Share

Part 5

Bayi yang Kubawa dari Kota

Usia Safira kini sudah satu tahun lebih. Gadis kecilku itu sudah pandai berjalan sejak usianya sebelas bulan, bahkan kini mulai belajar berbicara.

Setiap apa yang dia lakukan selalu mengundang tawa diantara kami karena tingkah laku dan wajahnya sangat menggemaskan. Mata bulat, dengan bulu mata lentik yang selalu memikat siapapun yang melihatnya.

Rencananya hari ini aku akan mengajak Safira membeli baju baru. Maklum karena kebanyakan baju Safira kubeli sejak anak itu baru lahir. Apalagi pertumbuhan bayi memang sangat cepat sehingga sebentar saja bajunya sudah kekecilan.

Dengan menumpang angkutan umum, aku dan Safira berangkat ke toko baju. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di toko yang aku inginkan. Di toko itu di jual beraneka pernak pernik bayi mulai dari baju, tas, sepatu hingga mainan anak-anak.

Safira yang sedang semangat berjalan sudah pasti sangat senang di tempat ini. Berlarian ke sana kemari dan tangannya bergerak ingin meraih sesuatu yang menarik baginya.

Sebagai Ibu aku harus sigap dalam mengawasi anakku, karena lengah sedikit saja bisa fatal akibatnya.

Setelah mendapatkan apa yang kucari, aku segera menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Ketika hendak mengambil dompet di dalam tas, tanpa kusadari tangan Safira lepas dari genggaman dan anak itu berjalan entah kemana.

"Gubrak ...." Terdengar suara benda jatuh tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku yang terkejut spontan menoleh ke arah sumber suara, begitupun dengan pengunjung lain yang ada di toko itu. Rupanya suara itu berasal dari sebuah manekin yang jatuh dan patah.

Namun yang lebih mengejutkan, Safiraku berada di sana sedang menangis karena ketakutan dan juga kaget.

Gegas aku berlari menyusulnya, takut tangisnya semakin keras dan mengganggu pengunjung lain. Namun belum sempat aku merengkuh tubuh Safira, terdengar suara bentakan dari salah satu karyawan.

"Dasar anak kurang ajar, nakal banget sih kamu! Siapa yang ngajarin, hah!"

Aku terkejut mendengar makiannya, sekaligus tak terima anakku di bentak-bentak. Tak mau memperpanjang masalah, segera kugendong Safira dan bertanya balik pada karyawan tersebut.

"Berapa jumlah kerugiannya, nanti saya ganti? Tambahkan saja pada nota belanjaan saya!" ujarku geram menahan emosi.

"Memangnya situ punya uang berapa, belagak mau ganti rugi segala?" tanya karyawan tadi dengan nada meremehkan.

Pengunjung lain saling berbisik-bisik, ada yang membelaku, namun ada juga yang membela karyawan tersebut dengan menyalahkan anakku.

Sebagai Ibu, aku tak terima kalau sampai ada orang lain yang membentak anakku, apalagi sampai menyakitinya.

"Jadi Mbaknya menganggap saya tak mampu ganti rugi begitu?" tanyaku langsung ke intinya.

Karyawan itu terdiam mendengar suaraku yang mulai emosi.

"Baiklah, kalau begitu saya tak akan mengganti semua kerugian ini!" kataku ketus.

Namun di luar dugaan, dia malah semakin meremehkanku.

"Ee ... ee ... enak saja ya mau pergi gitu aja. Siapa bilang situ tak perlu ganti rugi. Sini, bayar 500 ribu sekarang!" katanya masih dengan nada meremehkan.

"Kamu mau memeras saya? Harga manekin tanpa kaki ini harganya tak sampai dua ratus ribu. Enak saja saya disuruh bayar lima ratus ribu." sergahku membela diri.

Pengunjung semakin banyak yang mulai berkerumun untuk menyaksikan kejadian itu. Ada rasa risih dan malu juga karena menjadi pusat perhatian semua orang. Namun aku tak akan menyerah sebelum masalah ini selesai.

Karyawan tadi hanya mondar-mandir sambil mulutnya menggumamkan sesuatu yang tak jelas.

Kesabaranku hampir habis karena tak juga menemukan titik terang dan tak ada yang menengahi masalah ini.

"Mana atasan kamu, suruh dia datang ke mari! Saya laporin kamu sekalian, biar dipecat!" kali ini emosiku mulai tak terkendali.

