Home / Romansa / BERUANG GUNUNG ALTAY / 03. Makhluk Misterius

Share

03. Makhluk Misterius

Author: Namira
last update Last Updated: 2021-08-31 14:37:54

Rumpun bunga matahari bergoyang tertiup angin. Kupu-kupu besar datang dan terbang berputar-putar mengibaskan sayap yang berwarna-warni, kemudian hinggap di kuntum bunga. 

Seekor kadal pemangsa tiba-tiba melompat ke luar dari dalam rumpun bunga mencaplok kupu-kupu itu, lalu menelannya sedikit demi sedikit. Inara dan kedua temannya sampai bergidik ngeri melihatnya. Mereka baru tiba dari lembah.

Rumpun bunga itu berada di pinggir dataran rumput hijau yang dikelilingi pohon rimbun dan rumpun semak. 

Raka mengamati situasi sejenak. Padang rumput itu cukup luas, aman dari genangan air bila hujan, dan jika ada ancaman binatang buas bisa diantisipasi lebih awal karena kedatangannya terlihat.

"Lokasi ini cukup strategis."

Raka berjalan ke tengah padang rumput dan menaruh barang bawaan di atas rumput diikuti teman-temannya.

Jonan dan Oldi segera menyiapkan peralatan untuk mendirikan tenda. Raka pergi mencari kayu ke tepi hutan untuk membuat beberapa pasak. Gadis-gadis metropolis itu berkumpul di bawah pohon berdaun rindang, bersebelahan dengan Raka yang mulai sibuk bekerja. Pemuda itu membuat pasak dari dahan kecil yang mati.

Mereka mengeluarkan ponsel masing-masing, baik GSM maupun satelit. Aktifkan layar. Tidak ada sinyal. Mereka heran, padahal dataran ini cukup tinggi, dan mereka menggunakan kartu provider yang sudah memiliki jaringan di seluruh daerah. Pulau ini adalah wilayah terluar negeri ini, tapi masih dalam jangkauan satelit.

Inara tidak tahu persis kapan sinyal itu mulai hilang. Di kantor biro wisata alam sinyalnya kuat. Dia bisa berkomunikasi dengan sponsor yang meminta beberapa foto. Handphone-nya baru dibuka lagi setelah mereka terdampar di kaki bukit ini.

"Aneh," gumam Inara tak habis pikir. "Kok tidak ada sinyal? Padahal areal ini terjangkau oleh satelit."

Maysha tak kalah herannya. "Ada yang tidak beres. Bukit ini jangan-jangan magnet hill."

Inara pernah membaca sebuah literatur, di negeri ini magnet hill cuma ada satu dan letaknya bukan di pulau ini. Atau karena secara hukum belum terdaftar sebagai wilayah NKRI, bukit ini luput dari penelitian?

"Setahuku magnet hill tidak menyerap gelombang elektromagnetik," kata Inara.

"Jangan-jangan...." Kirei tidak meneruskan kata-katanya. Di wajahnya membersit perasaan takut.

Inara memandang jemu. "Ada penunggunya? Masa penunggu cemilannya sinyal?"

Kirei selalu menghubungkan fenomena alam dengan hal-hal yang berbau mistis. Padahal tidak setiap peristiwa yang terjadi di alam dapat diterima secara logika, maka itu ada istilah keajaiban dunia.

"Kalian pernah dengar cerita anak-anak Mapala?" Kirei memandang kedua temannya. "Pengalaman mereka selama bertualang?"

"Apa itu?" tanya Inara acuh tak acuh.

"Mereka sering mengalami kejadian aneh. Kejadian yang tidak masuk akal. Seperti apa yang dialami si Lola di Gunung Jayawijaya. Kalian tahu apa yang membuat si Lola terjebak di ngarai?"

"Keganjenan." Inara melirik Raka ingin tahu reaksinya. Pemuda itu sudah selesai membuat pasak, dan sepertinya tidak mendengarkan obrolan mereka. Dia pergi dengan tenangnya. "Cari perhatian sama gorila."

"Kamu kayaknya tidak kalah ganjen," sindir Maysha.

Inara tidak peduli. "Aku cuma tahu Raka dan Jo berani bertarung dengan alam untuk menyelamatkan si Lola, dalam kondisi cuaca yang sangat buruk dan medan yang sangat sulit, padahal tim SAR sudah angkat tangan. Kejadian anehnya tidak tahu."

