"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat.
"Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.
Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.
Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.
Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.
Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan senyum ramah, kemudian bertanya, "Nona suka dengan kamar mandinya? Kalau tidak, kata Tuan boleh menempati kamar lain saja."
"Tidak, ini sudah lebih dari cukup."
Ponsel berdering, aku melihat nama Mbak Utami tertera di sana. Setelah menjauh dari Maria, aku langsung menekan ikon hijau dan panggilan pun tersambung.
"Tyas, kenapa What$app kamu gak aktif?!"
"Maaf, Mbak. Tadi itu diwawancari sama Tuan Edbert. Ada apa?"
"Kamu tahu, gak, rumah kita kedatangan penagih dan suami kamu yang cacat tidak punya uang untuk membayarnya."
"Lalu?" Aku berusaha meredam emosi. Kalau saja Maria tidak ada di sini, aku ingin memaki perempuan keji yang srlalu menyudutkanku dan Mas Zaki.
"Bego banget, sih kamu?! Minta uang sama Tuan Edbert sebagai DP dong!"
"Gak mau aku, Mbak. Memangnya aku ini pel*cur apa?"
"Lah, memang status kamu sekarang apa, Tyas? Kamu kan sudah jadi wanita simpanan orang kaya," cibir Mbak Utami melukai hati. Ingin sekali aku menangis, tetapi harus terlihat tegar.
Berulang kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan agar amarah itu segera pergi. Namun, sepertinya susah ketika aku mendengar tangisan Lia yang meminta tolong memanggil papanya.
"Dengarkan aku, Tyas! Kalau kamu tidak mengirim uang hari ini, anakmu akan mati di tanganku!"
Tangisan Lia semakin menggema, aku tidak bisa berbuat banyak selain mengiayakan permintaan Mbak Utami. Kini dia tertawa kecil di balik telepon, kemudian menyebut nominal yang harus dia terima.
"Sepuluh juta? Apa Mbak udah gak waras?!" ketusku.
"Memang aku sudah tidak waras. Kalau kamu tidak mau memberi uang sepuluh juta, maka ikhlaskan saja kepergian anak dan suami cacat kamu itu!" tekannya sekali lagi.
Mbak Utami memang jeli masalah uang, aku tahu dia sudah merencanakan ini jauh hari sebelumnya. Dia bahkan tidak mau berpikir bagaimana cara aku mendapatkan uang sebanyak itu di hari pertama bertemu Tuan Edbert.
"Oke, aku trasnfer sepuluh juta sesuai keinginan kamu, Mbak. Tapi lepaskan Lia!"
Mbak Utami tertawa nyaring, kemudian meminta tambahan untuk membiayai kebutuhan suami dan anakku. Siapa yang bisa menolak dijadikan mesin pencetak uang jika ancamannya selalu melibatkan orang yang aku sayangi?
Setelah panggilan terputus, aku mengotak-atik ponsel. Beruntung ada m-banking sehingga tidak harus ke luar rumah. Ternyata Tuan Edbert memberi terlalu banyak sehingga sepuluh juta itu hal kecil.
Dalam dua menit, uang itu sudah terkirim ke rekening Mbak Utami. Aku heran, setelah mengirim struk sampai lima menit berlalu tidak ada ucapan terimakasih darinya.
"Pak Damar ada di mana, Maria?" tanyaku kemudian.
"Ada di bawah, dia sudah menunggu Nona sejak tadi."
Aku mengangguk, lalu melangkah disusul Maria menuju pintu utama. Rumah yang besar ini tidak pernah memberi rasa nyaman karena bukan Mas Zaki pemiliknya. Sejak dulu aku ingin pernikahan suci tanpa noda, memaksa suami untuk berjanji akan tetap setia.
Namun, pada kenyataannya akulah yang menabur garam pada luka sendiri. Ketakutan yang aku khawatiekan benar terjadi, tetapi bukan salah suami. Tidak lama lagi poliandri akan terjadi, sebuah dosa besar yang entah akan mendapat pengampunan atau tidak.