Karyawan itu mulai takut setelah mendengar ancamanku. Karyawan lain juga mulai berbisik-bisik dan saling pandang satu sama lain.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu di buka dengan langkah terburu-buru memasuki toko.

"Ada apa ini?" tanya seorang pria yang usianya sekitar tiga puluh tahunan kepada para karyawannya.

Karyawan tadi tak berani menjawab, namun temannya berusaha menjelaskan apa yang telah terjadi.

Setelah mengetahui permasalahannya, pria itu meminta maaf dan justru menggratiskan seluruh belanjaanku sejumlah tiga ratus ribu, tanpa mengganti rugi sedikitpun.

Aku tentu saja kaget, kupikir dengan datangnya sang pemilik toko justru akan membuatku semakin terpojok, karena biasanya sikap karyawan berbanding lurus dengan sikap pemiliknya. Namun yang kudapat justru sebaliknya, pemilik toko begitu baik kepadaku.

Mungkin pria tersebut kasihan melihatku kerepotan menenangkan Safira yang menangis terus sejak kejadian tadi.

Entah karena saking takutnya atau karena hal lain, kali ini tangis Safira tak juga mereda, bahkan sampai terisak-isak.

Di luar dugaan, pria tersebut yang merupakan pemilik toko berinisiatif menggendong Safira. Ajaib, Safira yang biasanya tak mau di dekati orang asing langsung diam. Sepertinya anak itu sangat nyaman dalam gendongannya.

Aku kikuk sendiri melihat kejadian itu dan berusaha meminta kembali Safira darinya. Namun lagi, Safira justru menolak ajakanku.

"Dedek mau ikut Ayah." kata Safira dengan gaya khasnya yang cadel.

Aku, sudah tentu kaget mendengar permintaannya. Dalam hati menangis perih, "Maafkan Ibu Nak, yang sampai saat ini belum bisa mempertemukanmu dengan Ayahmu."

Pria tadi hanya tersenyum sembari terus mengusap-usap punggung Safira. Apa yang harus aku lakukan? Entahlah, yang pasti aku merasa serba salah berada dalam situasi ini.

Safira sangat senang bersama pria itu, begitu juga sebaliknya. Pria itu mengajak Safira berkeliling toko dan memberikan beberapa mainan untuknya. Safira tentu sangat senang menerima pemberiannya, apalagi aku memang jarang membelikan mainan untuknya.

Sebagai ibu, tentu aku ingin memberikan yang terbaik untuk anakku, tapi mau bagaimana lagi karena kondisiku yang tak memungkinkannya.

Setelah berulang kali kubujuk, akhirnya Safira mau juga kuajak pulang setelah pemilik toko berjanji untuk mengajaknya bermain kembali di lain waktu.

Dengan menaiki angkutan umum, aku pulang ke rumah bersama Safira. Tangan kananku penuh dengan kresek besar berisi barang belanjaanku. Sementara tangan kiriku memegangi Safira dalam gendongan yang tertidur pulas sejak tadi.

Ketika melewati ujung gang, kebetulan bertemu dengan ibu-ibu yang sedang berkumpul sembari mengasuh anak-anak mereka.

Pandangan mereka langsung tertuju ke arah tangan kananku yang penuh belanjaan.

"Habis mborong ya, kayaknya ada yang baru dapat transferan nih? Ajarin dong, gimana cara dapetin pria tajir?" celetuk seorang ibu yang berdaster biru.

Kutarik napas kuat-kuat sembari terus berjalan melewati mereka. Masih dapat kudengar celetukan-celetukan lain dari mereka, namun tak kuhiraukan lagi. Bagiku selama mereka tak menyentuh kulit kami, sikap mereka masih dapat kumaklumi. Tapi kalau sudah berani menyakiti secara fisik, aku tak akan tinggal diam.

Sesampainya di rumah, kurebahkan Safira di atas tempat tidur. Setelah itu, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian menunaikan kewajibanku untuk Shalat Dzuhur.

Siang itu, aku sedang bermain bersama Safira ketika terdengar ketukan di pintu depan. Segera kugendong Safira untuk melihat siapa yang datang.

Ketika pintu sudah kubuka, tampak seorang pemuda bersama gadis cantik berambut pirang sedang berdiri di depan pintu. Sepertinya aku pernah melihat gadis ini, tapi entah di mana aku sendiri sudah lupa.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status