Tentu saja. Aku bahkan bisa melenyapkan keluargamu kalau benar menipuku." Tuan Edbert tersenyum sinis, kemudian kembali berdiri mendekat padaku.
Tangan kananku diraihnya, menuntun ke sofa dekat jendela. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kekar Tuan Edbert menyibak rambutku, lalu mengelus leher ini sangat lembut.
"Kita harus terbiasa seperti ini agar kamu tidak malu jika sudah menjadi istriku. Setelah menikah, jangan memanggilku Tuan Edbert lagi. Aku ingin panggilan yang lebih romantis," bisik Tuan Edbert, lalu memberi gigitan kecil di telingaku.
Jujur, ini sangat menggelikan. Seorang istri yang telah berkhianat pada suaminya yang lumpuh. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak bisa menerima perlakuan lelaki kaya di depanku hanya saja ... entahlah.
Tuan Edbert memegang daguku, sehingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sesaat aku sadar kalau dia mendekat hendak mencium bibir ini, beruntung aku lekas memalingkan wajah. Sekalipun nanti harus melakukan hal yang lebih, tetapi sekarang bukan waktunya.
Aku mungkin bisa meminta Mas Zaki menceraikanku dengan mencari alasan yang masuk akal agar pengkhianatan dan dosa ini tidak pernah terjadi. Mungkin ibu mertua bisa membantu atau juga Mbak Utami.
Menjadi istri simpanan sama sekali bukan keinginanku, ini adalah paksaan lantas apakah hanya aku yang menanggung dosa sebesar ini? Sungguh ini adalah pekerjaan yang paling memalukan dan aku pernah memarahi teman kuliah karena jadi kekasih gelap bos perusahaan.
Ya, sebenarnya aku pernah kuliah.
"Apa kamu menolakku, Tyas?" Wajah Tuan Edbert memerah.
"Maaf, Tuan. Aku bukan menolak, tetapi masih malu. Mungkin kita bisa melakukan itu ketika sudah menikah nanti." Aku menjawab dengan sedikit keberanian. Jika terus lemah, pasti dia akan memangsaku dengan mudah.
"Kenapa harus malu, bukankah pacarmu pernah mereguk manisnya madu yang ada padamu?"
Jleb!
Kalimat Tuan Edbert sangat melukai hati. Andai saja dia tahu kalau keperawananku direnggut suami sendiri, mungkin dia akan malu pada prasangkanya sendiri, sebaliknya nyawa ini akan melayang. Semua demi Lia, aku tidak ingin dia tumbuh tanpa sosok ibu.
Raut wajah Tuan Edbert berubah. Aku ketakutan, mungkin ini yang dimaksud Pak Damar. Dia pun menghadiahi banyak cumbuan di wajahku. Sekalipun berusaha menghindar, tetap saja kalah karena kedua tangan sudah dikunci dengan gerak cepat.
Aku telah ternoda, bahkan bibir ini dikulum dengan kasar. Air mata mengalir deras, ada perih yang merajai hati mengingat diri yang berselimut dosa.
"Kamu harus ikut perintahku atau harus menyaksikan bagaimana tersiksanya keluargamu!" ancam Tuan Edbert sambil menekan wajahku kasar.
"Iya, Tuan. Aku akan menurut."
Tuan Edbert berdiri, kemudian memberi isyarat agar aku duduk di kursi semula. Ketika kami saling berhadapan, aku bisa melihat senyum yang sangat ramah tercetak indah di bibirnya.
"Bibirmu manis, aku menyukainya. Hanya saja perlu perawatan. Kecantikan yang tertutupi sangat tidak kusukai. Aku akan memberimu uang, ada nomor rekening?"
Sebenarnya kalimat Tuan Edbert bisa saja terdengar pujian bagi orang lain, tetapi untuk perempuan yang telah bersuami adalah hinaan. Aku sadar telah menjatuhkan harga diri Mas Zaki demi uang dan rencana dari ibu, kakak dan iparnya sendiri.
