Sebuah dahan kering tampak patah menggantung. Dahan itu berpangkal pada pohon tua yang tumbuh menyendiri di tepi jurang. Ada dua dahan lagi di atasnya berdaun jarang.
Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Makhluk itu berada di dahan kedua. Daun bergerak searah secara halus tertiup hembusan nafasnya.
Seekor serigala muncul dari sebuah rumpun semak. Dia menggeram dengan mata mencorong tajam ke dahan itu, lalu kepalanya mendongak ke langit dan melolong panjang.
Makhluk tak kasat mata itu merasa terusik. Dia mengerang marah dengan suara yang sangat menyeramkan. Kemudian turun dari atas pohon dengan menggelosorkan tubuh. Kulit batang berkelupasan dan berjatuhan ke jurang.
Makhluk itu berkelebat melintasi rerumputan memburu serigala. Rumput hijau itu bergerak searah secara bergelombang terkena sambaran angin pergerakannya.
Serigala berlari sekencang-kencangnya berusaha meloloskan diri dari perburuan. Makhluk itu berkelebat memburu dengan melompat-lompat seperti belalang.
Malang sekali. Serigala terjebak di sebuah rumpun tanaman perdu. Kakinya terjerat akar. Makhluk itu mengerang dengan bengis. Nyawa binatang itu tanpa ampun melayang dengan luka mengerikan di leher.
Hutan ini ditumbuhi banyak pohon rindang dengan jarak yang berdekatan. Jadi pergerakan makhluk tak kasat mata itu ketahuan melalui daun yang bergerak searah bergelombang terkena sambaran tubuhnya.
Setelah membantai serigala, makhluk itu bergerak naik ke sebuah pohon, kemudian melompat dari dahan ke dahan menuju ke suatu tempat. Gerakannya cepat sekali. Dia kelihatannya menyukai kehidupan di atas pohon seperti macan dahan, atau menempuh perjalanan di darat barangkali lebih sulit karena banyak belukar malang melintang.
Makhluk itu berhenti di dahan terakhir di tepi hutan yang mengelilingi padang rumput dengan sebuah tenda berdiri di tengahnya. Dia mengintai ke arah tenda. Hal ini terlihat dari dua tangkai daun yang tersingkap secara tiba-tiba.
Sekitar tenda sepi. Semua jendela dan pintu tenda tertutup. Pemandangan yang cukup aneh mengingat cuaca sangat terik, padahal di dalam tenda tidak ada alat pendingin.
Sejenak tidak ada pergerakan di dahan rindang tempat makhluk itu mengintip. Dia sepertinya berpikir tentang maksud penghuni tenda dengan menutup semua jendela dan pintu. Kemudian tangkai daun yang tersingkap bergerak menutup. Pengintaian selesai.
Makhluk itu melompat turun dan berkelebat ke padang rumput, berjalan perlahan mendekati tenda. Sekali-sekali terlihat kilauan noktah bening keperakan yang memantulkan cahaya matahari. Di depan tenda makhluk itu diam sebentar, tengok kanan kiri, lalu masuk dengan merobek pintu tenda.
Tenda itu sudah tidak berpenghuni. Mereka sudah meninggalkan padang rumput beberapa saat sebelum makhluk itu tiba di tepi hutan dan segera bersembunyi di sebuah rumpun semak. Telinga Raka yang tajam dapat menangkap tarikan nafas ganjil makhluk itu dalam jarak tertentu, kemudian terbukti dengan jarum kompas yang bergerak tidak normal.
Inara dan kedua kawannya sangat tegang melihat kemunculan makhluk ganjil itu. Oldi terbelalak dengan mulut melongo lebar persis terowongan bawah tanah. Raka dan Jonan memperhatikan dengan mata tak berkedip. Mereka tegang juga.
"Makhluk yang sangat pemalu," desis Jonan kecut. "Dia tidak mau menampakkan diri untuk bertarung secara jantan."
"Aku kira makhluk itu bukan tandingan kita sekalipun terlihat," sahut Raka datar. "Dia memiliki kecepatan yang sangat luar biasa."
