Nasya dan putrinya Pak Roby yang bernama Cinta beriringan menuju toko Zara. Sebuah peritel pakaian yang berkantor pusat di Artexio, Galicia, Spanyol. Merek tersebut menjual aneka pakaian, aksesoris, sepatu, kecantikan, pakaian renang, dan juga parfum.
Kedua bocah yang sudah akrab dari semenjak SD itu sudah memasuki toko Zara. Nasya dan Cinta mengedarkan pandangan. Mereka tengah mencari orang yang dimaksud yakni pak Roby dan Hani.
“Kamu yakin lihat papa aku masuk sini sama mamanya Atha, Sya?” tanya Cinta terus menyapu sekeliling toko.
“Yakin, mata aku belom rabun, kok,” ujar Nasya percaya diri, “ayo deh kita cari!” ucapnya seraya menyeret tangan cinta masuk lebih dalam.
Sementara itu, Hani dan Pak Roby ada di sebelah tempat tas-tas. Pak Roby dengan setia menemani Hani membel
Hani menatap kepergian ketiga sahabatnya dengan tajam. Ada dendam yang menyelimuti hati. Dia tidak terima dipermalukan seperti ini.“Kalian akan merasakan hal yang lebih menyakitkan dari apa yang aku alami sekarang,” ancam Hani dengan terus menatap bayangan teman-temannya yang sudah tidak tampak lagi.“Dan kamu, Roby, awas kalo kita ketemu lagi. Akan aku becek-becek wajah bulatmu itu, biar jadi bola sekalian! Gedeg banget bikin aku malu di hadapan banyak orang,”batin Hani seraya meremas-remas kanebo basah yang tengah ia pegang.“Ayo kerja, Bu! Jangan kebanyakan bengong!” Di tempatnya berdiri, Pak Satpam menegur.Hani melirik marah pada pria itu. “Gak usah bawel jadi orang! Kayak yang punya toko aja,” semprotnya kesal.
"Oke... aku harus memata-matai Mas Panji dan Layla,” tekad Hani dengan yakin.Dia langsung membuka dus ponsel tersebut. Wanita itu lantas mengambil SIM card pada ponselnya yang sudah rusak. Di kartu tersebut tersimpan banyak daftar nama kontak teman dan keluarga.Hani tersenyum saat gadget barunya sudah menyala. Tangannya langsung menyimpan nomor telepon Pak Roby. Setelah itu dia mengetik pesan yang berisi penerimaan maafnya untuk pria itu.“Mamaaa!”Tiba-tiba dari arah belakang, Zea mendekap perempuan itu. Hani yang risih lekas melepas dekapan anak itu. Perempuan itu sedikit terkesima saat tangannya menyentuh kulit lengan Zea.Suhu tubuh anak itu terasa hangat. Hani menatap putrinya baik-baik. Zea terlihat lesu. Namun, cacing di pe
Suhu tubuh Zea kian meningkat. Ini sudah bukan lagi hangat, tetapi panas. Anak itu tertidur di gendongan Ijah dengan bibir yang terus merintih.Ijah prihatin melihat anak kecil itu. Dia membaringkan tubuh Zea perlahan di ranjangnya. Penasaran dengan suhu tubuh anak itu, Ijah mengambil termometer digital pada wadah obat.Ijah menjempitkan alat tersebut pada ketiak Zea. Sembari menunggu, tangannya terus mengelus rambut anak itu. Beberapa menit kemudian, alat pengukur suhu tubuh itu berbunyi.Ijah gegas mengambilnya. Mata perempuan yang hari ini mengenakan bergo hitam itu membelalak. Suhu tubuh Zea menunjukkan angka tiga puluh sembilan koma delapan.“Aku harus telpon Bapak,” putus Ijah menaruh alat tersebut kembali ke tempatnya.Perempuan itu merogoh saku dasterny