Mungkin aku bisa meminta tolong pada Tuan Edbert untuk melawan mereka ketika lelaki itu telah jatuh cinta padaku. Ini hanya kemungkinan kecil karena aku tahu selera Tuan Edbert sangat tinggi, lagi pula dia telah menikah dengan perempuan yang mungkin sangat dicintai.
Hanya ada rekening Mandiri yang aku miliki sejak menjadi mahasiswi dulu. Aku menuliskan beberapa digit di kertas putih dengan tinta biru. Tyas Aryani. Itu nama yang tertulis sebagai pemilik rekening.
"Aku akan men-transfer jumlah yang lumayan banyak, rahasiakan dari keluargamu yang mata duitan itu!" perintah Tuan Edbert.
Jujur saja, aku tidak mengerti kenapa dia mengatakan hal itu. Tentu Tuan Edbert mengira aku putri kandung ibu, jadi tidak menimbulkan kecurigaan. Entah drama apa saja yang sudah terjadi.
"Sekarang kamu boleh ke luar. Bawa barang-barangmu itu ke kamar yang sudah disediakan!" Tuan Edbert berdiri, lalu melangkah cepat ke pintu dan membukanya lebar-lebar.
Aku tidak mengerti, dia bahkan mempersilakanku layaknya putri raja. Maria yang berdiri di depan pintu gegas tersenyum, lalu menuntunku ke kamar. Rupanya kamar yang di maksud ada di lantai dua. Kami harus menaiki beberapa anak tangga.
Sesampainya di kamar, aku terkagum-kagum karena ruangan sangat luas dengan bad king size berwarna keemasan. Sepertinya keberuntungan berpihak karena Maria bilang ini bukan kamar Tuan Edbert, seolah pelayan cantik itu bisa membaca pikiranku.
"Tuan tidak suka sekamar dengan siapa pun, kecuali Nyonya Aluma, Nona," jelas Maria.
"Apa Nyonya Aluma itu cantik?"
"Tentu saja. Nyonya Aluma itu laiknya bidadari yang turun ke bumi. Dia sangat memperhatikan kecantikannya bahkan kuku pun tidak boleh lecet. Namun, sifatnya yang pemarah membuat nyali kami menciut ketika bertemu."
"Apa dia pernah datang ke sini?"
"Ini adalah rumah kedua Tuan Edbert, Nyonya Aluma sangat jarang untuk datang ke sini. Dia terlalu sibuk perawatan atau jalan-jalan ke mancanegara. Tuan tidak suka perempuan seperti itu, tetapi hatinya begitu cinta." Maria tersenyum. Sepertinya dia sangat paham dengan sifat majikannya.
Kalau diperhatikan, Maria ini jauh lebih cantik daripada aku. Ingin bertanya, mengapa sampai bekerja sebagai pelayan, aku ragu. Mungkin itu termasuk mengulik pribadi seseorang.
"Kita bisa berteman?" tanyaku pada Maria.
"Tentu saja jika Nona menginginkan itu."
"Panggil saja Tyas!"
Maria menggeleng pelan, lalu menjelaskan bahwa tidak boleh memanggil kekasih atau istri Tuan Edbert dengan menyebut nama saja. Aku mengangguk paham, semua karena pekerjaan padahal bisa jadi kami seumuran.
Aku menata pakaian dalam lemari. Ini semua pakaian baru yang pernah aku beli ketika Mas Zaki masih bekerja. Aku juga membawa beberapa daster untuk menutupi kebohongan kalau pekerjaan yang sedang aku jalani tidak seperti yang diketahui suamiku.
"Tuan Edbert itu umurnya berapa?"
"32 tahun."
Aku menghentikan aktivitas, lalu menatap Maria tidak percaya. Seorang lelaki yang rupawan itu ternyata sudah berkepala tiga. Dia sangat kaya, mungkin menghabiskan banyak uang untuk perawatan. Oke, ini hal yang wajar.
"Tyas!" Suara berat itu mengagetkanku. Maria melangkah mundur begitu Tuan Edbert masuk kamar. Kedua tangannya tersembunyi dalam kantong celana.
"Iya, Tuan?"
