Bayi yang Kubawa dari Kota
Usia Safira kini sudah satu tahun lebih. Gadis kecilku itu sudah pandai berjalan sejak usianya sebelas bulan, bahkan kini mulai belajar berbicara.Setiap apa yang dia lakukan selalu mengundang tawa diantara kami karena tingkah laku dan wajahnya sangat menggemaskan. Mata bulat, dengan bulu mata lentik yang selalu memikat siapapun yang melihatnya.Rencananya hari ini aku akan mengajak Safira membeli baju baru. Maklum karena kebanyakan baju Safira kubeli sejak anak itu baru lahir. Apalagi pertumbuhan bayi memang sangat cepat sehingga sebentar saja bajunya sudah kekecilan.Dengan menumpang angkutan umum, aku dan Safira berangkat ke toko baju. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di toko yang aku inginkan. Di toko itu di jual beraneka pernak pernik bayi mulai dari baju, tas, sepatu hingga mainan anak-anak.Safira yang sedang semangat berjalan sudah pasti sangat senang di tempat ini. Berlarian ke sana kemari dan tangannya bergerak ingin meraih sesuatu yang menarik baginya.Sebagai Ibu aku harus sigap dalam mengawasi anakku, karena lengah sedikit saja bisa fatal akibatnya.Setelah mendapatkan apa yang kucari, aku segera menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Ketika hendak mengambil dompet di dalam tas, tanpa kusadari tangan Safira lepas dari genggaman dan anak itu berjalan entah kemana."Gubrak ...." Terdengar suara benda jatuh tak jauh dari tempatku berdiri.Aku yang terkejut spontan menoleh ke arah sumber suara, begitupun dengan pengunjung lain yang ada di toko itu. Rupanya suara itu berasal dari sebuah manekin yang jatuh dan patah.Namun yang lebih mengejutkan, Safiraku berada di sana sedang menangis karena ketakutan dan juga kaget.Gegas aku berlari menyusulnya, takut tangisnya semakin keras dan mengganggu pengunjung lain. Namun belum sempat aku merengkuh tubuh Safira, terdengar suara bentakan dari salah satu karyawan."Dasar anak kurang ajar, nakal banget sih kamu! Siapa yang ngajarin, hah!"Aku terkejut mendengar makiannya, sekaligus tak terima anakku di bentak-bentak. Tak mau memperpanjang masalah, segera kugendong Safira dan bertanya balik pada karyawan tersebut."Berapa jumlah kerugiannya, nanti saya ganti? Tambahkan saja pada nota belanjaan saya!" ujarku geram menahan emosi."Memangnya situ punya uang berapa, belagak mau ganti rugi segala?" tanya karyawan tadi dengan nada meremehkan.Pengunjung lain saling berbisik-bisik, ada yang membelaku, namun ada juga yang membela karyawan tersebut dengan menyalahkan anakku.Sebagai Ibu, aku tak terima kalau sampai ada orang lain yang membentak anakku, apalagi sampai menyakitinya."Jadi Mbaknya menganggap saya tak mampu ganti rugi begitu?" tanyaku langsung ke intinya.Karyawan itu terdiam mendengar suaraku yang mulai emosi."Baiklah, kalau begitu saya tak akan mengganti semua kerugian ini!" kataku ketus.Namun di luar dugaan, dia malah semakin meremehkanku."Ee ... ee ... enak saja ya mau pergi gitu aja. Siapa bilang situ tak perlu ganti rugi. Sini, bayar 500 ribu sekarang!" katanya masih dengan nada meremehkan."Kamu mau memeras saya? Harga manekin tanpa kaki ini harganya tak sampai dua ratus ribu. Enak saja saya disuruh bayar lima ratus ribu." sergahku membela diri.Pengunjung semakin banyak yang mulai berkerumun untuk menyaksikan kejadian itu. Ada rasa risih dan malu juga karena menjadi pusat perhatian semua orang. Namun aku tak akan menyerah sebelum masalah ini selesai.Karyawan tadi hanya mondar-mandir sambil mulutnya menggumamkan sesuatu yang tak jelas.Kesabaranku hampir habis karena tak juga menemukan titik terang dan tak ada yang menengahi masalah ini."Mana atasan kamu, suruh dia datang ke mari! Saya laporin kamu sekalian, biar dipecat!" kali ini emosiku mulai tak terkendali.Karyawan itu mulai takut setelah mendengar ancamanku. Karyawan lain juga mulai berbisik-bisik dan saling pandang satu sama lain.