"Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka
"Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K
Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m
"Tidak! Aku tidak mau jadi wanita simpanan, Bu!" pekikku di depan ibu mertua sambil menutup wajah dengan telapak tangan."Dengarkan ibu, Tyas. Zaki itu cacat, dia gak bisa kerja lagi karena lumpuh total kata dokter. Sementara Tuan Edbert itu orang kaya, dia butuh seseorang di sampingnya," tutur ibu mertua lembut. Aku malah muak mendengarnya."Aku tidak peduli!" teriakku, lalu beranjak pergi dari kamar ibu.Kami masih satu atap karena Mas Zaki tidak pernah mau meninggalkan ibunya sejak dulu, sedangkan bapaknya sudah meninggal setahun yang lalu. Aku tidak bisa berbuat banyak karena rumah ini dibeli bukan hasil dari kerja kerasku."Tyas?"Aku menoleh, suara itu jelas milik Mas Zaki. Tatapan matanya menyiratkan tanda tanya. Aku yakin, dia tidak akan setuju bahkan marah besar jika tahu ibu memaksa menantu sendiri untuk mengkhianati putranya.Jujur saja, walau sudah lumpuh dan hanya bisa duduk di kursi roda, aku tidak pernah ada niat untuk meningg
"Kamu sudah gila?!" Ibu melotot tajam.Aku berdecih. "Bukan aku yang gila, tapi Ibu!"Kami saling beradu pandang dengan mata menyalak tajam. Aku sungguh ingin menjambak rambut keriting miliknya, lalu membenturkan kepala itu ke tembok sampai pecah. Atau haruskah aku mengambil kunci Inggris agar ada perpaduan musik dengan tengkorak kepalanya? Haha, lucu sekali bahkan aku jadi ingin mendengar perempuan tua ini mengerang kesakitan.Bibir ibu mertua terangkat ke atas, lalu berjalan mengitariku. Ujung rambut ini dipegangnya dengan lembut, lalu ditarik keras. Sakit sekali, tetapi berusaha aku tahan. Amarah yang kian membuncah membuat tangan kananku mendorong ibu ke belakang."Kenapa, Tyas?""Aku akan membunuhmu detik ini juga!" geramku, lalu melangkah mendekat."Coba saja!" tantangnya dengan seulas senyum.Namun, ketika jarak kami semakin terkikis, dia langsung duduk di lantai dan bersimpuh memohon agar aku memaafkannya. Air mata itu mengali
"Dasar perempuan hina! Kamu itu SMP aja gak tamat malah sok-sokan menolak pekerjaan. Yang penting itu ada duit, penampilan jadi bagus, makan pun enak. Tidak peduli dengan cara halal atau haram.""Kalau prinsipnya gitu, kenapa bukan Mbak saja yang jadi wanita simpanan Tuan Edbert?""Tyas! Berani kamu mengatakan itu sekali lagi, kupastikan nyawa suami dan anakmu melayang hari ini juga!" Mas Bayu tiba-tiba ada di antara kami.Aku membuang pandangan sambil berdecih. Mereka seenak jidat mengeluarkan kata-kata juga ancaman karena kami miskin padahal dulu Mas Bayu tidak punya malu meminjam uang pada suamiku dan nekat tidak mau mengembalikan dengan dalih keluarga harus saling membantu.Sekarang? Mereka memang memberi kami tumpangan juga makan gratis, tetapi aku juga bekerja keras di sini. Semua pekerjaan rumah selesai oleh dua tanganku padahal harus mengurus Lia dan Mas Zaki juga. Tawaran itu bukan untuk membantu, tetapi menjerumuskan."Gimana?" Mas
Pukul delapan pagi ibu menggedor pintu kamar. Aku sedih karena sampai sekarang hati merasa berat untuk menerima tawaran jahannam itu. Selain berharap ada keajaiban, aku tidak bisa berbuat apa-apa.Rencana sudah aku susun subuh tadi. Aku yakin jika tidak ada orang luar yang campur tangan, semua akan berjalan baik. Ah, sial sekali karena ketukan di pintu belum juga berhenti. Mas Zaki yang sejak tadi memangku Lia memintaku ke luar saja."Ada apa Bu?" tanyaku berusaha tenang.Ibu gegas menyeretku ketika melihat Mas Zaki yang menatap kami. Pasti dia masih berusaha menyembunyikan kebenaran. Kalau saja bukan karena ancaman dari mereka, aku tidak akan mau diperlakukan seperti ini. Namun, lihat saja nanti siapa yang akan tertawa menang."Bagaimana? Kamu setuju dengan tawaran ibu, 'kan?""Tentu saja, Bu. Kenapa aku menolak jika bayarannya banyak. Tuan Edbert orang kaya, tentu saja untuk uang seratus juta itu kecil baginya." Aku menjawab enteng."Apa m
"Aku pergi, Mas. Kamu jangan melakukan pekerjaan berat di kondisi seperti itu," gumamku."Iya, Dek. Mas akan jaga diri untukmu." Mas Zaki tersenyum. Namun, aku bisa merasakan kalau ada luka di baliknya."Aku akan mengurus adik ipar, Tyas. Jadi, kamu tidak usah pusing dan fokuslah bekerja." Mbak Utami mendekat ke arah Mas Zaki. "Zaki itu masih anaknya ibu, kami keluarga dan tidak mungkin membiarkannya kesulitan."Ibu dan Mas Bayu mengangguk setuju. Aku tersenyum menatap mereka, juga kepada Lia. Sekalipun hati tahu betul mereka bersandiwara demi uang, tetap saja aku harus tenang dan dabar. Pintu mobil sudah terbuka, aku masuk beriring air mata yang segera diseka."Mama jangan lama!" pinta Lia dengan senyum polosnya. Anak berusia dua tahun bagaimana mungkin secepat itu mengerti. Huh, entahlah.Dada seperti dihantam batu besar. Aku kesulitan bernapas bahkan untuk membuka mata pun perih sekali. Seandainya waktu bisa berhenti, aku ingin merasakannya. Tangisan Lia yang mulai terdengar membua