Las Vegas, Nevada.
Maret - 2017___________
Lyla mengibaskan tangannya pelan. "Kau akan kalah malam ini." Ujung atas bibirnya terangkat membentuk seringaian kecil.
'Setidaknya untuk malam ini,' batin Lyla.
"Bagaimana bisa seekor kadal menang melawan buaya? Tidak pernah ada predator yang di mangsa," ucap gadis di depan Lyla.
Gadis cantik nan seksi dalam balutan skirt dress ketat berwarna merah. Kedua jarinya siap memasukan rokok yang sejak tadi berputar di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Matanya mengecil ketika bibirnya mengapit filter berwarna putih itu.
Wanita bermata hazel itu menatap gadis di depannya. Mata yang terbiasa menebarkan teror, mengintimidasi dan sanggup membuat siapa pun yang menatapnya bergidik ngeri.
"Ingat baik-baik, Lyla, jika aku menang lagi malam ini maka kau harus bersedia kujual pada siapa pun dan kau tak boleh mengeluh," ucap gadis itu.
Lyla kembali terkekeh. "Sudahlah ... kartumu sudah bisa kutebak. Buka saja," ucap Lyla. Dia sendiri sudah deg-degan sejak tadi. Namun, wanita di depannya begitu santai. Lihat senyuman itu. Alih-alih terlihat seksi, malah terlihat mengerikan. Alam bawah sadar Lyla bergidik sejak tadi.
"Lyla, segugup itukah dirimu hingga kau lupa bahwa sekarang giliranmu?" tanya wanita itu dengan santai. Dia kembali memasukkan rokok ke dalam bibir seksinya.
"Si-siapa? Oh, ba-baik." Lyla menggagap. Tampak begitu kaku ketika matanya kembali melirik lima kartu yang berada dalam genggamannya. Setelah merasa begitu yakin jika dia akan menang, Lyla mulai menaruh satu per satu kartunya di atas meja.
"Straight flush five high. Wow ...," gumam orang-orang di sekitar mereka sambil berdecak kagum.
"Sepertinya ini memang harimu, Lyla."
Lyla tersenyum saat mendapat pujian dari orang-orang yang sejak tadi hanya menonton dua wanita yang tengah asik bermain judi poker di salah satu kasino terbesar di Vegas. Gemerlap lampu disko dan musik yang tak beraturan ditambah koktail yang sejak tadi mereka konsumsi lantas tak serta merta menghapus ketegangan sengit di antara kedua wanita itu.
"Ck ... ck ... ck!"
Lawan main Lyla masih memegang kartunya dan dia terus berdecak. Entah kartu seperti apa yang ada di tangannya. Lyla hanya berharap malam ini adalah malam sial wanita itu. Sudah cukup dia menjadi ratu di kerajaan judi ini selama bertahun-tahun. Malam ini, hanya malam ini. Lyla ingin sekali meruntuhkah keangkuhan wanita yang tengah duduk sambil memangku sebelah kakinya itu. Lihat saja wajahnya, dia terlihat sangat santai. Padahal di tempatnya, Lyla seperti mau mati rasanya.
"Lyla ...," panggil wanita itu. Suaranya berat dan dingin. Dia memajukan badannya. Matanya menatap lurus ke depan, pada Lyla yang tengah memperhatikannya.
Sambil memandang Lyla, jemari lentiknya mulai membuka satu per satu kartu di tangannya.
A, K, Q. Tiga kartu sudah di letakan di atas meja dan semuanya dengan jenis dan warna yang sama. Jantung Lyla mulai berdegup kencang. Matanya mengawasi tangan wanita di hadapannya.
"J, 10. Straight flush ace high," gumam wanita itu. Di akhir kalimatnya dia tersenyum puas. Ia kembali menarik punggung ke sandaran kursi lalu melipat tangan di depan dada. Dagunya terangkat tinggi sambil menatap wanita muda di depannya dengan tatapan angkuh.
