Bagai dalam mimpi saat kupatut diri dalam cermin di ruangan tak jauh dari pintu gereja utama. Gaun pengantin dengan warna mint membalut tubuhku dengan sempurna, memperlihatkan tiap lekuk tubuhku pada khalayak ramai.
Jean sebagai bridesmaid hanya mengulas senyum sembari mengangkat jempolnya tinggi. Wanita ini, bagaimana ia bisa begitu tulus mendukung rencana ini padahal ia juga mencintai Jonathan.
"Jangan pikirkan aku, Grace. Aku baik-baik saja. Fokus pada tujuanmu setelah ini."
Ucapannya kian membuatku tak mengerti ke mana arah berpikir Jean selama ini. Aku baru tahu rasanya sakit hati saat Jonathan benar-benar menjauh pergi dan enggan mempercayai. Namun, kini harus kusaksikan Jean menyungging senyum melihatku dan Jonathan hendak mengucap janji suci.
"Aku merasa tak nyaman, Jean. Maafkan aku."
Kututup wajah yang telah dirias oleh Jean beberapa saat yang lalu. Mataku terasa panas
"Maka, berjanjilah bersama," perintah sang pemimpin pernikahan.Jonathan memandangku lekat sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin, untuk kedua kalinya ia menikah dengan orang yang sama, yang tak dicinta, berat baginya. Kukatupkan bibir rapat, sebeluk akhirnya jemari kekar itu menggenggamku erat.Sontak, aku tergagap mengikuti janji yang dipandu oleh sang pastor dari samping. "Aku berjanji, akan mendampinginya dalam sakit dan sehat, dalam duka dan suka, serta selalu membersamai hingga rambut memutih."Sekonyong-konyong, Jean dan Hard bersorak. Mata keduanya tampak berkaca-kaca. Tiba-tiba, lengan kekar Jo telah menyentuh pipiku lembut.Aku baru sadar, bukankah biasanya mereka yang menikah akan langsung berciuman setelah janji suci? Kukedip-kedipkan mata berulang saat tatapan kami saling mengunci.Aku berdeham, lantas memberanikan diri untuk sekadar buka suara meski tergagap. "K-kau t
Entah apa yang membuat Jonathan tampak berbeda dari sebelumnya. Ia yang sejak awal bersikeras menolak rencana pernikahan, malah berubah amat manis setelah janji suci. Aku bahkan merasa bahwa ia bukan Jonathan.Oh, tidak!"Jangan berpikir macam-macam, Grace!"Suara Hard membuyarkan ketakutanku yang tak berdasar. Ya, untungnya ia datang di waktu yang tepat."Harusnya kau tak datang kemari setelah pernikahan usai, Hard," ujar Jonathan sembari mengenyakkan bokong."Hei! Aku ini ayah mertuamu! Jaga bicaramu!"Kuraih kardigan rajut dari kapstok gantung dan segera menyusul Jonathan ke luar kamar. Benar saja, Hard tampak amburadul saat ini."Kau minum-minum? Sama siapa?"Hard tersenyum, lalu menoleh seolah-olah mencari sosok lain yang harusnya bersama. Aku mengernyit, lantas segera ke pintu utama. Benar saja. Jean yang duduk
Hari sudah hampir pagi saat kulihat Jonathan yang masih bergeming dalam buaian mimpi di sofa dudukan tiga. Ia bersikeras tidur di sana walau sudah kuberi kesempatan untuk berbagi ranjang dengan banyak kesepakatan."Aku takut kau akan berubah pikiran dan membunuhku tepat saat aku terpejam, Grace. Jadi, lebih baik aku cari aman dengan tidur di sofa. Kunci pintumu dan jangan pernah mendekatiku!"Mendengar ocehan Jonathan overprotektif terhadap dirinya sendiri membuatku sedikit geli. Tak ingatkah ia yang begitu rakus menciumku tadi?"Kau membuatku malu telah menikahimu, Jo.""Ya, tidurlah. Aku enggan bicara setelah membersihkan seluruh badan mertuaku karena muntah. Beruntung muntahannya tak mengenai sofa.""Harusnya Hard memuntahkan semuanya padamu. Itu akan lebih baik.""Hei, Nona! Kau istriku sekarang! Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak!"
