Share

Bab 6 - Dia Anakku

“Menjadi wanitanya? Apa itu artinya aku harus jadi bagian hidup Kak Alvaro? Aku harus berselingkuh dengan Kakak iparku sendiri?” gumam wanita itu dalam hati.

Nayla dapat melihat sorot mata serius dari sang Kakak ipar. Pria itu seolah meyakinkan Nayla, jika Alvaro mengetahui di mana keberadaan Alvin.

Penawaran dari Alvaro seolah memanfaatkan kondisinya saat ini. Entah rencana licik apa yang ada dalam benak pria itu.

“Saya menerima tawaran yang Kakak ucapkan beberapa hari lalu,” cetus Nayla saat sarapan bersama Alvaro.

Tangan pria itu dengan cepat menghentikan kegiatannya. Ekor matanya melirik sekilas ke arah Nayla tanpa wanita itu sadari. Bibirnya perlahan tersenyum sinis.

“Kau sudah memikirkannya? Apa kau tidak merasa menyesal nantinya?” balas pria itu tanpa menoleh ke arah Nayla. Tangannya dengan santai kembali memotong roti isi di depannya.

Nayla menggeleng singkat. “Jikalau tawaran itu sudah tidak ada, aku bisa mencari suamiku sendiri.”

Alvaro kembali terkekeh mendengar jawaban sinis dari raut wajah Nayla yang sudah cemberut. Pria itu merasa puas saat dirinya berhasil membuat sang adik merajuk karena ulahnya.

“Penawaran itu masih berlanjut sampai kau sendiri menyetujuinya. Jadi, sampai kapanpun kau tidak boleh menolak.” Pria itu berkata sembari berdiri dari duduknya. Dia hendak meninggalkan Nayla di meja makan. Wajah wanita itu masih seperti semula, cemberut sekaligus sedikit menunduk.

Namun, sebelum dia melangkah pergi, Alvaro berkata, “Apa kau sudah meminum vitamin kandungan?” tanya Alvaro memastikan.

Wanita itu tak menjawab, dia lantas melanjutkan sarapannya yang hanya tinggal beberapa suap. Nayla kembali heran dengan sikap pria di depannya yang seolah berubah-ubah itu. Terkadang dia peduli. Kerap kali merasa acuh.

“Untuk apa dia mengetahui keadaan anak dalam kandunganku? Sedangkan dia tahu  di mana keberadaan seseorang yang jauh lebih berhak pada calon anak ini?” gumam Nayla.

“Aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa pada calon anakku?”

Mendengar itu, Nayla kembali tertegun. Wanita itu menghentikan tangan dengan suapan terakhirnya di udara.

Bisa-bisanya dia berpikir bahwa anak yang ada dalam kandungannya adalah anak pria itu. Sedikitpun, pria itu tidak pantas mengatakan hal seperti itu. Kini mata Nayla menatap tajam kepada sang Kakak ipar.

“Kenapa Kakak bicara seperti itu? Saya wanita bersuami, Kak. Sudah pasti ini anak suami saya!” berang Nayla. Wanita itu sungguh tidak terima jika Alvaro mengaku jika anak dalam perutnya adalah anak dia.

Alvaro kembali duduk di kursinya semula. Wajahnya terlihat santai saat menatap Nayla.

“Hatiku mengatakan seperti itu. Selama ini aku selalu percaya sebab apa yang hati kecilku katakan, itu adalah sebuah kebenaran,” jawab pria itu tanpa adanya rasa malu sedikitpun.

Nayla tersenyum mengejek. Ingin rasanya dia memuntahkan semua isi dalam perutnya. Bukan karena dia merasa mual, tetapi karena Nayla merasa mual mendengar perkataan Alvaro yang katanya memiliki hati.

“Kakak memiliki hati? Bolehlah aku tertawa keras sekarang?” ejek wanita itu. “Aku bahkan hanya menemukan sikap dingin serta hati yang keras pada diri Kakak,” lanjutnya mencibir.

Memang benar apa yang dikatakan adik iparnya. Jangankan rasa peduli, memiliki rasa iba atau belas kasih pun, pria itu seolah tak memiliki. Namun, berbeda saat bersama Nayla. Nalurinya ingin sekali menjaga wanita dua puluh tujuh tahun itu agar selalu merasa aman.

Alvaro sendiri kerap merasa bingung. Perasaan macam apa yang dia berikan pada Nayla, untuk bisa melindungi, bukankah dia sudah memiliki Alvin yang jauh lebih berhak?

“Baiklah jika kamu tidak mau mengakui rasa peduliku. Tapi, apa kamu ingat kapan Alvin terakhir pulang?”

