Share

Bab 8

"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat.

"Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.

Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.

Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.

Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.

Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan senyum ramah, kemudian bertanya, "Nona suka dengan kamar mandinya? Kalau tidak, kata Tuan boleh menempati kamar lain saja."

"Tidak, ini sudah lebih dari cukup."

Ponsel berdering, aku melihat nama Mbak Utami tertera di sana. Setelah menjauh dari Maria, aku langsung menekan ikon hijau dan panggilan pun tersambung.

"Tyas, kenapa What$app kamu gak aktif?!"

"Maaf, Mbak. Tadi itu diwawancari sama Tuan Edbert. Ada apa?"

"Kamu tahu, gak, rumah kita kedatangan penagih dan suami kamu yang cacat tidak punya uang untuk membayarnya."

"Lalu?" Aku berusaha meredam emosi. Kalau saja Maria tidak ada di sini, aku ingin memaki perempuan keji yang srlalu menyudutkanku dan Mas Zaki.

"Bego banget, sih kamu?! Minta uang sama Tuan Edbert sebagai DP dong!"

"Gak mau aku, Mbak. Memangnya aku ini pel*cur apa?"

"Lah, memang status kamu sekarang apa, Tyas? Kamu kan sudah jadi wanita simpanan orang kaya," cibir Mbak Utami melukai hati. Ingin sekali aku menangis, tetapi harus terlihat tegar.

Berulang kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan agar amarah itu segera pergi. Namun, sepertinya susah ketika aku mendengar tangisan Lia yang meminta tolong memanggil papanya.

"Dengarkan aku, Tyas! Kalau kamu tidak mengirim uang hari ini, anakmu akan mati di tanganku!"

Tangisan Lia semakin menggema, aku tidak bisa berbuat banyak selain mengiayakan permintaan Mbak Utami. Kini dia tertawa kecil di balik telepon, kemudian menyebut nominal yang harus dia terima.

"Sepuluh juta? Apa Mbak udah gak waras?!" ketusku.

"Memang aku sudah tidak waras. Kalau kamu tidak mau memberi uang sepuluh juta, maka ikhlaskan saja kepergian anak dan suami cacat kamu itu!" tekannya sekali lagi.

Mbak Utami memang jeli masalah uang, aku tahu dia sudah merencanakan ini jauh hari sebelumnya. Dia bahkan tidak mau berpikir bagaimana cara aku mendapatkan uang sebanyak itu di hari pertama bertemu Tuan Edbert.

"Oke, aku trasnfer sepuluh juta sesuai keinginan kamu, Mbak. Tapi lepaskan Lia!"

Mbak Utami tertawa nyaring, kemudian meminta tambahan untuk membiayai kebutuhan suami dan anakku. Siapa yang bisa menolak dijadikan mesin pencetak uang jika ancamannya selalu melibatkan orang yang aku sayangi?

Setelah panggilan terputus, aku mengotak-atik ponsel. Beruntung ada m-banking sehingga tidak harus ke luar rumah. Ternyata Tuan Edbert memberi terlalu banyak sehingga sepuluh juta itu hal kecil.

Dalam dua menit, uang itu sudah terkirim ke rekening Mbak Utami. Aku heran, setelah mengirim struk sampai lima menit berlalu tidak ada ucapan terimakasih darinya.

"Pak Damar ada di mana, Maria?" tanyaku kemudian.

"Ada di bawah, dia sudah menunggu Nona sejak tadi."

Aku mengangguk, lalu melangkah disusul Maria menuju pintu utama. Rumah yang besar ini tidak pernah memberi rasa nyaman karena bukan Mas Zaki pemiliknya. Sejak dulu aku ingin pernikahan suci tanpa noda, memaksa suami untuk berjanji akan tetap setia. 

Namun, pada kenyataannya akulah yang menabur garam pada luka sendiri. Ketakutan yang aku khawatiekan benar terjadi, tetapi bukan salah suami. Tidak lama lagi poliandri akan terjadi, sebuah dosa besar yang entah akan mendapat pengampunan atau tidak.

Mas Zaki dengan kecintaan sepenuh hati kelak akan menuai kecewa yang dalam. Aku menghela napas berat, tiba-tiba berhenti melangkahkan kaki.

"Maafkan aku, Nona!" lirih pelayan yang memakai baju putih itu. Rupanya aku telah menabraknya karena pikiran sedang melayang.

Gelas tinggi itu pecah, aku yakin isinya adalah wine. Mungkin untuk Tuan Edbert. Pelayan itu membersihkan setelah aku mengangguk. Kehidupan yang benar-benar berubah, semua orang memang menghargai kita jika memiliki banyak uang.

Aku jadi ingat pada seorang sahabat. Sejak SMA dan kuliah dia beberapa kali minta tolong, entah berupa tenaga atau uang dan aku akan membantu dengan perasaan senang dan ikhlas. Akan tetapi, ketika Mas Zaki cacat dan aku ingin meminjam uang, dia menolak dengan tegas.

"Aku tidak bisa, Tyas. Uang itu kalau sudah dipinjam sama teman, bakal susah ngebalikinnya. Apalagi sekarang suami kamu dipecat, mau bayar pakai apa?" Itu jawaban Sarah, sahabatku.

Padahal ketika Sarah meminjam uang, aku bahkan memberi senggang waktu atau mengikhlaskan begitu saja. Ini bukan masalah minta balas budi, tetapi saling membantulah.

"Nona?"

"Eh, iya?" Aku mengerjap berulang kali. "Apa?"

"Pak Damar sudah menunggu sejak tadi, hendaknya Nona masuk ke dalam mobil." Maria tersenyum.

***

Sesampainya di rumah setelah perjalanan panjang, aku langsung masuk setelah mengucap salam sekalipun tanpa jawaban sementara Pak Damar sudah kembali melajukan mobil entah ke mana, yang pasti tempat tinggal sudah disediakan Tuan Edbert untuk mengawasiku.

Hari sudah mendekati magrib, aku tersenyum lega ketika melihat Lia sedang disuapi Mbak Utami. Dia melakukan itu pasti karena sudah menerima uang. Mas Zaki tidak terlihat, aku jadi khawatir padanya.

"Lia!" panggilku dengan suara serak menahan rindu.

Gadis kecil berusia dua tahun itu menoleh, lalu berlari mendekat dan menenggelamkan diri dalam pelukanku. Ibu, Mbak Utami dan Mas Bayu ikut menoleh dengan raut wajah bingung. Pasti mereka mengira aku telah kabur dari sana.

"Mama dari mana saja?"

Aku mencium dahi Lia. "Mama habis kerja, Sayang. Hari ini senang gak?"

"Tyas!" Tiga ular berbisa itu mendekat, tatapan mereka menyalak tajam.

"Iya, Bu?"

"Kenapa kamu pulang ke sini? Harusnya tinggal di rumah Tuan Edbert. Apa kamu kabur?" Ibu melipat kedua tangan di depan dada.

"Ibu tenang saja, aku tidak mungkin kabur. Tuan Edbert memberiku waktu sepekan sebelum kembali ke sana." Aku menjawab santai. Namun, untuk alasan mereka tidak perlu tahu atau uang itu akan habis.

"Dek?" Suara yang sangat aku rindukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status