Hari-hari berlalu, Bu Nurma masih mengemis seperti biasanya dan Sita masih selalu mengantarkannya setiap pagi dan dijemput lagi pada sore hari. Uang semakin terus mengalir dari hasil ngemisnya. Uang yang dia dapatkan bervariasi, mulai dari 300 ribu hingga satu juta. Tergantung hari dan tanggal, kalau tanggal merah atau libur biasanya lebih ramai karena jalanan sangat padat dan tak jarang terjadi kemacetan. Sebab lokasi bu Nurma mengemis itu dekat dengan pasar. Apalagi sekarang mendekati ramadhan. Orang-orang biasanya banyak yang ke pasar. Itu lah kenapa hasil mengemis Bu Nurma cukup banyak.
Semenjak Bu Nurma pulang dari rumah sakit, Sita tak pernah sama sekali membawanya untuk berobat. kondisinya betul-betul dimanfaatkan untuk mencari uang dengan cara menghiba. Sebenarnya tidak masalah kalau uangnya digunakan untuk keperluan bu Nurma termasuk kesehatan, tetapi malah ini sebaliknya. Uang itu hanya Sita yang merasakan.Karena Sita setiap hari membawaSuasana di hari libur tentunya waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Rutinitas yang setiap hari libur Bayu serta anak istrinya lakukan. Pria itu benar-benar sudah merasa nyaman dengan kondisinya yang sekarang. Yah, meskipun terkadang tetangga julid masih saja mengganggu, tetapi masih bisa diatasi oleh mereka. Apalagi impian mereka saat ini sudah terwujud. Memiliki pekerjaan yang mapan, tempat tinggal yang layak serta kumpul keluarga. Hal yang sederhana, tetapi bisa bikin bahagia. Hari itu Bayu berencana akan mengajak keluarganya untuk pergi jalan-jalan, tetapi Amel lebih memilih untuk di rumah saja. Lagi pula wanita itu takut sebab usia kandungannya yang masih rentan apabila banyak gerak termasuk bepergian. “Apa kamu nggak bosan di rumah terus, Dek? Semenjak pindah ke sini kan belum pernah kita berpergian entah ke mana gitu. Itung-itung mumpung aku libur kerja,” ucap Bayu sambil memandangi istrinya yang sedang mempersiapkan makan siang
Rencana Bayu pulang ke kota Pati akhirnya terlaksana. Setelah dia mendapatkan izin dari atasannya untuk cuti beberapa hari dengan alasan ada urusan keluarga akhirnya mereka bersiap-siap. Termasuk perlengkapan Istrinya yang sedang hamil dan juga Arka. Keselamatan keluarga adalah prioritas utama baginya sebab perjalanan menuju kampung halaman yang sangat jauh.Amel tentu saja memberitahukan tetangga sekaligus sahabat dekatnya, Mila. Mila sedikit banyaknya juga sudah tau perkara yang pernah Amel alami saat masih LDM dengan Bayu dulu. Maka saat ini sebetulnya Mila sendiri heran. Entah terbuat dari apa hati wanita yang menjadi teman baiknya itu. Mungkin kalau dirinya yang berada di posisi Amel tidak bisa ikhlas seperti itu seandainya hal itu terjadi pada Mila tentu saja wanita itu lebih memilih untuk menitipkan sang mertua ke panti jompo ketimbang harus merawat dan akan selalu ingat hal menyakitkan yang pernah dilakukan padanya. Namun, masalahnya ini bukan M
“Pie, Mas?” (Gimana, Mas) tanya Amel pada Bayu. Wanita itu menyusul sang suami ke rumah mbak Reni. “Mel? Piye kabare? Sehat?” Mbak Reni menyapa. “Alhamdulillah, Mbak, sehat. Mbak Reni sendiri gimana?” tanya Amel kembali sembari menjabat tangan mbak Reni. “Aku yo alhamdulillah sehat. Oalah iki Arka kok ya wes gede.” Mbak Reni mencubit pelan pipi Arka yang tampak gembul. Dia gemas dengan bayi itu. Sangat berbeda penampilannya saat masih LDM dengan Bayu dulu. Sekarang tubuh Arka jauh lebih berisi dan kulitnya juga bersih karena memang nurun dari kulit Amel dan Bayu yang juga putih. “Jadi sekarang ibu di mana, Mas?”“Ndak tau, Dek. Lha kataú Mbak Reni sudah disamperin ke jalan Penjawi sana tapi ya nggak ada.”Bayu tampak menghela napas. Tidak pernah dia sangka kalau bu Nurma akan menjadi seperti ini. “Ya sudah kalau begitu, Mbak, terima kasih atas informasinya biarlah saya nanti yang mencari keberada
Suara itu sangat familiar terdengar di telinga Bayu. Dia sangat mengenali suara itu. Bayu menghentikan langkahnya saat akan masuk ke dalam mobil. Bu Nurma juga mendengar suara yang berteriak menyebut nama Bayu. Bu Nurma sudah menduga kalau itu pasti anak sulungnya. Bayu menoleh ke belakang dan tidak salah lagi yang datang ternyata Sita. Bergegas Sita mendekati Bayu dan menghardiknya dengan lantang seolah Bayu bukanlah adiknya melainkan orang lain.“Heh mau kamu bawa ke mana Ibu, ha? Biarkan ibu di sini bersamaku,” ujar Sita dengan berdecak pinggang. Bayu segera menutup pintu mobil dan mengatakan pada supir taksi itu untuk tetap menunggu sebentar. Pak supir menyetujuinya. Bayu melihat sekilas ke arah sang ibu dan wajah Bu Nurma tampak ketakutan. “Ibu tunggu di sini ya, aku urus mbak Sita dulu.”“Tapi, Bay ….”“Sudah, ibu gak usah khawatir. Aku jamin akan baik-baik saja.” Pada akhirnya bu Nurma menyerahk
“Loh, Sita? Kok kamu jalan sendiri? Bukannya selalu bareng Ibumu? Mana dia ?” Tanpa disengaja Sita bertemu pak Hadi saat melewati jalan menuju rumahnya.“Iya, Pak, Ibu saya sudah dibawa pulang sama Bayu, jadi saya harus segera menyusulnya.” Wajah Sita terlihat pucat, takut kalau rahasianya akan terbongkar oleh warga. Dia berpikir Bayu akan mengatakan ke semua orang perihal tujuannya membawa ibunya setiap pagi. Padahal sebelumnya dia sudah susah payah mengelabui para tetangga dengan memindahkan lokasi bu Nurma mengemis. “Terus ini motor siapa?” tanya Pak Hadi sambil mengacungkan jari telunjuknya mengarah ke kendaraan roda dua yang Sita pakai. “Oh ini motor saya, Pak. Yasudah kalau begitu saya permisi duli, Pak. Gak enak ditunggu Bayu dan Ibu di rumah.” Tanpa menunggu jawaban pak Hadi, Sita langsung saja tancap gas karena takut dirinya keceplosan, seandainya itu terjadi, Sita bisa dihujat habis-habisan lantaran menyuruh ibunya untuk menge
Ultimatum yang baru saja dikatakan Bayu membuat Sita diam seribu bahasa, rasanya tidak mungkin dia bisa membalikan keadaan seandainya uang-uang utu dia berikan ke Bayu. Dia tentu tidak mau kalau uang-uang yang sudah dikumpulkan dari hasil ngemis Bu Nurma dipakai untuk membayar hutangnya ke Bayu, jika ditotal terbilang banyak juga. Bukan Sita namanya kalau harus mengalah. Mungkin Ibunya akan berhasil dibawa Bayu, tetapi tidak dengan uangnya. Alhasil dia pun membiarkan Bayu membawa Bu Nurma pergi.Pikirnya toh dia juga sudah terkumpul banyak uang dari ibunya. Toh dia juga sudah bisa membeli barang-barang yang diinginkannya. Namun, meskipun begitu sifat serakah masih menguasai diri Sita. Sepertinya dia masih belum rela kalau Ibunya pergi dengan Bayu. Otaknya sedang memikirkan cara menggagalkan mereka. Tidak mungkin rasanya bertindak gegabah atau melawan Bayu untuk saat ini karena pastinya akan kalah dan Bayu pasti mendapat dukungan dari para
“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus
“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe