“Aku berangkat dulu. Baik-baik di rumah.” David mendaratkan kecupan singkat di dahi Zahra lalu mengelus lembut rambutnya.Zahra diam mematung melihat suaminya melayangkan senyum ke arahnya sebelum lelaki berjalan keluar. Tak seperti sebelumnya, hidup Zahra kini penuh dengan kejutan. Sikap dan perlakuan manis yang ia terima dari David membuatnya merasakan hal yang luar biasa timbul dari hatinya.Tangan Zahra terulur menyentuh dahinya, memang setiap hari David selalu berpamitan saat akan berangkat kerja, tapi baru kali ini lelaki itu bersikap demikian. Meski keduanya pernah lebih dari itu, tapi perlakuan David barusan membuat Zahra seperti sedang naik roller coaster dalam posisi menukik, nano-nano rasanya.[Gimana rasanya jadi nyonya David Ardian? Udah bulan madu kemana? Udah dibeliin apa aja? Emas, berlian atau mobil?]Zahra mengernyit heran melihat pesan yang baru saja masuk ke ponselnya dari nomor baru yang belum disimpannya. Penasaran, Zahra menyentuh ikon kontak tersebut dan terpam
Suasana hening menyelimuti kebersamaan David dan Zahra yang sedang duduk bersama sambil menonton televisi. Sebenarnya bukan menonton, melainkan ditonton karena keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing.Waktu masih jam delapan malam, masih terlalu awal untuk pergi tidur. Akhir-akhir ini interaksi keduanya memang sudah lebih santai jadi tak masalah lagi jika Zahra harus duduk berdua dengan David, toh pertahanannya sudah jebol.“Mora sudah tidur? Perasaan dari tadi enggak ada suaranya?” tanya David sembari terus fokus pada ponselnya.“Belum, kalo udah tidur pasti Wati turun," jawab Zahra“Kayaknya kita enggak perlu cari pengasuh, Wati aja udah cukup.”Zahra mengangguk mantap.“Kata Wati yang penting gajinya cocok, semua pasti beres."David terkekeh, atas saran Zahra ia baru saja menaikkan gaji Wati dua kali lipat dari sebelumnya. Itu dikarenakan Wati sekarang mempunyai tugas ganda yaitu asisten ru
“Selamat pagi, Sayangnya Ayah.”David mengangkat Mora yang sedang duduk di kursi bayi lalu mencium pipi gembulnya dengan gemas. Zahra yang sedang menyiapkan sarapan mencuri pandang ke arah mereka dan tersenyum saat melihat Mora tertawa karena David tak henti-henti menciumnya.Seperti biasa, saat memasak sarapan Zahra akan selalu ditemani Mora karena anak itu selalu bangun lebih awal. Ia tak mau selalu merepotkan Wati karena wanita itu pun punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan setiap pagi. “Ayo kita lihat Bunda,” ucap David berjalan mendekati Zahra.Ada desiran aneh yang terasa saat David selalu menyebutnya dengan panggilan Bunda. Antara bahagia dan tak percaya jika saat ini ia telah memiliki suami dan anak yang cukup memberi warna dihidupnya.“Bunda masak apa?”“Na-nasi goreng.” Zahra melirik pada lelaki yang kini berdiri tepat di sampingnya. Dagu David yang hampir menyentuh pundaknya berhasil membuat tubuhnya sedikit gemetar.“Cicip dong, Bunda. Kelihatannya enak,” ujar Dav
“Dasar perempuan bia-d@b! Jadi ini alasan kamu tak pernah pulang?” Pak Sarip menampar keras wajah Zahra—anak bungsunya.“Ma-Maaf, Pak. Zahra bisa jelasin semuanya?” Zahra terus mendekap bayi berumur empat bulan dalam gendongannya.“Jelasin apa, hah? Jelasin kalo kamu hamil tapi enggak menikah? Katakan siapa Ayah dari bayi ini? Biar Bapak patahkan tulang-tulang lelaki itu!” Suara Pak Sarip terdengar menggelegar. Para tetangga kanan kiri rumah yang mendengar pun akhirnya berdatangan.“Sabar, Pak! Kita bisa bicara baik-baik. Kasihan Zahra, Pak. Dia pasti capek setelah perjalanan jauh.” Bu Sumi—istri Pak Sarip berusaha menenangkan suaminya.“Gimana mau sabar, Bu? Pulang merantau bukannya membanggakan orang tua malah bikin malu!” Bu Sumi menggiring anaknya ke dalam kamar sebelum suaminya bertindak lebih jauh. Belum genap dua tahun Zahra pergi dari kampung halaman untuk mengadu nasib di ibukota. Faktor ekonomi menjadi alasan bagi gadis yang saat itu baru lulus SMA agar bisa segera mengub
“Ih, hidungnya mirip Zahra, bibirnya juga,” ucap salah seorang tetangga yang kini tengah berkunjung ke rumah Pak Sarip.“Tapi wajahnya enggak mirip banget sama Zahra, mirip siapa, ya?” timpal yang lain.“Ya mirip Bapaknya lah, orang namanya bikin anak ya berdua. Lahirnya kalo enggak mirip Ibunya ya mirip Bapaknya. Iya enggak, Ra?” jawab Bu Seli yang juga ikut datang.Zahra hanya terdiam tak menanggapi omongan para tetangganya. Baginya percuma saja menjawab, toh ia tahu mereka datang untuk mencibirnya.Rumah Pak Sarip yang semula sepi karena selalu ditinggal bekerja di sawah kini menjadi ramai. Para sanak saudara dan tetangga berbondong-bondong datang untuk menengok bayi yang dibawa pulang Zahra. Banyak yang mencibir namun ada juga yang merasa kasihan dengan nasib Zahra.Zahra dan Bu Sumi pun tak bisa membendung niat para tetangganya. Keduanya tetap mempersilakan masuk sembari terus menguatkan hati untuk mendengarkan suara yang keluar dari mulut mereka.“Bubar-bubar! Ini bukan muyen.