Raka sudah mengetahui kehebatan makhluk itu saat membantai orang asing bersenjata. Dia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menghilangkan nyawa seseorang tanpa sempat mengedipkan mata. Raka tidak berani untung-untungan untuk berhadapan secara langsung karena dia mempunyai beban tanggung jawab untuk menyelamatkan teman-temannya.
"Jadi menurutmu kita hanya punya satu kesempatan," kata Jonan. "Bagaimana kita supaya tidak jadi binatang buruan?"
"Itu masih butuh keberuntungan."
"Manusia plasma," gumam Inara tercekat. "Bentuknya seperti manusia satu dimensi yang tembus pandang."
"Kamu rupanya banyak pengetahuan tentang laki-laki," komentar Raka. "Kamu bisa mencari julukan dengan cepat untuk kekasih terindahmu. Aku kira makhluk itu tidak membunuh kita sampai saat ini karena dia jatuh cinta kepadamu."
"Sialan."
Oldi mengompori. "Bisa jadi. Kecantikan wajahmu membuat semua makhluk di bumi yang bernama laki-laki jatuh cinta kepadamu."
"Berarti laki-laki di sampingku ini jatuh cinta padaku?" sambar Inara sambil melirik Raka sekilas. "Omongan kamu benar nggak?"
"Tanya sendiri sama orangnya."
"Ogah."
"Kok gitu?"
"Cintaku takut digantung kayak si Lola."
"Tapi betul loh, Ara," tukas Kirei. "Aku pernah lihat film jadul, kingkong jatuh cinta sama wanita cantik. Nah, makhluk itu bisa saja jatuh cinta sama kamu."
"Aku ini cuma foto model sambilan. Jadi jangan samakan aku dengan aktris ngetop itu."
"Bisa saja terjadi, kan?"
Diam-diam Inara jadi ngeri. Sungguh mengherankan makhluk itu membiarkan mereka tetap hidup, padahal banyak kesempatan untuk menghabisi. Jika benar makhluk itu jatuh cinta kepadanya, maka celakalah dirinya.
"Aku butuh kalung keberuntungan," kata Inara tiba-tiba. "Aku takut jadinya."
Raka mengangkat sudut bibirnya sedikit. "Aku cuma mengira-ngira. Perkiraanku biasanya meleset kalau soal perempuan. Jadi jangan GR dulu kalau makhluk itu jatuh cinta kepadamu. Siapa tahu dia jijik untuk membunuh orang patah hati."
Inara menatap dengan kesal. "Kamu itu lelaki sejati apa jadi-jadian? Omonganmu tidak bisa dipegang, setiap detik berubah-ubah."
"Masa omonganku setiap detik harus sama? Tidak bosan mendengarnya?"
Raka mengeluarkan kompas dari kantong celana. Kompas itu sudah diberi tambang kecil menyerupai kalung.
"Ini adalah kalung keberuntungan," katanya. "Kamu baiknya pakai kalung ini. Aku lupa membeli rantai. Tidak apa-apa kan pakai tambang kecil?"
Inara terpukau. "Kamu serius?"
"Sorry kalau kamu tidak berkenan."
"Aku suka."
Raka memasang kalung kompas di leher Inara. Gadis itu agak jengah. Dia belum pernah mendapat perlakuan istimewa seperti ini dari seorang laki-laki, meski cuma sebuah kalung jelek.
"Ngasih kalung itu berlian atau apa," sindir Kirei. "Ini tambang. Memangnya Ara kambing apa?"
Inara memandang Raka dengan terpesona. Mereka berpandangan begitu dekat. Jantung gadis itu berdebar kencang. Dia menurunkan tatap matanya dan pura-pura memperhatikan kalung kompas. "Ini buat apa?"
"Tanda cinta," sambar Oldi. "Cover boy hutan beda sama cover boy kampus, ngasihnya kalung kompas bukan kalung berlian."
