Hari sudah hampir pagi saat kulihat Jonathan yang masih bergeming dalam buaian mimpi di sofa dudukan tiga. Ia bersikeras tidur di sana walau sudah kuberi kesempatan untuk berbagi ranjang dengan banyak kesepakatan.
"Aku takut kau akan berubah pikiran dan membunuhku tepat saat aku terpejam, Grace. Jadi, lebih baik aku cari aman dengan tidur di sofa. Kunci pintumu dan jangan pernah mendekatiku!"
Mendengar ocehan Jonathan overprotektif terhadap dirinya sendiri membuatku sedikit geli. Tak ingatkah ia yang begitu rakus menciumku tadi?
"Kau membuatku malu telah menikahimu, Jo."
"Ya, tidurlah. Aku enggan bicara setelah membersihkan seluruh badan mertuaku karena muntah. Beruntung muntahannya tak mengenai sofa."
"Harusnya Hard memuntahkan semuanya padamu. Itu akan lebih baik."
"Hei, Nona! Kau istriku sekarang! Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak!"
Aku mengernyit saat mendapati seberkas cahaya mentari merangsek masuk dari celah tirai yang menutupi ruang tamu. Warna abu yang mendominasi, seketika membuatku terbangun.Kondisi rumah sudah jauh dari kata tapi. Berbagai vas dan isinya telah berserah di lantai. Banyak bulu angsa yang juga memenuhi ruangan. Seolah-olah menyihir rumahku menjadi padang salju penuh sampah.Aku mengernyit heran kala mendapati tubuh Jonathan tergeletak bertelanjang dada. Sontak saja, aku membeliak. Ingatan tadi kembali memenuhi ruang.Apa aku?Kulihat jam dinding telah berada di angka sebelas. Tak ada lapar yang mendera. Atau sekadar haus yang menyiksa.Aku beranjak menuju kamar, lalu memperhatikan seluruh tubuh dengan seksama di cermin meja rias. Tak ada yang berubah. Lalu, kekuatan apa yang dimaksud Hard?Dari dalam terdengar Jonathan yang menggeliat. Karena malu, lekas kuderap l
Nathalie menjerit, lalu menatap nyalang pada Jonathan. Dalma sekali kedip, ia mencekik Jo hingga tersudut di dinding.Tak ingin kalah, aku pun melesat, mencoba menghalau Nathalie untuk menggagalkan percobaan membunuhnya. Hebatnya, aku merasa lebih ceapt dari biasanya.Kudorong Nathalie tanpa menghabiskan tenaga, lantas menggenggam Jo dan berlalu lebih jauh dari jangkauan Nathalie hanya dalam sekejap mata.Tubuh Nathalie membentur dinding hingga retak. Benturan terdengar cukup keras, bahkan sempat sedikit bergetar. Sejenak, hening. Tak terdengar apa pun selain deru napas dan degup jantung yang iramanya tak stabil.Kemudian, tawa Nathalie terdengar tiba-tiba. Aku dan Jonathan saling berpandangan, lalu kembali melihat pada tiitk di mana Nathalie berada.Debu-debu tak segera turun, membuat pandanganku mengabur. Tapi sedetik kemudian, bayangan Nathalie mulai mendekat.&nb
"Jangan mengulang informasi yang sama, Hard. Aku muak mendengarnya!"Hard tak menggubris, ia malah asyik mendekati ceceran darah berwarna kebiruan. Jadi, darah bangsawan para iblis itu berwarna biru?"Kau apakan dia?" tanya Hard tanpa menoleh. Bahkan, menantu yang ada di depannya pun tak ditolong olehnya. Egois."Dengar, Grace, penting bagi kita untuk tahu bagaimana keadaan musuh sesungguhnya. Apalagi, dia sudah mulai menyiapkan pasukan."Aku mengangguk, membenarkan. Lantas, berjalan mendekati cermin yang berada tak jauh dari sosok Hard. Meski debu akibat retaknya dinding masih berterbangan, tetapi pantulan kaca itu sama sekali tak memburam. Aku benar, 'kan? Wajahku smaa sekali tak terluka.Hard berdiri, lantas menyejajarkan diri. Ia juga melihat pantulan bayanganku di cermin. Sedetik kemudian, ia telah meraih bahuku, menghadapkanku pada wajahnya yang diliputi tanya. 
