Zahra harus menanggung malu karena pulang merantau bawa bayi. Hujatan dan cibiran dari keluarga dan tetangga harus ia terima karena statusnya belum menikah tapi sudah memiliki anak. Namun Zahra tak gentar, ada sebuah misi rahasia yang harus ia lakukan sebelum mengungkap asal-usul bayi itu. Sebenarnya bayi siapakah itu?
View More“Dasar perempuan bia-d@b! Jadi ini alasan kamu tak pernah pulang?” Pak Sarip menampar keras wajah Zahra—anak bungsunya.
“Ma-Maaf, Pak. Zahra bisa jelasin semuanya?” Zahra terus mendekap bayi berumur empat bulan dalam gendongannya.“Jelasin apa, hah? Jelasin kalo kamu hamil tapi enggak menikah? Katakan siapa Ayah dari bayi ini? Biar Bapak patahkan tulang-tulang lelaki itu!” Suara Pak Sarip terdengar menggelegar. Para tetangga kanan kiri rumah yang mendengar pun akhirnya berdatangan.“Sabar, Pak! Kita bisa bicara baik-baik. Kasihan Zahra, Pak. Dia pasti capek setelah perjalanan jauh.” Bu Sumi—istri Pak Sarip berusaha menenangkan suaminya.“Gimana mau sabar, Bu? Pulang merantau bukannya membanggakan orang tua malah bikin malu!”Bu Sumi menggiring anaknya ke dalam kamar sebelum suaminya bertindak lebih jauh.Belum genap dua tahun Zahra pergi dari kampung halaman untuk mengadu nasib di ibukota. Faktor ekonomi menjadi alasan bagi gadis yang saat itu baru lulus SMA agar bisa segera mengubah nasib keluarganya. Apalagi melihat Andini—kakak kandungnya yang lebih dulu sukses, niat Zahra semakin tak terbendung meski berulang kali Ibunya melarangnya pergi.Tapi ternyata semua tak seperti harapan. Bukannya pulang membawa segepok u@ng untuk merenovasi rumah atau membeli sawah. Zahra malah membawa bayi merah yang entah anak siapa. Sontak hal itu membuat Pak Sarip sangat syok dan tak terima akan nasib anak bungsunya. Lelaki itu benar-benar merasa gagal sebagai orang tua karena tak bisa menjaga anak gadisnya.**Di luar rumah, desas-desus kepulangan Zahra yang membawa bayi pun langsung tersebar seantero kampung. Zahra yang terkenal cantik, sopan dan alim akhirnya menjadi bahan hujatan siapa saja yang mendengarnya.“Enggak nyangka ternyata Zahra berubah jadi cewek murahan. Pasti di kota dia kerja yang enggak-enggak,” cibir Bu Seli—wanita biang gosip di kampung.“Enggak boleh suuzon gitu Bu Seli, siapa tahu Zahra di salahi sama orang di kota. Tahu sendiri kan, gimana gawatnya keadaan Ibukota sekarang?” timpal Bu Rahayu sang Ibu RT.“Halah, kalo dia di salahi pasti udah pulang sejak dulu enggak nunggu lahir sampe segede itu. Itu pasti anak hasil hubungan gelap dan lakinya sekarang minggat dan dia enggak tahu mau kemana.” Bu Seli menerocos sembari mengunyah dadar gulung di mulutnya.Segerombol ibu-ibu yang mengelilingi tukang sayur itu hanya mengangguk saja. Mereka tahu tak mungkin menang jika berbicara dengan Bu Seli. Tak hanya biang gosip, wanita itu juga istri juragan Romli, pengusaha padi dan beras tersukses di kampungnya.“Masih mendingan Andini, biar dia centil, bajunya seksi tapi kelakuannya bener. Nyatanya dia udah bisa beli sawah dan bantuin bangun dapur rumahnya Bu Sumi.” Bu Seli mengganti topik pembicaraan.“Namanya juga nasib, Bu. Mana ada yang tahu.”“Kalo emang enggak ada Bapaknya, kan bisa digugurin aja. Kalo enggak kasih aja sama pasangan yang belum punya anak dari pada bikin malu kayak gitu.”“Ibu-Ibu, aku permisi dulu, ya. Suamiku udah kelaperan di rumah soalnya.” Bu Rahayu memotong pembicaraan dan diikuti ibu-ibu yang lain. Mereka tahu jika sudah berurusan sama Bu Seli, kasus apa pun di kampung ini enggak akan ada habisnya. Semua akan digoreng bolak-balik sampai gosong ke akar-akarnya.Memang omongan Bu Seli tak sepenuhnya salah. Andini, anak sulung Pak Sarip memang terkenal berhasil di tanah rantau. Wanita yang selalu berpakaian modis bak artis ibukota saat pulang kampung itu sedikit demi sedikit sudah bisa mengubah nasib keluarganya. Dua petak sawah seharga ratusan juta sudah berhasil ia beli, dua ekor sapi serta sebuah sepeda motor yang ia beli secara cash juga cukup menunjukkan keberhasilan seorang berijazah SMP yang katanya hanya bekerja di toko roti.Tapi sayang sekali keberhasilan itu tak berpihak pada Zahra. Meski tingkatan pendidikan gadis itu lebih tinggi dari pada Andini, nyatanya Zahra malah tak menghasilkan apa-apa dan malah memberikan rasa malu pada keluarganya.