detik sebelum warna kulit asli di bawahnya mulai terlihat. Detektif Otero mengamati dengan napas tertahan. Namun, saat bekas jeratan itu akhirnya tampak jelas di bawah cahaya putih ruangan, sesuatu di dalam dirinya menegang.
Alphonse mencondongkan tubuh sedikit, matanya menyipit tajam. Lalu, dengan suara yang nyaris berbisik, dia berkata, “Kau lihat ini? Ini bukan strangulasi biasa… Marilyn Cass dibungkam karena dia tahu terlalu banyak."
Ruang arsip kembali sunyi. Tapi bukan sunyi yang biasa—melainkan sunyi yang menekan, seperti udara yang sedang menyimpan rahasia. Bau kertas tua dan logam berkarat menggantung di udara, seolah menolak dibersihkan oleh waktu atau niat baik. Lampu neon di langit-langit sesekali bergetar, mengeluarkan bunyi dengung rendah yang menambah suasana janggal.Alphonse berdiri diam di tengah lorong, tubuhnya membeku bukan karena takut, tapi karena nalurinya menjerit: sesuatu di sini belum selesai. Sesuatu sedang menunggu untuk ditemukan—atau lebih tepatnya, untuk dilepaskan.Dan dalam diam yang terlalu panjang itu, dia merasa seperti orang terakhir yang masih mendengarkan bisikan bangkai-bangkai masa lalu. Pikirannya jauh lebih dalam dari tinta dan kertas yang ada dalam semua berkas-berkas itu. Seolah setiap lembar di dalamnya menyimpan suara, dan dia mencoba mendengarkan.Pegawai wanita yang hanya diam saja akhirnya bicara. Suaranya kecil, nyaris seperti bisikan.“Anda seharusnya tidak berbicar
Di dalam ruang arsip yang sunyi, keheningan itu hampir bisa dipotong dengan pisau. Edelmar, dengan ekspresi datarnya, tidak langsung merespons. Kedua matanya yang tajam menilai, mengukur setiap kata yang terucap, namun dia tetap diam. Keheningan yang tercipta bukan karena kebingungan, tetapi lebih karena sebuah keputusan yang tengah ditimbang di dalam pikirannya."Dan jika saya bilang…” suaranya memecah keheningan. Suara itu tenang, tapi tegang, “...jarumnya memang tidak pernah berhenti, hanya tidak terdengar oleh telinga biasa?"Alphonse tersenyum tipis, ada sesuatu dalam senyum itu yang mengungkapkan lebih banyak daripada yang dia ingin ungkapkan. "Saya rasa saya sudah tahu apa yang sedang Anda coba sampaikan."Di belakang mereka, pegawai wanita itu masih berdiri kaku, seperti bayangan yang tidak ingin ikut campur. Dunia di ruang arsip terasa mengecil, hanya ada dua kutub yang saling bertarung—Alphonse dan Edelmar. Ruang ini menjadi medan magnet yang tidak terhindarkan, setiap kalim
Ruang arsip kota St. Soulheim menyimpan napas masa lalu dalam setiap rak berdebu dan laci berderit. Aroma kertas tua menyatu dengan udara yang stagnan, seakan waktu enggan bergerak di tempat ini. Di tengah lorong sempit berisi berkas dan dokumen catatan sipil, berdiri seorang pria asing yang baru semalam tiba di kota—tapi sorot matanya seperti telah tinggal di sana seumur hidup.Alphonse menelusuri laci-laci dengan ketelitian seorang arsitek yang sedang membedah reruntuhan. Tangannya menyentuh berkas-berkas kelahiran, surat keputusan wali kota, peta tata ruang yang tak diperbarui sejak awal milenium. Tidak ada yang luput dari perhatiannya, terutama dokumen yang kelihatannya telah disusun ulang… atau sengaja dikaburkan.Di ujung ruang, pegawai wanita itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia menatap Alphonse yang dengan tenang membuka laci-laci berisi dokumen, seolah sudah tahu apa yang dicari. Beberapa kali dia melirik ke arah meja tapi takut jika pemuda yang tidak diketahui a
Senin, 25 Maret 2024/07:37 PagiKabut tipis masih melayang di atas trotoar ketika langkah Alphonse berhenti di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama berkarat yang tergantung miring: Kantor Arsip Kota St. Soulheim. Batu-batunya kusam, jendelanya tinggi dan gelap, dan pagar besinya berkarat di bagian bawah. Dari semua tempat yang dilintasinya pagi ini, hanya bangunan ini yang terasa hidup… meskipun tidak terlihat ada siapa-siapa.Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tidak datang untuk berwisata. Tapi siapa pun yang melihat dari luar takkan menyangka bahwa pemuda bermantel hitam kusut itu menyimpan maksud yang lebih dalam dari sekadar kekaguman akan arsitektur lama. Saat dia mendekat, suara berat menghentikannya.“Permisi, Pak. Kantornya belum buka. Masih pagi,” kata seorang petugas keamanan dari balik gerbang, tangannya memegang gagang tongkat yang bersandar di sisi kursi.Alphonse melirik ke arah jam sakunya, lalu menatap bangunan itu lagi, seolah baru menyadari kehadirann
Pukul 07.13 pagi.Tuan Greaves tahu itu tanpa perlu melihat jam. Suara ketiga burung pipit yang biasanya baru mulai bernyanyi pada pukul 07.11 kini terdengar dua menit lebih lambat—barangkali udara terlalu lembab. Atau mungkin karena hujan semalam. Dia tidak memperdebatkannya. Pria tua itu hanya mencatatnya, seperti biasanya.Dia membalik papan kecil di pintu: CLOSED menjadi OPEN. Gerakan yang telah dilakukannya sebanyak 17.532 kali sejak dia pertama menerima kunci perpustakaan ini dari tangan pendahulunya, Rowley the Owl, di tahun yang sama dengan runtuhnya jembatan batu tua di selatan kota. Dia bahkan ingat kata-kata terakhir Rowley saat menyerahkan kunci:“Kau akan lebih cocok di tempat ini daripada aku.” Saat itu Greaves belum yakin apakah itu pujian atau kutukan.Lantai kayu menyambut langkahnya dengan rengekan lembut. Tiap derit telah dia kenali seperti dirinya yang mengenali variasi nada pada jam dinding tua miliknya di rumah. Dia tahu bagian mana yang longgar, mana yang sediki
Senin, 25 Maret 2024/05:27 PagiNARASI GENEVIÈVE ROUXGeneviève Roux. Seharusnya dilafalkan sebagai Zhon-vee-ev Roo. Tapi nama itu begitu panjang, bahkan Geneviève terasa asing di bibir saya sendiri. Sering kali—di antara hiruk-pikuk rumah besar ini—terasa terlalu berat untuk dipakai. Jadi, keluarga Vollen dan para tamunya memanggil saya “Gene.” Jin.Itu lebih mudah. Lebih singkat. Katanya itu terdengar lebih akrab. Tapi bagi saya itu sebuah penghinaan. Selalu ada nuansa sarkastik terselip di sana—seperti jin dalam cerita-cerita mistis, yang selalu ada untuk mengabulkan permintaan."Ayo, Gene, keluarkan keajaibanmu. Bawakan teh, jangan lama-lama!"Gene. Begitu saja. Tanpa embel-embel, tanpa perhatian lebih. Hanya sebuah nama yang menguap begitu saja di udara—hilang di balik suara keramaian yang lebih keras, lebih penting."Apa, kau masih berdiri? Gene, cepat lakukan tugasmu seperti biasa!"Saya selalu dianggap seperti jin botol yang selalu siap melayani dan memenuhi permintaan dan has