Setelah menemani Tuan Edbert sarapan pagi, aku kembali ke kamar karena tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mandi dan berdandan sudah, aku bahkan sedang memakai dress yang perempuan lain gunakan ke mall atau restaurant mungkin.Teringat obrolanku dengan Tuan Edbert tadi."Aku sudah memilih gaun pernikahan yang cocok untukmu. Pertanyaannya, apa kamu mau menikah di hotel atau di sini saja?""Di sini saja, Tuan. Aku tidak ingin ketahuan siapa pun," jawabku seadanya."Kenapa?""Nyonya Aluma pasti marah kalau tahu Tuan menikah lagi. Maaf, aku tidak sanggup jika dikatai pelakor, Tuan."Tuan Edbert mengangguk. Sebenarnya bukan itu alasan sesungguhnya. Aku hanya takut ketahuan orang lain dan kabar pernikahan kami sampai di telinga Mas Zaki."Nona, apa aku boleh masuk?" Suara itu milik Maria. Aku yang sedang duduk di dekat jendela mengangguk tanpa ingin menoleh.Ah, berpakaian seperti ini tiada berguna karena bukan demi mendapat perhatian Mas Zaki. Aku merasa sebagai manusia paling hina. Perempu
Malam menyapa dan aku baru saja selesai sarapan bersama Tuan Edbert. Entah apa alasannya pada Nyonya Aluma sehingga bisa leluasa tinggal di rumah ini.Ya, rumah bak istana yang sudah didekorasi sejak pagi hingga sore tadi. Mewah bahkan lebih dari kata itu.Aku yang seharian tadi berada dalam kamar—melakukan berbagai perawatan—hanya bisa menatap takjub."Apa kamu suka dekorasi ini, Tyas?" tanya Tuan Edbert."Tentu, Tuan. Dekorasinya sangat indah dan elegant." Aku menjawab jujur.Mereka pasti menyangka aku sedang bahagia untuk pernikahan besok karena senyuman tidak pernah alpa terukir di bibirku yang ranum.Padahal ada hati yang berkecamuk mencoba marah kepada takdir atau mungkin pada dunia yang sedamg tertawa mengejek. Aku menghela napas panjang mencoba menahan bulir bening."Apa kamu mau melihat kamar pengantin kita atau besok saja biar menjadi surprize?""Besok saja, Tuan. Malam ini kata Maria aku harus kembali luluran agar besok bisa terlihat semakin cantik.""Oh, benar. Aku sampai
Setelah seharian menerima tamu undangan, akhirnya aku bisa merebahkan diri. Memang tidak terlalu ramai, hanya beberapa puluh saja, tetapi acara berlangsung hingga pukul tujuh malam."Nona, Tuan Edbert memintaku menyiapkan Anda," kata Maria yang sedang berdiri bersama Louis.Dengan gerak cepat aku bangun dan meminta mereka masuk. Pintu kamar ditutup rapat, aku melepas gaun pengantin langsung menuju kamar mandi diikuti mereka berdua.Seperti biasa, Maria akan meluluri begitu juga dengan Loius mungkin agar pekerjaannya cepat selesai. "Ada apa denganmu, Maria?""Kenapa, Nona?""Wajahmu terlihat pucat."Maria diam, dia terus melakukan pekerjaannya. Melihat itu Louis memberitahu bahwa temannya itu sedang tidak enak badan."Kalau begitu biar Louis yang melakukan ini untukku. Kamu istirahat saja!""Apa ada yang bisa meredam kemarahan Tuan Edbert jika kita melawan perintahnya, Nona?"Louis benar. Aku saja sampai harus memohon dengan tangisan bahkan merapalkan doa ketika akan bertemu. Sifat Tua
"Hari ini pindahkan semua barang-barangmu. Aku tidak ingin pisah kamar. Kita harus saling terbiasa bersama!" perintah Tuan Edbert menyudahi sarapannya."Iya, Tuan. Aku akan meminta bantuan Maria atau Louis.""Tidak. Saat ini Maria sedang tidak enak badan. Biar Lotus dan Supri saja yang membantumu!"Tuan Edbert berdiri, setelah itu meninggalkan rumah yang seperti istana ini. Mengingat tentang Maria, dia memang perlu beristirahat. Siapa yang tidak lelah dengan pekerjaan penuh penekanan?Pantas saja pagi tadi dia tidak datang ke kamar menata rambut dan merias wajahku. Mungkin itu sedikit lebih baik karena aku bisa belajar melakukannya sendiri. Lagi pun aku sama sekali tidak pernah memiliki niat untuk terlihat cantik di depan Tuan Edbert.Kaki jenjangku melangkah cepat ke kamar untuk memindahkan semua barang diikuti dua pelayan lelaki. Mereka tidak bertanya apa pun melainkan langsung membopong semua barang itu ketika aku meletakkannya di tempat tidur."Letakkan saja di situ, biar aku yang
