“Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk pintu rumah tiga kali.Pagi ini memang aku pulang ke rumah. Rasanya tak sabar meluapkan keluh kesah pada bapak dan ibu. Mau bagaimanapun, aku tetaplah seorang anak yang masih butuh kasih sayang mereka.“Elin!” teriak ibu kaget setelah membuka pintu.Ibu mengedarkan pandangan seperti mencari-cari sesuatu. Sesaat kemudian ibu mengalihkan pandangannya padaku, lalu memindai wajahku cukup lama. “Bayu enggak ikut lagi?” tanya ibu penuh selidik.“Anu, Bu... Mas Bayu...” Entah kenapa dadaku terasa sesak ketika menyebut nama mantan suamiku. Lidahku terasa kelu untuk berucap. Terselip kekhawatiran ibu akan menangis jika tahu yang sebenarnya. “Masuk dulu, ceritanya nanti saja,” ajak ibu kemudian.Aku berjalan mengekori langkah ibu yang lebih dulu masuk ke dalam. Segera kujatuhkan bobotku pada sofa setelah sampai di ruang tengah. Ibu beranjak ke belakang, lalu segera
Tanpa terasa sudah hampir empat bulan toko ini buka. Semakin hari pelanggannya juga semakin banyak. Itu karena aku hanya mengambil sedikit keuntungan. Jadi, bisa dibilang harganya lebih murah dari tempat lain.Baik Mbak Nilam ataupun ibu tak pernah datang ke sini. Mungkin karena malu atas kejadian waktu itu. Bilangnya mau membeli ruko ini, tapi uangnya tidak ada. Mas Angga-mantan suami Nilam memang sering datang kesini untuk membicarakan masalah perceraian atau hanya sekedar ngobrol saja. Seperti hari ini, dia mengajakku bertemu di kafe. Mas Angga mengabarkan bahwa aku telah resmi menyandang gelar janda.“Selamat ya, Lin. Sekarang kamu sudah menjadi janda,” canda Rere saat aku, dia dan Mas Angga tengah kongkow di Kafe. “Apaan sih, Re. Masa ngucapin selamat. Harusnya kan turut prihatin,” kelakarku. “Kamu kan bahagia bisa lepas dari para benalu itu,” ucap Rere. “iya... iya,” balasku kemudian. “Aku
Waktu berputar tiada hentiSeirama siang dan malam datang silih bergantiNamun, aku masih berdiri di titik yang samaMendekap sunyi merambat sepi. “Lin.” Dinding kesunyian yang tengah aku bangun, seketika roboh dihantam teriakan nyaring memanggilku. Kualihkan sejenak pandangan pada Rere yang tadi menyebut namaku, lalu kembali menatap lurus ke depan.“Kamu kenapa sih, akhir-akhir ini kok sukanya melamun kek gitu?” tanya Rere sembari meletakkan bokongnya di sampingku. Aku beringsut minggir, memberikan sedikit ruang pada Rere agar tak terlalu berdempet. Namun, pandanganku masih tetap lurus ke depan. Menatap hampa dalam pekatnya malam. “Ayolah, Lin! Kalau ada masalah cerita,” bujuk Rere kemudian. Aku menatap lekat pada sosok cantik di sebelahku. Dari binarnya, aku tahu dia tulus dengan ucapannya. “Kamu menyesal bercerai?” tanya Rere lagi.
Kusambut pagi yang cerah ini dengan sebuah harapan baru. Setelah tadi malam merenung, aku menyadari bahwa Mas Angga telah berhasil memiliki hatiku. Ya! Aku mencintainya. Meski nanti cinta ini tak terbalas, aku akan tetap mengukir namanya dalam hati. Menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.Seperti biasa, pagi ini aku bersiap berangkat ke ruko. Menatap masa depan meski belum jelas siapa yang akan menemaniku nanti. Baru saja mengeluarkan motor, aku dibuat terkejut oleh kedatangan bapak dan ibu yang tak mengabari lebih dulu. Gegas aku menyambut mereka dengan mencium takdim tangan keduanya. “Bapak sama Ibu kok datang enggak kasih kabar dulu, untung saja Elin belum berangkat,” ujarku sembari mengajak mereka masuk.“Dari semalam ponsel kamu enggak aktif. Bagaimana mau kasih kabar,” sahut Ibu. “Iya. Bapak telepon berkali-kali tetap enggak tersambung,” timpal bapak. Astaga!