Suasana rumah Pak Sarip mendadak terasa horor. Di dalam rumah, empat orang yang tinggal di dalamnya semuanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Pak Sarip dan Bu Sumi yang duduk berdampingan di ruang tengah pun hanya membisu. Mereka bingung sekaligus tak habis pikir dengan kelakuan dua anak gadisnya.“Jadi siapa yang benar, Pak? Bayi itu anak siapa?” Suara Bu Sumi terdengar bergetar.“Entah, Bu. Bapak jadi pusing. Kenapa anak-anak kita jadi begini ya, Bu? Bukankah dulu semua baik-baik saja,” ujar Pak Sarip.Di dalam kamar Zahra tengah sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menghela nafas saat panggilannya selalu di abaikan. Sesekali ia melirik pada bayi yang kini tengah terlelap di ranjangnya. Terbesit rasa menyesal karena bayi itu tak hanya merepotkannya namun juga telah memecah belah keluarganya.Zahra merebahkan tubuhnya di samping Amora. Ia memejamkan mata berharap rasa lelahnya sedikit berkurang. Andai saja waktu bisa terulang kembali, ia tak ingin terlibat dalam masalah i
Empat bulan yang lalu ...Waktu sudah menunjuk jam sebelas lewat lima belas saat motor matic yang dikendarai Zahra sampai di depan rumah yang ia tempati bersama Kakaknya. Merantau di kota yang sama dengan saudara membuat hidupnya sedikit lebih mudah karena bisa mendompleng ini itu pada kakaknya.Tak ada hal aneh saat Zahra membuka pintu dengan kunci cadangan yang dimilikinya. Hal biasanya yang gadis itu lakukan setiap masuk kerja shift dua.“Mbak aku pulang,” teriak Zahra.Biasanya di jam seperti ini Andin sudah masuk kamar dan tak terlalu menghiraukan kepulangan adiknya.Meski katanya hanya kerja di toko roti, Andin bisa dibilang sangat sukses. Selain bisa membeli sawah dan merenovasi rumah, wanita itu juga bisa mencicil perumahan kelas menengah yang kini di tempatinya dengan Zahra. Tak hanya itu, semenjak Zahra datang, ia langsung membelikannya sepeda motor untuk menunjang transportasi adiknya.Setelah bersih-bersih, Zahra melangkah menuju dapur. Biasanya Andin sudah membeli sesuatu
Dua jam berlalu, Zahra masih duduk bersandar di sebuah bangku ruang tunggu yang berderet di depan kamar rumah sakit. Di depannya lelaki bernama David terus mondar-mandir dan beberapa kali terlihat menelepon temannya untuk mengamankan kondisi di rumah. Untung saja, rumah yang ditempati Zahra dan Andin bukan rumah petak di perumahan padat penduduk, sehingga kejadian tadi tak terlalu mengundang rasa penasaran banyak orang. Terlebih lagi, para tetangga yang sebagian pekerja selama ini pun terkenal acuh dan tak terlalu sering mencampuri urusan orang lain.“Kenapa kalian tak menikah saja? Kenapa sampai melahirkan?” tanya Zahra lirih.“Andai saja Andin mau, aku sudah menikahinya sejak lama,” jawab David.“Bohong!” “Jika aku berbohong, aku tak akan berada di sini. Lebaran kemarin aku sudah memaksanya pulang dan kita menikah di sana tapi Andin menolak.”Zahra kembali terdiam, jujur saja ia tak begitu mengenal David. Selama ia tinggal bersama Andin, hanya beberapa kali keduanya bertemu dan sa