Pertanyaan Alvaro seperti jebakan untuk Nayla, sehingga membuat wanita itu terdiam dengan cepat.

Senyum mengejek yang sedari tadi mengembang, kini perlahan sirna setelah mendengar pertanyaan dari pria itu. Memori Nayla berputar pada beberapa saat lalu. Memang, akhir-akhir ini, sudah hampir satu bulan dirinya tidak bertemu sang suami.

Satu-satunya kabar yang dia terima adalah dua minggu yang lalu. Alvin tiba-tiba mengirimkan pesan jika dirinya berada di sebuah kota yang berada di pulau seberang.

Selamat sore, Sayang. Maafin Mas tidak ada kabar untuk beberapa hari ini. Setalah selesai rapat di Puncak. Mas mendapat kabar buruk dari proyek yang ada di Sulawesi. Karena saat itu Mas buru-buru, jadi Mas tidak sempat mengabari kamu. Oh iya, mungkin satu bulan ini Mas tidak bisa hubungi kamu karena kendala sinyal di sini. Sudah dulu Nayla, istriku sayang. Love you.”

Hati Nayla yang sempat berbunga karena mendapat pesan dari Alvin, dengan cepat berubah menjadi perasaan yang sangat sedih. Wanita itu harus menerima kenyataan jika sang suami seolah mengesampingkan dirinya.

Benar saja beberapa saat kemudian ponsel Alvin tidak dapat dihubungi. Padahal dirinya ingin sekali mengabari Alvin perihal kehamilannya. Nayla hanya dapat membayangkan bagaimana raut wajah senang Alvin saat mendengar kabar itu. Dalam rahim Nayla kini telah tumbuh seorang janin yang mereka impikan.

Nayla hanya tersenyum miris, sembari mengusap perutnya yang masih rata.

“Dengan sibuknya Alvin. Dia jarang sekali pulang, bukan? Apa kau tetap yakin jika janin yang ada dalam kandunganmu adalah anaknya?”

Kembali pertanyaan Alvaro seolah memojokkan Nayla. Wanita itu teringat akan kejadian malam itu bersama Alvaro. Saat itu, Nayla ingat ketika Alvin meninggalkan dirinya untuk sebuah urusa pekerjaan, padahal Nayla sudah memohon agar pria itu tidak pergi sebab malam itu menurut dokter kandungan, adalah hari masa subur Nayla.

Namun, Alvin tetap keukeuh dengan keputusannya. Tanpa wanita itu sadari, Alvaro lah yang telah menjalankan tugas Alvin kepadanya. Pria itu tanpa sadar telah memberikan nafkah batin kepada Nayla.

Nayla berusaha menepis semuanya. Bayangan bagaimana dia sangat menikmati setiap sentuhan dari Alvaro malam itu.

“Tidak! Kak Alvaro tidak ada hak mengakui anakku sebagai anak Kakak. Kejadian itu sudah sangat lama, dari kejadian yang sangat menjijikkan itu, saya yakin tidak berefek apapun,” tegas Nayla semakin geram.

“Cih, menjijikkan tapi kau terlihat sangat menikmatinya. Bahkan, pada beberapa sentuhan lainnya,” cibir alvaro. Bibirnya tersenyum mengejek ke arah Nayla.

“Wanita itu kenapa terus saja naif? Dalam hatinya terus saja mengagungkan Alvin yang sudah jelas-jelas sangat berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada,” batin Alvaro. Tatapannya terlihat teduh kala memperhatikan Nayla.

Senyumnya sedikit tersungging ketika wanita itu terlihat sangat rakus saat meminum susu hamilnya sampai tandas.

“Wanita sebaik dia, tidak pantas mendapatkan Alvin!” keukeuh Alvaro dalam hati. Tangannya meremas kuat tisu dalam genggamannya.

Lamunan Alvaro tersadar saat tiba-tiba ponsel pria itu berdering. Terpampang nama Ronal di sana. Dia adalah asisten kepercayaan Alvaro. Alvaro segera mengangkat telpon dari pria itu.

Tuan, saya telah menemukan mereka di salah satu apartemen elit di jakarta.” Ucapan dari Ronal di seberang sana berhasil membuat salah satu ujung bibir Alvaro terangkat.

“Bagus. Selidiki mereka terus!” Panggilan diputuskan secara sepihak oleh Alvaro.

Meski sangat lirih. Namun, Nayla dapat sedikit mendengar pesan dari si penelpon tadi, sehingga membuat wanita itu menjadi bertanya karena penasaran.

“Apartemen siapa yang Kakak maksud?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status