Nessa terdiam, sama sekali tidak marah dengan Dawson yang tiba-tiba menciumnya. Dawson yang tidak mendapatkan penolakan dari istrinya, kembali mencium Nessa lebih dalam lagi.Suasana di dalam kamar tiba-tiba berubah menjadi hangat yang menggantung di udara, tetapi di sela-sela ciuman mereka. Ponsel Dawson berdering keras, memecah suasana. Ia segera menghentikan ciuman itu dan menoleh ke arah nakes, tempat ponselnya diletakkan.Dawson segera bangkit dari atas ranjang dan menjauh. Nessa tetap di tempat. Ia menggigit bibirnya sendiri. Jantungnya masih berdetak cepat. Ia hampir terbawa arus perasaannya.Dari kejauhan, terdengar suara Dawson berbicara lewat telepon, tapi terlalu pelan untuk didengar jelas.“Ya, aku mengerti. Aku akan mengurusnya malam ini...” “Tidak. Jangan lakukan apa pun sebelum aku tiba.”Nessa akhirnya membalikkan badannya ke sisi lain, menarik selimut dan memejamkan mata.Beberapa saat kemudian, Dawson kembali. Ia melihat istrinya sudah tertidur, napasnya teratur.
Salah satu dari mereka—yang paling depan—menatap Nessa dari ujung rambut sampai ke kaki, lalu menyeringai.“Apa aku tidak salah lihat? Jangan-jangan kamu sudah jatuh miskin, sampai kerja di tempat seperti ini?”Nessa menarik napas panjang. Menahan semua amarah yang sudah menggelegak di tenggorokannya. Ia mencoba menatap mereka dengan tenang dan berkata, “Apa ada yang ingin dipesan? Kalau tidak, silakan pergi. Anda menghalangi pelanggan lain.”Jawabannya itu seperti cambukan yang menghantam harga diri ketiganya. Salah satu dari mereka melangkah maju, hendak membalas dengan sindiran lain, tapi suara dingin menghentikannya. “Cukup.”Suara itu berasal dari pria menyebalkan yang sejak tadi berada di samping Nessa. Mereka semua menoleh ke arahnya.Tatapan matanya tajam, dingin, tanpa senyum sedikitpun.“Jika tidak ingin membeli apa pun, silakan pergi dari sini. Atau kalian harus membayar kerugian minuman yang kalian buat jatuh.”Gadis-gadis itu tampak tidak percaya. Salah satunya mencoba
Pria itu—dengan jas hitam dan mata tajam—tersenyum melihat siapa yang baru saja masuk dan melamar kerja di tempat itu.“Wow … kita bertemu lagi lebih cepat dari yang kukira.”Nessa langsung memutar bola matanya. Dalam hati, ia menghela napas panjang. ‘Harusnya aku curiga kenapa tempat ini terasa kurang bersahabat sejak masuk.’Ia menoleh pelan ke arah sumber suara, dan benar saja—pria menyebalkan dari lampu merah itu. Pria yang hampir menabraknya. Pria yang sekarang duduk santai sambil menikmati kopinya, seperti sedang menonton pertunjukan yang menghibur.“Kenapa kau ada di sini?” tanya Nessa malas, suaranya datar.Pria itu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, masih dengan senyum mengganggu di wajahnya. “Kebetulan. Ini kafe favoritku. Aku sering mampir ke sini setelah jam kantor.”“Dan kebetulan aku melamar kerja di tempat yang salah,” gumam Nessa pelan, lebih untuk dirinya sendiri.“Tidak salah, kok. Bahkan menurutku… ini sangat menarik, kita bisa bertemu setiap hari,” jawab pria i
Pagi itu langit mendung, seolah menyamai suasana hati Nessa. Ia baru saja keluar dari rumah Evelyn, setelah semalaman tidur dengan gelisah. Meski Evelyn berusaha menenangkannya, rasa tidak tenang itu masih menggantung di dada. Wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun tanda senang. Matanya lelah, langkahnya malas.Bukannya langsung pulang, Nessa memilih berjalan kaki di trotoar, membiarkan angin dingin pagi menyapu wajahnya. Ia tidak ingin cepat-cepat kembali ke rumahnya. Rasanya pengap. Terlalu banyak pikiran.Di pinggir jalan, lampu lalu lintas telah berubah. Nessa melangkah maju begitu lambat saat menyeberang. Namun pikirannya terlalu sibuk untuk memperhatikan sekeliling. Ia tidak menyadari bahwa sebuah mobil melaju cukup kencang dari arah kanan yang akan menerobos jalanan. Mobil itu berusaha berhenti, namun jaraknya terlalu dekat.Suara klakson berbunyi. “KLAKK—!”Sopir itu membanting setir ke kanan, dan BRAKKK!—mobil menabrak pembatas jalan dan berhenti mendadak. Orang-orang di seki
Tangannya gemetar saat menekan nama kontak yang disimpannya sebagai “Suamiku.” Nessa belum mengganti nama yang ditulis Dawson.Panggilan tersambung.“Dawson… tolong aku...” bisiknya, hampir menangis.Tapi yang menjawab bukan suara Dawson.“Halo?” suara wanita terdengar di seberang telepon.Nessa membeku.Suara itu sangat asing, tapi cukup untuk menusuk dadanya. Ia tidak menjawab. Dadanya sesak, napasnya terhenti.Sudah cukup lama Dawson tidak pulang. Sudah cukup lama ia tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu lakukan di luar sana.Dan kini, saat ia dalam bahaya, telepon Dawson dijawab oleh wanita lain. Kini ia menemukan jawabannya. Nessa tersenyum getir lalu mematikan sambungan teleponnya.“Dawson...” gumamnya sekali lagi, nyaris tanpa suara.Di saat ia masih terpaku, satu dari pria itu kembali menariknya. Kali ini lebih kasar. “Sudah cukup main ponselnya!”Nessa teranjat kaget dan langsung berteriak, mencoba melarikan diri, tapi salah satu dari mereka berhasil menangkapnya dan mend
Suasana hening, hanya suara detik jam dan desiran napas pelan yang mengisi ruangan.Nessa masih berada dalam pelukan Dawson, tubuhnya menegang meski perlahan mulai terbiasa dengan kehangatan yang menyelimuti punggungnya. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu tenang, stabil—tidak seperti miliknya yang kacau.Dengan suara pelan, Nessa berusaha tenang. “Apa kau datang untuk tidur di sebelahku?” katanya. Dawson tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Nessa yang separuh masih tertutup rambut, kemudian menyelipkan beberapa helai rambut itu ke belakang telinga gadis itu. Sentuhan itu pelan, tapi membuat tubuh Nessa seolah dialiri listrik halus.“Aku tidak datang hanya untuk tidur di sebelahmu,” ucap Dawson tenang.Nessa mengerutkan alis.“Aku kembali ... karena aku ingin melihatmu,” lanjutnya.Nessa tersenyum sinis. “Bicaramu bisa membuat orang salah paham.”Dawson mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Nessa. Matanya tidak lepas dari mata gadis itu. Tatapannya serius, tak