Share

Part 6

Bayi yang Kubawa dari Kota

Rupanya Farhan pulang bersama kekasihnya yang dia bawa dari kota. Keduanya tampak serasi meski sang gadis terlihat lebih tua, mungkin karena pengaruh riasannya yang terlalu tebal.

"Kak Farhan ... Bapak sama Ibu belum pulang." kataku memberitahukan tentang orang tuanya tanpa diminta.

"Ya, aku sudah tahu." jawabnya ketus sembari terus melangkah ke dalam rumah.

Rupanya sifat ketusnya tak berubah meski kami sudah lama tak bertemu. Mungkin memang sudah tabiatnya seperti itu atau mungkin takut kekasihnya cemburu kepadaku, entahlah.

Padahal dulu sebelum berangkat ke Jakarta sempat bersikap baik kepadaku, tapi ya sudahlah itu urusan dia.

Setelah membuatkan minuman untuk mereka berdua, aku bergegas masuk ke dalam kamar.

Siang ini, aku berencana untuk mencari kontrakan baru. Tak mungkin aku terus-terusan tinggal di rumah ini, karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini.

Aku memesan ojek online agar bisa leluasa keluar masuk gang untuk mencari kontrakan.

Setelah berkeliling beberapa gang, akhirnya kutemukan sebuah kontrakan yang bisa dibayar perbulan. Memang itulah yang aku cari. Alasannya kalau kita tidak nyaman di tempat itu, kita bisa pindah tanpa harus menghabiskan kontrak setahun.

Pilihanku jatuh pada sebuah rumah bercat hijau dengan ukuran yang pas menurutku. Setelah negosiasi harga dan menemukan titik temu, akhirnya aku membayar uang sewa untuk satu bulan ke depan. Setelah selesai, aku segera pulang untuk membereskan barang-barangku.

Sesampainya di rumah, ternyata Pak Yanto dan Bu Ratmi sudah pulang. Mereka sedang duduk di ruang tamu, ngobrol bersama sang calon menantu.

Sekalian saja aku bergabung dan mengutarakan keinginanku untuk pindah ke kontrakan. Meski awalnya berat, namun akhirnya Pak Yanto dan Bu Ratmi mengijinkanku untuk pindah setelah kukatakan terlanjur membayar uang sewa.

Pagi harinya, dengan menyewa mobil bak terbuka aku resmi pindah dari rumah Pak Yanto dan Bu Ratmi. Mereka juga ikut membantu membereskan barang-barang bahkan ikut sampai kontrakan yang baru.

Setelah semuanya selesai, aku segera memandikan Safira, dan mengajaknya pergi ke warung terdekat untuk membeli makanan.

"Neng, itu anaknya ya?" tanya Ibu penjual nasi.

"Iya Bu, ini anak saya." jawabku singkat.

"Eneng warga baru ya di sini, kok baru lihat?" tanya pembeli lain yang juga ikut mengantri.

"Iya, saya baru tadi siang pindah ke sini." jawabku apa adanya.

"Mari Bu, saya duluan." kataku sebelum mereka bertanya lebih jauh.

Bukan tak mau bergaul, hanya membatasi diri agar tak terjadi hal-hal yang tidak baik. Apalagi di tempat seperti ini kalau ada warga baru sudah pasti menarik perhatian warga sekitar. Aku tak ingin mereka mengusik tentang masa laluku, itu saja.

Sebisa mungkin akan kututup masa laluku yang kelam dengan lembaran baru yang lebih membahagiakan.

Esok paginya, aku sengaja belanja sayur mentah karena Safira sudah bisa makan nasi. Jadi aku berusaha memasak sendiri makanannya, karena lebih terjamin menurutku.

"Eh ... lihat tuh, itukan warga baru yang tinggal di kontakan Blok D?" ujar seorang Ibu berdaster ungu sembari menyikut lengan lawan bicaranya.

"Iyakah, kok baru tahu aku?" tanya Si Ibu berdaster oren.

"Iya, denger-denger dia tak punya suami lho," sahut Ibu berdaster ungu lagi.

"Masak sih, jangan sok tahu deh!" ujar Ibu berdaster oren.

"Iyalah, kemarin aku lihat sendiri pindahannya. Gak ada tuh suaminya, yang ada malah kakek sam neneknya tuh bocah!" sahut Ibu daster ungu seraya menunjuk Safira.

"Jendes dong," sahut Ibu berdaster oren.

"Kali iya. Makanya, jagain suami kita-kita biar kagak diembat tuh jendes?" ujar Ibu berdaster ungu lagi.

