Sementara itu, di sebuah apartemen elit. Sebuah ruangan di gedung itu dengan fasilitas presiden tampak seperti kapal pecah. Barang-barang berceceran hampir memenuhi seluruh ruangan dengan pencahayaan temaram itu.
Salah satu kamar dengan dominan berwarna coklat. Di atas sebuah kasur berukuran besar, tampak dua orang manusia tengah terlelap di bawah gulungan selimut tebal.
Seorang wanita dengan paras cantik perlahan membuka mata. Dilihatnya rupa seorang pria yang masih terlelap di sampingnya.
Wanita itu adalah Viona. Wanita muda itu merapatkan tubuhnya pada tubuh sang pria. Bibirnya menampilkan senyum puas ketika mengingat kejadian beberapa saat lalu.
Sang pria yang tidak lain adalah Alvin sudah memberikan sesuatu yang sangat berharga kepadanya. Meski bukanlah yang pertama. Namun, Viona selalu merasa puas dengan apa yang diberikan pria itu.
Tubuh Alvin sedikit menggeliat. Dia merasakan sebelah tangannya seperti sedang menampung beban. Sorot mata yang belum sepenuhnya terbuka, dia dapat melihat Viona–sang istri siri– telah bergelayut manja di sana.
Keduanya telah menikah siri tiga bulan yang lalu. Akibat sebuah kecelakaan fatal yang dilakukan Alvin.
Awalnya mereka dipertemukan dengan tidak sengaja di sebuah acara salah satu klien Alvin, di mana Viona yang berprofesi sebagai seorang model menjadi brand ambassador produk itu.
Kecanggungan di antara keduanya perlahan sirna menjadi sebuah keakraban. Mengingat mereka adalah teman lama sekaligus satu alumni di sebuah sekolah.
Alvin juga mengetahui jika Viona adalah mantan kekasih dari Alvaro, sang kakak. Pun penyebab hubungan keduanya harus berakhir. Saat itu Viona lebih memilih melanjutkan studi serta karir modelnya di Paris, dari pada harus mendampingi Alvaro yang saat itu sedang merintis karirnya.
Karena perjanjian bisnis yang mengikat keduanya, membuat Alvin dan Viona sering bertemu. Awalnya mereka hanya membahas pekerjaan. Namun, pembahasan itu perlahan merambat ke urusan pribadi masing-masing.
Meski Viona mengetahui jika Alvin telah memiliki seorang istri, tak menjadikan wanita itu merasa canggung kepada Alvin. Pesona pria itu tidak kalah dari Alvaro. Selain menjadikan Alvin tempat bercerita, wanita itu juga sering meminta Alvin untuk menemaninya berlibur ke luar kota.
Siapa sangka, Alvin justru menyambut baik apa yang dilakukan wanita itu. Hubungan keduanya yang semakin intens, menjadikan mereka lebih merasa nyaman dari sekedar sebuah pertemanan.
Puncaknya adalah, saat Viona mengaku dirinya hamil. Wanita itu tidak mau menanggung malu seorang diri. Dia mengancam akan mendatangi kantor Alvin untuk melakukan konferensi pers, serta menunjukkan kartu hitam Alvin kepada mereka.
Alvin yang tidak ingin nama baiknya tercoreng, terpaksa menuruti kemauan sang kekasih. Pernikahan itu dilakukan secara tertutup dari semua media, bahkan dari Nayla.
“Kau sudah bangun, Sayang?” ucap Alvin lirih. Pria itu mengecup puncak kepala wanitanya.
Viona memeluk erat tubuh sang suami. “Terima kasih telah menuruti keinginanku,” balas Viona. Raut wajah bahagia terpancar dari wajah wanita itu.
Dia merasa sangat senang ketika bisa menahan Alvin untuk tidak pulang menemui Nayla.
Wanita mana yang rela berbagi suami dengan wanita lain, meski dirinya bukanlah pemilik sah pria itu.