"Aku sudah men-transfer uang ke rekeningmu. Gunakan dengan baik dan kamu harus cantik dalam sepekan. Hari ini kamu bisa pergi ke salon diantar Pak Damar. Jangan berharap untuk kabur karena kamu sudah terkunci dalam genggamanku!"
Aku menelan saliva. "Iya, Tuan."
"Sekarang pulanglah, pakaianmu biar di sini saja. Aku tidak tahan melihat kecantikan yang tersembunyi!" Tuan Edbert kemudian meninggalkan kamar ini dengan ekspresi wajah datar.
"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat."Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan seny
Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah
"Uang apa, Bu? Tyas gak ngirim kecuali buat bayar semua utangnya. Dia kan ngutang sama aku juga waktu Zaki kecelakaan itu!" cebik Mbak Utami kesal. Ibu menatap tidak percaya, baru saja aku ingin melangkah ke kamar tiba-tiba tangan ini dicekal kuat oleh mertua. Aku menoleh. "Ada apa, Bu?" "Zaki mana?" "Baru aja mandi tadi, kenapa?" "Lupakan masalah uang, ibu yakin kamu akan memberi jatah padaku nanti. Sekarang jawab dengan jujur, kamu tidak sedang kabur, kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak kabur, semua demi Mas Zaki dan Lia bukan kalian. Mereka berdua saja yang menganggap aku penting sementara kalian semuanya mata duitan dan Tuan Edbert tahu itu!" Satu tamparan berhasil lolos menyentuh pipiku. Hangat juga perih, tetapi lebih menyakitkan lagi jika kebenaran telah terungkap. Telunjuk ibu mengarah padaku. "Kamu itu menantu durhaka, Tyas! Awas saja kalau ngadu sama Zaki, nyawa kalian akan terancam. Ibu bisa saja melawan suami cacatmu itu, tetapi ada satu alasan sampai membiarkan
Sambil menggendong Lia di pangkuan, aku terus memikirkan cara menyampaikan permintaan cerai agar Mas Zaki tidak tersinggung. Bagaimana pun juga tentu hal ini mengundang kecurigaan.Lelaki itu menatapku lekat penuh cinta dan kerinduan. Hati semakin bimbang, apalagi saat ini dia lumpuh, besar kemungkinan hadir prasangka lain dalam hatinya."Mas, aku ...." Kalimat itu sangat sulit untuk keluar."Kenapa, Dek?""Ada satu syarat, Mas untuk menjadi asisten di rumah Tuan Edbert. Mungkin kamu tidak akan setuju. Aku hanya mencoba menyampaikan siapa tahu ada solusi." Terpaksa aku memulai sebuah kebohongan."Syarat apa?"Aku menelan saliva. "Itu, Mas. Semua pekerja di sana diharuskan belum menikah atau tidak berkeluarga karena nanti kalau kerja bisa gagal fokus." Entah ini logis, aku hanya berharap Mas Zaki mengerti."Lalu?""Mas." Lelaki itu diam, mungkin mencoba menunggu kejelasan dengan sabar. "Apa Mas mau menceraikan aku demi pekerjaan–""Tidak!" tegasnya.Lia kubiarkan duduk di lantai memint
"Mas tahu kapan waktu berlalu begitu cepat?" tanyaku pada Mas Zaki yang sedang menidurkan Lia."Ketika bersamamu." Dia menjawab sambil memberi seulas senyum."Benar, Mas. Bahkan sepekan terasa satu detik." Aku menunduk dengan hati menyimpan perih.Kebahagiaan itu segera sirna karena pada kenyataannya Pak Damar sudah menunggu di ruang tamu. Aku menghela napas berulang kali. Dosa sebagai istri dan hamba masih terus berlanjut."Kamu semakin cantik, Tyas. Apa selama ini melakukan perawatan?"Mas Zaki memang tidak pernah bertanya aku hendak ke mana sepekan ini karena Mbak Utami rajin menemani. Namun, tetap saja perubahan warna kulit yang semakin cerah dan kenyal pun wajah sedikit glowing menimbulkan tanya di benak suamiku."Maafkan aku, Mas. Aku melakukan ini demi kamu agar bisa diterima bekerja di sana. Doakan aku pula agar Tuan Edbert mengerti keadaanku yang telah bersuami."Lelaki itu mengangguk sementara aku membuang pandangan sekilas meratapi diri yang mendapat takdir ini. Ingin beran