"Wow ... sepertinya Dewi Fortune terus memihak Anda, Nyonya," ucap seorang dealer yang sejak tadi memperhatikan mereka. Wanita itu hanya membalasnya dengan senyum kecut.
"Tidak mungkin ...," gumam Lyla. Dia tidak percaya kartu yang dia pikir adalah kartu paling tinggi bisa terkalahkan oleh royal flush milik wanita di hadapannya. "Mana mungkin." Lyla menggeleng tak percaya.
Ada yang bilang, jika royal flush hanya terjadi pada orang-orang beruntung. Mengumpulkan lima kartu tertinggi dengan warna dan jenis yang sama. Astaga! Alam bawah sadar Lyla tak ingin percaya.
"Sesuai taruhan, kau akan bersedia bertelanjang dengan pria mana pun malam ini," ucap wanita itu.
Lyla bergidik ngeri. Dia telah salah membuat keputusan. Dia salah karena telah bermain dengan iblis.
"Miss Anna," panggil Lyla. Suaranya mulai bergetar.
"Ya, Lyla," sahut wanita di depannya dengan santai.
"Bisakah kau melupakan perkataanku sebelumnya, aku hanya main-main. Aku sangat tidak serius. Sungguh," pinta gadis itu.
Anna, nama wanita itu. Dia kembali terkekeh. Kali ini sambil menggelengkan kepalanya.
"Vic," panggil wanita itu.
Seorang pria bertubuh besar yang sejak tadi berdiri di belakangnya menghampiri wanita itu. Anna menggoyangkan telunjuk dan jari tengahnya ke arah Lyla. Pria yang mendapat kode itu langsung menghampiri Lyla.
"Tidak ... Miss Anna, kumohon," lirih Lyla. Dia mengempaskan tangan Vic dan dengan cepat berlari ke arah Anna. Wanita muda itu tersungkur tepat di depan kaki Anna. "Miss Anna, tolong ampuni aku," pintanya dengan wajah memelas.
Anna terkekeh kecil. "Harusnya kau memikirkan itu sejak awal, Lyla. Aku tidak bermain dengan belas kasih. Tempat ini, kota dosa ini, semua ini dibuat tidak untuk mengasihani orang sepertimu." Anna melirik kecil ke bawah kemudian mengangkat dagunya tinggi. "Belajarlah dari pengalaman, Lyla. Kau tidak boleh menginginkan sesuatu yang bukan milikmu. Kau hanya bermain dengan emosimu, tapi tidak memakai otakmu. Kau hanya berambisi, tapi tidak memiliki keberanian yang cukup kuat untuk bisa memenuhi hasratmu. Jadi ... setelah kau menyelesaikan taruhanmu, kau akan keluar dari tempat ini dan kau akan lebih banyak belajar caranya mempermainkan permainanmu," tutur Anna.
Sedikit pun Lyla tidak bisa mengerti maksud perkataan Anna.
"Tunggu apa lagi, Vic? Kau mau bawa dia atau aku saja yang membawanya."
"Baik, Ms. Anna."
"Tidak ... tidak, Ms. Anna ...." Lyla terus menjerit, tapi Anna hanya mengangkat dagunya tinggi tanpa sedikit pun melirik gadis yang masih memanggil namanya itu.
"ANNA SMITH!" teriak Layla. "Kau benar-benar jahanam. Go to the hell!" umpat Lyla dengan suara yang nyaring.
Anna terlalu tidak peduli dengan perkataan gadis itu. Dia lebih memilih menikmati cerutunya ketimbang memusingkan perkataan wanita muda itu.
"Josh," panggilnya lagi.
Seorang lelaki menghampirinya. "Iya Ca-" Ucapannya terhenti ketika Anna mendongakkan kepalanya dan menatap Josh dengan tatapan membunuh. "Anna," timpal Josh.
"Ambil semua uang itu," perintah Anna. Josh mengangguk dan segera melakukan perintah majikannya.
"Anna, Mr. Smith menelepon aku-"
"Josh!" bentak Anna. Josh terdiam. Perlahan dia memutar kembali pandangannya dan mulai mengisi lembar demi lembar uang di depannya.
"Permisi, Ms. Anna." Anak buahnya yang lain kembali menghampirinya. Kali ini dia membawakan ponsel milik wanita itu. "Nona Mijung menelepon katanya ada hal yang penting yang mau dia bicarakan," ucap pria itu.
Anna mendengkus. Dengan malas dia menerima ponsel dari tangan anak buahnya.
"Kim Mijung, bisakah kau tidak menggangguku? Sehari saja," gerutu Anna.
"Anna, astaga ... sialan denganmu! Aku menghubungimu sejak tadi dan pelayanmu seolah membuat tameng dan tidak mengizinkan aku bicara dengan sahabatku sendiri. Astaga, katakan padaku apakah aku layak mendapat perlakuan seperti itu?" keluh gadis di seberang sambungan telepon.
Anna berdecak kesal lalu memutar bola matanya dengan malas. "Kau hanya berbelit-belit, Mijung. Aku bersumpah jika ini tidak penting aku akan memasukkanmu ke rumah bordil," ucap Anna dengan santai. "Jack, tuangkan martininya," perintah Anna pada seorang pelayan bar.
"Anna Smith, kau harus kembali hari ini juga. Oh my God ... aku sangat senang Anna, akhirnya usaha kita selam-"
"Mijung, bisakah kau bicara intinya saja? berhubung mood-ku sudah rusak."
"Oke, oke. Tunggu ...." Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon membuat Anna kembali berdecak kesal. "Oke, Miss Anna Smith, The Ace Technology menerima permohonan kerja sama dengan perusahaanmu."
"Pfuuught!" Anna menyemburkan wiski yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. "Are you serious?!" jeritnya.
"I'm so fucking serious, Anna Smith. Kau diundang untuk mengikuti rapat bersama CEO The Ace Technology."
"What?!" Anna memekik dengan suara nyaring.
"Ya, Anna. Oh ... kurasa aku akan gila sebentar lagi." Mijung tidak mau kalah. Dia ikut berteriak hingga suaranya bisa terdengar jelas dari tempat Anna.
"Oh astaga ... Mijung Kim, aku benar-benar mencintaimu," ucap Anna.
"Kalau begitu kembali secepatnya."
"Kapan pertemuan itu?" tanya Anna antusias. Dia berdiri dan merapikan pakaiannya sambil memberi isyarat pada anak buahnya.
"Besok. Pukul sembilan pagi, di kantor The Ace."
"Apa?!" Anna memekik.
"Kenapa? Jangan bilang kalau kau sedang di tempat berjudi."
"Aku memang sedang di kasino, tapi tenanglah, aku menang banyak malam ini. Kurasa itu cukup untuk menyewa pesawat jet," ucap Anna santai.
"Hah ... sudah kubilang berhenti berjudi. Kenap-"
"Oke Mijung, sampai bertemu di kantor The Ace besok pagi, aku mencintaimu," ucap Anna lalu memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Bibir merah itu terus tersenyum. "Josh," panggilnya. Josh segera menengok majikannya itu.
"Cepat booking pesawat jet sekarang. Bawa semua uang di tanganmu itu," perintah Anna. "Dan oh, ya." Josh berbalik lagi saat dia tahu majikannya masih akan mengatakan hal lain. "Suruh Vic segera membereskan gadis itu."
"Maksudmu, bereskan?" Josh bertanya dengan wajah penasaran.
"Maksudku ...." Anna mendekati Josh lalu menarik dasi hitam yang menggantung di depan dada bidang pria itu. "Enyah!" bisik Anna.
Josh bergidik ngeri saat menangkap maksud ucapan majikannya. Entah apa yang sudah membuat majikannya seperti itu. Sudah sepuluh tahun lebih dia bersama Anna sebagai pengawal pribadinya, akan tetapi tak pernah terbayangkan oleh Josh, jika Anna akan berbuat sampai sejauh ini.