Viona selalu menahan Alvin dengan menjadikan peristiwa kegugurannya adalah kesalahan Alvin yang kurang memperhatikan dirinya.
“Apa kau lupa, bagaimana aku kehilangan calon anak kita? Itu semua karena siapa? Semuanya adalah salah Nayla. Kau terlalu memprioritaskan wanita itu. Kau selalu mengabaikan aku dan calon anakmu yang seharusnya mendapatkan waktu dan perhatianmu lebih lama!” geram Viona dengan suaranya yang meninggi malam itu.
Alvin tak banyak membantah permintaan dari wanita yang dicintainya. Pria itu berusaha membujuk Viona untuk mengerti keadaannya, jika dirinya tidak mungkin meninggalkan Nayla terlalu lama dan terlalu sering.
Namun, Viona yang keras kepala dan pandai merayu dapat menaklukkan dengan mudah seorang Alvin Rayes. Dia mampu membuat Alvin bertekuk lutut dihadapannya dengan sebuah ancaman.
“Aku tidak mau tahu. Sebagai gantinya kau harus lebih mengunjungiku. Buat calon anak itu hadir kembali dalam kandunganku. Jika tidak …, kau akan tahu apa akibatnya.” Wanita itu tersenyum menyeringai saat mengancam.
Tujuan Viona untuk mengandung anak Alvin hanya satu. Wanita itu menginginkan seluruh harta keluarga Rayes dengan memberikan keturunan kepada mereka. Tentu saja, hal itu tidaklah diketahui oleh Alvin. Pria itu hanya mengira Viona sangat mencintainya dan tidak mau kehilangan dirinya.
“Viona.” Alvin memanggil dengan suaranya yang lembut.
Wajah sang wanita mendongak. Dilihatnya wajah tampan suami Nayla yang kini menatapnya hangat.
“Bolehkah aku pulang sekarang? Aku rasa janjiku untuk pulang hari ini kepada Nayla, harus kupenuhi,” pinta Alvin dengan hati-hati mengatakannya kepada Viona. Meski dia tahu jika Viona tentu saja tidak akan rela.
“Apa? Kau akan menemuinya?” geram wanita itu. Manik matanya membeliak mendengar keputusan Alvin.
Dengan cepat tubuh yang hanya terbalut selimut itu langsung menjauh dari Alvin. Wajah Viona berubah terlihat marah dengan rahang yang mengetat.
“Sayang, dengar dulu. Aku hanya tidak mau membuat Nayla merasa curiga dengan kepergianku yang terlalu lama. Apalagi belum lama aku memberinya kabar ada masalah dalam pekerjaanku di luar kota. Dan kali ini alasan apalagi yang akan aku berikan? Bisa-bisa kepercayaan dia padaku akan hilang.” Tangan kekar pria itu membelai lembut lengan Viona saat membujuk wanita itu.
Viona tetap bergeming. Wanita itu tidak rela melepas kepergian Alvin. Di balik selimut tebalnya, tangan itu mengepal.
“Aku di sini juga membutuhkan bantuan kamu, Mas. Aku masih trauma dengan kepergian calon anak kita. Seharusnya kamu mengerti psikis-ku yang masih belum baik-baik saja. Bukan malah mengurusi wanita itu!” berang Viona berusaha mengutarakan kemarahan setiap kali Alvin mengingat pulang kepada Nayla.
Ini yang membuat Alvin selalu merasa bersalah. Viona selalu mengungkit kejadian anak mereka yang harus tiada, bahkan sebelum calon bayi itu terlahir ke dunia.
Alvin ingat betul kejadian itu. Hari di mana dirinya lebih memilih menepati janji kepada Nayla untuk merayakan anniversary pernikahan mereka yang pertama. Keduanya memilih berlibur ke luar negeri.
Saat itu Viona melarangnya, wanita itu bersikukuh untuk mempertahankan Alvin agar tetap bersamanya.
