Sebuah dahan kering tampak patah menggantung. Dahan itu berpangkal pada pohon tua yang tumbuh menyendiri di tepi jurang. Ada dua dahan lagi di atasnya berdaun jarang.
Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Makhluk itu berada di dahan kedua. Daun bergerak searah secara halus tertiup hembusan nafasnya.
Seekor serigala muncul dari sebuah rumpun semak. Dia menggeram dengan mata mencorong tajam ke dahan itu, lalu kepalanya mendongak ke langit dan melolong panjang.
Makhluk tak kasat mata itu merasa terusik. Dia mengerang marah dengan suara yang sangat menyeramkan. Kemudian turun dari atas pohon dengan menggelosorkan tubuh. Kulit batang berkelupasan dan berjatuhan ke jurang.
Makhluk itu berkelebat melintasi rerumputan memburu serigala. Rumput hijau itu bergerak searah secara bergelombang terkena sambaran angin pergerakannya.
Serigala berlari sekencang-kencangnya berusaha meloloskan diri dari perburuan. Makhluk itu berkelebat memburu dengan melompat-lompat seperti belalang.
Malang sekali. Serigala terjebak di sebuah rumpun tanaman perdu. Kakinya terjerat akar. Makhluk itu mengerang dengan bengis. Nyawa binatang itu tanpa ampun melayang dengan luka mengerikan di leher.
Hutan ini ditumbuhi banyak pohon rindang dengan jarak yang berdekatan. Jadi pergerakan makhluk tak kasat mata itu ketahuan melalui daun yang bergerak searah bergelombang terkena sambaran tubuhnya.
Setelah membantai serigala, makhluk itu bergerak naik ke sebuah pohon, kemudian melompat dari dahan ke dahan menuju ke suatu tempat. Gerakannya cepat sekali. Dia kelihatannya menyukai kehidupan di atas pohon seperti macan dahan, atau menempuh perjalanan di darat barangkali lebih sulit karena banyak belukar malang melintang.
Makhluk itu berhenti di dahan terakhir di tepi hutan yang mengelilingi padang rumput dengan sebuah tenda berdiri di tengahnya. Dia mengintai ke arah tenda. Hal ini terlihat dari dua tangkai daun yang tersingkap secara tiba-tiba.
Sekitar tenda sepi. Semua jendela dan pintu tenda tertutup. Pemandangan yang cukup aneh mengingat cuaca sangat terik, padahal di dalam tenda tidak ada alat pendingin.
Sejenak tidak ada pergerakan di dahan rindang tempat makhluk itu mengintip. Dia sepertinya berpikir tentang maksud penghuni tenda dengan menutup semua jendela dan pintu. Kemudian tangkai daun yang tersingkap bergerak menutup. Pengintaian selesai.
Makhluk itu melompat turun dan berkelebat ke padang rumput, berjalan perlahan mendekati tenda. Sekali-sekali terlihat kilauan noktah bening keperakan yang memantulkan cahaya matahari. Di depan tenda makhluk itu diam sebentar, tengok kanan kiri, lalu masuk dengan merobek pintu tenda.
Tenda itu sudah tidak berpenghuni. Mereka sudah meninggalkan padang rumput beberapa saat sebelum makhluk itu tiba di tepi hutan dan segera bersembunyi di sebuah rumpun semak. Telinga Raka yang tajam dapat menangkap tarikan nafas ganjil makhluk itu dalam jarak tertentu, kemudian terbukti dengan jarum kompas yang bergerak tidak normal.
Inara dan kedua kawannya sangat tegang melihat kemunculan makhluk ganjil itu. Oldi terbelalak dengan mulut melongo lebar persis terowongan bawah tanah. Raka dan Jonan memperhatikan dengan mata tak berkedip. Mereka tegang juga.
"Makhluk yang sangat pemalu," desis Jonan kecut. "Dia tidak mau menampakkan diri untuk bertarung secara jantan."
"Aku kira makhluk itu bukan tandingan kita sekalipun terlihat," sahut Raka datar. "Dia memiliki kecepatan yang sangat luar biasa."
Raka sudah mengetahui kehebatan makhluk itu saat membantai orang asing bersenjata. Dia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menghilangkan nyawa seseorang tanpa sempat mengedipkan mata. Raka tidak berani untung-untungan untuk berhadapan secara langsung karena dia mempunyai beban tanggung jawab untuk menyelamatkan teman-temannya.
