"Apa kamu tidak berniat menceraikan Kenanga, Mas?" ulang Risma lagi.
Dion mengusap kasar wajahnya. Terdengar hembusan napas lelah dari bibir laki-laki itu. "Tolong, jangan bahas perceraian dulu, Risma! Aku harus memperbaiki situasi ini meskipun sangat sulit. Kenanga pasti marah besar padaku dan mungkin tidak akan memaafkanku!" ucapnya. "Situasi tidak akan menjadi baik kecuali kamu memilih salah satu di antara kami, Mas!" sahut Risma mulai kesal. "Ck!" Dion berdecak lirih. "Aku harus kembali ke rumah Kenanga! Kamu cepat tidur!" ucapnya lalu meraih kepala Risma dan menciumnya dengan sayang. Risma mengangguk tak minat. "Baiklah. Tapi jika aku kangen kamu, jangan lupa luangkan waktu ke sini. Tidak ada protes!" sahutnya, lalu bangkit dan memeluk Dion dengan sikap manja. Dion mengangguk. Dia manangkup wajah Risma dan menatapnya lembut. Laki-laki itu tersenyum samar, melhat sikap manja Risma. Risma memang berbeda dengan Kenanga. Istri pertamanya itu justru lebih mandiri. Dion jarang sekali mendengar Kenanga mengeluh. Wanita itu lebih sering memendam masalah pekerjaan ataupun masalah pribadinya seorang diri. Namun, meskipun menjadi wanita mandiri, Kenanga tidak pernah melupakan kodratnya sebagai seorang istri. Dia selalu mendahulukan kepentingan Dion daripada dirinya. Dion juga tidak mengerti karena begitu mudah berpaling dari Kenanga, padahal pernikahan itu baru berjalan satu tahun. Miris, justru wanita spesial lain di hati Dion adalah Risma, kakak iparnya sendiri. "Apa yang kamu pikirkan? Bukankah kamu ingin pulang?" Pertanyaan Risma menyentak lamunan Dion. Dion tersenyum kaku menatap mata Risma yang juga tengah menatapnya dengan kilat manja. Risma mengusap dada bidang Dion yang terbalut t-shirt lengan panjang itu dengan gerakan menggoda. "Jangan menggodaku lagi, Risma! Ya, aku harus pulang sebelum semua menjadi kacau!" tegur Dion sambil memegang pergelangan tangan Risma. "Apa kamu yakin akan pulang sekarang? Ayolah, tidak ada bedanya kamu pulang nanti atau sekarang. Kenanga masih marah sama kamu. Bukankah lebih baik kita mengulang apa yang tadi tertunda?" Risma mengerling manja sambil menelusupkan telapak tangannya ke dalam baju Dion. Dion menelan ludah berperang melawan keinginan untuk menolak dan hasrat yang mulai bangkit di bawah sana. Laki-laki itu pun tersenyum, sambil menaikkan sebelah alis kemudian menyambar bibir Risma dengan lahap. Kini keduanya kembali mengulang adegan panas tadi yang belum tuntas. Bahkan, lebih ganas. Desahan dan lenguhan manja saling bersahutan di ruangan apartemen yang tidak terlalu luas itu. Keduanya tidak terpengaruh dengan peristiwa beberapa jam lalu ketika Kenanga memergoki perselingkuhan mereka. Bahkan, Dion juga seolah lupa jika di tempat berbeda, Kenanga sedang bergumul dengan luka basah yang menganga. "Ah, Sayang. Kamu benar-benar membuatku hilang kewarasan!" desah Dion sambil memeluk erat tubuh istri keduanya itu. "Aku lebih suka begini, tidak ada yang menggangu kita, Sayang!" sahut Risma di antara deru napasnya. "Jadi, apakah kamu tidak akan berubah pikiran?" ulangnya sambil mengusap dagu Dion dengan kerlingan manja. "Maksudmu!?" Risma merebahkan tubuh dan berbaring miring menghadap Dion. "Jika ada yang kamu ceraikan, itu adalah Kenanga, bukan aku, Mas! Ingat, kan, dengan perjanjian kita?" tanyanya seolah mengingatkan, jika perjanjian di antara mereka telah mengikat Dion ke dalam sebuah hubungan terlarang. Dion memejamkan mata dan menarik napas dilema. Sekarang, dia tidak bisa memilih. Rasa cintanya yang besar pada Kenanga sama besarnya dengan ketakutan meninggalkan Risma. Wanita kedua yang kini berada di pelukannya. * Dengan air mata yang terus menetes, Kenanga memasukkan beberapa bajunya asal ke dalam koper. Sesekali telapak tangannya menyeka air bening yang membasahi pipi mulusnya. Gerakan tangan Kenanga terhenti manakala menyentuh sebuah kotak perhiasan. Kotak beludru yang berisi satu set perhiasan hadiah dari Dion kala meminangnya satu tahun lalu. Kenangan indah di hari bahagia itu, dalam sekejap berubah menjadi sebuah luka yang dalam. Kenanga kembali terisak lirih. Sedetik kemudian, dia memejamkan mata dengan wajah mendongak, lalu menarik napas panjang. "Aku tidak akan larut dalam luka ini, demi kamu!" ucap Kenanga sembari tersenyum getir. Lantas, dia kembali menutup pintu lemari ketika dirasa tidak ada lagi yang perlu dibawa. Kenanga juga membiarkan kotak perhiasan itu tetap di sana. "Mau ke mana kamu Sayang? Kita bicara dulu!" ucapan Dion yang sudah berdiri di ambang pintu kamar, menghentikan langkah Kenanga. Wanita cantik itu menatapnya tanpa ekspresi, lalu tersenyum satu sudut. "Kamu datang lagi?" tanyanya datar. Dion mendekat dengan tatapan tak berkedip dari istrinya itu. "Kita perlu bicara, Sayang. Ada sesuatu yang perlu kamu tahu sehingga aku be--" "Berkhianat dengan kakak tiriku sendiri?" sahut Kenanga sinis. "Apa tidak ada perempuan lain selain dia?" lanjutnya dengan suara parau. Dion menelan ludah. Laki-laki itu hendak memegang tangan Kenanga, tetapi dengan cepat ditepisnya. Kenanga lantas mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan dengan tatapan nanar. "Kenanga, duduklah, kita bicara!" pinta Dion lirih. "Berapa jam waktu yang kamu butuhkan untuk mengemasi barang-barangmu, Mas? Satu jam, dua jam? Pastikan besok pagi rumah ini sudah bersih dari benda-benda milikmu daripada aku membuangnya!" Dion tidak menjawab. Dia justru menatap Kenanga dengan dalam. Wanita cantik yang telah terluka karena pengkhianatannya. Kenanga memang berhak mengusirnya. Namun, Dion tidak akan menyerah untuk mendapatkan maaf dari wanita itu. Dion berpikir, saat ini Kenanga tengah terluka dan tidak bisa berpikir jernih. Namun, jika suatu saat nanti setelah mengetahui alasan perselingkuhan itu, mungkin Kenanga akan memaafkannya. Tidak kunjung mendapat jawaban, Kenanga segera beranjak, tetapi Dion segera menyambar tangannya. Kenanga yang sudah merasa jijik dan muak segera menepis tangan Dion. "Baiklah, mungkin kamu perlu waktu untuk menenangkan diri. Tapi jangan pergi! Ini sudah terlalu larut, Kenanga!" "Besok pagi, kunci rumah titipkan pada Pak Satpam! Ingat, jangan ada satu pun yang tertinggal!" ulang Kenanga tidak ingin berlama-lama. Dion kembali menarik napas pelan. "Apa memang harus begitu, Kenanga? Apa tidak ada sedikit pun waktu untuk kita bicara?" tanyanya mulai putus asa. "Tidak! Aku sudah mem--" Tin! Tin! Kenanga lantas menatap ke arah jendela kamar meskipun tidak bisa melihat mobil yang berhenti di depan rumahnya. Tidak ingin membuang waktu, Kenanga segera menarik koper keluar dari kamar tanpa bisa dicegah oleh Dion. Dion yang belum rela istrinya pergi, segera mengejar. Namun, langkahnya terhenti ketika mencapai depan pintu. Sebuah mobil mewah yang pemiliknya begitu dikenal oleh Dion membukakan pintu untuk sang istri sembari tersenyum manis. Lirikan sinis laki-laki bertubuh jangkung itu, seolah menambah sesak dada Dion. "Kamu bodoh, Bro!" ucap laki-laki itu sambil mengedipkan sebelah mata pada Dion yang masih berdiri mematung. **** "Kenanga tersenyum tulus. “Tentu aku ridha dan bahagia, Kak,” jawabnya, lalu mendongak menatap Devano. “Kita lanjutkan hidup ini dengan saling memaafkan dan menjadi keluarga, ya, Sayang!” lanjut Kenanga sambil mengusap lengan Devano dengan lembut. Dion bisa melihat tatapan penuh cinta Kenanga pada Devano. Tidak bisa dipungkiri, ada perasaan cemburu yang masih bercokol di hati menyaksikan kebahagiaan Kenanga dan Devano. Namun, berkali-kali Dion menyadarkan diri jika membiarkan rasa cemburu itu sesuatu yang salah. Kenanga benar, mereka harus melanjutkan hidup dengan pasangan masing-masing. Seketika, Devano mengangguk menyetujui ucapan istrinya. “Tentu saja. Tidak mungkin kita musuhan terus, apalagi ada Carla di antara keluarga ini, kan? Katakan padaku, Yon, kapan kalian menikah. Kami yang siapkan tempat resepsinya.” “Em, biar Risma yang menentukan, Dev,” jawab Dion sembari menatap Risma. “Aku tidak ingin pesta mewah, lebih baik uangnya untuk keperluan Carla nanti,” ucap Risma s
Tiba-tiba perasaan takut itu memenuhi relung hati Kenanga. Dia menunduk, menatap Dzevad yang masih menyusu. Sedangkan Mbak Ayu masih berdiri di ambang pintu menunggu perintah dari bosnya. Dia juga ikut sedih jika Carla dibawa pergi oleh orang tua kandungnya.Pasalnya, kehadiran Carla di dalam keluarga kecil Devano, menjadi hiburan tersendiri. Terlebih ketika Dzevad belum lahir. Merawat Carla dari usia bayi, tentu menimbulkan kedekatan batin pada Devano dan Kenanga. Itu juga yang dirasakan para ART.Mereka juga menganggap Carla seperti anak sendiri, tanpa memandang masa lalu orang tua bocah itu. Bahkan, Devano dan Kenanga dengan bangga memajang foto keluarga bersama Carla di dalamnya.“Apa yang harus kulakukan, Mbak?” tanya Kenanga lirih.Momen ini cepat atau lambat pasti terjadi. Namun, Kenanga tidak menyangka jika mereka datang begitu cepat. Rasanya Kenanga belum siap kehilangan Carla. Dan mungkin tidak pernah siap.“Bu, mungkin mereka hanya ingin melihat baby Dzevad. Rasanya tidak m
"Carla pas ulang tahun nanti minta kado apa, Sayang?” tanya Kenanga sambil mengusap rambut putri cantiknya.Beberapa hari lagi, usia Carla tepat tiga tahun. Bocah berwajah cantik itu menatap polos pada Kenanga, lalu jari telunjuknya mengetuk dagu dengan gerakan ala orang dewasa yang sedang berpikir.Melihat tingkah lucu Carla, Kenanga tertawa kecil, kemudian memeluk bocah itu. Seperti biasa, Carla selalu menghadiahi ciuman gemas di pipi setiap mendapat pelukan dari mamanya.Sejenak, senyum Kenanga memudar ketika teringat sesuatu. Hari ini Risma mendapat kebebasan bersyarat dari tahanan. Sedangkan Dion justru sudah bebas beberapa Minggu yang lalu. Itu artinya? Kenanga menggeleng tanpa sadar jika mengingat keberadaan Carla. Ya, sesuai perjanjian dulu, Dion dan Risma bisa mengambil Carla kapan pun setelah mereka bebas.Namun, hari ini menjelang ulang tahun yang ke-3 Carla, Kenanga akan kehilangan anak asuhnya itu. Ada rasa takut dan tidak rela Carla pergi dari kehidupan mereka. Kenanga
“Tunggu, Sayang!” pinta Devano ketika melihat Kenanga bersiap kembali turun.Devano meraih tangan Kenanga dan memintanya duduk di sisi tempat tidur. Laki-laki itu mengambil sesuatu dari dalam laci nakas sebelah kiri ranjang. Lantas dia ikut duduk di samping Kenanga.Pandangan Kenanga tertuju pada kotak berwarna biru navy di pangkuan Devano. Tidak ingin istrinya penasaran terlalu lama, Devano membuka kotak itu.Ternyata isinya satu set perhiasan emas putih dan sebuah display key mobil mewah. Devano meraih tangan Kenanga dan meletakkan kotak perhiasan itu di sana.“Ini hadiah pernikahan dariku, kamu yang simpan. Kamu nyonya rumah ini, jadi, mulai sekarang jangan canggung lagi!”Kedua mata Kenanga berkaca-kaca. Tidak hanya diperlakukan seperti ratu, tetapi dimanjakan dengan berbagai kemewahan dari Devano.“Aku akan mengikuti semua aturan kepala keluarga di rumah ini, selagi itu benar. Kuharap ini adalah pernikahan terakhir kita, Mas,” ucap Kenanga, lalu memeluk erat Devano.Di bahu Kenan
Langkah Risma diikuti oleh tatapan sendu Kenanga. Wanita itu mengusap matanya yang memanas. Devano merangkul bahu sang istri dengan perasaan bersalah.“Maafkan aku, Sayang,” ucap laki-laki itu lirih.“Aku tidak mempermasalahkan itu, Mas. Cuma merasa aneh saja, kenapa dia langsung menganggapmu special someone?” tanya Kenanga bingung.Memang aneh, jika Risma tidak mengenali Kenanga. Namun, justru merasa begitu dekat dengan Devano. Padahal, dulu Risma sangat membenci Kenanga dan selalu membuat ulah dengan Devano.“Aku juga merasa aneh.” Devano melirik sekitar, kemudian mengajak Kenanga memasuki mobil.Dia tidak ingin Risma kembali melihatnya dan membuat ulah. Sesampai di dalam mobil, Devano tidak juga menjalankan mobilnya. Namun, dia justru menatap ke arah bangunan rumah sakit jiwa itu.“Aku harus mencari cara supaya mendapatkan informasi detail mengenai Risma.”Kenanga langsung menoleh pada suaminya. “Maksud Mas apa?” tanya wanita itu heran.“Sayang, apakah kamu tidak melihat kejanggala
Deburan ombak di laut lepas sana yang tanpa henti, seolah ikut mengiringi kebahagiaan dua orang di atas tempat tidur itu. Seperti biasa, Devano selalu memuja setiap inci tubuh Kenanga dengan hati-hati. Dia perlakukan Kenanga begitu lembut. Itulah janji Devano, dia memang ingin memperlakukan Kenanga layaknya ratu hingga wanita itu melupakan semua rasa sakit yang pernah ada. Kenanga tersenyum dan sesekali memejamkan mata, ketika ciuman Devano menghujani wajah lembabnya. Udara di sekitar pantai memang dingin kala malam hari. Namun, tidak bagi pasangan suami istri itu. Tubuh mereka justru basah oleh keringat. Devano menyingkirkan anak rambut Kenanga yang terjuntai ke pelipis, lalu mencium kening wanita itu. “Terima kasih, ya, Mas,” ucap Kenanga dengan tatapan dalam. Sebelah tangan Kenanga memeluk bahu tegap Devano. Keduanya saling pandang penuh cinta dan sesekali balas tersenyum. Devano sedikit menoleh, melirik jam digital di atas nakas. Laki-laki itu terkekeh pelan menyadari waktu s