Sekitar jam delapan malam kami baru sampai di rumah ibu. Tadi di jalan sempat istirahat sejenak sekalian magrib. Kata orang tua dulu, tak baik jika waktu terus dalam perjalanan. Makanya tadi kami rehat sebentar. Ibu dan bapak langsung menyambut dengan senyuman tatkala aku dan Reyhan turun, tapi berganti kaget saat Mas Angga dan Rere keluar dari mobil. “Kok sampai malam begini, dari mana saja sih? “ gerutu ibu setelah kucium takdim punggung tangannya. “Jalan-jalan, Bu,” jawabku asal. “Ya sudah ayo masuk dulu!” Ajak bapak kemudian. Akhirnya kami semua masuk, lalu duduk mengitari meja ruang tamu, saling berhadapan satu sama lain. Ibu masuk ke dalam sambil memberi kode padaku. Tak menunggu lama, aku langsung mengekori langkahnya yang telah lebih dulu menuju ke dapur. “Kamu habis dari mana sih, Lin?” tanya ibu saat aku sedang menyedu teh. “Nanti saja ceritanya, Bu! Sekalian a
Kusambut pagi dengan segenggam harapan baru. Setelah semua yang diceritakan ibu, aku tak lagi berburuk sangka pada perempuan yang telah melahirkanku itu. Semula aku berpikir dulu ibu pernah berbuat salah pada ibunya Mas Angga, tapi setelah mendengar semuanya segala prasangka itu hilang terganti haru.Seusai salat subuh, aku dan Rere membantu ibu memasak, hal yang jarang kulakukan selama ini. Ya! Sejak merantau, aku jarang sekali masak karena waktu yang memang tak ada. Pun sejak mengelola toko bareng Rere. “Maafkan ibu ya, Lin. Gara-gara masa lalu ibu, hubunganmu dengan Angga jadi terhalang,” ujar ibu sambil menggoreng pisang.“Enggak apa-apa kok, Bu. Elin sangat yakin kalau jodoh itu benar-benar kuasa Alloh,” sahutku menenangkannya. “Syukurlah kalau kamu berpikir sedewasa itu,” puji ibu sambil melempar senyum. “Masih mending Elin pernah menikah, lah aku sampai umur segini belum ada yang melamar.”
Hari ini toko cukup ramai pembeli. Aku, Rere dan satu orang karyawan sampai dibuat kewalahan. Mungkin sudah saatnya menambah satu karyawan lagi. Apalagi sekarang aku dan Rere sering sibuk dengan urusan pribadi. Jika terlalu sering tutup, bukan tak mungkin pelanggan akan kabur lalu toko yang belum lama berdiri ini akan bangkrut. Aku menghela nafas lega saat para pelanggan mulai sepi. Hanya tinggal satu dua yang cukup di layani oleh karyawan saja. Bukannya aku tak suka toko ini ramai, tapi kami juga manusia yang butuh istirahat. “Alhamdulillah... akhirnya bisa istirahat juga ya, Lin.” Rere bergumam syukur memuji nama tuhan. “Iya,” sahutku sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. “Eh... gimana, apa kamu jadi ke rumah Angga hari ini?” Rere mengambil botol minuman, membuka penutupnya lalu meneguk sebagian isinya. “Nanti, nunggu bapak dan ibu datang. Kalau enggak ada halangan, satu jam lagi mereka datang
Aku bisa sedikit bernafas lega karena pada akhirnya bapak merestui hubunganku dan Mas Angga. Kami akan segera menikah setelah surat-suratnya lengkap. Urusan restu calon mertua, itu pikirkan nanti saja. Pagi ini aku telah sampai di ruko. Tadi meminjam motor bapak untuk berangkat. Rasanya sudah tak sabar ingin berbagi kebahagiaan dengan Rere sahabatku. Semalam dia sudah menelepon menanyakan kelanjutan cerita cintaku, tapi aku tak menjawab. Aku memilih bercerita saat bertemu saja. Aku langsung menyambut saat Rere turun dari motor. Perempuan yang sudah seperti saudara bagiku itu menatap heran karena jarang sekali aku berangkat sepagi ini, apalagi semalam aku menginap di rumah orang tuaku. “Tumben kamu berangkat pagi banget, Lin?” tanya Rere. “Iya dong! Kalau kesiangan entar Rezekinya dipatok ayam!” kelakarku. “Ah! Bisa saja kamu.” Rere melepas helmnya lalu meletakkan di atas jok motor. Setelahnya, dia menjaja