[Tunggu sebentar, Mbak. Aku selesaikan pekerjaan dulu. Sampaikan pada Mas Zaki, aku akan menelepon dalam sepuluh menit.][Oke.]Aku bingung sendiri mengingat rambut sudah beda warna apalagi sekarang sedang memakai dress selutut. Kaki bergerak cepat melangkah mencari sesuatu yang bisa menutupi kebohongan ini.Aku membuka laci demi laci setelah mengunci pintu kamar dari dalam. Beberapa menit berlalu sampai aku masuk kamar mandi saking bingungnya, beruntung ada plastik penutup rambut dan hair bando.Dengan gerak cepat aku memakainya, kemudian menyambar handuk putih untuk menutupi dada. Aku duduk bersandar dekat bad spa dan melakukan panggilan video."Mas Zaki," sapaku ketika melihat Mas Zaki yang sudah rapi. Dia duduk di samping Lia yang sedang tertidur."Tyas? Kenapa dengan kepalamu dan itu handuk?" tanya Mas Zaki ketika menyadari penampilanku.Tanpa perlu berpikir lama lagi, aku segera meletakkan telunjuk kanan di bibir memintanya diam. "Aku pura-pura kebelet, Mas makanya memakai ini b
Aku hanya diam menanti kalimat selanjutnya. Maria kelihatan sangat terluka. Aku begitu iba dan seandainya pernah bertemu kekasih Maria, mungkin bisa memberitahu bahwa kekasihnya sangat menderita."Apa Anda tahu siapa nama kekasihku?""Tidak.""Marlon Addison."Bola mataku membulat sempurna ketika mendengar nama Addison. Apakah mungkin kekasih Maria adalah saudara kandung Tuan Edbert sehingga rela bekerja di sini demi mencapai sebuah misi?"Anda tidak perlu terkejut. Hanya nama belakang saja yang sama. Tuan Edbert adalah milik Anda, Nona." Maria mengulum senyum seperti berusaha membaca pikiranku."Bukan itu, Maria. Maksudku apa kekasihmu adalah saudara Tuan Edbert Addison?"Maria mengangguk. Ini sungguh fakta mengejutkan. "Dan kemarin Marlon kembali menikah untuk kedua kalinya.""Bersamaan dengan pernikahan Tuan Edbert?"Sekali lagi perempuan itu mengangguk. Dia menceritakan dengan jujur alasan kemarin tidak bisa fokus bekerja sampai mata bengkak seperti itu. Dia bilang mendengar kabar
"Bagaimana kamu tahu, Maria? Apa mungkin kamu mengenal Mas Zaki?""Dia lelaki yang lumpuh," lirih Maria membuang pandangan dariku."Ya, benar. Mas Zaki lelaki lumpuh, hanya mampu duduk di kursi roda." Kedua bahu Maria kucengkram kuat. "Katakan, bagaimana kamu mengenal Mas Zaki?"Perempuan itu menunduk lesu, tangannya gemetar. Tidak lama kemudian dia menggigit bibir, lalu berlalu ke luar tanpa mampu aku kejar.Ada apa dengan Maria? Mungkinkah ada kaitannya dengan kelumpuhan Mas Zaki ataukah mereka sempat bermain api?Astagfirullah, tidak mungkin. Maria bilang punya kekasih sampai rela jadi pelayan di sini. Lagi pula sebelum kecelakaan itu terjadi, Mas Zaki sedang lembur di kantor."Sudah jam tiga sore," gumamku ketika melihat jam dinding. Tanpa sadar aku telah lama merenung dalam kamar, enggan untuk beranjak atau sekadar mengisi perut yang kosong.Ketika pikiran terusik, sesuap nasi pun aku tak sanggup menelannya. Biar saja para pelayan itu makan sendiri, aku tidak lagi peduli."Nona T
"Apa yang kamu lakukan di sini, Tyas? Bukankah aku meminta Maria agar kamu bersiap?""Tadi aku ...." Aku menoleh pada Pak Damar berharap dibantu menjawab."Maaf, Tuan. Nona Tyas memintaku membeli minuman dingin untuknya.""Di rumah ini tersedia, kenapa mencari ke luar?" Tuan Edbert menaikkan kedua alisnya. Aku yakin, dia tidak percaya."Aku tidak tahu kalau minuman dingin juga tersedia di sini, Tuan." Kali ini aku tidak membiarkan Pak Damar meneruskan sandiwaranya.Tuan Edbert terkekeh pelan, kemudian merangkulku masuk rumah. "Lain kali kalau menginginkan sesuatu, panggil saja pelayan. Jumlah mereka banyak, kenapa harus menemui Pak Damar?""Maafkan aku," lirihku.Sesampainya di kamar, Tuan Edbert menatapku lekat. Dia memindai tubuh ini dari bawah ke atas. "Kamu habis menangis?""Tidak. Maksudku, iya.""Kenapa kamu menangis. Ada yang melukaimu?" tanya Tuan Edbert penuh kelembutan."Tidak, Tuan. Aku hanya ingin minuman dingin." Sekali lagi alasan konyol itu kembali kulontarkan.Tuan Edb