Kuderap langkah tergesa ke arah apartemen, mengabaikan sekian banyak kejadian yang memperumit. Sebelumnya, bahkan aku tak pernah mau ikut campur urusan orang lain.
Aku masih tak habis pikir, kenapa takdir mempermainkan iblis selucu ini? Rahasia apa lagi yang nantinya akan jadi takdirku?
Banyak pikiran yang membuatku merasa kian runyam. Terlebih, saat salah satu orang yang mungkin kupercayai memberi informasi mustahil. Apa katanya tadi? Reinkarnasi?
Jika semua orang bisa hidup lagi, lalu kenapa orang-orang lain tak mengenaliku? Bukankah wajahku tak berubah sedikit pun?
Aku menggeleng cepat, mengenyahkan banyak ribuan cabang tanya yang menuntut jawab. Namun, semakin kucoba, kian pusing pula rasanya.
Di kamar, cepat kurebahkan diri pada sofa dudukan tiga. Berharap, semua hanya mimpi belaka. Lekas bangun, setidaknya lupakan semua kejadian yang ada.
Mengenai Jo, J
Hola Readers setia Grace! Ini baru part 30, ya. Masih ada kurang lebih 50 part lagi. Yuk, beli koin yang banyak, biar bisa terus ngikutin si Grace ini 💚
"Kau bahkan tak tahu? Devil Hunter itu ayahmu!"Aku mengernyit, lantas mengalihkan pandang pada laut lepas. Ada banyak tanya yang kini menuntut jawab. "Maksudmu apa? Dua kesatuan, Devil Hunter, ayah, apa lagi nanti?"Enggan rasanya melihatnya lagi. Bukan karena apa, hanya saja aku tak ingin percaya meski pernyataannya mengusik."Kupikir, kau lebih tau segalanya. Nyatanya, tentang keluargamu saja kau tak tau apa pun."Apa katanya? Keluarga? "Diam sajalah.""Kenapa tak kau tanyakan saja padaku? Aku tau segalanya, Brenda. Tentang ibu, ayah, bahkan dunia sebelum bergantung pada alat-alat canggih.""Aku tak tertarik. Kau bisa membunuhku sekarang atau melepasmu begitu saja.""Lantas, mengapa kau mencoba menghentikanku tempo hari, huh?!"Kedua tangannya telah mencengkeram leherku dengan kuat. Sesaat ada rasa panas menjalar p
"Kau yang memanggilku?" Suara berat itu terdengar menakutkan, apalagi saat moncong senjatanya menarget kepala. Aku mengangguk sembari mencoba berbalik. "Ja-jadi, kau adalah pemburu iblis?" "Dan kau adalah iblis!" Mendengar pernyataannya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Entah apa yang akan dilakukannya pada diri ini. Padahal, ia mengungkapkan fakta itu dengan nada suara datar. Namun, terasa begitu mengintimidasi. "Kau benar." Aku memejamkan mata saat bunyi pelatuk ditekan kembali terdengar. Namun, bukannya suara letusan senjata tajam yang kudengar. Melainkan tawa yang menggelitik. Lekas kualihkan pandang ke arah belakang, melihat siapa sosok di balik pemburu iblis. Terlihat jelas seorang pria dengan iris mata kebiruan. Hidungnya yang mancung kian membuatku mengernyit heran. Wajahnya hampir mirip den
Mengenai dunia bawah tanah, aku tak begitu paham. Sedikit banyak yang kutangkap, dunia bawah tanah tak berbeda jauh dari kehidupan manusia pada umumnya. Hanya saja, selalu ada perbedaan di antara keduanya. Tentang para penghuni, kedamaian, serta peraturan yang harus diikuti. Satu yang membuatku terkejut bukan main adalah saat ini, masing-masing iblis tak lagi punya keturunan. Terlebih, dari kalangan empusa dan inkubus. Kata Ayah, itu karena peperangan itu. Banyak iblis yang mati di tangan iblis lain. Hanya karena melanggar satu peraturan, maka hilanglah nyawa kebanyakan. "Lalu, sejak saat itu tak lagi ada pemburu iblis?" tanyaku kemarin malam. "Banyaknya iblis yang mati membuat Dewi Hecate marah. Ia menghukum banyak petinggi karena telah lalai menjaga perdamaian. Lalu, amarahnya lesap bersamaan dengan ucapan istri Dewa Zeus. Para iblis akan kembali berperang hingg