Panji bangkit dan langsung meraih kunci mobilnya. Dia gegas meninggalkan ruang kerjanya. Pada anak buahnya dirinya pamit.Hati Panji lumayan tidak tenang mendengar kabar Zea di rumah sakit. Anaknya memang jarang sakit. Namun, sekalinya jatuh sakit biasanya langsung parah.Pernah saat waktu umur dua tahun, Zea sakit sepulang diajak jalan-jalan oleh Panji dan Hani. Mereka berlibur ke Bali sewaktu usaha Panji lancar.Dokter bilang anak itu kelelahan. Panji dan Hani sempat dibuat kalut saat melihat Zea kejang-kejang saking tingginya suhu badan. Hampir saja bocah lucu itu lewat.Bersyukur Allah masih memberi umur untuk Zea, sehingga sampai detik ini bocah itu masih bernapas. Jika mengingat itu Panji dilanda trauma.Panji sudah di dalam mobil. Pria langsung tanc
"Periiih banget!” rintih Hani seraya mengusap-usap wajahnya.“Pake ini!”Roby dengan perhatian menyodorkan sebotol air mineral. Kebetulan dia membeli dua botol air mineral kemasan enam ratus mililiter pada stan bakso yang sedang mereka tempati.Dengan mata yang sedikit terbuka Hani sigap meraih botol yang diangsurkan oleh Roby. Maniknya terasa begitu pedih karena kuah bakso ia kasih banyak sambal. Namun, baru saja hendak membuka tutup botolnya, Ibu Lia langsung merampas minuman tersebut.“Perah-perih! Perihan mana sama hatiku yang kamu curi suamiku, hah?!” semprot Ibu Lia garang. Dia menjauhkan botol tersebut dari jangkauan Hani.Namun, Hani tidak kehabisan akal. Dia mengambil botol yang satunya lagi. Dirinya dengan cepat membuka tutup botol l
Sopir seumuran Roby itu turun dari kendaraannya. Dia ingin memeriksa keadaan korban yang baru saja terserempet taksi. Ternyata ada beberapa saksi yang ikutan mendekat.Pria berseragam biru donker itu jongkok. Beberapa orang juga melakukan hal yang sama. Si sopir melihat pergerakan di dada Hani.“Sepertinya cuma pingsan,” ujar si sopir karena melihat Hani hanya lecet-lecet saja di beberapa bagian tubuhnya.“Tapi tetap harus dibawa ke rumah sakit, Pak. Siapa tahu ada luka dalam,” balas seorang warga.“Betul, siapa tahu dia gegar otak atau patah tulang. Soalnya kepalanya kan kena aspal.” Temannya menimpali.“Iya, pasti akan saya bawa ke rumah sakit kok.” Si sopir menunjukkan rasa tanggung jawabnya, “sekarang tolong bawa sa
"Mamaaa...” Zea merintih. Tubuhnya masih lemas. “Mamaaa.” Dia merindukan Hani.“Iya, Sayang.” Tantri dengan perhatian memeluk anak itu. Sementara Panji mengambil tisu untuk mengelap darah yang menetes pada hidung si putri.“Mama mana? Mana?” Zea mendongak sendu pada sang ayah yang mendekapnya. “Mau mama,” ucap bocah itu lirih.Hati Panji bergetar melihatnya.“Coba telpon Hani, Nji.” Tantri yang ikut trenyuh langsung memerintah, “siapa tahu sudah ada di rumah. Ini kan udah malam, jadi nomernya sudah aktif. Sedih aku lihat Zea sakit begini,” sarannya pilu melihat sang keponakan terlihat lemah.“Mau Mama ....” Bocah itu kembali mengharap.&ldquo
Panji baru saja selesai sholat subuh. Dia mengerjakan ibadah dua rakaat tersebut di mushola yang ada di rumah sakit ini. Ketika dia masuk kembali ke kamarnya Zea, Tantri kakaknya masih meringkuk di sofa dengan masih mengenakan mukena.Ketika tadi Panji ajak, wanita itu bilang akan mau beribadah sendiri di kamar. Tantri tidak mau meninggalkan Zea sendiri. Semalam suhu tubuh anak itu kembali naik. Kedua kakak adik itu sampai harus bolak-balik memanggil suster dan dokter.Wajar jika pagi ini Tantri merasa sangat lelah. Perempuan itu sama sekali tidak tertidur. Maka Panji membiarkannya saja sang kakak beristirahat.Entah kenapa hari ini Panji merasa seluruh persendiannya lemas. Pria itu duduk di tepat di hadapan sang putri. Dia meraih jemari mungil nan lentik itu. Beberapa bintik merah memenuhi kulit Zea.Pertaha