Dua hari berlalu sejak insiden di galeri. Nessa akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Meski kondisinya sudah membaik, Dawson tetap tidak tenang. Ia datang menjemput Nessa pagi-pagi sekali, mengenakan kemeja gelap dan mantel panjang, wajahnya tak lepas dari ekspresi serius sejak memasuki bangsal.Di dalam mobil, Nessa duduk diam, kepalanya bersandar di jendela sambil memandangi jalanan. Dawson sesekali melirik, memastikan gadis itu baik-baik saja.“Kalau kamu masih ingin istirahat di rumah sakit, aku tidak keberatan,” ujar Dawson pelan, memecah keheningan.Nessa menggeleng kecil. “Aku lebih tenang di rumah. Apalagi di rumahnya ada suamiku.” Dawson menoleh dan tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya. “Aku akan selalu ada.”Nessa hanya tersenyum tipis, ia tahu suaminya tidak akan selalu ada, mengingat pekerjaannya yang mengharuskannya jarang pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, beberapa pria berseragam hitam dengan tubuh gagah dan besar langsung membukakan gerbang. Meng
Di hari lain, Dawson membawa Nessa ke sebuah galeri seni kecil yang tersembunyi di tengah kota. Ia tahu Nessa menyukai lukisan dan benda-benda estetik. Di sana, Nessa tampak seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk taman bermain.“Aku tidak tahu kau suka hal-hal begini. Bukankah, kau menyukai barang branded,” ujar Dawson, saat melihat Nessa terdiam lama di depan lukisan bergaya abstrak.Nessa mendengus kecil merasa tersindir. “Aku juga tidak tahu kalau kau memperhatikan apa yang kusukai,” jawab Nessa pelan.Dawson tersenyum, menggenggam tangannya. “Aku mulai mempelajari semuanya.”Nessa membalas genggamannya, lalu menoleh ke arahnya. “Aku ke toilet dulu ya,” katanya.Dawson mengangguk. “Oke. Aku tunggu di sini.”Nessa melangkah santai menuju toilet yang letaknya agak tersembunyi di belakang galeri. Namun saat ia berbelok di lorong sempit, sebuah bayangan yang tak sempat ia kenali—mendorong masuk ke sebuah ruangan kecil yang tak diberi label. Sebuah gudang kosong dengan pencahay
Sekilas, ingatan masa lalu menyergap Dawson—bayangan dirinya saat kecil, berjalan sendirian di pinggir jalan dengan pakaian basah kuyup. Hujan deras mengguyur tanpa ampun malam itu. Tubuh kecilnya menggigil, kaki telanjangnya berlumuran lumpur. Ia baru saja melarikan diri dari tempat yang gelap dan kejam—tempat para pedagang manusia menahannya selama berbulan-bulan.Di tengah gelap dan derasnya hujan, Kondrey menemukannya. Seorang pria asing dengan tatapan tajam tapi penuh ketegasan. Tanpa banyak bicara, Kondrey mengulurkan tangannya. Dan sejak saat itu, hidup Dawson selalu dipenuhi kegelapan sampai ia dipertemukan dengan Nessa. Nessa tetap diam, menunggu kelanjutannya. Dawson mengangguk. “Aku tidak tahu siapa diriku dulu. Tapi satu hal yang ku tahu sekarang ... aku mencintaimu.” Ia menarik napas dalam. “Sejujurnya aku takut mengatakan cinta padamu. Bukan takut tidak diterima olehmu, tapi aku takut kehilanganmu. Duniaku terlalu gelap, bagimu. Namun, satu hal yang harus kamu tahu, a
Beberapa hari kemudian. William dan Fiona merasakan kehancuran. Dunia mereka runtuh.Pencarian terus dilakukan. Dan akhirnya, sebuah nama mencuat sebagai dalang dari penculikan Ezra ternyata adalah Zayver adik tiri William. Setelah kematian Azalea pada saat itu, Zayver menyalahkan Ezra. Ia tak bisa menerima kematian kekasihnya itu, dan dalam obsesi balas dendam, ia menculik Ezra dan menjualnya ke jaringan perdagangan manusia.Beberapa tahun setelah penculikan…Penyelidikan membuahkan hasil—Zayver tertangkap. Tapi sayangnya, Ezra tak ditemukan. Zayver mengatakan bahwa anak itu sudah meninggal, namun tak ada jasad, tak ada bukti.Fiona menolak untuk percaya.Meski bertahun-tahun berlalu, dan usia Ezra kini seharusnya sudah beranjak dewasa, mereka tidak pernah berhenti mencari. Tidak pernah berhenti berharap.****[Kembali ke masa kini.]Fiona menatap suaminya dengan mata berkaca. “Aku tahu ini mungkin terdengar gila ... tapi hatiku mengenali anakku sendiri.”William memegang tangann
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menciptakan pola cahaya di lantai kayu. Nessa terbangun dengan kepala berat, mengingat kejadian semalam yang masih membekas. Namun, suasana pagi ini terasa berbeda. Dawson kini terlihat lebih hangat.“Pagi,” sapa Dawson sambil menyodorkan secangkir teh.Nessa menerima cangkir itu. “Terima kasih,” jawabnya pelan.Dawson duduk di kursi samping Nessa, menatap ke arahnya. “Aku bisa mengantarmu ke kampus hari ini,” ucapnya.Nessa menggeleng pelan. “Hari ini aku tidak ada kelas,” jawabnya.Dawson mengernyit, matanya menelusuri pakaian rapi yang dikenakan Nessa. “Tapi kau sudah berpakaian rapi. Mau ke mana?”Nessa menarik napas dalam-dalam. “Aku bekerja paruh waktu di sebuah kafe. Hari ini aku berniat mengundurkan diri.”Dawson terdiam sejenak, lalu bertanya, “Untuk apa kau bekerja? Bukankah aku sudah bilang, kau tidak perlu memikirkan hutang itu lagi?”“Sebelum kamu mengetahui utang itu, aku sudah bekerja. Aku ingin menyel
Satu langkah di belakangnya, Nessa terus menatap sekeliling.Bukan ini yang dia bayangkan. Ketika pria itu memintanya menjadi pacar pura-pura untuk satu malam, ia mengira akan dibawa ke restoran mewah, seperti duduk berdampingan dengan gaya formalitas, dan selesai. Namun, ternyata dia malah mengajaknya ke klub malam.Nessa menarik tangannya untuk berhenti.“Tunggu. Ini bukan restoran.”Nada suaranya curiga, bahkan sedikit dingin.Pria itu menoleh santai. “Ya, bukan. Tapi aku tidak pernah bilang aku akan membawamu ke restoran.”“Kau mau apa? Jangan bilang—”“Kau berpikir aku akan berbuat yang tidak-tidak?” ucapnya menyela dan tersenyum sinis. “Kalau aku punya niat buruk, aku tidak akan repot-repot membuatmu berpura-pura jadi pacarku.”Nessa mengernyit. “Kau tetap saja menyebalkan.”“Kau harus berhenti memanggilku begitu … mulai sekarang,” katanya cepat. “Setidaknya malam ini, saat di depan teman-temanku, panggil aku dengan benar—namaku Ethan.”“Terserah. Tapi aku tetap tidak mau masuk