**“Sebenarnya siapa yang sudah membuatmu seperti ini, Nak?” Bu Sumi mendekati Zahra yang tengah menidurkan anaknya.“Bukan siapa-siapa, Bu. Suatu saat nanti aku pasti cerita setelah Ayah bayi ini bisa aku temui,” jawab Zahra santai sembari terus memegang botol susu yang sedang dilahap bayi mungil yang terbaring di ranjangnya.“Kenapa enggak cerita sekarang aja, biar Ibu merasa tenang.”“Aku enggak punya bukti apa pun, Bu. Kalo pun aku cerita yang sebenarnya, aku yakin Ibu dan Bapak enggak akan percaya.”“Tapi kami butuh kejelasan, Nduk. Tetangga mau bilang apa nanti kalo asal usul anak ini enggak jelas!” Bu Sumi terus mendesak.“Maaf, Bu. Tapi untuk sementara waktu, hanya di sinu tempat paling aman untuk bayi ini.”“Kamu semakin bikin Ibu bingung. Sebenarnya dia anak siapa? Anak kamu atau bukan?” Suara Bu Sumi meninggi. Ia benar-benar tak rela jika anaknya harus menanggung rasa malu atas kehadiran bayi ini tanpa seorang lelaki yang mau bertanggung jawab. Ia tak masalah jika harus menerima kenyataan jika anaknya sudah rusak namun ia pun harus tahu siapa yang telah tega menghamili anaknya dan meninggalkannya begitu saja.Zahra menatap nanar pada bayi yang kini sudah terlelap di hadapannya. Ia memberi nama Amora, nama yang tercetus begitu saja di kepalanya yang hingga saat ini hanya ia yang tahu. Tanpa syukuran tanpa selamatan, nama itu tersemat begitu saja pada bayi yang kini sudah mulai belajar tengkurap itu.“Beri aku waktu beberapa bulan untuk tinggal di sini, Bu, sampai orang yang bisa menjelaskan siapa bayi ini datang.” Zahra memohon.“Tapi sampai kapan, Nak? Aku takut Bapakmu kalap dan tak sengaja menyakitimu atau anak ini nantinya.”“Bagini saja, Bu. Kalo sampai akhir tahun ini, orang itu tak kunjung datang, Bapak dan Ibu boleh mengusirku dari sini.”“Kami tak mungkin mengusirmu, Nak. Kami hanya butuh kejelasan!”Zahra menghela nafas berat, andai saja punya pilihan lain, tentu ia lebih memilih tak pulang dan menyelesaikan masalah tanpa melibatkan orang tuanya. Namun semua sudah terlambat, kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak bisa berpikir jernih sehingga memutuskan untuk pulang.Baru saja ingin beranjak, Zahra terperanjat saat ponsel di sampingnya berbunyi tanda sebuah pesan masuk. Dengan cepat ia menyambar ponsel itu dan segera membukanya.[Kembalikan anakku!]**Tujuh tahun kemudian ...Tak ada yang berubah dari kehidupan Zahra. Ia tetap disibukkan dengan pekerjaan ibu rumah tangga yang terkadang membuatnya lelah tapi tetap menyenangkan. Meski masih ada Wati yang membantunya tapi Zahra tetap saja ikut turun tangan. Ia memang bukan tipe orang yang suka bersikap layaknya seorang bos karena sadar dari mana ia berasal.Mora kini sudah duduk di kelas empat sekolah dasar dan Miko kelas satu. Meski anak-anaknya sudah terbilang besar bukan berati pekerjaan Zahra menjadi ringan. Ada saja hal yang selalu menjadi perdebatan atau bahan rebutan sehingga Zahra harus menjadi wasit bagi kedua anaknya.“Bunda, kaos kaki aku mana?” Suara Miko terdengar menggelegar.“Di laci lemari, Sayang.”“Bunda, jepit kupu-kupu aku mana?” Kini giliran Mora yang berteriak.“Mama lihat ada di meja belajar.”Zahra menghela nafas sebelum kembali mengaduk nasi goreng yang sedang di masaknya. Seperti biasa, setiap p
Matahari sudah berada cukup tinggi saat Zahra melangkahkan kaki di sebuah halaman gedung dua lantai yang dikelilingi tembok tinggi. Meski sekilas bangunannya terlihat megah dan luas, tapi semua orang tahu jika di dalamnya ada ratusan orang yang terpaksa tinggal di sana menjadi pesakitan dan harus menunggu bertahun-tahun untuk bisa bebas.Hal yang tak pernah terbayang sebelumnya dalam hidup Zahra jika Andin, kakak sekaligus saudara satu-satunya harus merasakan dinginnya dinding penjara atas kesalahan fatal yang dilakukannya. Dan kali ini untuk pertama kalinya Zahra memutuskan untuk menjenguk dan menemui wanita yang dulu hampir saja menghancurkannya.“Yakin mau masuk?” David menghentikan langkah tepat di depan pintu masuk.Zahra mengangguk mantap. Ia memang sudah mempersiapkan diri serta menata hatinya sejak masih berada di kampung. Bahkan ia sudah tak sabar untuk menantikan momen ini sejak tiga hari yang lalu tepatnya saat ia sampai kembali pulang ke rumahn