"Jadi menurutmu kita hanya punya satu kesempatan," kata Jonan. "Bagaimana kita supaya tidak jadi binatang buruan?"
"Itu masih butuh keberuntungan."
"Manusia plasma," gumam Inara tercekat. "Bentuknya seperti manusia satu dimensi yang tembus pandang."
"Kamu rupanya banyak pengetahuan tentang laki-laki," komentar Raka. "Kamu bisa mencari julukan dengan cepat untuk kekasih terindahmu. Aku kira makhluk itu tidak membunuh kita sampai saat ini karena dia jatuh cinta kepadamu."
"Sialan."
Oldi mengompori. "Bisa jadi. Kecantikan wajahmu membuat semua makhluk di bumi yang bernama laki-laki jatuh cinta kepadamu."
"Berarti laki-laki di sampingku ini jatuh cinta padaku?" sambar Inara sambil melirik Raka sekilas. "Omongan kamu benar nggak?"
"Tanya sendiri sama orangnya."
"Ogah."
"Kok gitu?"
"Cintaku takut digantung kayak si Lola."
"Tapi betul loh, Ara," tukas Kirei. "Aku pernah lihat film jadul, kingkong jatuh cinta sama wanita cantik. Nah, makhluk itu bisa saja jatuh cinta sama kamu."
"Aku ini cuma foto model sambilan. Jadi jangan samakan aku dengan aktris ngetop itu."
"Bisa saja terjadi, kan?"
Diam-diam Inara jadi ngeri. Sungguh mengherankan makhluk itu membiarkan mereka tetap hidup, padahal banyak kesempatan untuk menghabisi. Jika benar makhluk itu jatuh cinta kepadanya, maka celakalah dirinya.
"Aku butuh kalung keberuntungan," kata Inara tiba-tiba. "Aku takut jadinya."
Raka mengangkat sudut bibirnya sedikit. "Aku cuma mengira-ngira. Perkiraanku biasanya meleset kalau soal perempuan. Jadi jangan GR dulu kalau makhluk itu jatuh cinta kepadamu. Siapa tahu dia jijik untuk membunuh orang patah hati."
Inara menatap dengan kesal. "Kamu itu lelaki sejati apa jadi-jadian? Omonganmu tidak bisa dipegang, setiap detik berubah-ubah."
"Masa omonganku setiap detik harus sama? Tidak bosan mendengarnya?"
Raka mengeluarkan kompas dari kantong celana. Kompas itu sudah diberi tambang kecil menyerupai kalung.
"Ini adalah kalung keberuntungan," katanya. "Kamu baiknya pakai kalung ini. Aku lupa membeli rantai. Tidak apa-apa kan pakai tambang kecil?"
Inara terpukau. "Kamu serius?"
"Sorry kalau kamu tidak berkenan."
"Aku suka."
Raka memasang kalung kompas di leher Inara. Gadis itu agak jengah. Dia belum pernah mendapat perlakuan istimewa seperti ini dari seorang laki-laki, meski cuma sebuah kalung jelek.
"Ngasih kalung itu berlian atau apa," sindir Kirei. "Ini tambang. Memangnya Ara kambing apa?"
Inara memandang Raka dengan terpesona. Mereka berpandangan begitu dekat. Jantung gadis itu berdebar kencang. Dia menurunkan tatap matanya dan pura-pura memperhatikan kalung kompas. "Ini buat apa?"
"Tanda cinta," sambar Oldi. "Cover boy hutan beda sama cover boy kampus, ngasihnya kalung kompas bukan kalung berlian."
"Kompas ini bisa mendeteksi keberadaan manusia plasma," kata Raka. "Kalau jarumnya berputar kencang, berarti posisi manusia plasma sangat dekat. Jadi aku tidak perlu repot-repot mengeluarkan kompas. Cukup melihat ke kamu. Setidaknya untuk sekarang, inilah satu-satunya kesempatan aku untuk menyelamatkan kalian."
Saat itu jarum kompas berputar cukup kencang dengan jarak ke tenda tidak begitu jauh. Raka kira jarak itu sudah cukup untuk melakukan upaya penyelamatan diri.
"Menyelamatkan kamu juga." Inara tersenyum manis. "Aku ingin kita semua dapat keluar dari hutan ini dengan selamat."
