Share

Bab 7

Tentu saja. Aku bahkan bisa melenyapkan keluargamu kalau benar menipuku." Tuan Edbert tersenyum sinis, kemudian kembali berdiri mendekat padaku.

Tangan kananku diraihnya, menuntun ke sofa dekat jendela. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kekar Tuan Edbert menyibak rambutku, lalu mengelus leher ini sangat lembut.

"Kita harus terbiasa seperti ini agar kamu tidak malu jika sudah menjadi istriku. Setelah menikah, jangan memanggilku Tuan Edbert lagi. Aku ingin panggilan yang lebih romantis," bisik Tuan Edbert, lalu memberi gigitan kecil di telingaku.

Jujur, ini sangat menggelikan. Seorang istri yang telah berkhianat pada suaminya yang lumpuh. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak bisa menerima perlakuan lelaki kaya di depanku hanya saja ... entahlah.

Tuan Edbert memegang daguku, sehingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sesaat aku sadar kalau dia mendekat hendak mencium bibir ini, beruntung aku lekas memalingkan wajah. Sekalipun nanti harus melakukan hal yang lebih, tetapi sekarang bukan waktunya.

Aku mungkin bisa meminta Mas Zaki menceraikanku dengan mencari alasan yang masuk akal agar pengkhianatan dan dosa ini tidak pernah terjadi. Mungkin ibu mertua bisa membantu atau juga Mbak Utami.

Menjadi istri simpanan sama sekali bukan keinginanku, ini adalah paksaan lantas apakah hanya aku yang menanggung dosa sebesar ini? Sungguh ini adalah pekerjaan yang paling memalukan dan aku pernah memarahi teman kuliah karena jadi kekasih gelap bos perusahaan.

Ya, sebenarnya aku pernah kuliah.

"Apa kamu menolakku, Tyas?" Wajah Tuan Edbert memerah.

"Maaf, Tuan. Aku bukan menolak, tetapi masih malu. Mungkin kita bisa melakukan itu ketika sudah menikah nanti." Aku menjawab dengan sedikit keberanian. Jika terus lemah, pasti dia akan memangsaku dengan mudah.

"Kenapa harus malu, bukankah pacarmu pernah mereguk manisnya madu yang ada padamu?"

Jleb!

Kalimat Tuan Edbert sangat melukai hati. Andai saja dia tahu kalau keperawananku direnggut suami sendiri, mungkin dia akan malu pada prasangkanya sendiri, sebaliknya nyawa ini akan melayang. Semua demi Lia, aku tidak ingin dia tumbuh tanpa sosok ibu.

Raut wajah Tuan Edbert berubah. Aku ketakutan, mungkin ini yang dimaksud Pak Damar. Dia pun menghadiahi banyak cumbuan di wajahku. Sekalipun berusaha menghindar, tetap saja kalah karena kedua tangan sudah dikunci dengan gerak cepat.

Aku telah ternoda, bahkan bibir ini dikulum dengan kasar. Air mata mengalir deras, ada perih yang merajai hati mengingat diri yang berselimut dosa.

"Kamu harus ikut perintahku atau harus menyaksikan bagaimana tersiksanya keluargamu!" ancam Tuan Edbert sambil menekan wajahku kasar.

"Iya, Tuan. Aku akan menurut."

Tuan Edbert berdiri, kemudian memberi isyarat agar aku duduk di kursi semula. Ketika kami saling berhadapan, aku bisa melihat senyum yang sangat ramah tercetak indah di bibirnya.

"Bibirmu manis, aku menyukainya. Hanya saja perlu perawatan. Kecantikan yang tertutupi sangat tidak kusukai. Aku akan memberimu uang, ada nomor rekening?"

Sebenarnya kalimat Tuan Edbert bisa saja terdengar pujian bagi orang lain, tetapi untuk perempuan yang telah bersuami adalah hinaan. Aku sadar telah menjatuhkan harga diri Mas Zaki demi uang dan rencana dari ibu, kakak dan iparnya sendiri.

Mungkin aku bisa meminta tolong pada Tuan Edbert untuk melawan mereka ketika lelaki itu telah jatuh cinta padaku. Ini hanya kemungkinan kecil karena aku tahu selera Tuan Edbert sangat tinggi, lagi pula dia telah menikah dengan perempuan yang mungkin sangat dicintai.