“Eh, Zahra, emang kamu enggak ada niatan buat nebus Andin dari penjara? Secara suami kamu kan orang kaya?” celetuk Bu Seli yang tiba-tiba mendekat saat Zahra sedang membawa Miko jalan-jalan.“Maksudnya gimana ya, Bu?”“Ya keluarin Andin dari penjara. Kasihan dia enggak bisa lihat bapaknya buat yang terakhir kali, padahal selama ini dia sudah berjuang mati-matian buat ngangkat derajatnya sampai salah jalan begitu.”Lama tak bertemu, ternyata Bu Seli belum banyak berubah, dia masih tetap menjadi paparazi yang selalu ingin tahu dan mencampuri hidup seseorang.“Ditanyai diam aja, apa jangan-jangan kami takut Andin ngerebut suami kamu kalo keluar? Secara dia kan bekasnya Andin,” cibir wanita berdaster lebar itu.“Maaf, itu bukan urusan ibu. Lagipula emang ngeluarin orang dari penjara itu gampang?” ketus Zahra.Semenjak Zahra memutuskan tinggal beberapa saat di kampung untuk menemani ibunya, kedatangannya memang bak artis ibu kota
“Kenapa kalian tega padaku? Kalian anggap aku apa, hah?” Zahra berteriak pada dua orang di depannya.“Memangnya kenapa kalo aku tahu? Apa itu merepotkan kalian?” imbuhnya.“Bu-bukan seperti itu, Nak. Ini murni kemauan bapak. Bapak enggak mau kamu khawatir bahkan sampai minta pulang saat kamu hamil tua,” lirih Pak Sarip.“Tapi kenapa saat aku tanya, kalian selalu bilang sehat? Tapi nyatanya lihat! Bapak sakit, sakit parah lagi. Bahkan sampai detik-detik terakhirnya pun aku tak diberitahu. Sebenarnya aku ini siapa, Bu? Kenapa ibu tega melakukan semua ini?”“Sudah, sudah, umur seseorang tak ada yang tahu, kami juga tak menyangka kalo bapak akan pergi secepat ini, pasalnya kemarin beliau juga masih berbicara denganku lewat telepon.” David berusaha menenangkan istrinya.Malam tadi kondisi Pak Sarip menurun dan dilarikan ke rumah sakit. David dan Zahra yang mendengar hal itu langsung memutuskan untuk pulang. Zahra yang tak tahu menahu kondisi bapaknya yang sebenarnya cukup bingung karena se
Zahra menghentikan langkahnya saat melihat seorang wanita bermake up tebal serta berpenampilan glamor sudah berdiri di ruang tamu bersama seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi roda.“Silakan masuk,” sambut David dingin.“Terima kasih, maaf jika mengganggu, aku hanya mengantar mama yang penasaran dengan keluarga baru mantan menantunya,” jelas Marta sambil membukan kaca mata hitamnya.Seketika Zahra mematung, entah mengapa ia menjadi tak suka jika harus berurusan dengan keluarga mantan istri suaminya.“Apa kabar, David?” tanya wanita bernama Sarni sambil membenarkan posisi kursi rodanya.”“Ba-Baik, Ma.”David tak menyangka setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu dengan mantan ibu mertuanya. “Mama apa kabar?” David berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Bu Sarni.“Gara-gara kamu enggak mau nengokin mama, dia jadi maksa minta ke sini. Lagian apa salahnya
Suka cita menyambut anggota keluarga baru begitu kentara di rumah David. Suara tangis bayi sesekali terdengar menghiasi rumah mengimbangi teriakan Wati yang semakin kewalahan mengasuh Mora. Anak itu kini sudah pintar berlari, berbicara dengan nada cadel dan melakukan segala hal sesukanya termasuk mengganggu adiknya.Mikola Ardian adalah nama yang disematkan pada bayi berumur dua bulan 0yang kini melengkapi kebahagiaan David dan Zahra termasuk Mora yang begitu antusias dengan kehadiran Miko ditengah-tengah mereka. Anak itu berkali-kali ingin memegang dan mencium adiknya bak bermain boneka.“Diam di situ ya, Sayang. Mbak mau mandi sebentar,” tutur Wati pada Mora.“Ote.” Gadis kecil berponi itu mengangguk semangat.“Titip bentar, Mbak bos.”“Santai, aman kalo sama aku,” jawab Zahra.Zahra meraih Mora dalam pangkuannya. Semenjak Miko lahir, perhatian Zahra memang harus terbagi. Tapi bukan berarti ia melupakan Mora sepenuhnya. Setiap hari ia tetap berusaha meluangkan waktu untuk sekedar be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments