Krisna menepuk jidatnya berulang kali. Baru kali ini pria itu diteriaki maling bahkan di rumahnya sendiri. Dari dulu Ambon memang orang yang selalu menyimpulkan apa-apa berdasarkan pendapatnya sendiri, tanpa mendengar opini dari orang lain.
Dengan sekuat tenaga Krisna berlari, mengejar Ambon. “Ambon! Aku bukan maling!” teriaknya keras. Untungnya tidak ada yang mendengar teriakan dari Ambon. Karena rumah Krisna lumayan luas dan besar. Lelah berlari, Ambon pun berhenti, dia menarik napas, lalu sedikit membungkuk sembari memegang lututnya menggunakan kedua tangan. Dari belakang, Krisna pun datang. Dia melakukan hal yang sama dengan Ambon, mengatur napas sejenak. Setelah puas mengambil napas, Krisna berdiri tegak dan mulai menjelaskan lagi pada sahabatnya itu. “Percaya, deh, sama aku, Mbon! Aku, tuh, Krisna.” Ambon menghela napas jengah, dia tidak dapat mencerna apa yang terjadi. “Terserah, deh, mau kamu itu maling, mau KrisnaMalam semakin larut, tak ada lagi suara yang terdengar kecuali suara jangkrik yang selalu menemani istirahat orang-orang. Bulan pun tampak malu-malu, tertutup kabut malam.Di satu tempat, terlihat Krisna yang masih fokus dengan telpon genggamnya. Menggulir layar cerah itu hampir ke akar tanpa henti. “Apa penulis artikel ini tau sesuatu?” gumamnya pelan. Sudah lama pemuda yang sudah memakai piyama itu terpaku di tempat yang sama. Hingga kantuk pun datang. Sambil menguap, Krisna beranjak dan berhambur ke tempat tidur. “Radha harus tau ini,” gumamnya, lalu kemudian mulai tertidur.Di sisi lain, terlihat Radha yang tengah fokus menggoreskan alat gambarnya pada kertas di atas kasur. Perempuan itu terlihat mengayunkan kakinya sambil tengkurap. “Gini bukan, sih?” tanyanya pada diri sendiri.Karena kurang yakin dengan karyanya sendiri, Radha pun kembali menghapus gambar yang sudah hampir selesai tersebut. “Susah banget gambar ginian doang!” keluhnya.Lama perempuan itu merenung, memandangi k
Krisna menahan tawa ketika wajah Radha berlumuran lumpur. “Kalau makan coklat jangan kemaruk,” ejeknya. “Aku ngga makan coklat, loh, dari tadi.” Radha menggeram. Dia mengobrak-abrik tasnya guna mencari cermin kecil yang selalu dia bawa ke mana-mana. Ketika cermin itu menampakkan wajah Radha. Mata perempuan itu langsung menyalang, ada lumpur di hampir seluruh bagian mulutnya. “Apa-apaan ini!” “Kok bisa kamu ngga sadar, Ra?” Krisna terkekeh pelan. “Ya, aku fokus ngomong sama kamu,” kesalnya. “Ya, udah, sini aku bersihin!” Tangan pria itu terangkat. Hendak membersihkan lumpur yang berlumuran di sekitar mulut Radha. Radha diam terpaku, kenapa rasanya sedikit berbeda ketika disentuh oleh pria itu? Jantungnya pun berdetak lebih cepat dari biasanya. Elusan tangan Krisna, membuat perempuan itu merinding. Dengan cepat Radha menepis tangan Krisna dari mulutnya. “Biar aku aja yang bersihkan!” Krisna mengangguk paham, dia pun kembali duduk manis seperti sedia kala. Kemudian pria
Dunia langsung berubah gelap, ketika kepala Radha tersungkur masuk ke dalam ember berukuran sedang yang hampir menutupi seluruh kepalanya. Krisna yang berlari menghampiri Radha tak kuasa menahan tawa melihat Radha berkepala ember. “Makanya, Ra, jangan banyak tingkah.”“Tolongin dong! Jangan ketawa aja!” teriak Radha. Suara Radha terdengar samar karena tertutup ember.“Ha? Apa? Aku ngga denger,” teriak Krisna.Radha mendecak kesal, ember berwarna hitam itu sangat bau dan sempit. “Jangan becanda dulu, Kris!”“Ini ngga bisa secara manual, nih. Kayaknya harus panggil damkar,” celetuk Krisna asal.“Krisna! Kalau kamu ngga bantuin aku, aku ngga akan kasih tahu kamu sebuah info penting tentang kita,” ucap Radha penuh ancaman. Napasnya juga sudah mulai sesak dan bau yang tidak nyaman sangat menyiksa dirinya.Akhirnya, Krisna pun menurut, dia berusaha menarik ember yang menutupi kepala Radha de
“Apa jangan-jangan dia penyihir, dan dia yang udah sihir kamu sama Krisna,” tebak Ros asal. “Hus, ngga boleh gitu. Zaman sekarang mana ada yang kayak gitu, Ros.” “Tapi … bisa aja, ‘kan, Ra? Mungkin dia ada dendam sama kamu.” Ucapan Ros sukses membuat Radha berpikir ulang. Perempuan itu terdiam, apa yang dikatakan Ros tidak sepenuhnya salah. Bisa jadi memang seperti itu, mengingat Radha sempat membuat Raksa sakit hati. “Benar juga yang kamu bilang, Ros. Raksa sempat nembak aku, tapi aku tolak,” jelasnya. “Nah, mungkin karna itu, dia nyihir kamu!” “Oh, ya, aku jadi teringat soal perempuan yang datang ke rumah Krisna kemarin,” ucap Radha mengubah topik pembicaraannya. “Perempuan? Siapa? Pacar Krisna?” tanya Ros ingin tahu. Perempuan itu tampak sangat tertarik dengan pembahasan Radha. “Aku juga ngga tau, sih, Ros. Kemarin dia datang nangis-nangis. Trus, dia cerita kalau ibunya dirawat di rumah sakit jiwa, ayahnya bawa cewe ke rumah,” jelas Radha panjang lebar. Ros mengangg
“Ngga nyangka banget kita bakalan ketemu di sini Ra!” Pria berjas hitam, berambut pendek dan lurus terlihat sangat kegirangan. Dia bahkan sampai menjatuhkan kertas yang dipegangnya.Radha tersenyum canggung, sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. “Raksa, kamu pemilik minimarket ini?”Pria bernama Raksa pun mengangguk. Dia berjalan cepat menghampiri Radha yang masih berdiri di ambang pintu. “Kamu sendiri ngapain? Apa kamu yang mau melamar kerja di sini?” tanya Raksa.“I-iya, aku dipaksa sama temanku,” jawabnya gugup.“Oh … nggak masalah, kok. Ya, udah, sekarang kamu diterima kerja,” ucapnya tanpa basa-basi.Sontak perkataan Raksa membuat Radha seakan tidak percaya. “Loh, apa ngga diinterview dulu?” tanya Radha basa-basi, meski perempuan itu tahu apa alasan yang membuat Raksa langsung menerima dirinya.“Udah lama aku cari kamu, Ra! Kabarnya kamu, adik, dan ibu kamu pindah rumah. Setelah aku dapat alamatnya, kamu malah ngga ada
“Jadi Papa kamu bawa lima perempuan ke rumah?” Radha tampak sangat terkejut.Sambil berlinang air mata, perempuan itu mengangguk. “Mama aku sekarang ada di rumah sakit jiwa,” tambahnya lagi.“Apa? Jadi, gara-gara Papa kamu selingkuh, mama kamu jadi, maaf, gila?” Radha sungguh tidak habis pikir. Rupanya, kehidupan orang kaya tidak selamanya indah. Dilihat dari penampilan, perempuan itu sangat jauh dari kata kekurangan, tapi, cobaanya ada di keharmonisan keluarganya.“Lukisan yang kasih ke aku, rusak dirobek papa aku,” sambung perempuan itu lagi.“Lukisan?”“Iya, maaf, ya! Aku ngga bisa jaga lukisan kamu dengan baik,” ujarnya merasa sangat bersalah.“Ngga apa-apa, itu bukan salah kamu,” jawab Radha lagi.***Pagi ini dunia terasa begitu dingin, namun tidak ada hujan sama sekali. Hanya udara yang berhembus kencang. Matahari pun enggan menampakkan diri, Radha bergumul di dalam selimut tebal, dan seperti tidak mau bangun untuk melakukan aktivitas.“Dingin banget, latihan hari ini tunda aja