Aku tersenyum getir saat sekelebat bayang Mas Angga menyapa dalam angan. Merindu saja sudah tak berani, apalagi berharap. Terkadang kita harus belajar legawa ketika mimpi tak lagi menyemangati. Sebab cinta tak mesti memiliki.Genap lima hari sejak kejadian di rumah Mas Angga, aku masih asyik menyendiri. Di sudut kamar yang sepi, aku belajar menghapus segala rasa untuk Mas Angga. Mencoba membunuh cinta yang tak bertakhta. Rere-sahabat yang selalu ada untukku, cukup kaget tatkala kuceritakan tentang perasaan Mas Angga. Dia tak menduga jika Mas Angga tak membalas cintaku. “Kenapa Angga bisa bilang seperti itu ya, Lin. Padahal selama ini dia sangat perhatian sama kamu. Aku sering melihatnya mencuri pandang saat kamu sedang beraktivitas,” ujar Rere sepulang dari rumah Angga.“Entahlah, Re. Mungkin aku yang salah mengartikan kebaikannya,” sahutku kala itu.Ya. Bukan hanya Rere saja yang beranggapan bahwa Mas Angga menyuk
Setelah cukup lama berpikir, aku memutuskan untuk kembali menemui Mas Angga. Dengan menggunakan sepeda motor Rere, aku pulang ke rumah, berharap laki-laki itu masih menungguku di sana.Aku kecewa saat sampai rumah. Suasana hari ini lumayan sepi. Para tetangga yang biasanya rutin ghibah di rumah sebelah juga tak kelihatan batang hidungnya. Motor Mas Angga pun sudah tak ada di tempat semula. Terbesit sesal karena tadi sudah mengabaikannya. Ah! Kenapa aku sebodoh ini. Jika tadi aku mengiyakan saat Mas Angga mengajakku menikah, mungkin saat ini kami tengah duduk berdua berbagi canda tawa dalam cinta. Namun, lagi-lagi keegoisan meruntuhkan semua harapan. Nasi telah menjadi bubur. Semua yang terjadi tak kan terulang lagi. Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam, berniat kembali mengurung diri. Baru saja masuk ke kamar, aku terkejut saat seseorang membekap mulutku dari arah belakang, lalu mendorong tubuhku ke ranjang.
Setelah mobil yang membawa Mas Bayu pergi, para tetangga juga ikut bubar. Telingaku masih sempat menangkap selentingan miring dari mereka, tapi aku abai. Mereka belum tahu yang sebenarnya, jadi wajar jika berpikir yang enggak-enggak tentang diriku.Mas Angga-lelaki yang menjadi pahlawan bagiku mulai berjalan mendekati motornya. Dia terus melangkah tanpa menoleh padaku. “Mas!” Aku berteriak memanggil laki-laki itu sambil berlari mendekat padanya. Mas Angga menoleh sejenak sambil melempar senyum lalu kembali melanjutkan langkahnya. Gegas kudekap dia dari belakang saking takutnya dia pergi.“Jangan pergi, Mas!” harapku. Mas Angga melepas dekapan lalu berbalik menghadapku. Ditatapnya lekat mata ini sampai aku salah tingkah. Debaran hatiku kian terasa saat dia meraih jemariku lalu menggenggamnya erat. “Aku mencintaimu, Lin!” ujar Mas Angga sembari menarikku dalam pelukannya. Tak ingi
Sekitar sepuluh menit setelah pergi, Rere sudah kembali dengan tangan kanan menenteng kantong plastik lalu mengeluarkan isinya dan menunjukkan padaku. “Yang ini kan?” tanya Rere sembari menunjukkan satu dus susu formula merek terkenal. “Iya enggak apa-apa. Kan memang itu yang paling banyak di beli,” sahutku.Rere langsung beranjak ke dapur membawa benda itu, sementara aku sibuk menimang bayi di ruang tengah. Sesekali aku menatap iba pada bayi malang ini. Dosa apa yang dia lakukan sampai dibuang oleh ibunya! Sebentar kemudian, Rere sudah kembali dengan sebotol susu dan memberikan padaku. Bayi yang sudah kehausan ini langsung berhenti menangis saat kuberi susu formula.Tak lama kemudian, susu telah habis tak bersisa. Aku terus menimangnya sampai dia terlelap, lalu segera kubaringkan di kamar tidurku. “Kamu sudah pantas jadi ibu, Lin,” ujar Rere yang sejak tadi memperhatikanku. “Namanya juga p