"Kompas ini bisa mendeteksi keberadaan manusia plasma," kata Raka. "Kalau jarumnya berputar kencang, berarti posisi manusia plasma sangat dekat. Jadi aku tidak perlu repot-repot mengeluarkan kompas. Cukup melihat ke kamu. Setidaknya untuk sekarang, inilah satu-satunya kesempatan aku untuk menyelamatkan kalian."
Saat itu jarum kompas berputar cukup kencang dengan jarak ke tenda tidak begitu jauh. Raka kira jarak itu sudah cukup untuk melakukan upaya penyelamatan diri.
"Menyelamatkan kamu juga." Inara tersenyum manis. "Aku ingin kita semua dapat keluar dari hutan ini dengan selamat."
"Aku ingin kalian selamat, itu harapanku," tukas Raka. "Matiku untuk hidupnya kalian. Itu janjiku ke orang tua kalian. Percuma aku hidup kalau kalian keluar dari hutan ini dalam keadaan mati. Jika aku dan Jo terpaksa harus bertarung dengan makhluk itu, maka kalung itu akan jadi keberuntungan kalian untuk menyelamatkan diri."
Maysha ingin menghilangkan suasana yang tidak mengenakkan itu, dia menggoda, "Kirain kalung itu tanda jadian. Sini aku saja yang pakai. Aku pakai kalung matinee, sekalian kompas itu kujadikan liontin."
"Jangan," protes Oldi. "Kalau kamu yang pakai, aku gak fokus lihatnya. Background-nya kegedean."
"Kamu kelihatan sangat cantik dengan kalung ini," puji Raka. "Aku kira kalung ini lebih berharga dari kalung berlian untuk saat ini."
"Bukan cuma untuk saat ini," sambar Kirei. "Kalung itu jadi sangat berharga untuk selamanya karena pujian kamu."
"Tidak bakalan dilepas sampai rumah," timpal Maysha. "Sekalian makan rumput nanti."
Jonan menoleh. "Rumput apa?"
"Rumput taman! Kamu pikir rumput apa?"
"Kirain rumput tetangga."
Tiba-tiba berkumandang erangan yang sangat menyeramkan dari dalam tenda. Gadis-gadis metropolis itu sampai merinding mendengarnya. Kemudian beterbangan kompor, dus, kotak kosmetik, dan lain-lain. Makhluk pembunuh itu kelihatannya marah karena tidak menemukan sesuatu yang dicarinya.
Oldi bengong melihat bra berukuran big melayang ke luar lewat pintu tenda yang robek besar. "Waduh, punya siapa itu? Tidak ditambah busa isinya?"
Maysha mendorong kepalanya dengan keki. "Aku tambah dengan kelebihan lemak di perutmu."
"Pantas aku merasa lebih langsing."
"Langsing ndasmu!" maki Kirei.
Kemudian manusia plasma mengacak-acak bangunan tenda dengan murka. Tenda ambruk. Suara erangan berhenti. Sunyi beberapa saat.
"Kita berangkat," kata Raka sambil memberi isyarat ke Jonan untuk berjalan di depan.
Jonan segera memasuki hutan memimpin mereka. Dia melangkah lambat-lambat sambil tengok kanan kiri waspada. Tangannya menenteng senapan otomatis.
Kawasan ini merupakan hutan belukar. Semak-semak tumbuh tinggi dan rapat. Jonan sengaja menempuh jalan ini agar keberadaan makhluk itu dapat diketahui melalui gerakan daun semak. Mereka tidak bisa menggantungkan sepenuhnya pada kompas, terlalu berisiko. Oldi adalah yang paling rajin menengok ke dada Inara.
Kirei yang berjalan di belakangnya mengejek, "Kamu itu lihat kompas apa lihat background-nya?"
"Ada yang lebih dekat kalau mau lihat background," sahut Oldi. "Buat apa lihat gunung membiru di kejauhan kalau ada yang lebih nyata di mataku? Kebiasaan gadis Amerika kamu bawa ke hutan. Biar praktis kalau didaki?"
"Bawaannya ngeres aja!" sergah Kirei.