Hanya ada rekening Mandiri yang aku miliki sejak menjadi mahasiswi dulu. Aku menuliskan beberapa digit di kertas putih dengan tinta biru. Tyas Aryani. Itu nama yang tertulis sebagai pemilik rekening.

"Aku akan men-transfer jumlah yang lumayan banyak, rahasiakan dari keluargamu yang mata duitan itu!" perintah Tuan Edbert.

Jujur saja, aku tidak mengerti kenapa dia mengatakan hal itu. Tentu Tuan Edbert mengira aku putri kandung ibu, jadi tidak menimbulkan kecurigaan. Entah drama apa saja yang sudah terjadi.

"Sekarang kamu boleh ke luar. Bawa barang-barangmu itu ke kamar yang sudah disediakan!" Tuan Edbert berdiri, lalu melangkah cepat ke pintu dan membukanya lebar-lebar.

Aku tidak mengerti, dia bahkan mempersilakanku layaknya putri raja. Maria yang berdiri di depan pintu gegas tersenyum, lalu menuntunku ke kamar. Rupanya kamar yang di maksud ada di lantai dua. Kami harus menaiki beberapa anak tangga.

Sesampainya di kamar, aku terkagum-kagum karena ruangan sangat luas dengan bad king size berwarna keemasan. Sepertinya keberuntungan berpihak karena Maria bilang ini bukan kamar Tuan Edbert, seolah pelayan cantik itu bisa membaca pikiranku.

"Tuan tidak suka sekamar dengan siapa pun, kecuali Nyonya Aluma, Nona," jelas Maria.

"Apa Nyonya Aluma itu cantik?"

"Tentu saja. Nyonya Aluma itu laiknya bidadari yang turun ke bumi. Dia sangat memperhatikan kecantikannya bahkan kuku pun tidak boleh lecet. Namun, sifatnya yang pemarah membuat nyali kami menciut ketika bertemu."

"Apa dia pernah datang ke sini?"

"Ini adalah rumah kedua Tuan Edbert, Nyonya Aluma sangat jarang untuk datang ke sini. Dia terlalu sibuk perawatan atau jalan-jalan ke mancanegara. Tuan tidak suka perempuan seperti itu, tetapi hatinya begitu cinta." Maria tersenyum. Sepertinya dia sangat paham dengan sifat majikannya.

Kalau diperhatikan, Maria ini jauh lebih cantik daripada aku. Ingin bertanya, mengapa sampai bekerja sebagai pelayan, aku ragu. Mungkin itu termasuk mengulik pribadi seseorang.

"Kita bisa berteman?" tanyaku pada Maria.

"Tentu saja jika Nona menginginkan itu."

"Panggil saja Tyas!"

Maria menggeleng pelan, lalu menjelaskan bahwa tidak boleh memanggil kekasih atau istri Tuan Edbert dengan menyebut nama saja. Aku mengangguk paham, semua karena pekerjaan padahal bisa jadi kami seumuran.

Aku menata pakaian dalam lemari. Ini semua pakaian baru yang pernah aku beli ketika Mas Zaki masih bekerja. Aku juga membawa beberapa daster untuk menutupi kebohongan kalau pekerjaan yang sedang aku jalani tidak seperti yang diketahui suamiku.

"Tuan Edbert itu umurnya berapa?"

"32 tahun."

Aku menghentikan aktivitas, lalu menatap Maria tidak percaya. Seorang lelaki yang rupawan itu ternyata sudah berkepala tiga. Dia sangat kaya, mungkin menghabiskan banyak uang untuk perawatan. Oke, ini hal yang wajar.

"Tyas!" Suara berat itu mengagetkanku. Maria melangkah mundur begitu Tuan Edbert masuk kamar. Kedua tangannya tersembunyi dalam kantong celana.

"Iya, Tuan?"

"Aku sudah men-transfer uang ke rekeningmu. Gunakan dengan baik dan kamu harus cantik dalam sepekan. Hari ini kamu bisa pergi ke salon diantar Pak Damar. Jangan berharap untuk kabur karena kamu sudah terkunci dalam genggamanku!"

Aku menelan saliva. "Iya, Tuan."

"Sekarang pulanglah, pakaianmu biar di sini saja. Aku tidak tahan melihat kecantikan yang tersembunyi!" Tuan Edbert kemudian meninggalkan kamar ini dengan ekspresi wajah datar.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arifrahman Muhamma
dia pernah belajar bukan orang bodxh ,tapi bisa di manipulasi mertua sampai segitunya,,ini kan cerita fiksi maklum saja lah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status