"Ada penggenap ngajak jalan-jalan," sahut Kirei dengan bulu kuduk berdiri.

Penggenap adalah makhluk halus yang menyerupai seseorang dan biasanya mengganggu kelompok pencinta alam yang berjumlah ganjil. Cerita itu viral di tahun 90-an. Inara pernah baca di arsip Mapala. Takhayul. Tidak mungkin puluhan tahun menghilang tiba-tiba legenda itu muncul lagi. Selama rentang waktu tersebut, penggenap itu pensiun?

Inara tersenyum kecut. "Penggenapnya pasti mirip Raka."

"Penggenapnya mirip senior kita yang dinyatakan hilang tertimbun salju beberapa tahun yang lalu di Gunung Jayawijaya."

"Nah, betul kan?"

"Main betul saja," sambar Maysha. "Memangnya kamu pernah lihat?"

"Senior kita itu wajahnya persis Raka. Fotonya dipajang di sekretariat Mapala."

"Ya terus?" tatap Maysha acuh tak acuh. "Senior kita ngajak nge-date si Lola di ngarai?"

"Apa lagi? Si Lola tentunya enjoy saja diajak nge-date, sangkaannya itu Raka, padahal halu."

"Cupu banget si Lola. Masa diajak ke ngarai tidak curiga?"

"Lagi fall in love mana punya curiga sih?"

"Katanya tidak tahu," sindir Kirei. "Itu hapal betul."

"Pasti begitu ceritanya, apa lagi coba?"

"Kalau urusan si Lola, teman kita ini prediksinya tidak pernah meleset."

"Bullshit," bantah Maysha. "Mereka datang ke Jayawijaya bukan untuk maksiat, masa kena prank makhluk astral?"

"Belum tentu tidak maksiat," sahut Inara. "Mereka malah bebas untuk berbuat apa saja, tidak ada Satpol PP."

"Aku bilang nih sama Raka," ancam Maysha.

"Maksud aku bukan Raka. Mapala kan banyak."

"Gara-gara tidak percayaan kayak kamu si Lola kira makhluk astral itu benar-benar Raka."

"Terus apa hubungannya sama satelit?" tanya Inara. "Sama sinyal?"

"Sst...." Tiba-tiba Maysha memberi isyarat agar mereka diam, pandangannya terarah ke sebuah dahan di dalam hutan dengan mimik muka seperti melihat makhluk yang menakutkan. "Ada yang ngintip kita."

Spontan Kirei bergeser posisi berdirinya ke belakang Inara. Matanya memandang ke dahan itu dengan ketakutan.

Maysha tertawa. "Bercanda."

"Bikin kaget saja," omel Kirei. "Jangan main-main deh. Hutan ini angker."

"Tahu dari mana hutan ini angker?"

"Buktinya tidak ada sinyal, padahal di tempat lain ada."

"Kalau tidak ada sinyal, bukan berarti hutan ini angker. Bisa saja lagi ada gangguan satelit."

Kirei berpikir sejenak. "Benar juga. Aku nggak kepikiran sama sekali."

"Otakmu sudah dipenuhi cerita takhayul sehingga logika tidak jalan."

"Kamu sendiri baru kepikiran sekarang."

"Otakku jadi lemot gara-gara dengar cerita pepesan kosong."

"Gangguan satelit masa lama banget?" keluh Inara. "Mestinya aku bawa anak indigo. Jadi bisa tahu ada apa di hutan ini?"

Mereka tidak tahu kalau di dahan rimbun yang dimaksud Maysha benar-benar ada sosok misterius yang mengintai. Dua tangkai daun tampak bergerak merenggang seperti ada yang menyingkapkan. Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Tapi tidak terlihat sosok makhluk apapun.

Telinga Inara rupanya cukup tajam sehingga dapat menangkap suara itu. Dia memandang mereka dengan curiga. "Kalian tidak dengar sesuatu?"

"Sudah deh jangan lebay," sahut Kirei. "Kalau mau menakuti aku, pakai cara lain."

"Demi."

"Pokoknya aku tidak percaya."

"Ya sudah kalau tidak percaya."

Inara pergi meninggalkan mereka. Dia menghampiri Raka dan kawan-kawan yang masih sibuk bekerja. Tenda hampir selesai dibangun, tinggal finishing saja. Variasi bentuknya menarik, berjendela dan berpintu dengan model unik, dalam tenda beralas terpal, serta mempunyai teras.