Aku masih menimbang-nimbang, memikirkan ulang tentang usulan dari Ayah. Terlebih, mengingat bagaimana respon Jonathan sebelumnya.Masih dalam rencana yang sama. Aku dan Jo harus memiliki sebuah hubungan atas nama kepercayaan dan cinta. Meski hanya pura-pura, setidaknya label kepemilikan di depan Tuhan akan mampu menjadi tameng terkuat.Percakapan kemarin kembali mengusikku yang tak kunjung mampu memejamkan mata. Setidaknya, aku tak tidur karena memikirkan strategi, 'kan?"Apa hubungannya tameng dengan hubungan, Hard?""Ada banyak aturan dari dunia bawah tanah mengenai para mangsa, Grace. Kau pikir, iblis sebanyak itu tak punya aturan main dalam berburu?"Hard beranjak dari balik jendela kaca dengan cara memundurkan langkah. Ia terhenti, tepat saat pahanya menyentuh sandaran sofa. Lantas, ia menyandarkan diri di sana, masih dalam posisi setengah berdiri."Kata
Aku masih sibuk berguling ke sana kemari meski pagi mulai datang. Semalam suntuk mataku enggan terpejam. Rencana Ayah masih terus terngiang di kepala.Aturan-aturan yang semestinya memberi kedamaian, malah membuatku berpikir terlalu keras. Terlebih bagi seorang pemburu seperti Ben Hardy. Mengawasi banyak iblis di dunia tentu saja bukan hal mudah. Beruntung, saat ini tak banyak iblis tersisa.Kini, bagaimanapun juga aku harus segera menemui Jonathan. Ialah satu-satunya kunci agar semua aturan bisa ditegakkan. Bukan untukku, melainkan demi keselamatan semua orang."Kau mencintainya?" tanya Hard.Mendengar pertanyaannya tentu saja diri ini enggan menjawab. Alih-alih berdalih, aku malah asyik menatap mata kebiruan Ayah."Ibumu jatuh cinta saat menatap kedua mataku, Grace, jadi berhenti menatapku seperti itu.""Setelah seratus tahun, akhirnya aku menemukan keluarg
"Jangan pikirkan apa pun, Grace, tapi coba kau renungi ini. Selama lebih dari seratus tahun kau menemui banyak pria, tak ada yang mampu membuat hatimu menghangat. Lalu, saat kau temukan sosok itu, relakah kau jika dia diambil paksa dari sisimu? Hatimu akan membeku, untuk sekali lagi.Kehilangan, kau akan merasakan hukuman yang teramat berat saat menyadari segalanya telah berubah. Apalagi, kau juga turut andil dalam keberdayaan untuk membuatnya terbunuh. Lalu, masih bisakah kau bernapas lega?"Aku mengerjap, tak mampu menjawab. Dalam hitungan detik aku terpaku, untuk menggerakkan bibir pun kelu.Setelah Hard mengedipkan matanya, ia tersenyum, sedangkan aku kembali mampu menggerakkan anggota tubuh. Lekas, aku bangkit dan mendelik, menuntut jawab."Apa-apaan, Hard?""Maaf, Grace, kau merasa tak nyaman?""Konyol! Pertanyaan macam apa itu?""S
"Kita hanya harus mengalahkannya sekali! Lalu kau bebas menentukan segalanya!"Aku berdiri, menatapnya penuh kesungguhan. Setidaknya, ia harus benar-benar menganggap ini sebagai rencana semata. Pernikahan tertulis, tanpa dasar cinta."Aku tau! Hanya saja, menikah bukan satu-satunya jalan!" Ia melipat tangan di dada. Sifat keras kepalanya sungguh menyusahkan."Kalau begitu, bisakah kau pastikan bahwa kau lebih dulu bertemu denganku daripada dengan Jean palsu itu?"Dalam ruangan kedap suara berukuran lima kali enam itu, terdapat meja kerja dan pelbagai furniture bertema industrial. Hitam dan kayu lebih banyak mendominasi ruang."Kita bertemu lebih dulu, Grace! Aku tau betul itu!"Kali ini ia menatapku tajam. Meski hanya beberapa detik, aku mampu menangkap keseriusan dalam tatapannya. Lantas, ia kembali menatap ke arah jendela besar di samping meja kerja.
"Kita hanya punya waktu tak lebih dari delapan jam sebelum ia bisa kembali kemari, Jo!"Sekali lagi, kedua mata bulat pria beriris cokelat muda itu membeliak. Mungkin, ia terkejut dengan pernyataanku barusan."Apa? Kenapa? Siapa yang memberimu batas itu?"Padahal, beberapa menit yang lalu ia baru saja tenang. Ia baru menerima usulanku untuk menikah sebagai solusi utama. Kini, ia kembali histeris bak Cinderella yang kehilangan sepatunya."Kau tau, ada dua dunia yang berbeda dengan waktu dan kehidupan yang jauh dari kata sa--""Apa masalahmu sebenarnya?" Hanya dengan memotong ucapanku saja, ia bisa membuatku terintimidasi."Harusnya aku yang bertanya! Bukankah sejak awal sudah kukatakan? Ada banyak hal yang harus kau ketahui sebelumnya. Tapi, jika ingin cepat, solusi terbaik hanyalah penikahan! Dan sekarang aku lagi yang akan kau salahkan, huh?!"