"Aku ingin kalian selamat, itu harapanku," tukas Raka. "Matiku untuk hidupnya kalian. Itu janjiku ke orang tua kalian. Percuma aku hidup kalau kalian keluar dari hutan ini dalam keadaan mati. Jika aku dan Jo terpaksa harus bertarung dengan makhluk itu, maka kalung itu akan jadi keberuntungan kalian untuk menyelamatkan diri."
Maysha ingin menghilangkan suasana yang tidak mengenakkan itu, dia menggoda, "Kirain kalung itu tanda jadian. Sini aku saja yang pakai. Aku pakai kalung matinee, sekalian kompas itu kujadikan liontin."
"Jangan," protes Oldi. "Kalau kamu yang pakai, aku gak fokus lihatnya. Background-nya kegedean."
"Kamu kelihatan sangat cantik dengan kalung ini," puji Raka. "Aku kira kalung ini lebih berharga dari kalung berlian untuk saat ini."
"Bukan cuma untuk saat ini," sambar Kirei. "Kalung itu jadi sangat berharga untuk selamanya karena pujian kamu."
"Tidak bakalan dilepas sampai rumah," timpal Maysha. "Sekalian makan rumput nanti."
Jonan menoleh. "Rumput apa?"
"Rumput taman! Kamu pikir rumput apa?"
"Kirain rumput tetangga."
Tiba-tiba berkumandang erangan yang sangat menyeramkan dari dalam tenda. Gadis-gadis metropolis itu sampai merinding mendengarnya. Kemudian beterbangan kompor, dus, kotak kosmetik, dan lain-lain. Makhluk pembunuh itu kelihatannya marah karena tidak menemukan sesuatu yang dicarinya.
Oldi bengong melihat bra berukuran big melayang ke luar lewat pintu tenda yang robek besar. "Waduh, punya siapa itu? Tidak ditambah busa isinya?"
Maysha mendorong kepalanya dengan keki. "Aku tambah dengan kelebihan lemak di perutmu."
"Pantas aku merasa lebih langsing."
"Langsing ndasmu!" maki Kirei.
Kemudian manusia plasma mengacak-acak bangunan tenda dengan murka. Tenda ambruk. Suara erangan berhenti. Sunyi beberapa saat.
"Kita berangkat," kata Raka sambil memberi isyarat ke Jonan untuk berjalan di depan.
Jonan segera memasuki hutan memimpin mereka. Dia melangkah lambat-lambat sambil tengok kanan kiri waspada. Tangannya menenteng senapan otomatis.
Kawasan ini merupakan hutan belukar. Semak-semak tumbuh tinggi dan rapat. Jonan sengaja menempuh jalan ini agar keberadaan makhluk itu dapat diketahui melalui gerakan daun semak. Mereka tidak bisa menggantungkan sepenuhnya pada kompas, terlalu berisiko. Oldi adalah yang paling rajin menengok ke dada Inara.
Kirei yang berjalan di belakangnya mengejek, "Kamu itu lihat kompas apa lihat background-nya?"
"Ada yang lebih dekat kalau mau lihat background," sahut Oldi. "Buat apa lihat gunung membiru di kejauhan kalau ada yang lebih nyata di mataku? Kebiasaan gadis Amerika kamu bawa ke hutan. Biar praktis kalau didaki?"
"Bawaannya ngeres aja!" sergah Kirei.
Gadis itu tidak biasa mengenakan pakaian dalam. Bukan mengikuti budaya Paman Sam, rasanya tidak betah. Untung bukit gersang itu kecil, jadi tidak begitu kelihatan puncaknya.
"Manusia plasma tidak ada di sekitar kita," kata Inara sambil melihat sekilas ke dadanya. "Jarum kompas bergerak normal."
"Bukan berarti hilang waspada," sahut Raka. "Jarum itu hanya sekedar petunjuk, bukan penentu. Setiap saat bisa saja rusak."
Raka berjalan paling akhir sambil mengawasi keadaan di belakang. Pistol terselip di belakang pinggang.
Jonan menyibakkan batang semak yang tumbuh rapat merintangi jalan. Oldi yang berjalan di belakang Maysha hendak memangkas ranting itu dengan pisau buah yang dipegangnya.
Raka melarang, "Jangan meninggalkan jejak."