Beberapa hari setelah kepergian Alvin. Dirinya mendapat kabar jika Viona mengalami keguguran, bahkan beritanya sudah sampai ke media sosial.
Merasa bersalah. Alvin segera mengurus kepulangan dirinya bersama Nayla dengan alasan pekerjaan.
Sejak saat itu, dirinya berjanji akan selalu menemani Viona yang masih terguncang akibat kepergian calon anak mereka. Akan tetapi, tidak mungkin juga dia mengesampingkan Nayla. Keduanya sekarang memiliki hak yang sama sebagai istri Alvin.
“Sayang, untuk saat ini, tolong mengertilah kondisiku. Ini hanya sementara. Setelah ini aku akan selalu memprioritaskan kamu dari segalanya, kamu satu satunya wanita yang aku sayang. Kamu tahu apa tujuanku menikahi Nayla. Setelah tujuan itu tercapai, aku janji selamanya kita akan selalu sama-sama.” Bujukan Alvin perlahan mampu membuat sorot mata tajam Viona meredup.
Wanita itu kini mentap Alvin dengan tatapan yang lebih lembut. Viona mengetahui apa rencana Alvin di balik cintanya terhadap Nayla. Tentu saja, ada campur tangan dirinya untuk melancarkan aksi itu.
Alvin kembali meraih tubuh wanitanya ke dalam dekapannya sembari menghujani pujian-pujian yang tentu membuat wanita dengan kulit glowing itu semakin mabuk kepayang. Mereka mengulangi kegiatan beberapa saat lalu sebagai penutup perjumpaan keduanya.
Namun, ketukan dari luar membuat Viona kembali berang. Hingga dengan cepat wanita itu melempar
sebuah vas bunga di atas nakas ke arah pintu mengakibatkan suara yang begitu gaduh.
Nayla terus merasa kewalahan menuruti keinginan Alvaro untuk ikut bersama dirinya. Seharusnya sore tadi setelah jam pulang kantor wanita itu sudah berada di dalam rumahnya.Entah karena hormon wanita atau sesuatu hal yang lain. Tubuhnya merasakan sangat lelah, meskipun pekerjaan yang diberikan Alvaro selaku atasan tidaklah sebanyak dulu.Kepalanya kerap kali merasa pusing, bahkan teka teki keberadaan Alvin, sang suami belum dia ketahui. Nayla juga merasa telah tertipu oleh Alvaro. Pria itu telah berjanji akan memberitahu di mana keberadaan Alvin. Namun, sampai detik ini Nayla tak mendapatkan kabar baik dari pencarian Alvaro.“Sudah, Kak. Aku capek. Kakak enak tidak hamil! Aku yang sampai engap begini!” Nayla menyentak tangan Alvaro yang sedari mengandengnya. Nada bicara wanita itu terdengar ketus dengan nafas yang terengeh.Di sinilah mereka. Di sebuah taman yang berada di tengah kota. Karena hari sudah memasuki akhir pekan, mengakibatkan tempat itu sedikit ramai.Alvaro membiarkan Na
Nayla kembali berdecak saat Alvaro hanya diam tanpa ingin menjawab pertanyaannya.Dalam pikiran wanita itu, pria di depannya seperti bunglon. Dia dapat berubah sewaktu-waktu. Kadang baik, tapi cerewet. Terkadang tegas dan ngeselin, lalu sekarang menjadi pendiam seolah banyak beban dalam pikirannya.“Kak!”“Auw!” Seketika pria tampan itu menjerit saat ujung hells yang dikenakan Nayla menginjak sepatu mahalnya.Nayla tertawa, baru pertama kali ini dia melihat wajah Alvaro yang menurut orang lain kasihan.Tanpa ingin melepas rengkuhan pada pinggang wanita itu, Alvaro mengusap bagian yang sakit di kakinya.“Kamu itu calon ibu dari anakku yang durhaka.” Alvaro menunduk lalu mengusap perut Nayla. “Kamu lihat, Nak. Mommy begitu jahat sama Daddy. Kamu janji, ya, akan menyayangi Daddy. Tidak seperti Mommy.” Alvaro mendongak. Dia dapat melihat raut wajah terkejut Nayla, alis wanita itu hampir menyatu.“Kakak kenapa lakuin hal itu?” ucapnya keberatan. Hatinya sedikit sesak, seharusnya yang melak