Aku mengernyit saat mendapati seberkas cahaya mentari merangsek masuk dari celah tirai yang menutupi ruang tamu. Warna abu yang mendominasi, seketika membuatku terbangun.Kondisi rumah sudah jauh dari kata tapi. Berbagai vas dan isinya telah berserah di lantai. Banyak bulu angsa yang juga memenuhi ruangan. Seolah-olah menyihir rumahku menjadi padang salju penuh sampah.Aku mengernyit heran kala mendapati tubuh Jonathan tergeletak bertelanjang dada. Sontak saja, aku membeliak. Ingatan tadi kembali memenuhi ruang.Apa aku?Kulihat jam dinding telah berada di angka sebelas. Tak ada lapar yang mendera. Atau sekadar haus yang menyiksa.Aku beranjak menuju kamar, lalu memperhatikan seluruh tubuh dengan seksama di cermin meja rias. Tak ada yang berubah. Lalu, kekuatan apa yang dimaksud Hard?Dari dalam terdengar Jonathan yang menggeliat. Karena malu, lekas kuderap l
Nathalie menjerit, lalu menatap nyalang pada Jonathan. Dalma sekali kedip, ia mencekik Jo hingga tersudut di dinding.Tak ingin kalah, aku pun melesat, mencoba menghalau Nathalie untuk menggagalkan percobaan membunuhnya. Hebatnya, aku merasa lebih ceapt dari biasanya.Kudorong Nathalie tanpa menghabiskan tenaga, lantas menggenggam Jo dan berlalu lebih jauh dari jangkauan Nathalie hanya dalam sekejap mata.Tubuh Nathalie membentur dinding hingga retak. Benturan terdengar cukup keras, bahkan sempat sedikit bergetar. Sejenak, hening. Tak terdengar apa pun selain deru napas dan degup jantung yang iramanya tak stabil.Kemudian, tawa Nathalie terdengar tiba-tiba. Aku dan Jonathan saling berpandangan, lalu kembali melihat pada tiitk di mana Nathalie berada.Debu-debu tak segera turun, membuat pandanganku mengabur. Tapi sedetik kemudian, bayangan Nathalie mulai mendekat.&nb
"Jangan mengulang informasi yang sama, Hard. Aku muak mendengarnya!"Hard tak menggubris, ia malah asyik mendekati ceceran darah berwarna kebiruan. Jadi, darah bangsawan para iblis itu berwarna biru?"Kau apakan dia?" tanya Hard tanpa menoleh. Bahkan, menantu yang ada di depannya pun tak ditolong olehnya. Egois."Dengar, Grace, penting bagi kita untuk tahu bagaimana keadaan musuh sesungguhnya. Apalagi, dia sudah mulai menyiapkan pasukan."Aku mengangguk, membenarkan. Lantas, berjalan mendekati cermin yang berada tak jauh dari sosok Hard. Meski debu akibat retaknya dinding masih berterbangan, tetapi pantulan kaca itu sama sekali tak memburam. Aku benar, 'kan? Wajahku smaa sekali tak terluka.Hard berdiri, lantas menyejajarkan diri. Ia juga melihat pantulan bayanganku di cermin. Sedetik kemudian, ia telah meraih bahuku, menghadapkanku pada wajahnya yang diliputi tanya. 
"Bagaimana caranya kita bisa membuat mereka berpihak pada kita?"Pertanyaan Jonathan telah mewakili segenap tanya yang membuncah dalam kepalaku. Hard mengangguk. Mungkin dia paham, kegelisahan yang menerpa kami."Kita hanya perlu memberitahu mereka bahwa kaulah gadis yang telah diramalkan."Kukerjap-kerjapkan mata berulang menanggapi saran Hard yang tak masuk akal. "Hei, usia mereka lebih jauh dari yang kukira. Mana mungkin mereka bisa percaya begitu, saja?"Hard membingkai wajahnya yang tampak kusam. Kupikir ia ke mari tanpa mencuci muka.Jonathan telah mengganti handuk bajunya dengan pakaian seperti biasa. Entah mengapa, kini melihatnya mengenakan kaus oblong dan short pant membuatku meneguk ludah berulang. Benarkah pagi tadi, aku dan Jonathan telah menyatu?"Grace, fokus!"Kubuang muka ke sembarang arah karena malu. Jika saja di depank
"Kau percaya padaku, 'kan, Geel?"Pria bernama Geelbert itu masih menatapku lekat. Entah sudah ke berapa kalinya ia mengelilingiku sembari memindai dari ujung kepala hingga kaki. Seolah-olah tak ingin melewatkan seinci pun dari informasi yang bisa dibaca dalam tiap lekuk tubuh."Kau tau sendiri, Hard, akhir-akhir ini banyak yang mencoba menjadi gadis yang ditakdirkan. Aku tak bisa percaya sepenuhnya."Jawaban pria tua dengan kacamata tebal itu sudah bisa kuprediksi jauh sebelum bertemu. Ia menggeleng, lalu menggamit tangan Hard untuk masuk ke dalam.Aku menoleh sekilas pada Jonathan yang duduk berhadapan dengan Jean. Keduanya mengangguk seakan-akan memberi semangat. Aku tahu mereka juga lelah, tetapi selalu berusaha membuatku tetap semangat. Seperti yang dilakukan saat mobil baru menempuh lebih dari sepertiga jalan siang tadi."Kenapa aku merasa lebih lelah dari biasanya?" tanya