Oldi tidak jadi memangkas ranting itu, berusaha melewati meski agak repot.
"Makanya tu perut jangan diisi terus," ejek Kirei. "Sekarang baru tahu kan gunanya?"
"Kamu mau mengisi dengan cintamu kalau tidak kuisi sama coklat?"
"Gak janji deh."
Mereka tiba di muka lorong belukar yang cukup panjang. Lorong itu terbentuk secara alami dari batang dan ranting semak yang malang melintang dengan rapat. Suasana di dalam lorong agak gelap.
Mereka memasuki lorong dengan hati-hati, tengok kanan kiri atas bawah. Raka menarik tangan Inara yang berjalan di depannya secara tiba-tiba. Gadis itu hilang keseimbangan dan jatuh ke dalam pelukannya.
Inara sebenarnya kaget tapi dia diam saja. Perhatiannya tertuju ke arah tatapan Raka saat itu. Di atas lorong, seekor ular berbisa bergerak di sela-sela batang semak hendak menyeberang. Inara menyembunyikan wajah ke leher pemuda itu, ketakutan. Kirei hendak menggoda, tapi begitu melihat ke atas lorong lekas-lekas pergi menyusul Oldi.
Inara baru berani mengangkat wajah ketika mendengar suara Raka. "Jalan."
Ragu-ragu Inara melihat ke atas lorong, ular sudah tidak ada. Mereka berjalan agak cepat menyusul teman-temannya. Kirei mengedipkan sebelah matanya.
"Kelilipan?" Inara berlagak bodoh. "Kusiram pakai minuman kaleng, mau?"
"Sempat-sempatnya bikin drama Korea," sindir Kirei.
"Kamu berani sama ular?"
"Takutnya gak gitu-gitu banget kali."
"Tanganku ditarik sekaligus, bagus kejadiannya tidak lebih heboh."
Inara tidak mengingkari ada rasa nyaman berada dalam pelukan Raka sekalipun peristiwa itu terjadi secara spontan. Di hatinya muncul simfoni indah yang tidak didapat dari Jimy selama ini. Tapi dia tidak bisa menikmatinya lama-lama. Mereka sedang menghadapi bahaya besar.
Kaki Inara tersandung akar karena tidak fokus melihat jalan dan hampir terjatuh kalau Raka tidak menyambar tubuhnya. Sekali lagi gadis itu terdampar dalam pelukannya.
Kirei mencibir. "Modus."
"Ada akar bukannya ngomong," geram Inara. "Kamu ingin aku celaka?"
"Akar segitu gedenya masa tidak kelihatan?"
"Hati-hati," kata Raka sambil melepaskan pelukannya. "Banyak akar tidak terlihat karena tertutup daun."
"Sengaja," sambar Kirei. "Sekalian saja bikin sinetron."
"Kamu ini kenapa sih?" sergah Inara. "Orang beneran kesandung."
"Iya kesandung...kesandung cinta."
Raka serentak mencabut pistol. Dia genggam dengan kedua tangan dan menodongkan pistol ke arah datangnya suara yang mencurigakan. Hal yang sama dilakukan Jonan dengan senapan otomatis. Lamat-lamat terdengar suara tarikan nafas ganjil yang sangat menyeramkan.
Sekilas Raka melihat kompas di dada Inara. Normal. Berarti posisi makhluk itu lumayan jauh. Mereka menunggu dengan tegang.
Oldi dan ketiga gadis itu hanya bengong. Mereka tidak mendengar suara apa-apa.
Selang beberapa pohon, daun-daun rimbun bergerak searah terkena sambaran pergerakan manusia plasma yang berpindah tempat dari satu dahan ke dahan berikutnya.
Makhluk ganas itu berhenti sejenak pada sebuah dahan yang keadaannya agak gelap. Sekumpulan noktah bening keperakan terlihat berada di dekat batang. Dia sedang mengamati hamparan semak belukar yang tumbuh tinggi sedemikian rupa sehingga menyerupai gundukan memanjang.
Manusia plasma melompat turun dan berkelebat ke arah lorong. Berjalan dengan perlahan ke muka lorong, menengok ke dalam, kosong. Makhluk pembantai itu berkelebat pergi.
Raka dan teman-temannya keluar dari tempat persembunyian di samping lorong. Keringat dingin membasahi wajah Oldi dan ketiga gadis metropolis itu.