Nayla tidak menyadari jika Alvaro telah membukakan pintu untuknya. Tatapan wanita cantik dengan memakai jas Alvaro itu masih bergeming di tempatnya dengan tatapan mata yang entah.“Ayo, turun! Udah mulai hujan, nih!” sentak Alvaro membuyarkan lamunan Nayla.Sungguh Nayla tidak nyaman dengan nada bicara Alvaro. Benar saja hari mulai hujan. Hembusan angin dingin mulai menerpa kulit Nayla meski telah tertutup jas tebal Alvaro.Namun, itu semua tidak berpengaruh apa-apa. Justru ucapan Alvaro lah yang menjadi hawa dingin untuk wanita itu. Nayla terus saja mengumpat kenapa pria itu berubah sedingin itu.Nayla turun dengan Alvaro memayungi kepalanya menggunakan telapak tangan kekarnya. Keduanya berlari pelan menuju teras rumah.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Nayla kepada pria yang tidak lain adalah Alvin, suaminya.Pria itu telah pulang beberapa waktu lalu tanpa memberitahu Nayla. Apalagi? Tujuannya adalah ingin memberi kejutan kepada sang istri.Namun, entah kenapa kepulangan Alvin yang te
Nayla kini menjadi salah tingkah. Dia sesalkan keinginan yang terlontar begitu saja kepada Alvin. Sungguh jika diberi cermin, sudah pastilah akan memerah kedua pipi wanita itu.Alvin terkekeh mendapati sikap manja yang ditunjukkan sang istri. Permintaan itu justru membuatnya semakin senang.“Permintaanmu sungguh sangat lucu, Sayang. Tapi tidak apa, mungkin ini permintaan dari calon anak kita yang ingin lebih dekat dengan uncle-nya.” Pria yang tak lama lagi akan bergelar ayah itu mengusap perut Nayla pelan. “Tapi aku justru senang mendengar permintaan itu. Tidak apa …, tidak masalah jika kau ingin duduk di sampingnya.” Dengan penuh hati-hati tangan kekarnya menuntun sang istri untuk menempati kursi kosong di samping Alvaro “Kak, jaga anakku. Dia ingin lebih dekat denganmu sebagai uncle-nya. Tapi, jangan ajarkan dia memiliki sikap dingin dan tidak berperikemanusiaan!” canda Alvin setelah Nayla berhasil duduk di samping pria itu.Alvaro tersenyum miring. “Tenang aja, Vin. Anak itu pinta
Hari berlalu. Seperti biasa Nayla bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Blazer berwarna abu tua serta celana dengan warna senada dia pilih sebagai busana kerja kali ini.Wanita yang memang telah memiliki kecantikan alami mematut diri di depan cermin hanya untuk membubuhkan riasan tipis yang tidak terlalu mencolok. Hal itu hanya untuk wajahnya agar terlihat semakin segar.Nayla terlonjak ketika sebuah tangan kekar melingkar di perutnya. Wajahnya refleks tersenyum, dia mengingat malam itu saat bersama Alvaro.“Selamat pagi cantikku, Sayang.” Ucapan Alvin membuyarkan lamunan Nayla. Perlahan senyum wanita itu sedikit memudar.“Mas, kamu sudah bangun?” tanya Nayla menutupi kecanggungan. Entah apa yang wanita itu pikirkan. Kenapa dia justru mengharapakan jika Alvaro yang akan melakukan hal manis pagi ini?“Sudah, dong, Sayang. Malahan Mas tidak kalah wanginya dengan tubuh candumu ini.” Alvin memuji sembari mencium puncak kepala sang istri. Dagunya masih setia bersandar di pundak Nayla.Menden