Gadis itu tidak biasa mengenakan pakaian dalam. Bukan mengikuti budaya Paman Sam, rasanya tidak betah. Untung bukit gersang itu kecil, jadi tidak begitu kelihatan puncaknya.
"Manusia plasma tidak ada di sekitar kita," kata Inara sambil melihat sekilas ke dadanya. "Jarum kompas bergerak normal."
"Bukan berarti hilang waspada," sahut Raka. "Jarum itu hanya sekedar petunjuk, bukan penentu. Setiap saat bisa saja rusak."
Raka berjalan paling akhir sambil mengawasi keadaan di belakang. Pistol terselip di belakang pinggang.
Jonan menyibakkan batang semak yang tumbuh rapat merintangi jalan. Oldi yang berjalan di belakang Maysha hendak memangkas ranting itu dengan pisau buah yang dipegangnya.
Raka melarang, "Jangan meninggalkan jejak."
Oldi tidak jadi memangkas ranting itu, berusaha melewati meski agak repot.
"Makanya tu perut jangan diisi terus," ejek Kirei. "Sekarang baru tahu kan gunanya?"
"Kamu mau mengisi dengan cintamu kalau tidak kuisi sama coklat?"
"Gak janji deh."
Mereka tiba di muka lorong belukar yang cukup panjang. Lorong itu terbentuk secara alami dari batang dan ranting semak yang malang melintang dengan rapat. Suasana di dalam lorong agak gelap.
Mereka memasuki lorong dengan hati-hati, tengok kanan kiri atas bawah. Raka menarik tangan Inara yang berjalan di depannya secara tiba-tiba. Gadis itu hilang keseimbangan dan jatuh ke dalam pelukannya.
Inara sebenarnya kaget tapi dia diam saja. Perhatiannya tertuju ke arah tatapan Raka saat itu. Di atas lorong, seekor ular berbisa bergerak di sela-sela batang semak hendak menyeberang. Inara menyembunyikan wajah ke leher pemuda itu, ketakutan. Kirei hendak menggoda, tapi begitu melihat ke atas lorong lekas-lekas pergi menyusul Oldi.
Inara baru berani mengangkat wajah ketika mendengar suara Raka. "Jalan."
Ragu-ragu Inara melihat ke atas lorong, ular sudah tidak ada. Mereka berjalan agak cepat menyusul teman-temannya. Kirei mengedipkan sebelah matanya.
"Kelilipan?" Inara berlagak bodoh. "Kusiram pakai minuman kaleng, mau?"
"Sempat-sempatnya bikin drama Korea," sindir Kirei.
"Kamu berani sama ular?"
"Takutnya gak gitu-gitu banget kali."
"Tanganku ditarik sekaligus, bagus kejadiannya tidak lebih heboh."
Inara tidak mengingkari ada rasa nyaman berada dalam pelukan Raka sekalipun peristiwa itu terjadi secara spontan. Di hatinya muncul simfoni indah yang tidak didapat dari Jimy selama ini. Tapi dia tidak bisa menikmatinya lama-lama. Mereka sedang menghadapi bahaya besar.
Kaki Inara tersandung akar karena tidak fokus melihat jalan dan hampir terjatuh kalau Raka tidak menyambar tubuhnya. Sekali lagi gadis itu terdampar dalam pelukannya.
Kirei mencibir. "Modus."
"Ada akar bukannya ngomong," geram Inara. "Kamu ingin aku celaka?"
"Akar segitu gedenya masa tidak kelihatan?"
"Hati-hati," kata Raka sambil melepaskan pelukannya. "Banyak akar tidak terlihat karena tertutup daun."
"Sengaja," sambar Kirei. "Sekalian saja bikin sinetron."
"Kamu ini kenapa sih?" sergah Inara. "Orang beneran kesandung."
"Iya kesandung...kesandung cinta."
Raka serentak mencabut pistol. Dia genggam dengan kedua tangan dan menodongkan pistol ke arah datangnya suara yang mencurigakan. Hal yang sama dilakukan Jonan dengan senapan otomatis. Lamat-lamat terdengar suara tarikan nafas ganjil yang sangat menyeramkan.