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu di buka dengan langkah terburu-buru memasuki toko."Ada apa ini?" tanya seorang pria yang usianya sekitar tiga puluh tahunan kepada para karyawannya.Karyawan tadi tak berani menjawab, namun temannya berusaha menjelaskan apa yang telah terjadi.Setelah mengetahui permasalahannya, pria itu meminta maaf dan justru menggratiskan seluruh belanjaanku sejumlah tiga ratus ribu, tanpa mengganti rugi sedikitpun.Aku tentu saja kaget, kupikir dengan datangnya sang pemilik toko justru akan membuatku semakin terpojok, karena biasanya sikap karyawan berbanding lurus dengan sikap pemiliknya. Namun yang kudapat justru sebaliknya, pemilik toko begitu baik kepadaku.Mungkin pria tersebut kasihan melihatku kerepotan menenangkan Safira yang menangis terus sejak kejadian tadi.Entah karena saking takutnya atau karena hal lain, kali ini tangis Safira tak juga mereda, bahkan sampai terisak-isak.Di luar dugaan, pria tersebut yang merupakan pemilik toko berinisiatif menggendong Safira. Ajaib, Safira yang biasanya tak mau di dekati orang asing langsung diam. Sepertinya anak itu sangat nyaman dalam gendongannya.Aku kikuk sendiri melihat kejadian itu dan berusaha meminta kembali Safira darinya. Namun lagi, Safira justru menolak ajakanku."Dedek mau ikut Ayah." kata Safira dengan gaya khasnya yang cadel.Aku, sudah tentu kaget mendengar permintaannya. Dalam hati menangis perih, "Maafkan Ibu Nak, yang sampai saat ini belum bisa mempertemukanmu dengan Ayahmu."Pria tadi hanya tersenyum sembari terus mengusap-usap punggung Safira. Apa yang harus aku lakukan? Entahlah, yang pasti aku merasa serba salah berada dalam situasi ini.Safira sangat senang bersama pria itu, begitu juga sebaliknya. Pria itu mengajak Safira berkeliling toko dan memberikan beberapa mainan untuknya. Safira tentu sangat senang menerima pemberiannya, apalagi aku memang jarang membelikan mainan untuknya.Sebagai ibu, tentu aku ingin memberikan yang terbaik untuk anakku, tapi mau bagaimana lagi karena kondisiku yang tak memungkinkannya.Setelah berulang kali kubujuk, akhirnya Safira mau juga kuajak pulang setelah pemilik toko berjanji untuk mengajaknya bermain kembali di lain waktu.Dengan menaiki angkutan umum, aku pulang ke rumah bersama Safira. Tangan kananku penuh dengan kresek besar berisi barang belanjaanku. Sementara tangan kiriku memegangi Safira dalam gendongan yang tertidur pulas sejak tadi.Ketika melewati ujung gang, kebetulan bertemu dengan ibu-ibu yang sedang berkumpul sembari mengasuh anak-anak mereka.Pandangan mereka langsung tertuju ke arah tangan kananku yang penuh belanjaan."Habis mborong ya, kayaknya ada yang baru dapat transferan nih? Ajarin dong, gimana cara dapetin pria tajir?" celetuk seorang ibu yang berdaster biru.Kutarik napas kuat-kuat sembari terus berjalan melewati mereka. Masih dapat kudengar celetukan-celetukan lain dari mereka, namun tak kuhiraukan lagi. Bagiku selama mereka tak menyentuh kulit kami, sikap mereka masih dapat kumaklumi. Tapi kalau sudah berani menyakiti secara fisik, aku tak akan tinggal diam.Sesampainya di rumah, kurebahkan Safira di atas tempat tidur. Setelah itu, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian menunaikan kewajibanku untuk Shalat Dzuhur.Siang itu, aku sedang bermain bersama Safira ketika terdengar ketukan di pintu depan. Segera kugendong Safira untuk melihat siapa yang datang.Ketika pintu sudah kubuka, tampak seorang pemuda bersama gadis cantik berambut pirang sedang berdiri di depan pintu. Sepertinya aku pernah melihat gadis ini, tapi entah di mana aku sendiri sudah lupa.Bersambung...Bayi yang Kubawa dari Kota'Tidak! Itu tak boleh terjadi, kakiku baik-baik saja. Kucoba sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki, namun usahaku sia-sia. Kedua kakiku tetap diam tak bergerak. Mama dan Mas Yusuf tampak saling pandang melihat usahaku yang sia-sia. Perlahan kulihat kaca-kaca bening mulai berjatuhan dari kedua sudut mata Mama. Apa yang aku lihat, sudah mewakilkan penjelasan yang tidak mereka katakan. Hatiku hancur seketika, takut membayangkan kedepannya bagaimana caraku hidup dengan kedua kaki yang lumpuh. "Tida ... ak!" Seketika aku kalap, tak bisa mengendalikan emosiku sendiri. Kuraih apa saja yang ada di dekatku dan melemparkannya ke sembarang arah. Mama terlihat panik dan segera memelukku erat, aku menangis tergugu dalam dekapannya. Aku merasa menjadi orang yang paling malang sedunia, merutuki nasib buruk yang seolah selalu akrab denganku. Dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus aku Ya Tuhan? Rasanya aku sudah tak punya semangat lagi untuk hidup, bayanga