Nayla membeliak. Raut wajahnya berubah sangat terkejut. Alvaro cuti? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Nayla bergeming sembari hatinya terus meracau tentang kepergian Alvaro.“Emm …, apa kamu tahu kenapa dia cuti, Ras?" tanya Nayla canggung.Wanita yang sedang sibuk memilah beberapa dokumen itu menghentikan pekerjaannya. Dia menoleh ke arah Nayla sekilas.“Apa Bu Nayla tidak diberitahu soal ini? Kita ‘kan sama-sama sekertarisnya, Bu.” Nada bertanya Laras terdengar sangat terkejut. Sorot matanya memicing menatap Nayla.Nayla yang sedang duduk di kursinya mengembuskan napas pelan. Dia dorong sedikit kursi kerjanya ke belakang untuk melonggarkan jarak dengan meja. Jujur saja bila terlalu lama duduk tegak dia akan merasakan sesak, terutama di bagian perutnya.“Maka dari itu. Aku tidak tau akan rencana cuti dia, sebab dia tak memberitahuku,” pungkas Nayla.Terlihat wanita dengan rambut sebahu itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Mulutnya membulat sembari kepalanya yang mengangguk.“Menurut em
Nayla merebahkan diri di atas ranjang. Wajahnya dia tenggelamkan pada sebuah bantal di atas wajahnya.Wajahnya terlihat sangat lelah sekali meski seharian tak ada pekerjaan berarti baginya.Air matanya telah lolos membanjiri pipi tanpa diminta. Hatinya merasa sedikit lega setelah menyampaikan semua yang menjadi beban di dalam dada. Namun, tetap saja dia tak bisa menahan Alvin agar tetap bersamanya. Suaminya itu sungguh sangat egois, lalu untuk apa dia dulu melamar kemudian menikahinya jika Nayla hanya menjadi istri pajangan saja. Seorang istri yang hanya untuk melengkapi status Alvaro pada kartu identitasnya.Di saat kesedihan melanda seperti ini. Wanita cantik yang masih lengkap dengan pakaian kantor yang melekat pada tubuhnya itu biasanya akan melampiaskan kekesalannya kepada Alvaro. Entah dia akan memarahi tanpa sebab pria itu, ataupun hanya meminta dirinya untuk berkeliling kota sampai rasa kesal dalam hatinya sedikit mereda.Akan tetapi, kali ini sungguh sangat berbeda. Alvaro p
Nayla bangun dengan terburu-buru ketika melihat matahari mulai meninggi. Rupanya semalaman dia tertidur di sofa. Laptop Alvin pun masih setia menyala seperti saat sebelumnya.Untung saja hari ini hari libur. Sehingga wanita itu tidak perlu meminta izin ke pihak kantor sebab keterlambatan dirinya yang sungguh sangat tidak disengaja.Nayla kembali teringat akan niatnya semalam. Seharusnya dia mendatangi Viona malam tadi untuk meminta klarifikasi. Namun, rupanya rasa lelahnya mengalahkan segalanya.“Aku harus segera pergi ke apartemen itu. Aku harus memastikan jika inisial V itu adalah Viona atau bukan?”Setelah membersihkan diri. Dengan cepat, Nayla menyambar tas selempangnya. Wanita itu segera menuju apartemen Viona dengan menggunakan jasa sopir.Bukan tanpa sebab Nayla menggunakan sopir rumah Alvin. Biasanya wanita itu selalu pergi sendiri, tanpa bantuan siapapun.Namun, berbeda kali ini. Entah kenapa, perutnya kala itu mengalami sedikit kram. Tumben sekali calon anaknya itu seolah re