"Dia hanya gadis cantik dan bodoh yang mencoba menjatuhkan aku di kasino ini. Aku tahu, sudah sejak lama dia selau berusaha mengalahkan aku. Dia ingin menjatuhkan aku?" tanya Anna.
Josh tidak menjawab dan hanya bergeming di tempatnya. Anna semakin mendekatkan tubuhnya pada Josh hingga napasnya bisa terasa menyapu kulit wajah Josh. Anna mengangkat wajahnya, mengikis semua jarak yang tersisa. Mulutnya tepat berada dua inci di depan mulut Josh.
"Sesuatu yang sudah hancur tidak bisa hancur lagi. Dia telah membeku dan kebal kemudian perlahan menjadi mesin penghancur." Anna menutup kalimatnya dengan senyum iblis. Manik matanya masih bertahan di depan iris berwarna biru milik Josh.
Josh terdiam. Tak berkutik. Sentuhan Anna seolah mampu membekukan darahnya. Memblokir kesadarannya. Bahkan alam bawah sadar Josh ikut menghilang. Seluruh dunianya terpusat pada Anna.
Perlahan-lahan Anna mulai menarik wajahnya. Anna tersenyum puas. Dia meraih kaca mata hitamnya dan sambil menghisap rokoknya, dia melangkahkan kaki meninggalkan kasino kesayangannya itu.
"Selamat malam, Miss Anna." Seseorang kembali menyapa Anna. Dia salah satu staff kasino. Pria itu bersedia membukakan pintu mobil untuk Anna.
"Anna Smith, 28 tahun Presiden Direktur The Ace Company, bagaimana menurutmu, Josh?" Anna bertanya pada Josh setelah Josh masuk ke dalam mobil.
Josh terus diam. Lelaki itu terlalu tidak ingin menyahuti majikannya. Pengaruh dari sentuhan yang diberikan Anna Smith kepadanya semenit yang lalu masih begitu terasa di sekujur tubuhnya.
"Tentu, Nyonya Anna. Kau layak mendapatkannya. Aku tahu kau akan mengatakan itu Josh." Anna tertawa di akhir kalimatnya. "Ingat Josh, saat aku sudah sukses kau harus memanggilku dengan sebutan Nyonya, N-Y-O-N-Y-A." Anna mengeja kalimat itu dengan penuh penekanan. "Hitungan mundurnya dimulai."
___________________
TEKAN VOTE, yah ;)Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan menyuguhkan adegan dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya Dear ;)
Terlihat kelopak mata Marvin bergerak-gerak selama beberapa detik lalu akhirnya terbuka. Marvin mengernyit lalu berusaha menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya. Tubuhnya benar-benar lemas.Marvin masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun, saat kesadaran Marvin mulai terkumpul, lelaki itu kemudian menggeram. Rasa kram menjalar cepat, dirasakan Marvin pada lengan sebelah kanan. Sehingga lelaki itu langsung memutar wajahnya ke samping.Seketika kening Marvin mengerut saat melihat siapa yang sedang tertidur di samping ranjang dengan kepala berada di atas lengan Marvin. Dengan cepat, pria itu bangkit dan menarik lengannya.Terdengar geraman dari pemilik suara serak-serak basah itu. Disusul gerakan bulu mata. Perlahan-lahan, sepasang manik cokelat pun terlihat.&ldq
Anna melesak dari atas tempat tidur saat mendengar bunyi derap langkah. Seketika membuat jantungnya berdetak meningkat. Ia pun membetulkan pakaian Marvin lalu berdiri di samping ranjang.“Ms. Anna,” panggil Vic.Karena buru-buru, lelaki itu tidak mengetuk pintu. Mendapati senyum di wajah sang majikan, membuat Vic mengerutkan dahi. Untuk alasan apa wanita itu tersenyum dan malah membuatnya takut. Namun, mengingat ada sesuatu yang harus dikatakan oleh Vic, ia pun mengerjapkan mata lalu menggoyangkan kepala.“Aku sudah memanggil dokternya,” kata Vic.“Kalau begitu suruh dia masuk,” ucap Anna.Vic mengangguk lalu menoleh. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana kain hitam, masuk ke dalam kamar.“Bonjour,” sapa lelaki itu dengan hormat.Anna menelengkan wajah sambil mempertahankan senyum horornya. Ia benar-benar terlihat seperti Maleficent. Lebih baik dia memasang wajah tegas daripa