Sosok misterius itu mengintip dengan berpindah tempat dari satu dahan ke dahan berikutnya mengitari padang rumput, menimbulkan gerakan unik pada daun yang dilewati, daun itu bergerak searah bergelombang.

Jonan sempat melihat kejadian itu. Dia berhenti mengikat tali pada pasak yang tertancap di tanah. Matanya mengamati dengan heran.

Raka datang menyentuh bahunya. "Dia mengintai kita sejak dari sungai, entah apa, aku cuma lihat tambang perahu putus, dus beterbangan, dan perahu hanyut dengan cepatnya ke hilir."

"Siapapun itu, berani bermain-main denganku berarti sudah cukup nyali dan akan menemukan hari sialnya."

Sikap Jonan yang suka menganggap remeh ini kadang menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Beberapa peristiwa bahkan hampir membuatnya celaka.

Raka bangkit dari jongkoknya, berjalan ke depan tenda melewati Oldi yang sibuk menggali parit dengan pancong. Oldi tidak tahu kejadian itu. Hasil kerjanya sudah lebih dari separuh mengitari tenda.

Raka masuk ke dalam tenda dan membongkar dus berisi meja pasang ulang. Dia keluarkan unit meja satu per satu, lalu memasangnya dengan bantuan obeng. Meja itu berkaki rendah berbentuk lingkaran.

Ruangan tenda cukup besar. Atapnya tinggi sehingga tidak sumpek. Jadi leluasa untuk beraktivitas. Gadis-gadis metropolis itu masuk ke dalam tenda. Mereka duduk di karpet bulu.

"Kita semua tidur di mari?" tanya Inara dengan tatap mata sedikit resah.

"Keberatan?"

Tenda ini leluasa untuk tidur enam orang. Tidak berdesakan. Tapi tidur satu ruangan bersama laki-laki adalah sesuatu yang tak pernah terbayangkan. Di dalam tenda ternyata tidak ada partisi. Pemuda itu bebas menggerayangi di saat dirinya tertidur. Dia menyesal cuma membeli satu tenda.

"Tenda ini tidak ada sekatnya."

"Ada masalah?"

Inara memandang dengan sinar mata mencurigai. "Jadi kamu selama ini tidur satu tenda sama cewek Mapala?"

Tentu saja tidak. Pendaki pemula saja yang tidur di dalam tenda. Mapala senior memakai sleeping bag. Raka dan Jonan bahkan tidur tanpa pelindung, tergeletak begitu saja di alam terbuka.

"Aku naik turun gunung, di kita dan negeri orang, belum pernah ada perempuan menatap aku seperti itu," dengus Raka dingin. "Kamu pikir kamu itu siapa? Baru jadi puteri kampus sudah berani mencurigai aku. Boleh taruhan, kamu jauh lebih aman tidur satu tenda sama aku daripada tidur satu hotel sama si Jimy di Hawaii."

Inara merengut manja. "Baperan. Aku kan cuma tanya." 

"Ara cuma ingin memastikan kalau kita bertiga aman," bela Maysha. "Apa itu salah?"

Inara menghardik temannya dengan gaya seolah sangat percaya pada Raka, padahal maksudnya ingin menyindir. "Jelas aman dong, Mey. Maka itu dia cuma minta beli satu tenda. Aku ini siapa sih? Jadi puteri kampus cuma kebetulan, bisa juga jurinya kelilipan. Coba satu tenda sama si Lola, apa berani dia taruhan?"

Raka menaruh obeng di atas meja dengan agak kasar dan beranjak pergi. Di pintu tenda berpapasan dengan Jonan yang menjinjing dua buah dus. Pemuda itu memperhatikan wajah temannya sekilas. Kusut banget kayak cucian kotor.

Jonan menoleh ke mereka. "Kenapa tuh beruang salju?"

Mereka angkat bahu. Jonan berjalan ke pojok tenda dan menaruh dus.

"Kalian itu harusnya jaga baik-baik perasaan Raka," tegurnya. "Jadi wanita penghibur, bukan perusak suasana."

Maysha mendengus sinis. "Wanita penghibur.... Berani bayar berapa?"

"Kalau kamu gratis saja ogah."

"Sialan."

"Jo," panggil Inara. "Apa benar Raka tidak pernah berbuat apa-apa sama cewek Mapala?"

"Berbuat apa-apa bagaimana maksudnya?"