Pintu mobil terbuka, aku melangkah pelan menuju rumah yang sangat megah serupa istana itu. Masih menjadi pertanyaan dari mana kekayaan Tuan Edbert ini, mungkinkah karena orangtuanya?Pintu rumah yang tinggi menjulang itu terbuka pelan ketika aku sampai. Maria melangkah cepat menghampiriku dengan senyum merekah indah."Nona, Tuan Edbert sudah menunggu Anda sejak tadi. Silakan!" sambutnya dengan sopan.Aku melangkah mengikuti Maria. Seharusnya dia berdiri di belakang, tetapi aku masih belum hapal ruangan yang ada di sini atau akan tersesat.Maria berhenti melangkah di depan pintu berwarna emas. Aku bingung ini ruangan apa, tetapi sedikit malu untuk bertanya."Tuan Edbert sedang menunggu Nona di dalam," jelas Maria lagi, kemudian meraih handle pintu dan membukanya. Dia menyilakan aku masuk.Jantung berdegup cepat menghadapi kenyataan pahit. Aku melangkah sambil merapalkan doa seperti sedang melihat hantu. Rupanya ini adalah sebuah kamar milik Tuan Edbert. Sangat luas dan megah.Lelaki it
"Selesai," gumam Maria tersenyum lembut. Dia sudah berhenti memainkan sisir hitam itu.Cantik sekali, aku yakin perempuan ini lebih dari kata hebat. Rambut yang disanggul dengan model pita di belakang. Aku jadi terlihat seperti boneka."Sore nanti Nona harus mengubah warna rambut sesuai perintah Tuan Edbert.""Kenapa?""Aku tidak tahu."Tidak berapa lama kemudian, beberapa pelayan wanita masuk membawa paper bag yang banyak. "Simpan semuanya di lemari dan rak sepatu Nona Tyas!" perintah Maria.Mereka menurut, aku melihat beberapa tas branded dan juga sandal rumahan yang cantik dengan bulu-bulu halus. Salah satunya diletakkan Maria di dekat kakiku."Ayo, Nona. Aku mengantar Anda ke kamar Tuan Edbert!" ajak Maria masih dengan senyum manis."Ayo!"Aku berdiri dan melangkah canggung. Selama hidup aku tidak pernah berpenampilan seperti ini apalagi memang bukan dari golongan orang kaya. Semua kebaikan Tuan Edbert patut dihargai, dia tidak bersalah karena mengira diri ini perempuan lajang.Se
Aku membuka mata ketika tangan seseorang menyentuh pipiku lembut, kemudian ditepuk berulang kali. Kedua tangan mengucek mata karena penglihatan sedikit kabur.Ternyata Maria."Maafkan aku, Nona. Tuan Edbert memintaku membangunkan Anda untuk mewarna rambut." Maria memasang air muka sedih."Sekarang pukul berapa?""Pukul empat sore, Nona."Aku gegas bangun, kemudian pergi ke kamar mandi mencuci wajah. Airnya segar seperti mengalir langsung dari gunung. Sekarang aku memang terlihat berbeda padahal baru sepekan kemarin berwajah kusam. Perawatan wajah yang menghabiskan uang berjuta-juta memang memuaskan."Sekarang aku harus melakukan apa, Maria?" tanyaku setelah ke luar. Perempuan itu memakai celemek hitam menutupi kemeja putihnya."Anda duduk di kursi biar aku yang menyiapkan semuanya." Maria lagi-lagi tersenyum ramah.Aku menurut, kemudian duduk di kursi depan meja rias. Setelah memasang topi higlight untuk bleaching, Maria mulai mewarnai. Rupanya sudah mencampur sebelum membangunkanku.