“Let’s play with me,” bisik Anna. Entah Marvin menyadarinya atau tidak, bibirnya kini mengering dan matanya mendadak perih. Serta membutuhkan waktu yang lama untuk menyeret alam bawah sadarnya kembali ke daratan sehingga ia bisa mengembuskan napas panjang dan menyahut dengan nada lirih, “Tidak.” Anna mengerutkan keningnya. Belum ingin menyerah, ia pun mendekat. Menempatkan bibir merahnya tepat satu inci di depan bibir Marvin. Sengaja membuat celah kecil ketika dilihatnya Marvin tengah mematri tatapan pada bibir sensualnya. “Yakin?” Lelaki itu mengerjap, mengembalikan instingnya dan ia pun memberanikan diri, menatap wanita di depannya. “Ya!” jawab Marvin dengan tegas. Lelaki itu meraih kedua tangan Anna dari atas pundaknya kemudian melepasnya begitu saja. “Aku harus kembali bekerja.” Dengan wajah tegas, pucat tak berekspresi, Marvin melangkah meninggalkan kamarnya. Bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua dan ia kembali ke kursi k
Marvin masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun ia tidak sadar jika sekarang kecepatan napasnya melebihi perpindahan detik, membuat dadanya naik turun.Sementara di ujung kakinya, berdiri seorang wanita dengan alis yang menukik tajam, tampak menghakimi. Wanita dalam balutan bathrobes dress merah itu berkacak pinggang. Dia tak kalah mendengkus.“Aku hanya keluar sebentar dan kau sudah bermalas-malasan di tempat tidur?!”Suara itu melengking hingga memekkan telinga. Marvin menundukkan kepala, lantas melepaskan desahan panjang. Untuk sekelebat lelaki itu berdiam diri. Memijat dahi dengan jempol dan jari tengahnya.“Maaf,” gumam Marvin. Akhirnya lelaki itu mengangkat pandangannya. “kepalaku pening dan aku tidak bisa berkonsentrasi, ja-&ldq
Aku seperti ngengat yang mengejar api. Dan kupikir aku telah gila karena mulai menyukai bagaimana caranya membakar diriku sehingga, untuk menjerit pun rasanya terlalu nikmat.[Marvin POV]___________Aku merasakan kedinginan menghujam ubun-ubun, hingga kupikir kedinginan itu mulai merasuk ke dalam tubuh dan membuat otakku membeku.Kupikir inilah cara terbaik untuk membuat pikiranku berhenti untuk memikirkan pesona wanita bernama Anna Smith itu. Wanita yang punya napas mint yang candu. Wanita yang gemar melepaskan kalimat sarkasme, wanita yang terlalu sering menatapku dengan tatapan dingin.Wanita yang punya otoriter yang besar dan mampu membuatku tunduk dan takluk. Aku tida
“Hahh ….”Embusan napas panjang dan berat itu telah memecah keheningan selama satu jam berlalu. Demi Tuhan, Marvin tak bisa membuat otaknya berkonsentrasi pada drawing tablet, dan monitor di depannya. Sementara matanya tak bisa berhenti bergerak untuk tidak menatap visual menggoda dan mengintimidasi di belakang layar laptopnya.Sehingga Marvin hanya bisa melepaskan desahan panjang dari mulut sambil melayangkan tangan kanannya yang memegang pen tablet ke udara. Wanita yang sejak tadi berdiam diri di kursi kerjanya itu kini mengerutkan dahi.“What the hell wrong with you.” Suara serak-serak basah itu membuat Marvin menatapnya.Melihat raut wajah Marvin yang menggeruskan kekesalan di sana malah membuat Anna tersenyum di dalam hatinya. Tidak ad