Meski berdiri agak jauh, namun aku masih bisa mendengar semuanya dengan jelas. Hatiku memanas mendengar obrolan mereka. Mungkin aku memang bukan orang baik, tapi tak bisakah mereka bersikap baik kepadaku? Setidaknya cukup ketika di depanku.

Tak ingin terus mendengar cibiran mereka, aku segera membayar belanjaanku sebelum amarahku mendidih dan membuat keributan. Aku cukup sadar diri sebagai orang baru di sini.

Sepanjang perjalanan aku terus beristighfar untuk mendinginkan panas hatiku. Tak ingin terpengaruh ucapan mereka yang bisa membuatku terpuruk.

Sesampainya di rumah aku segera memasak karena kami memang belum sarapan. Kali ini sengaja memilih menu yang praktis agar lebih cepat matang yaitu sayur sop plus tempe goreng.

Untunglah Safira tipe anak yang mudah diasuh, dia tak pernah rewel ketika aku sedang mengerjakan sesuatu. Cukup ada mainan dan cemilan sudah membuatnya asyik meski tanpa teman bermain.

Ketika sedang menyuapi Safira, terdengar ketukan di pintu depan. Gegas aku berdiri untuk melihat siapa yang datang.

"Dedeknya lagi sarapan ya?" tanya Mbok Nah, pemilik kontrakan yang aku tempati.

"Iya Mbok, mari masuk dulu!" kataku seraya membuka pintu lebih lebar.

"Tak usah Nak, ini ada bayam hasil panen kebun belakang. Kalau sewaktu-waktu butuh, kamu bisa petik sendiri tanpa perlu ijin dariku." kata Mbok Nah sembari menunjuk kebun belakang yang memang terdapat kebun bayam di sana.

"Terima kasih banyak ya Mbok," jawabku tulus.

"Sama-sama Nak. Oh ya, kalau ada orang yang berani macam-macam sama kamu, bilang aja ke Simbok ya? Jangan terlalu didengerin omongan mereka." kata Mbok Nah panjang lebar sebelum akhirnya pamit pulang.

Aku bersyukur meski banyak orang yang mencibir, namun masih ada juga orang yang baik terhadapku. Semoga aku betah tinggal di kontrakan ini.

Hari ini adalah ulang tahun Bu Alma, pemilik toko online yang memberi pekerjaan kepadaku. Semua orang yang berhubungan dengan Bu Alma diundang, termasuk aku.

Acaranya diadakan sore hari sehingga tidak mengganggu jam tidur Safira. Gadis kecilku itu sudah cantik dengan dres pink, serasi dengan sepatu dan bandonya. Sedangkan aku memakai dres warna salem dengan sepatu warna senada juga.

Dengan memesan ojek online, sampailah aku di rumah mewah Bu Alma. Aku sangat penasaran seperti apa wajah orang yang telah memberi pekerjaan kepadaku.

Rupanya aku datang terlambat, karena di rumah itu sudah penuh sesak dengan tamu undangan. Kebanyakan mereka datang bersama keluarganya yang memang sengaja diundang untuk menghadiri acara tersebut.

Safira sedikit rewel karena tak biasa berada dikerumunan banyak orang. Aku yang kesulitan menenangkan Safira akhirnya mundur mencari tempat yang sedikit lebih longgar. Namun sayang, ketika hendak berbalik tak sengaja aku menabrak pelayan yang hendak mengantarkan minuman.

"Pyar ...." Nampan berisi gelas tersebut jatuh berserakan dan mengundang perhatian banyak orang.

Safira yang ikut terkejut langsung menangis ketakutan. Semua mata tertuju kepadaku dan Safira hingga tak sedikit dari orang-orang itu mencibir kecerobohanku.

"Maaf, aku tak sengaja," Kataku kepada pelayan tadi yang menatapku dengan pandangan kesal.

Tak mau menghiraukan cibiran mereka, aku segera berlari keluar hendak pulang saja. Malu rasanya karena sudah membuat kekacauan diacara orang lain.

Lagi-lagi aku ceroboh, karena tak hati-hati hampir saja aku terjatuh saat tak sengaja kakiku menendang pot besar di halaman rumah itu. Untung saja sebelum aku rubuh ke tanah, ada sebuah tangan kekar yang memegangi tubuhku dari belakang.

"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku.

Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal.

"Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu.

Bersambung.....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
August
kenapa ya Amira ngak punya otak cerdas ya? apa wataknya seakan² lambat?...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status