"Bagaimana caranya kita bisa membuat mereka berpihak pada kita?"Pertanyaan Jonathan telah mewakili segenap tanya yang membuncah dalam kepalaku. Hard mengangguk. Mungkin dia paham, kegelisahan yang menerpa kami."Kita hanya perlu memberitahu mereka bahwa kaulah gadis yang telah diramalkan."Kukerjap-kerjapkan mata berulang menanggapi saran Hard yang tak masuk akal. "Hei, usia mereka lebih jauh dari yang kukira. Mana mungkin mereka bisa percaya begitu, saja?"Hard membingkai wajahnya yang tampak kusam. Kupikir ia ke mari tanpa mencuci muka.Jonathan telah mengganti handuk bajunya dengan pakaian seperti biasa. Entah mengapa, kini melihatnya mengenakan kaus oblong dan short pant membuatku meneguk ludah berulang. Benarkah pagi tadi, aku dan Jonathan telah menyatu?"Grace, fokus!"Kubuang muka ke sembarang arah karena malu. Jika saja di depank
"Kau percaya padaku, 'kan, Geel?"Pria bernama Geelbert itu masih menatapku lekat. Entah sudah ke berapa kalinya ia mengelilingiku sembari memindai dari ujung kepala hingga kaki. Seolah-olah tak ingin melewatkan seinci pun dari informasi yang bisa dibaca dalam tiap lekuk tubuh."Kau tau sendiri, Hard, akhir-akhir ini banyak yang mencoba menjadi gadis yang ditakdirkan. Aku tak bisa percaya sepenuhnya."Jawaban pria tua dengan kacamata tebal itu sudah bisa kuprediksi jauh sebelum bertemu. Ia menggeleng, lalu menggamit tangan Hard untuk masuk ke dalam.Aku menoleh sekilas pada Jonathan yang duduk berhadapan dengan Jean. Keduanya mengangguk seakan-akan memberi semangat. Aku tahu mereka juga lelah, tetapi selalu berusaha membuatku tetap semangat. Seperti yang dilakukan saat mobil baru menempuh lebih dari sepertiga jalan siang tadi."Kenapa aku merasa lebih lelah dari biasanya?" tanya
Kuperhatikan hamparan Padang yang lumayan luas di depan mata. Nun jauh di sana, terlihat hutan nasional Kanikso. Sebuah persembunyian yang aman untuk sekadar menyembunyikan jati diri.Geelbert. Pria tua itu tampak seperti orang kebanyakan meski sorot matanya kelam sedalam telaga tak berdasar. Bener rupanya apa yang dikatakan Hard belakangan. Seharusnya, aku memang bisa membedakan tiap iblis di dunia.Andai sejak awal aku bisa tahu, bukan hanya diri ini iblis yang menjelma dalam rag manusia. Mungkin, saat ini sudah banyak sekutu yang akan kumintai pertolongan."Bukan salahmu, Grace."Aku terkesiap mendengar suara Hard. Ia selalu saja menjawab semua tanya yang tak mampu kuucap."Masuklah, tunjukkan padanya."Aku menganggut, lantas menoleh pada Jonathan dan Jean. Keduanya mengangguk menyemangati sembari mengepalkan tangannya. Aku hanya melempar senyum kecut. Ras
"Ada apa, Hard?"Kedua kelopak mata Hard tampak berat untuk sekadar berkedip. Tiba-tiba saja banyak kecamuk yang membuatku memikirkan banyak dugaan.Dengan cepat, kulesatkan badan dan meraih tubuh tegap Hard. Kuraba bagian belakang tubuhnya sembari terus merapal asa. Berharap, sesuatu tak terjadi di belakangnya. Nihil.Lekas kutatap lekat mata Hard sekali lalu menggoyang bahunya. Kuabaikan Jonathan yang melangkah masuk ke dalam rumah, juga Jean yang kian mendekat."Hard!""Hei, kalian kenapa?"Aku terkesiap. Kutatap mata Hard yang mulai menyipit di ekornya. Kupukul dadanya keras-keras. "Apa yang kau lakukan huh? Nggak lucu!"Jonathan terlihat ke luar dari rumah sembari menahan tawa. Ia bersama Geelbert yang juga menyimpul senyum, memperlihatkan banyak garis kerut pada wajahnya."Aku yang menyuruhnya, Rosalie."
"Kau tak pernah menangkapnya, Hard?"Hard tersenyum, lalu melirik anak gadisnya yang sudah berumur seabad dari kaca cembung dalam mobil."Dia dulu hanya bekerja di bawah perintah Dewi Hekate. Dia yang menyiksa para manusia biadab di dunia bawah tanah. Para manusia serakah yang tak lelah mencari sekutu dalam hal spiritual.""Maksudmu ilmu sihir?" tanya Jean yang juga tampak penasaran.Kulihat, Hard mengangguk. Lalu, pandangannya kembali fokus ke jalanan. Entah ke mana lagi setelah ini. Berapa lama lagi waktu yang tersisa aku pun tak mengerti."Menurut ramalan, perang antariblis kembali terjadi setelah 6500 hari Tuhan berlalu, Grace."Aku terkesiap. "Hari Tuhan?"Jonathan dan Jean kembali berpandangan. Aku pun demikian. Diperam tanya yang menuntut jawab."Hari Tuhan adalah Minggu. Itu sebabnya, gereja serta banyak