Sekilas Raka melihat kompas di dada Inara. Normal. Berarti posisi makhluk itu lumayan jauh. Mereka menunggu dengan tegang.
Oldi dan ketiga gadis itu hanya bengong. Mereka tidak mendengar suara apa-apa.
Selang beberapa pohon, daun-daun rimbun bergerak searah terkena sambaran pergerakan manusia plasma yang berpindah tempat dari satu dahan ke dahan berikutnya.
Makhluk ganas itu berhenti sejenak pada sebuah dahan yang keadaannya agak gelap. Sekumpulan noktah bening keperakan terlihat berada di dekat batang. Dia sedang mengamati hamparan semak belukar yang tumbuh tinggi sedemikian rupa sehingga menyerupai gundukan memanjang.
Manusia plasma melompat turun dan berkelebat ke arah lorong. Berjalan dengan perlahan ke muka lorong, menengok ke dalam, kosong. Makhluk pembantai itu berkelebat pergi.
Raka dan teman-temannya keluar dari tempat persembunyian di samping lorong. Keringat dingin membasahi wajah Oldi dan ketiga gadis metropolis itu.
"Hampir saja," keluh Kirei sambil menenteramkan jantungnya yang berdetak tak karuan.
"Seumur-umur aku jadi pengecut," seringai Jonan. "Sembunyi dari ancaman."
"Aku tidak tahu apa kita ada kesempatan untuk bermain-main dengan makhluk itu," sahut Raka datar. "Saat ini yang ada di pikiranku, bagaimana membawa teman kita keluar dari hutan ini dalam keadaan bernyawa."
Perjalanan mereka masih panjang. Ancaman tidak hanya datang dari makhluk bengis itu. Orang-orang bersenjata di pulau ini tentu tidak menganggap mereka sebagai sahabat. Akibat kesalahan sepele - Kirei salah membaca peta - mereka dalam bahaya besar.
"Kalau terjadi apa-apa dengan puteriku...." Raka teringat kembali kata-kata papi Inara. "Kamu lebih baik tinggal selamanya di hutan karena hidupmu dalam masalah besar."
Raka tidak takut dengan ancaman itu, cuma jadi beban. Dia tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun karena menyangkut keselamatan puteri konglomerat itu.
Inara seakan tahu apa yang jadi pikiran pemuda itu. "Ingat kata-kata Papi ya? Jangan dengarkan. Pengawal Papi tidak akan mampu menyentuh kamu."
"Aku sudah biasa hidup dalam ancaman," sahut Raka tawar. "Papi kamu kelihatannya benci melihat hidupku tenang."
"Lagi menguji calon menantunya kali."
"Calon menantu?"
Inara gelagapan. "Maksudnya Papi lagi mencari calon menantu. Jimy kelihatannya tidak masuk kriteria."
Inara heran melihat Raka demikian tenang. Laki-laki biasanya berteriak histeris mendapat kesempatan emas seperti itu. Atau dia tidak tertarik menjadi menantu pengusaha besar?