Bayi yang Kubawa dari Kota Part 26Setelah pembagian selesai, kami pamit berziarah ke makam keluargaku untuk selanjutnya pulang ke Jogja. Sesampainya di makam, kutumpahkan segala kerinduan pada keluargaku yang berada di bawah batu nisan itu. Kusirami makam itu dengan air do'a dan taburan bunga. Mama ikut terharu melihatku menangis di atas pusara keluargaku. Gerimis mulai turun ketika kami selesai berdo'a. Mas Yusuf dengan sigap berlari mengambil payung dan mengajak kami segera memasuki mobil. Hatiku berbunga-bunga melihat perhatian yang ditunjukkannya. Perlahan mobil yang kami tumpangi keluar dari area pemakaman. Setelah berhenti di restoran untuk makan siang, mobil yang kami tumpangi kembali melanjutkan perjalanan menuju Jogja. Sementara itu, hujan semakin deras mengguyur sepanjang jalan, sehingga membuat sopir harus ekstra hati-hati. Mas Yusuf duduk di depan bersama sopir, sementara aku berada di bangku belakang bersama Mama dan Safira. Mungkin karena kelelahan, anak itu sudah
Bayi yang Kubawa dari KotaMeskipun sekarang sudah berjilbab, namun tetanggaku tetap bisa mengenaliku. Mereka berbisik-bisik mengetahui kepulanganku. "Masih punya nyali untuk pulang ya, atau karena sudah tak punya muka jadi hilang rasa malunya?" Spontan aku menoleh pada sebuah suara yang sangat aku kenal.Tak kuhiraukan cibirannya, aku terus berjalan melewatinya begitu saja. "Ee ... di tanya kok malah pergi, dasar bocah tak tahu malu. Amit-amit dah punya mantan warga kayak kamu!" teriaknya lagi semakin membuatku emosi. Sebisa mungkin kutahan amarahku agar tak lagi membuat kekacauan di kampung ini. Aku hanya ingin hidupku tenteram, tak ingin lagi ada amarah apalagi dendam. Namun semakin dibiarkan, sepertinya ibu satu itu semakin kelewatan. "Ibu-ibu, sini deh! Lihat tuh, Si Amira pulang lagi ke kampung kita. Pasti dia mau bikin ulah lagi di kampung ini!" teriak Bu Mirna, kembali memprovokasi warga. Satu persatu tetanggaku keluar, mereka ingin membuktikan kebenaran ucapan Bu Mirna.
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 24Setelah menerima panggilan dari Mak Ijah, Mama meminta sopir untuk memutar balik mobilnya dan pulang ke rumah. Entah apa yang terjadi, karena Mama tak mengatakan alasannya. Selama perjalanan pulang, kami semua hanya diam dengan pikiran masing-masing. Sesekali hanya menyahuti celotehan Safira yang tak bosan menanyakan apa yang dilihatnya. Sesampainya di rumah, tampak dua orang berseragam dealer sedang menunggu kami. Mereka duduk di teras rumah ditemani Mak Ijah. Melihat kami turun, mereka segera menghampiri Mama dan Mas Yusuf. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kulihat mereka pergi setelah menyerahkan sebuah kunci mobil kepada Mama. Setelah mereka pergi, Mama datang menghampiriku dan mengajakku untuk menuju garasi. Di dalam sana, tampak tiga buah mobil berjajar rapi. Aku penasaran untuk apa Mama membeli mobil baru, bukankah sudah ada dua buah sebelumnya? Satu untuk Mas Yusuf bekerja dan satunya untuk Mama. "Amira, karena sebentar lagi kamu a
Bayi yang Kubawa dari KotaSafira yang menjadi rebutan Papa dan Omanya justru berlari ke arahku. Anak itu minta dimandikan dan memakai baju baru. Segera kuturuti permintaan Safira, berharap dengan menghilang dari pandangan Mas Yusuf akan sedikit bisa menetralkan degup jantungku. Namun aku salah, kemanapun aku pergi bayangannya tak juga menghilang dari ingatanku. Menempel di dinding seperti cicak, berenang di air seperti bebek bahkan di wajah Safira juga ada bayangan Mas Yusuf. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta?Setelah mandi dan berganti baju, Safira kembali menggelayut di paha Mas Yusuf. Anak itu seakan tak mau lepas dari papanya. "Horee__ aku punya Papa sama Mama seperti Icha. Sekarang dia tak akan bisa mengejekku tak punya Papa." celoteh Safira kegirangan menceritakan teman bermainnya dulu sewaktu di kontrakan. Mendengar celotehan Safira, Mama kembali menitikkan air mata. Mungkin sedih membayangkan kondisi kami sebelumnya. "Oma kenapa nangis? Oh ya, tadi Safira mimpi ketemu
Bayi yang Kubawa dari KotaDemi memantapkan pilihan, kucoba menyerahkan bayi itu ke panti asuhan, meski berat namun aku akan berusaha untuk kuat. Ketika bayi itu hendak kutinggalkan, kukecup sekali lagi bayi tak berdosa itu. Tanpa kusadari, air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Tangannya bergerak gerak seakan mencegah kepergianku. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membawanya kembali bersamaku?Hatiku hancur membayangkan seandainya hal itu terjadi kepadaku. Dicampakkan dari satu tangan ke tangan lainnya demi untuk mendapatkan belas kasihan orang. Sungguh aku tak rela itu terjadi kepadanya. Cukup aku saja yang mengalami pedihnya hidup tanpa orang tua, tanpa kasih sayangnya hingga semakin akrab dengan derita dan duka lara. Kuambil kembali bayi mungil itu, kudekap erat di dadaku. Kami menangis bersama, dalam hati aku berjanji tak akan lagi meninggalkannya apapun yang terjadi. Wildan marah besar setelah aku mengatakan untuk tetap merawat bayi itu. Secara sepihak dia memutu
Bayi yang Kubawa dari KotaWanita itu terus menjerit menahan sakit, hingga tak lama kemudian lahirlah bayi perempuan yang cantik dan menggemaskan. Atas inisiatif warga, maka di panggillah seorang bidan terdekat untuk menangani perempuan itu dan bayinya. Wanita itu tampak tersenyum melihat bayi mungilnya, begitupun denganku yang langsung jatuh cinta begitu melihatnya. "Dek, siapapun kamu, tolong rawat anak ini baik-baik ya? Aku minta sama kamu, apapun yang terjadi jangan berikan bayi ini pada siapapun. Kamu orang baik, karena itu aku percaya kepadamu." kata wanita itu dengan suara serak. Aku tak percaya mendengar permintaannya. Bukankah bayi itu miliknya, kenapa harus diserahkan padaku? Sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya waktu itu. Haruskah aku menerima permintaannya?Tak bisa kubayangkan bagaimana caraku merawat bayi mungil itu. Menikah saja belum, apalagi merawat bayi seorang diri, pasti akan banyak resiko yang harus aku tanggung nantinya. Setelah mengatakan itu, perlahan
Bayi yang Kubawa dari KotaKali ini semua mata tertuju padaku, sedangkan aku sendiri tak tahu apa maksud dari ucapannya itu. "Apa maksud dari ucapanmu, jelaskan sekarang!" Bentak Mas Yusuf marah. "Sampai kapanpun, aku tak akan memberitahumu. Satu hal yang perlu kamu tahu, bahwa anakmu masih hidup. Silakan cari sendiri keberadaannya ha ... ha ...ha ...." Kali ini tawa Safitri terdengar sangat menyebalkan, bahkan membuat Mas Yusuf mengepalkan kedua tangannya. Kalau bukan seorang perempuan, mungkin orang itu sudah habis di hajarnya. "Sudah Pak, saya serahkan mereka kepada kalian. Hukum mereka sesuai perbuatannya!" kata Mas Yusuf kepada polisi untuk mengakhiri perdebatan. Setelah itu, Mas Yusuf mengajak kami pulang. Safira sudah sejak tadi tertidur dalam gendonganku. Mungkin anak itu kelelahan dan tertekan selama dalam penculikan. Karena itu kini dia tertidur pulas saat sudah merasa aman. Selama dalam perjalanan, kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Aku sendiri belum menger
Bayi yang Kubawa dari KotaMalam harinya, aku benar-benar tak bisa memejamkan mata walau sekejap. Bayanganku terus berkelana, memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan Safira. Bagaimana jika anak itu menangis mencariku? Biasanya dia tidur dalam dekapanku, bangun tengah malam minta susu. Lalu sekarang, siapa yang akan membuatkannya? Hingga azan Subuh berkumandang, mata ini tetap tak mau terpejam. Segera aku bangkit mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajibanku. Dalam sujudku, tak lupa teriring do'a untuk Safira, di manapun dia berada, semoga Allah selalu menjaganya. Pagi itu, Mama sengaja datang ke rumahku untuk mengantar sarapan juga memberi suport kepadaku. Untuk saat ini, memang itulah yang sangat aku butuhkan. Hidupku terasa hampa tanpa Safira, seakan separuh jiwaku pergi bersamanya. Berulang kali Mama membujukku untuk sarapan, namun selalu aku tolak. Rasa laparku seakan menguap entah ke mana. Padahal perutku belum terisi apapun sejak Safira menghilang. "Ayo Nak, makanlah