"Tidak paham apa pura-pura bego?" sergah Maysha.

"Tergantung siapa yang tanya."

"Kalau aku?"

"Bego gak bego tetap disikat."

"Sepatu kali disikat," celoteh Kirei.

"Liburan kemarin anak-anak Mapala berangkat ke Eropa," kata Inara. "Apa saja yang kalian lakukan di sana?"

"Ya begitu-begitu saja."

"Begitu-begitu saja itu apa?"

"Mendaki Mont Everest, pesta kecil-kecilan minum teh di kedai, terus pulang."

"Sudah begitu saja?"

"Ya apa lagi?"

"Raka juga?"

"Juga apa?"

"Jalan-jalan berdua sama si Lola misalnya?"

"Si Lola lagi, tidak ada gadis lain apa?"

"Cewek Mapala yang paling cantik kan si Lola, paling cantik di fakultasnya malah. Masa aku tanya jalan-jalan berdua sama gorila?"

"Jangan salah. Raka sering jalan-jalan berdua sama gorila. Satu yang Raka suka dari gorila, tidak pernah mencurigai."

"Aku tidak mencurigai."

"Berarti gorila," celetuk Kirei pelan.

"Raka pencinta alam sejati. Aku tidak tahu perempuan itu seperti apa di matanya. Gadis Mapala menjulukinya beruang salju."

"Kalau kamu beruang madu?" sambar Maysha. "Kerjanya menghisap madu perempuan."

"Aku pencinta keindahan, dan perempuan adalah yang terindah."

"Jadi cewek Mapala habisnya sama kamu?"

"Kanibal kali," kicau Kirei.

"Aku tidak suka pagar makan tanaman biar tanamannya suka dimakan."

"Lagi jajal-jajal," ancam Maysha.

Jonan tersenyum sinis. "Ancaman kamu sampah."

Jonan keluar. Oldi sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia membantu temannya mengangkut barang.

Sementara itu Raka mengumpulkan kayu kering di tepi hutan. Kayu itu diambil dari ranting pohon yang mati. Kemudian dia memotong kayu itu dengan sangkur menjadi potongan-potongan pendek.

Inara datang dan berdiri di dekatnya. Raka tidak peduli. Asyik bekerja. 

Gadis itu berkata pada diri sendiri, "Kasihan si Inara dicuekin."

"Kalau datang untuk minta maaf, sudah aku maafkan," kata Raka tanpa menoleh. "Sudah kusiapkan stok maaf yang banyak. Kesalahan hari ini adalah awal dari kesalahan esok hari."

"Aku janji tidak akan melakukan kesalahan lagi."

"Hutan akan membuatmu ingkar janji."

"Berarti aku perlu minta maaf setiap hari."

"Dan aku perlu memaafkan setiap hari. Maka itu aku pergi bersama kalian."

"Kamu menyesal pergi sama aku?"

"Saat ini ada di Kilimanjaro kalau menyesal."

Inara memandang Raka dengan selidik. Laki-laki lain pasti grogi diperhatikan begitu oleh gadis secantik Inara. Tapi Raka kelihatan tenang-tenang saja.

"Aku lihat seperti ada beban di pikiranmu," komentar Inara.

"Sejak kapan kamu jadi paranormal?" tanya Raka sambil memotong ranting kering yang terakhir. Kayu bakar sudah cukup untuk api unggun malam ini. "Kamu sudah terpengaruh hutan ini, banyak ilusi."

"Cuma satu yang bisa membuat kamu kuatir."

"Apa itu?"

"Si Lola."

Raka menyimpan sangkur pada sarung yang tergantung di pinggang. Pekerjaannya selesai.

"Aku tahu si Lola kecewa tidak jadi pergi ke Kilimanjaro," kata Inara. "Teman-teman tentu banyak yang bersedia menghibur kecewanya di Hawaii. Kamu kuatir cintanya bergeser."

"Kamu sepertinya sengaja sebut-sebut nama itu," sahut Raka acuh tak acuh. "Ada persaingan apa lagi? Bukankah si Jimy sudah jadi milik kamu?"

Memperebutkan cover boy kampus itu adalah perseteruan mereka yang paling sengit. Menjadikan Jimy sebagai pacar merupakan jaminan untuk mendongkrak popularitas. Dia lagi naik daun berkat kontrak sinetronnya. Dan itu terbukti dengan terpilihnya Inara dan Jimy sebagai pasangan terfavorit tahun ini.

"Atau kamu ingin terpilih jadi gadis terdahsyat tahun ini? Yang memiliki segala kemampuan? Terlambat. Lola sudah menguasai persyaratan terakhir, jadi climber meski pas-pasan."

Raka mengumpulkan potongan kayu kering dan membawa pergi. Tapi langkahnya mendadak berhenti. Matanya menangkap sebuah gerakan pada rumpun semak di belakang Inara. Kemudian semak itu diam kembali. 

Penasaran Raka mendatangi dan kelihatan seolah ingin menghampiri Inara. Dia melihat seperti ada kelebatan bergerak menjauh, menyisir semak sehingga menimbulkan gerakan searah bergelombang. 

Inara mengira Raka memperhatikan dirinya. "Ada yang salah dengan aku?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Lalu apanya?"

"Ada apa sebenarnya?" pandang Inara curiga, sekilas menengok ke belakang, tidak ada apa-apa. "Kamu bukan lihat aku kan?"

"Aku lihat kamu, ternyata benar ada si Jimy di matamu," sahut Raka tenang. "Aku cuma ingin memastikan."

Inara gemas. "Aku lagi membayangkan si Lola berduaan sama cowok di Hawaii! Maka itu ada yang badmood! Masa yang kelihatan di mataku si Jimy?"

Pemuda yang berkelakuan aneh, pikir Inara dongkol. Atau memang begitu kebiasaan cover boy hutan? Matanya lebih tertarik melihat sebatang semak daripada sebatang tubuh bidadari!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BERUANG GUNUNG ALTAY   53. Cinta Di Senja Hari

    Oldi menginginkan Elena dimakamkan di lokasi di mana perempuan itu tewas. Tenaga medis yang datang bersama Bernard tidak keberatan memenuhi permintaan itu. Tapi mereka tidak membawa peralatan untuk prosesi pemakaman, sedangkan peralatan yang ada di kastil rusak berantakan. Permasalahan baru teratasi setelah dua helikopter jenis angkut militer mendarat di sekitar kastil membawa sebuah peti dan perlengkapan lain untuk prosesi penguburan sesuai permintaan Jonan. Tidak lama pengurusan jenazah berlangsung, satu jam kemudian Oldi sudah menaburi gundukan tanah merah dengan bunga matahari. Air mata Oldi berderai saat berjongkok dekat batu nisan berupa bongkahan puing yang mengakhiri hidup Elena. Kalung berlian dan tas mungil tergantung di ujung bongkahan yang runcing. "Di sini aku pertama kali menemukan cintaku," isak Oldi pilu. "Di sini pula aku kehilangan cintaku. Hari-hari begitu singkat bagi kita. Tapi namamu akan terukir s

  • BERUANG GUNUNG ALTAY   52. Pertarungan Hidup Dan Mati

    Jonan terbujur tidak bergerak di atas daun-daun mati. Pistol tergeletak di sisinya. Perlahan-lahan jari tangannya bergerak. Matanya terbuka sedikit. Pemandangan di sekitar rumpun semak kelihatan blur, kemudian berangsur kelihatan semakin jelas, asap hitam pekat sudah lenyap. Jonan mencoba bangkit sambil menekap luka di dada. Tapi akhirnya tidak kuat dan kembali terkulai. Raka datang membantu dan membawanya ke pohon terdekat, disandarkan ke batang. Raka merobek kaos bagian dada, lukanya cukup dalam. Diarahkan pandang matanya ke sekitar dan berjalan ke tanaman perdu berdaun kecil. Dia ambil beberapa tangkai. Di sehelai daun tanaman perdu ada cairan kental berwarna coklat kekuning-kuningan cukup banyak, Raka petik daun itu. Sambil lewat diraihnya carrier yang tergeletak di tanah. Daun yang ada cairannya dia serahkan ke Jonan dan langsung disantapnya. Daun-daun kecil dia kunyah, hasil kunyahan dibalurkan ke dada temannya. Raka melakukan hal itu sampai luka Jonan

  • BERUANG GUNUNG ALTAY   51. Bayang-bayang Kematian

    Raka melangkah di jalan marmer taman bunga matahari dengan pistol terselip di belakang pinggang. Jaring berisi bola basket diikat di pinggang. Jonan berjalan di sampingnya, menggendong ransel berisi bowling pin kecil dan besar, dua pucuk pistol terselip di perut."Aku biarkan mereka membodohi kita supaya teman kita tidak kenapa-napa," kata Raka. "Mereka terlindung dari kebejatan mafia dengan jadi sandera. Jumlah mafia yang tersisa mungkin lebih dari itu.""Ada saatnya teman kita kenapa-napa, pada saat Doktor Chiara menghabisi kita dengan senjata ballpoint," sahut Jonan. "Aku tahu senjata itu tidak cuma satu. Yang itu sudah dirusak tombolnya.""Berapapun senjata yang dimiliki, dia tetap perempuan.""Doktor itu memiliki senjata laser yang paling hebat dari ciptaan makhluk di bumi.""Jangan memuji setinggi langit hasil ciptaan manusia.""Aku hanya waspada.""Aku tidak percaya kamu bisa mati di tangan perempuan.""Tapi aku tidak bi

  • BERUANG GUNUNG ALTAY   50. Tertawan

    Oldi merasa cinta karena fisik ternyata cuma seumur jagung. Dia mulanya terhanyut oleh pesona kecantikan Elena. Setelah mereguk secawan kenikmatan, semua jadi biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada perempuan itu. Oldi tidak peduli saat Elena marah atas perbuatan kurang ajarnya pada Doktor Chiara. Mereka mestinya tahu simpati itu untuk perempuan yang bagaimana. Jangan mentang-mentang satu gender main bela saja. Oldi membiarkan saja Elena pergi ke kamar Inara. Entah kenapa. Saat dia terlalu gampang mendapatkan apa yang diinginkan, dia bukannya senang, malah kecewa. Barangkali dia perlu lebih banyak belajar tentang cinta. Sebenarnya ada rasa gentar di hati Oldi untuk mengarungi hidup bersama Elena. Terakhir perempuan itu jadi simpanan orang besar yang dia tahu memiliki banyak body guard. Tentu orang itu tidak tinggal diam. Dia bisa jadi bulan-bulanan body guard itu. Dia merasa hidupnya tidak bakal nyaman. "Semua perempuan jadi kelihatan biasa kal

  • BERUANG GUNUNG ALTAY   49. Pemboikotan

    Dengan ketus Inara menaiki anak tangga ke atap menara bundar. Di sampingnya menemani Raka, wajahnya kelihatan tenang. Maysha, Kirei, dan Elena mengikuti di belakang. Sore ini Inara ingin pulang sebagai bentuk protes atas investigasi yang menyebalkan itu. "Teman kamu brengsek," dengus Inara muak. "Mempermainkan perempuan seenaknya." "Itu tugas hidupnya," sahut Raka santai. "Jadi sulit berhenti." "Kamu juga?" "Jangan pukul rata." Inara menoleh dengan sinis. "Orang asyik nonton. Tidak ditelanjangi saja sekalian." "Maunya si Jo begitu," kata Raka seolah sengaja ingin membuat Inara tambah marah. "Tapi apa bisa Doktor Chiara cerita sambil telanjang?" "Seneng kali." "Biar lagi marah gak hilang cakepnya." "Sebel." "Senang betul?" sambar Kirei asal. "Jadi kamu

  • BERUANG GUNUNG ALTAY   48. Investigasi Menyebalkan

    Bangunan itu terletak di bawah tanah. Berlantai dua di sepanjang sisinya. Belasan pria asing berjaga-jaga di lantai atas dengan senjata otomatis di tangan. Mereka mengawasi beberapa pekerja di lantai bawah yang sibuk melakukan packaging. Hasil packaging diangkut oleh forklift ke sebuah ruangan besar di mana kapal selam sudah menunggu. Mesin berukuran raksasa bising beroperasi memproduksi opium duplo. Tabung silinder besar berisi ekstrak komposit bunga matahari dan bakung emas berputar kencang dan hasil penyulingan mengalir melalui sistem yang rumit ke tabung vertikal sebagai penampung, yang selanjutnya mengucur lewat outlet untuk dimasukkan pada bola di sirkuit cakram, bola yang sudah terisi menggelinding ke bagian packaging. Di sebuah ruangan di lantai dua, berkumpul para petinggi kastil. Mereka duduk di sofa lingkar. Doktor Chiara duduk di sofa tunggal, seorang perempuan berwajah pribumi keturunan, sangat cantik dan seksi. Dia tengah memberi instruksi kepada dua or

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status