Share

Part 3

Bayi yang Kubawa dari Kota

Mendengar jawabanku, Bu Ratmi dan Pak Yanto hanya diam saling pandang. Sementara aku, harap-harap cemas menanti jawaban mereka.

"Jangan di pikirkan, biarkan saja mereka. Nanti juga diam sendiri, kasihan anakmu kalau harus berpindah pindah terus. Kalau kamu jenuh di rumah, nanti aku carikan pekerjaan yang bisa sambil menjaga anakmu." ujar Bu Ratmi meyakinkanku.

Setelah selesai sarapan, Bu Ratmi dan Pak Yanto berangkat bersama sembari mendorong gerobaknya. Safira belum bangun juga, jadi aku punya waktu untuk mandi dan mencuci piring bekas sarapan tadi.

"Nduk, ada yang ingin Ibu bicarakan kepadamu." kata Bu Ratmi di depan pintu kamarku malam itu.

" Iya Bu," jawabku sembari berjalan meninggalkan kamar. Aku merasa penasaran, karena sepertinya serius sekali. Sebenarnya apa yang ingin Bu Ratmi bicarakan?

"Begini Nak, tadi Bapak ketemu teman yang jualan online. Katanya dia lagi butuh tenaga buat masarin dagangannya. Kalau bersedia, kamu bisa ambil peluang itu untuk mengatasi kejenuhan, juga bisa untuk biaya membeli susu anakmu." ujar Pak Yanto menjelaskan.

"Tapi Pak, saya tak punya ponsel untuk berjualan. Ponsel saya sudah hilang di dalam bus kemarin." jawabku terus terang.

"Tak perlu khawatir, ini ada ponsel yang bisa kamu pakai berjualan. Kalau kamu bersedia, tinggal hubungi saja nomor ini agar dijelaskan caranya." terang Pak Yanto, kemudian menunjukkan nama seseorang di layar ponsel tersebut.

"Alhamdulillaah, kalau begitu saya mau Pak." jawabku antusias.

Dengan semangat kuhubungi nomor tersebut untuk menyatakan kesediaanku. Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap, aku mulai memposting jualanku malam itu juga.

Tugasku hanya menawarkan dagangan untuk selanjutnya di proses pihak toko bila ada yang memesan daganganku. Jadi aku tak perlu keluar rumah untuk pekerjaan ini.

Aku bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ratmi, Pak Yanto dan Bu Alma pemilik toko yang memberiku pekerjaan ini.

Sebulan sudah aku tinggal di rumah ini. Cibiran tetangga tak terdengar lagi seiring berjalannya waktu. Mungkin juga mereka mulai percaya kalau aku memang benar keponakan Bu Ratmi.

Siang itu aku sedang di kamarku, sibuk berbalas pesan dengan konsumen yang hendak membeli daganganku ketika tiba-tiba terdengar langkah seseorang memasuki dapur.

Karena penasaran, aku segera keluar kamar untuk melihat siapa yang datang. Tidak mungkin Pak Yanto atau Bu Ratmi yang datang, karena biasanya jam segini mereka masih bekerja.

Sesampainya di dapur, aku melihat seorang pria yang usianya sedikit lebih tua dariku, sedang membuka lemari yang biasanya untuk menyimpan makanan di dapur.

Segera kuraih sapu lantai di dekatku dan kuayunkan gagangnya ke arah pria tersebut.

"Auu .... Kurang ajar Kamu!" teriak Pria itu penuh amarah.

Seketika nyaliku menciut melihat sorot matanya yang tajam seakan hendak menerkamku hidup-hidup.

Aku berjalan mundur untuk menghindarinya, secepat kilat berlari menuju kamar dan menutup pintunya dengan rapat.

Namun sayang, langkahku kalah cepat sehingga tangannya lebih dulu mencengkeram pergelanganku.

"Auu ... , sakit! teriakku yang justru membangunkan Safira dari tidurnya. Bayi mungil itu menangis seakan tahu kepanikan Ibunya.

Pria itu tak bergeming, justru semakin kuat mencengkeram tanganku. Keringat dingin bercucuran seiring detak jantungku yang tak beraturan. Tenggorokan serasa tercekat, tak mampu berteriak untuk sekedar meminta tolong.

Tiba-tiba Pria itu menyentakkan tubuhku ke tempat tidur, untung saja tubuhku tak menindih Safira sehingga bayi mungil itu masih aman meski tangisannya semakin kuat.

"Ya Allah tolonglah hamba-Mu, selamatkanlah kami. Jangan sampai Pria ini menyakiti kami berdua." Do'aku dalam hati.

Pria itu hanya melirikku sekilas kemudian pergi dengan membanting pintu kamarku. Gegas aku bangkit untuk mengunci pintu kamar dari dalam. Aku takut pria tadi akan kembali untuk menyakiti kami.

Safira masih menangis kencang, namun aku bingung bagaimana cara menenangkannya. Ingin kubuatkan susu, namun aku takut harus pergi ke dapur mengambil air panasnya. Sedangkan untuk membuka pintu kamar, aku masih belum berani, khawatir pria tadi masih berada di dalam rumah ini.

Kugendong dan kuayun Safira dengan pelan, berharap bayiku segera diam dan kembali tidur. Namun sepertinya semua sia-sia karena Safira masih terus menangis.

Safira masih terus menangis, akhirnya kuberanikan diri keluar dari kamar untuk membuatkan susu. Setelah meminum susunya, bayi usia lima bulan itu terdiam dan kembali tidur dalam gendonganku.

Kini aku bisa bernapas lega, karena pria tadi sudah tidak ada di rumah ini.

Namun aku menyesal, merutuki kelalaianku mengunci pintu depan seperti yang selalu Bu Ratmi pesankan saat mereka bekerja.

"Aku memang bodoh, tak mampu melindungi diriku sendiri hingga kesialan seringkali menimpaku." Umpatku dalam hati.

Ya ampun, aku baru ingat belum sempat mengunci pintu depan lagi. Tak ingin kejadian tadi terulang, gegas kuberjalan ke ruang tamu untuk mengunci pintu utama.

Belum sempat meraih pintu, aku terkejut mendengar langkah terburu-buru dari arah luar. Kupercepat langkahku sebelum orang itu masuk kembali ke dalam rumah.

Terlambat, pintunya telah terbuka dari luar. Namun aku terkejut melihat kedatangan Bu Ratmi bersama Pria tadi di sampingnya. Ada apa lagi ini, kenapa Pria itu bisa bersama Bu Ratmi? Ada hubungan apa diantara mereka berdua?

Kamu baik-baik saja Nduk?" tanya Bu Ratmi yang terdengar panik seraya meraba-raba punggungku seakan takut ada yang terluka.

"I ... iya Bu, saya baik-baik saja." jawabku gugup karena masih bingung dengan apa yang ku lihat.

"Maafkan Ibu Nduk, kalau membuatmu takut. Ini Farhan anakku satu-satunya yang baru pulang merantau di Jakarta. Dia sedang mengambil cuti kerjanya untuk pulang ke rumah ini. Niatnya mau buat kejutan untuk kami, tapi dia justru terkejut melihat keberadaanmu di rumah ini." ujar Bu Ratmi, menerangkan dengan penuh penyesalan.

"I ... iya Bu," sahutku terbata sembari melirik ke arah Farhan. Dapat kulihat wajah Farhan yang kurang bersahabat, bahkan terkesan acuh kepadaku.

Farhan berjalan ke kamar Bu Ratmi dan kulihat dia merebahkan tubuhnya di sana. Sementara Bu Ratmi pamit untuk berjualan lagi karena masih siang jadi warungnya belum tutup.

Akhirnya aku bisa bernapas lega karena orang yang kusangka maling itu ternyata anaknya Bu Ratmi.

Safira sudah tertidur, kuletakkan kembali anakku di atas kasur. Kugunakan kesempatan ini untuk mencuci baju sebelum Safira terbangun.

Selesai mencuci, aku berniat untuk berbelanja kebutuhan Safira di minimarket ujung gang. Untunglah Safira sudah bangun jadi aku tak perlu mengganggu tidurnya untuk kuajak berbelanja.

Sesampainya di minimarket, kususuri rak susu dan diapers untuk Safira. Rencananya aku ingin membeli stok sekalian untuk satu bulan ke depan, biar tak perlu banyak keluar rumah.

Di sela-sela memilih kebutuhanku, terdengar bisik-bisik di ujung lorong toko, yang ternyata Bu Yuni dan Bu Rita tetangga Pak Yanto.

"Eh Jeng, lihat tuh keponakannya Bu Ratmi. Belanjaannya banyak banget, dih lagaknya seperti orang kaya saja!" ujar Bu Yuni kepada Bu Rita.

"Ah jangan gitu Jeng, biarin aja. Toh dia belanja juga pakai uangnya sendiri." sahut Bu Rita.

"Halah Jeng, palingan juga uang habis morotin Farhan tuh! Kan kemarin baru pulang dari Jakarta. Aku kok nggak yakin kalau dia itu keponakannya Bu Ratmi. Atau jangan-jangan dia pacarnya Farhan ya?" kata Bu Yuni mulai memprovokasi.

Dadaku sesak mendengarkan ucapan Bu Yuni, air mataku tak terbendung lagi. Segera kudorong keranjang belanjaku menuju kasir.

Sampai di sana, kulihat Bu Yuni juga sudah mengantri di depanku.

"Belanjanya banyak banget Neng, habis panen ya?" sindir Bu Yuni sembari melirik ke arah keranjang belanjaku.

Tak kutanggapi ocehan Bu Yuni, buang energi saja. Untunglah kasir sebelah sudah kosong jadi aku bisa pindah antrian sebelum Bu Yuni mengoceh lagi.

Ya Allah, baru saja ingin bernapas sedikit lega karena bertemu orang-orang baik, namun ada saja orang julid yang menyertainya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status