Hari-hari yang kulewati terasa indah sejak bapak dan ibu merestui hubunganku dan Mas Angga. Rasanya sudah tak sabar menanti Mas Angga menghalalkanku sebagai istrinya. Duduk bersanding mengikat janji suci di depan penghulu. Meskipun nanti tanpa kehadiran ibu mertua, tapi tetap saja membuatku bahagia.Seperti biasa, aku melakukan rutinitas pekerjaan dengan hati senang. Bekerja dengan ikhlas demi masa depan. Jika sudah besar nanti, aku dan Rere tak perlu lagi ikut bekerja langsung di toko ini. Hanya tinggal mengawasi saja. Saat menjelang tengah hari aku dan Rere bergantian istirahat dengan karyawanku. Ini kulakukan agar tetap ada yang berjaga meski jam-jam seperti ini biasanya sepi pembeli. “Cari makan dulu yuk, Re!” ajakku. “Yuk! aku juga sudah lapar,” sahut Rere. Kami berdua langsung beranjak keluar dari toko. Baru saja sampai di emperan, aku dikejutkan dengan kehadiran sosok Bu Yuli. Di sampingnya, seorang peremp
Seperti janjinya, sore ini Mas Angga datang menemuiku di toko. Aku menyambut kedatangannya dengan hati girang. Bagaimana tidak, sudah lebih dari satu minggu kami hanya saling menyapa lewat suara. Pastinya, rindu di hati semakin menjadi. “Apa kabar, Lin?” Mas Angga menyapa sesaat setelah kami saling berjabat tangan. Sebenarnya, aku ingin memeluknya, tapi karena di tempat umum, kuurungkan niatku. Toh, tak lama lagi kami akan lebih ketimbang sekedar berpelukan. “Baik, Mas! Kamu sendiri?” balasku. “Aku baik juga. Alhamdulillah, surat-surat juga sudah beres semuanya.” Laki-laki itu melempar senyum lalu menunjukkan beberapa lembar kertas yang kami butuhkan sebagai persyaratan menikah. Aku melihatnya sejenak lalu mengembalikan padanya. Dia pun kembali menyimpan kertas-kertas itu ke tas yang dia bawa. “Ke rumahmu yuk! Aku mau bertemu orang tuamu,” ajak Mas Angga. Aku mengangguk penuh semangat lalu segera ber
Aku mematut diri di depan cermin, memindai wajah yang baru selesai dipoles sedemikian rupa hingga aku nyaris tak mengenali wajahku. Kebaya putih yang melilit tubuh, membuatku semakin terlihat langsing.Aku tersenyum puas melihat dandananku, hingga menampakkan barisan gigi putih bersih, kontras dengan warna lipstik merah menyala yang memoles bibir. Dari pantulan kaca cermin, kulihat Rere mendekat padaku sembari tersenyum lalu menepuk bahuku.“Kamu cantik sekali, Lin!” puji sahabatku. Aku tersenyum bangga tanpa menoleh. Kembali memindai wajah yang sedikit merona merah karena sanjungan.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Angga-lelaki yang menjadi pilihan hatiku. Meski tanpa restu ibunya, kami tetap melangsungkan pernikahan. Reyhan-lelaki yang sempat mengganggu pikiran, bayangannya kutepikan dari hati. Tak sepatutnya jika aku berpaling di saat menjelang pernikahan. Biar saja kisah yang tak s
Tiga hari setelah resepsi pernikahan, aku dan Mas Angga berencana menempati rumahku. Itu kami lakukan agar lebih dekat saat nanti pergi ke ruko. Meski masih terhitung bulan madu, tapi toko tak boleh diabaikan. Jangan pikirkan apa yang kami lakukan beberapa hari ini. Selain memadu kasih, kami juga berandai-andai tentang masa depan. Menimbang baik buruk setiap rencana. Matahari belum terlalu tinggi saat kami berpamitan pada bapak dan ibu. Sebenarnya mereka meminta tinggal lebih lama, tapi karena urusan pekerjaan, kami tak menyanggupi. “Nak Angga, Ibu titip Elin ya. Dia itu masih kekanak-kanakan. Jadi kamu mesti sabar,” pesan ibu saat kami berpamitan. “Iya, Bu!” Suamiku mengangguk sembari tersenyum tenang. “Kalau sedang ada masalah, selesaikan dengan kepala dingin. Jika Elin sedang marah, kamu harus menenangkannya. Begitu juga sebaliknya.” Bapak ikut memberi wejangan pada kami. Meski dia berbicara sambil tersenyum, tapi