Jonan dan Raka menggenggam senjata siap tembak sambil berjalan agak cepat. Mata kedua pemuda itu mengamati sekeliling dengan waspada. Mereka berada di daerah terbuka, terdapat sedikit semak-semak. Ancaman bisa datang dari berbagai penjuru. Mereka harus melewati wilayah ini secepatnya. Gadis-gadis metropolis itu mulai kelelahan, keringat membasahi wajah, nafas sengal-sengal. Kaki mereka sudah lemas. Kirei kelihatan paling parah. Dia berjalan gontai. "Aku tidak kuat lagi." Kirei duduk di akar pohon yang menonjol panjang di permukaan tanah, Maysha dan Inara juga. Mereka mengatur nafas yang terengah-engah. "Istirahat sesukanya," kata Raka dengan mata mengawasi ke setiap penjuru. "Terima kasih." "Sesukanya pula makhluk itu menyantap kamu kapan saja." "Katanya dia ada di lereng selatan," sahut Maysha. "Sekarang tiba-tiba saja ada di lereng utara, sebenarnya di mana dia tinggal?" "Tanya sendiri sana alamatnya di mana," sambar
Perjalanan ini jadi lambat karena gadis-gadis metropolis itu. Raka tidak bisa memaksa mereka untuk berjalan lebih cepat. Mereka belum terbiasa menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Biasa naik-turun mobil. Perjalanan semakin lambat karena medan yang dilalui cukup sulit. Padahal bahaya tidak bisa menunggu. Raka terpaksa harus berani mengambil risiko memilih jalur yang tidak banyak rintangan, berjalan di area terbuka. Dia memasang kelima inderanya baik-baik untuk menghadapi ancaman yang sewaktu-waktu datang dari segala arah. Sungguh situasi yang tidak menyenangkan. Mereka berada di bawah perlindungannya, tapi tidak dapat melaksanakan strategi yang diterapkan karena keterbatasan fisik. Dia berharap keberuntungan menaungi mereka. Inara dapat memahami situasi pelik ini. "Aku tidak ingin jadi beban. Kamu lakukan apa yang kamu bisa. Seandainya aku harus kehilangan nyawa di hutan ini, jangan jadi penyesalan di kemudian hari." "Aku tidak akan membiarkan itu
Daerah ini merupakan kawasan pepohonan dengan akar bersembulan di permukaan tanah dan tidak banyak ditumbuhi semak. Malam sudah mulai turun. Tapi masih kelihatan jalan yang dilalui. Raka berjalan sambil mencari lokasi yang cukup aman untuk bermalam. Mereka tidak mungkin melakukan perjalanan di malam hari, risikonya terlalu besar. Lagi pula mereka butuh istirahat. Inara sekali-sekali melihat kompas yang tergantung di leher. Jarum kompas bergerak normal mencari arah kutub. Manusia plasma berarti tidak berada di sekitar mereka. Tapi bukan berarti mengurangi kewaspadaan. Kompas itu akan menjadi kenangan terindah yang mengisi lemari koleksi seandainya mereka diberi kesempatan untuk pulang ke rumah dengan nyawa melekat di badan. Inara selalu menyimpan pemberian Raka sekecil apapun. Dia yang membeli kompas itu, tapi menjadi kenangan manis karena pemuda itu yang mengalungkan ke lehernya. Dia tidak akan mengganti tambang kecil dengan kalung berlian karena just
Bulan purnama menerangi sungai yang dipenuhi batu besar. Bayangan bulan terombang-ambing di permukaan air yang mengalir deras lewat sela-sela bebatuan, suaranya bergemuruh. Sungai itu berada di antara dua tebing curam. Di atas tebing, seekor serigala berdiri pada batu karang yang menonjol tinggi dengan pandangan terarah ke hilir sungai. Kemudian binatang itu mendongak ke langit dan melolong panjang dengan suara yang sangat menyeramkan. Sesosok makhluk tinggi besar muncul dari hilir sungai. Sosok itu begitu aneh, terdiri dari sekumpulan cahaya. Bentuknya tidak kelihatan jelas karena bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat hanya silhouette yang melompat dari satu batu ke batu lain seperti belalang. Serigala di atas batu karang sekali lagi melolong panjang meningkahi gemuruhnya air sungai. Suara lolongan itu pertanda adanya bahaya bagi kawanan binatang itu, dan terdengar jauh sehingga mendapat sambutan dari beberapa tempat yang berbeda. Inara dan M
Permukaan tanah di kawasan ini tertutup daun mati yang tebal dan lembab, sedikit sekali rumpun tanaman perdu dan semak. Kaki Inara menginjak daun itu dengan hati-hati sambil menjinjing dua tas daypack, berjalan mengendap-endap mendekati tempat manusia plasma berada. Karena cintanya, Inara rela jadi umpan dan timbul keberanian untuk mengarungi jalan yang gelap ini seorang diri. Di rumah listrik padam saja panik, padahal cuma sekian menit karena generator bermasalah, seisi rumah heboh. Inara tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun karena akan berakibat fatal, kematian. Dia sebenarnya takut, kegelapan membuat pikiran berfantasi sehingga langkah sedikit bergetar. Dia belum pernah merasakan situasi yang menegangkan begini di dunia gemerlapnya. Inara berusaha mengendalikan rasa takut. Dia percaya Raka mengawasi setiap langkahnya. Pemuda itu pasti tidak membiarkan kalau terjadi sesuatu dengan dirinya. Ada dorongan kuat datang dari cinta untuk membukti
Kirei bangun bukan pada waktu yang tepat. Di saat-saat genting begini gadis itu malah membuat kekacauan. Begitu terbangun, dia kalap dan berontak turun. "Kurang ajar!" Kirei menampar muka Jonan. "Sengaja ya cari-cari kesempatan?" "Kamu tertidur," sahut Jonan menahan kesal. "Terus kamu mesti aku seret?" "Alasan! Kamu sengaja memisahkan aku sama Nick! Kamu pasti iri sama aku karena bisa bertemu pacarku! Kamu tidak bisa! Pacarmu kabur ke Lombok! Atau kamu suka sama aku?" "Sejak kapan aku ada selera sama sapu lidi?" "Brengsek!" maki Kirei geram. "Kamu pikir pacarmu kecakepan banget apa berani menghinaku?" Jonan seolah sengaja ingin membuat Kirei tambah marah. "Pacarku tidak ada yang secantik kamu. Badannya tidak ada yang setipis kamu. Papan tripleks atau apa? Susah dibedakan mana depan mana belakang." "Kurang ajar!" sergah Kirei murka. "Kamu sudah memisahkan aku dengan Nick! Sekarang kamu berani menghinaku! Kamu bajingan! Jahanam!"
Inara tertidur di gendongan Raka. Hembusan nafasnya yang lembut terasa hangat di leher. Laki-laki kebanyakan mungkin tidak tahan bersentuhan dengan wajah halus yang terkulai itu. Ada dua perempuan yang pernah berada dalam gendongan sepanjang hidupnya. Mereka sama-sama mempesona. Raka sering menggendong gorila jantan di masa anak-anak saat mendapat pendidikan keras dari ayahnya. Dia berlari keliling perumahan sehingga menjadi tontonan orang yang jalan-jalan sore. Lola adalah perempuan pertama yang pernah merasakan nyamannya berada dalam gendongan Raka, dalam sebuah perjalanan panjang dari puncak Gunung Jayawijaya sampai Posko Tim SAR. Dia memanfaatkan situasi dengan alasan traumatic experience terjebak di ngarai selama sehari semalam. Tubuhnya lemah tidak kuat berjalan. Anak-anak Mapala sampai berpikiran negatif melihat bagaimana dinginnya Raka terhadap perempuan yang begitu menggoda yang tak pernah lep
Raka dan kawan-kawan keluar dari rerumpunan tanaman perdu. Berondongan tembakan para penghadang manusia plasma semakin sengit, bahkan terdengar dentuman bazoka. Peristiwa penghadangan itu secara tidak langsung membantu mereka untuk meloloskan diri dari perburuan manusia plasma. Mereka berkumpul di padang rumput yang sempit. Raka menurunkan Inara dari gendongan. Di hadapan mereka terdapat celah besar di antara dua tebing karang. Bongkahan batu besar dan kecil bergeletakan di celah itu. Daerah ini merupakan kawasan bukit karang. Hanya sedikit pepohonan yang tumbuh. Mendaki bukit berarti memasuki daerah terbuka dan sangat berisiko terhadap ancaman. Raka mesti berani memasuki celah itu untuk perlindungan sementara menunggu situasi aman. Mereka mesti kembali ke hutan untuk melanjutkan perjalanan. "Kita bersembunyi di balik bebatuan itu," kata Raka. "Setelah para penghadang selesai dengan misinya, kita