Share

PESTA KEMENANGAN

     “Loe lihat? Gue berhasil dapat medali emas di pertandingan kemarin. Gue masih kompeten bermain basket.”

     Andra dan Dimas berjalan di koridor sekolah. Tangan kanan Andra merangkul pundak Dimas dan tangan kirinya menyanggah tas ransel dipundaknya

    “Terserah loe. Semerdeka loe aja, dah,” jawab Dimas memanyunkan bibirnya mendengar celoteh Andra tentang kemenangannya di pertandingan basket melawan SMA Cakrawala kemarin.

     “Kenapa sih loe gak happy gitu dengarnya ?” kata Andra melirik Dimas dengan sinis. Dimas menghentikan langkahnya lalu menatap Andra yang juga ikut menghentikan langkahnya.

     “Andra! Gimana? Loe dapat nomer cewek-cewek cantik SMA Cakrawala, nggak?” teriak Dani dari ujung koridor sambil berjalan mendekat, mengagetkan Andra dan Dimas.

     “Ah, ganggu,” dumel Dimas.

     Dani segera merangkul pundak Andra dan mereka bertiga berjalan bersama menuju kelas. Dani masih melanjutkan pertanyaan-pertanyaan mengenai cewek cantik di SMA CAKRAWALA, saingan dan musuh terbesar SMA PUTRA BAKTI dalam bidang pertandingan olahraga.

     “Untuk apa loe cari cewek cantik di sekolah orang, Dan. Di sekolah kita, semua ceweknya cantik-cantik,” jawab Andra sesekali tertawa mendengar ocehan Dani

     “Kalo menurut loe, di sekolah kita banyak cewek cantik, kenapa sampai sekarang loe masih jomblo, Andra?”, tanya Dani dengan nada mengejek.

    “Andra gak kayak loe, Dan. Mata keranjang.”  Kali ini Dimas yang menjawab

                                                                 ***

     Siang ini suasana di kantin lebih bising dari biasanya, bukan karena pertunjukan kuliner yang diadakan setiap tahun di sekolahku, tapi karena Dani sedang mentraktir anak-anak di sekolah karena kemenangan tim Andra melawan team Ari dari SMA Cakrawala. Aneh, sih. Siapa yang menang, siapa yang sibuk buat traktiran.

    Tapi harus kuakui, Andra sangat beruntung. Selain tampan dan pintar, dia dikelilingi oleh banyak teman-teman yang baik, tidak sepertiku yang selalu sendirian.

     “Kemana Kak Andra? Kenapa dia gak ikut ke kantin?” tanya Alsha adik kelas yang sepertinya sangat dekat dengan genk Andra.

     “Gak penting loe tanyain si Andra, yang penting itu makanannya, Sha,” jawab Angga sambil makan bakso yang baru saja dia pesan.

     “Itu mah loe, Kak. Makanya badan loe mirip sama gentong,” jawab Alsha sebal. “Bagus dong, berarti gue sehat,” jawab Angga santai.

     “Ish!” desis Alsha sebal melirik kakak senior yang duduk dihadapannya ini. “Dasar gendut,” Alsha mengomel.

     “Jangan khawatir. Andra gak suka acara beginian,” kata Dimas yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya menjawab keresahan Alsha. Dimas tahu adik kelasnya ini sangat menyukai Andra sejak awal Alsha mengikuti MOS sekolah.

                                                               ***

    Aku memutuskan pergi ke halaman belakang sekolah. Suasana kantin yang biasa saja sudah membuatku tidak nyaman, apalagi suasana kantin yang dijadikan tempat pesta oleh teman-temannya Andra.

    Aku menatap sekitar halaman belakang sekolah untuk mencari tempat duduk yang nyaman, membawa buku kesehatan yang kupinjam dari perpustakaan kemarin.

    Tetapi saat aku mencari tempat untuk duduk, mataku terbentur pada seorang pria yang sedang duduk di bangku panjang yang terletak di belakang sekolah itu. Sepertinya dia tenang sekali, dan aku suka memandanginya. Dia Andra.

    Seperti inilah kebiasaanku jika melihat dia diam-diam, sampai aku tidak sadar jika dia melihat kehadiranku.

    “Ah! Hai,” sapanya sedikit menoleh kearahku. Tangannya sibuk mematikan mp3 yang sedang didengar sejak tadi.

    “Ah, maaf sudah mengganggu,” jawabku terkesiap.

    Aku kaget menyadari dia melihat kehadiranku. Setelah mengatakan kata maaf, aku segera berbalik arah mencari bangku lain yang bisa kududuki.

    “Hey, kenapa ke sana? Disini saja!  Di sini kosong,” kata Andra sambil menunjuk tempat kosong di sampingnya.

    Aku menoleh dan terdiam, bingung memutuskan aku harus menjawab apa.

    “Sini cepatlah, keburu bel masuk berbunyi,” katanya lagi sambil tersenyum.

    Entah magnet darimana yang membuat langkahku mendekat ke arahnya dan duduk di sampingnya. Waktu aku menoleh, dia sedang memejamkan mata. Dan sepertinya dia menyadari tatapanku.

    Huh! Sungguh bodoh. Apa yang kau lakukan, Keisya? Kenapa selalu melakukan hal bodoh dihadapannya, rutukku dalam hati.

    “Kamu nggak ke perpustakaan?” tanyanya memperhatikan buku di tanganku.

    “T-tidak. Aku sedang bosan membaca di perpustakaan”, jawabku gugup, segera menunduk.

    “Aku sering melihatmu di perpustakaan. Di bagian buku kesehatan,” sambungnya tersenyum. Tentu saja aku kaget mendengarnya. Dia si Most Wanted sekolah memperhatikan aku, si gadis tak kasat mata ini. Oh, Tuhan.

    “Aku juga sering ke perpustakaan membaca buku tapi tidak sesering kamu,” lanjutnya menatap lurus ke depan.

    “Oh, ya? Buku apa? Olahraga?” tanyaku penasaran.

    “Bukan. Kadang-kadang saja aku baca buku olahraga. Aku lebih sering membaca buku kesehatan juga,” jawabnya melihatku sekilas.

    Aku diam sambil berpikir. Sumpah! Luar biasa! Aku bahkan tidak menyadari kalau Andradika Putra membaca buku kesehatan juga. Apa dia ingin menjadi tenaga kesehatan sepertiku? Oh, betapa beruntung pasiennya nanti.

    “Kenapa tidak gabung dengan yang lain di kantin?” tanyaku.

     Selain karena penasaran, aku melontarkan pertanyaan ini juga karena tidak enak hati. Dari tadi Andra berusaha memulai pembicaraan dan aku menjawab dengan pendek-pendek saja. Itupun dengan kikuk.

     “Aku bosan dengan pesta. Terlalu ramai. Hanya membuat kepalaku pusing,” jawabnya sambil tertawa pelan tapi terdengar renyah, membuat aku terkesima beberapa detik. Itu suara tawa yang indah.

     “Oh,” jawabku. Sial, aku kehabisan bahan pembicaraan lalu kami hanya diam setelahnya.

     Ternyata benar kata Dimas, Andra tidak menyukai pesta, tidak sepertiku yang meskipun tidak memiliki teman, tetapi tetap saja penasaran bagaimana rasanya mengadakan atau menghadiri sebuah pesta.

    Beberapa saat kemudian, bel masuk berdering. Kami bergegas memasuki gedung sekolah untuk kembali ke kelas.

    Aku mendahuluinya berjalan. Bukan apa-apa, hanya saja akan terlihat aneh jika aku berjalan bersama Andra memasuki gedung sekolah. Apa kata siswa lain nantinya. Bisa-bisa, aku jadi bahan gunjingan mereka, jadi aku memilih yang aman saja. Aku rasa Andra mengerti.

    “Hey.”

     Andra memanggilku. Aku menoleh ke belakang, Andra tertinggal beberapa langkah dariku.

     “Ini, ambilah,” kata Andra menyodorkan permen karet yang dia ambil dari saku seragamnya.

    “Hah!” jawabku bingung.

    “Ambilah, anggap saja ini traktiran dariku. Aku yakin kamu tidak bergabung untuk makan di kantin tadi,” sambungnya. Aku kembali ke belakang mendekatinya, dan segera aku mengambil permen karet itu.

    “Dan terima kasih,” tambahnya lagi.

    Hey, lagi-lagi dia mengucapkan terima kasih. Memang apa yang sudah kulakukan kepadanya? Bukannya aku yang harus mengucapkan terima kasih karena sudah di kasih permen karet?

    “Karena sudah menemani pesta kemenanganku hari ini di halaman belakang sekolah,” lanjutnya tersenyum.

    Seketika aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Hitam pekat tapi jernih. Aku melihat bayangan diriku lagi di dalam hitam matanya seperti waktu itu. Ya, Tuhan perasaan apa ini? Bahagia sekali rasanya.

    Dan aku mengetahui satu hal, Andradika Putra menyukai permen karet. Aku tersenyum dibuatnya. Dia memang seorang bintang. Ya. Bintang. Jika tidak ada dia, maka gelaplah sekolah dimana aku berada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status