Mas Zaki dengan kecintaan sepenuh hati kelak akan menuai kecewa yang dalam. Aku menghela napas berat, tiba-tiba berhenti melangkahkan kaki.
"Maafkan aku, Nona!" lirih pelayan yang memakai baju putih itu. Rupanya aku telah menabraknya karena pikiran sedang melayang.
Gelas tinggi itu pecah, aku yakin isinya adalah wine. Mungkin untuk Tuan Edbert. Pelayan itu membersihkan setelah aku mengangguk. Kehidupan yang benar-benar berubah, semua orang memang menghargai kita jika memiliki banyak uang.
Aku jadi ingat pada seorang sahabat. Sejak SMA dan kuliah dia beberapa kali minta tolong, entah berupa tenaga atau uang dan aku akan membantu dengan perasaan senang dan ikhlas. Akan tetapi, ketika Mas Zaki cacat dan aku ingin meminjam uang, dia menolak dengan tegas.
"Aku tidak bisa, Tyas. Uang itu kalau sudah dipinjam sama teman, bakal susah ngebalikinnya. Apalagi sekarang suami kamu dipecat, mau bayar pakai apa?" Itu jawaban Sarah, sahabatku.
Padahal ketika Sarah meminjam uang, aku bahkan memberi senggang waktu atau mengikhlaskan begitu saja. Ini bukan masalah minta balas budi, tetapi saling membantulah.
"Nona?"
"Eh, iya?" Aku mengerjap berulang kali. "Apa?"
"Pak Damar sudah menunggu sejak tadi, hendaknya Nona masuk ke dalam mobil." Maria tersenyum.
***
Sesampainya di rumah setelah perjalanan panjang, aku langsung masuk setelah mengucap salam sekalipun tanpa jawaban sementara Pak Damar sudah kembali melajukan mobil entah ke mana, yang pasti tempat tinggal sudah disediakan Tuan Edbert untuk mengawasiku.
Hari sudah mendekati magrib, aku tersenyum lega ketika melihat Lia sedang disuapi Mbak Utami. Dia melakukan itu pasti karena sudah menerima uang. Mas Zaki tidak terlihat, aku jadi khawatir padanya.
"Lia!" panggilku dengan suara serak menahan rindu.
Gadis kecil berusia dua tahun itu menoleh, lalu berlari mendekat dan menenggelamkan diri dalam pelukanku. Ibu, Mbak Utami dan Mas Bayu ikut menoleh dengan raut wajah bingung. Pasti mereka mengira aku telah kabur dari sana.
"Mama dari mana saja?"
Aku mencium dahi Lia. "Mama habis kerja, Sayang. Hari ini senang gak?"
"Tyas!" Tiga ular berbisa itu mendekat, tatapan mereka menyalak tajam.
"Iya, Bu?"
"Kenapa kamu pulang ke sini? Harusnya tinggal di rumah Tuan Edbert. Apa kamu kabur?" Ibu melipat kedua tangan di depan dada.
"Ibu tenang saja, aku tidak mungkin kabur. Tuan Edbert memberiku waktu sepekan sebelum kembali ke sana." Aku menjawab santai. Namun, untuk alasan mereka tidak perlu tahu atau uang itu akan habis.
"Dek?" Suara yang sangat aku rindukan.
Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah
"Uang apa, Bu? Tyas gak ngirim kecuali buat bayar semua utangnya. Dia kan ngutang sama aku juga waktu Zaki kecelakaan itu!" cebik Mbak Utami kesal. Ibu menatap tidak percaya, baru saja aku ingin melangkah ke kamar tiba-tiba tangan ini dicekal kuat oleh mertua. Aku menoleh. "Ada apa, Bu?" "Zaki mana?" "Baru aja mandi tadi, kenapa?" "Lupakan masalah uang, ibu yakin kamu akan memberi jatah padaku nanti. Sekarang jawab dengan jujur, kamu tidak sedang kabur, kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak kabur, semua demi Mas Zaki dan Lia bukan kalian. Mereka berdua saja yang menganggap aku penting sementara kalian semuanya mata duitan dan Tuan Edbert tahu itu!" Satu tamparan berhasil lolos menyentuh pipiku. Hangat juga perih, tetapi lebih menyakitkan lagi jika kebenaran telah terungkap. Telunjuk ibu mengarah padaku. "Kamu itu menantu durhaka, Tyas! Awas saja kalau ngadu sama Zaki, nyawa kalian akan terancam. Ibu bisa saja melawan suami cacatmu itu, tetapi ada satu alasan sampai membiarkan
Sambil menggendong Lia di pangkuan, aku terus memikirkan cara menyampaikan permintaan cerai agar Mas Zaki tidak tersinggung. Bagaimana pun juga tentu hal ini mengundang kecurigaan.Lelaki itu menatapku lekat penuh cinta dan kerinduan. Hati semakin bimbang, apalagi saat ini dia lumpuh, besar kemungkinan hadir prasangka lain dalam hatinya."Mas, aku ...." Kalimat itu sangat sulit untuk keluar."Kenapa, Dek?""Ada satu syarat, Mas untuk menjadi asisten di rumah Tuan Edbert. Mungkin kamu tidak akan setuju. Aku hanya mencoba menyampaikan siapa tahu ada solusi." Terpaksa aku memulai sebuah kebohongan."Syarat apa?"Aku menelan saliva. "Itu, Mas. Semua pekerja di sana diharuskan belum menikah atau tidak berkeluarga karena nanti kalau kerja bisa gagal fokus." Entah ini logis, aku hanya berharap Mas Zaki mengerti."Lalu?""Mas." Lelaki itu diam, mungkin mencoba menunggu kejelasan dengan sabar. "Apa Mas mau menceraikan aku demi pekerjaan–""Tidak!" tegasnya.Lia kubiarkan duduk di lantai memint
"Mas tahu kapan waktu berlalu begitu cepat?" tanyaku pada Mas Zaki yang sedang menidurkan Lia."Ketika bersamamu." Dia menjawab sambil memberi seulas senyum."Benar, Mas. Bahkan sepekan terasa satu detik." Aku menunduk dengan hati menyimpan perih.Kebahagiaan itu segera sirna karena pada kenyataannya Pak Damar sudah menunggu di ruang tamu. Aku menghela napas berulang kali. Dosa sebagai istri dan hamba masih terus berlanjut."Kamu semakin cantik, Tyas. Apa selama ini melakukan perawatan?"Mas Zaki memang tidak pernah bertanya aku hendak ke mana sepekan ini karena Mbak Utami rajin menemani. Namun, tetap saja perubahan warna kulit yang semakin cerah dan kenyal pun wajah sedikit glowing menimbulkan tanya di benak suamiku."Maafkan aku, Mas. Aku melakukan ini demi kamu agar bisa diterima bekerja di sana. Doakan aku pula agar Tuan Edbert mengerti keadaanku yang telah bersuami."Lelaki itu mengangguk sementara aku membuang pandangan sekilas meratapi diri yang mendapat takdir ini. Ingin beran
Pintu mobil terbuka, aku melangkah pelan menuju rumah yang sangat megah serupa istana itu. Masih menjadi pertanyaan dari mana kekayaan Tuan Edbert ini, mungkinkah karena orangtuanya?Pintu rumah yang tinggi menjulang itu terbuka pelan ketika aku sampai. Maria melangkah cepat menghampiriku dengan senyum merekah indah."Nona, Tuan Edbert sudah menunggu Anda sejak tadi. Silakan!" sambutnya dengan sopan.Aku melangkah mengikuti Maria. Seharusnya dia berdiri di belakang, tetapi aku masih belum hapal ruangan yang ada di sini atau akan tersesat.Maria berhenti melangkah di depan pintu berwarna emas. Aku bingung ini ruangan apa, tetapi sedikit malu untuk bertanya."Tuan Edbert sedang menunggu Nona di dalam," jelas Maria lagi, kemudian meraih handle pintu dan membukanya. Dia menyilakan aku masuk.Jantung berdegup cepat menghadapi kenyataan pahit. Aku melangkah sambil merapalkan doa seperti sedang melihat hantu. Rupanya ini adalah sebuah kamar milik Tuan Edbert. Sangat luas dan megah.Lelaki it
"Selesai," gumam Maria tersenyum lembut. Dia sudah berhenti memainkan sisir hitam itu.Cantik sekali, aku yakin perempuan ini lebih dari kata hebat. Rambut yang disanggul dengan model pita di belakang. Aku jadi terlihat seperti boneka."Sore nanti Nona harus mengubah warna rambut sesuai perintah Tuan Edbert.""Kenapa?""Aku tidak tahu."Tidak berapa lama kemudian, beberapa pelayan wanita masuk membawa paper bag yang banyak. "Simpan semuanya di lemari dan rak sepatu Nona Tyas!" perintah Maria.Mereka menurut, aku melihat beberapa tas branded dan juga sandal rumahan yang cantik dengan bulu-bulu halus. Salah satunya diletakkan Maria di dekat kakiku."Ayo, Nona. Aku mengantar Anda ke kamar Tuan Edbert!" ajak Maria masih dengan senyum manis."Ayo!"Aku berdiri dan melangkah canggung. Selama hidup aku tidak pernah berpenampilan seperti ini apalagi memang bukan dari golongan orang kaya. Semua kebaikan Tuan Edbert patut dihargai, dia tidak bersalah karena mengira diri ini perempuan lajang.Se
Aku membuka mata ketika tangan seseorang menyentuh pipiku lembut, kemudian ditepuk berulang kali. Kedua tangan mengucek mata karena penglihatan sedikit kabur.Ternyata Maria."Maafkan aku, Nona. Tuan Edbert memintaku membangunkan Anda untuk mewarna rambut." Maria memasang air muka sedih."Sekarang pukul berapa?""Pukul empat sore, Nona."Aku gegas bangun, kemudian pergi ke kamar mandi mencuci wajah. Airnya segar seperti mengalir langsung dari gunung. Sekarang aku memang terlihat berbeda padahal baru sepekan kemarin berwajah kusam. Perawatan wajah yang menghabiskan uang berjuta-juta memang memuaskan."Sekarang aku harus melakukan apa, Maria?" tanyaku setelah ke luar. Perempuan itu memakai celemek hitam menutupi kemeja putihnya."Anda duduk di kursi biar aku yang menyiapkan semuanya." Maria lagi-lagi tersenyum ramah.Aku menurut, kemudian duduk di kursi depan meja rias. Setelah memasang topi higlight untuk bleaching, Maria mulai mewarnai. Rupanya sudah mencampur sebelum membangunkanku.
"Ah, tidak. Lupakan saja Tuan. Malam ini aku hanya ingin bahagia denganmu." Aku berusaha tersenyum agar Tuan Edbert tidak menaruh curiga.Tuan Edbert tersenyum. Kami pun menikmati hidangan tanpa saling bicara kecuali jika dia kembali bertanya hal sepele. Misalnya, apakah nanti aku akan mencintainya atau tidak. Jawabannya tentu tidak dan aku hanya bisa bicara dalam hati."Tyas, aku tidak bisa menentukan sekarang apakah nanti kita berpisah setelah kamu melahirkan anakku atau tetap bersamamu.""Itu terserah Tuan. Sebagai istri sari nantinya, kalau boleh jujur aku ingin dilepas saja. Apalagi Nyonya Aluma masih hidup dan sehat. Dia pasti sangat cantik. Jika kelak Tuan ketahuan selingkuh, apa tidak mengapa?""Kamu benar, Tyas. Aku akan menceraikanmu setelah anak itu lahir." Tuan Edbert tersenyum, kemudian kembali menikmati makanan mewah yang tidak cocok di lidahku.Itu masalah yang selalu aku pikirkan sejak awal. Bagaimana mungkin aku pulang ke rumah dalam keadaan hamil sementara Mas Zaki a