"Hampir saja," keluh Kirei sambil menenteramkan jantungnya yang berdetak tak karuan.
"Seumur-umur aku jadi pengecut," seringai Jonan. "Sembunyi dari ancaman."
"Aku tidak tahu apa kita ada kesempatan untuk bermain-main dengan makhluk itu," sahut Raka datar. "Saat ini yang ada di pikiranku, bagaimana membawa teman kita keluar dari hutan ini dalam keadaan bernyawa."
Perjalanan mereka masih panjang. Ancaman tidak hanya datang dari makhluk bengis itu. Orang-orang bersenjata di pulau ini tentu tidak menganggap mereka sebagai sahabat. Akibat kesalahan sepele - Kirei salah membaca peta - mereka dalam bahaya besar.
"Kalau terjadi apa-apa dengan puteriku...." Raka teringat kembali kata-kata papi Inara. "Kamu lebih baik tinggal selamanya di hutan karena hidupmu dalam masalah besar."
Raka tidak takut dengan ancaman itu, cuma jadi beban. Dia tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun karena menyangkut keselamatan puteri konglomerat itu.
Inara seakan tahu apa yang jadi pikiran pemuda itu. "Ingat kata-kata Papi ya? Jangan dengarkan. Pengawal Papi tidak akan mampu menyentuh kamu."
"Aku sudah biasa hidup dalam ancaman," sahut Raka tawar. "Papi kamu kelihatannya benci melihat hidupku tenang."
"Lagi menguji calon menantunya kali."
"Calon menantu?"
Inara gelagapan. "Maksudnya Papi lagi mencari calon menantu. Jimy kelihatannya tidak masuk kriteria."
Inara heran melihat Raka demikian tenang. Laki-laki biasanya berteriak histeris mendapat kesempatan emas seperti itu. Atau dia tidak tertarik menjadi menantu pengusaha besar?
Oldi menginginkan Elena dimakamkan di lokasi di mana perempuan itu tewas. Tenaga medis yang datang bersama Bernard tidak keberatan memenuhi permintaan itu. Tapi mereka tidak membawa peralatan untuk prosesi pemakaman, sedangkan peralatan yang ada di kastil rusak berantakan. Permasalahan baru teratasi setelah dua helikopter jenis angkut militer mendarat di sekitar kastil membawa sebuah peti dan perlengkapan lain untuk prosesi penguburan sesuai permintaan Jonan. Tidak lama pengurusan jenazah berlangsung, satu jam kemudian Oldi sudah menaburi gundukan tanah merah dengan bunga matahari. Air mata Oldi berderai saat berjongkok dekat batu nisan berupa bongkahan puing yang mengakhiri hidup Elena. Kalung berlian dan tas mungil tergantung di ujung bongkahan yang runcing. "Di sini aku pertama kali menemukan cintaku," isak Oldi pilu. "Di sini pula aku kehilangan cintaku. Hari-hari begitu singkat bagi kita. Tapi namamu akan terukir s
Jonan terbujur tidak bergerak di atas daun-daun mati. Pistol tergeletak di sisinya. Perlahan-lahan jari tangannya bergerak. Matanya terbuka sedikit. Pemandangan di sekitar rumpun semak kelihatan blur, kemudian berangsur kelihatan semakin jelas, asap hitam pekat sudah lenyap. Jonan mencoba bangkit sambil menekap luka di dada. Tapi akhirnya tidak kuat dan kembali terkulai. Raka datang membantu dan membawanya ke pohon terdekat, disandarkan ke batang. Raka merobek kaos bagian dada, lukanya cukup dalam. Diarahkan pandang matanya ke sekitar dan berjalan ke tanaman perdu berdaun kecil. Dia ambil beberapa tangkai. Di sehelai daun tanaman perdu ada cairan kental berwarna coklat kekuning-kuningan cukup banyak, Raka petik daun itu. Sambil lewat diraihnya carrier yang tergeletak di tanah. Daun yang ada cairannya dia serahkan ke Jonan dan langsung disantapnya. Daun-daun kecil dia kunyah, hasil kunyahan dibalurkan ke dada temannya. Raka melakukan hal itu sampai luka Jonan
Raka melangkah di jalan marmer taman bunga matahari dengan pistol terselip di belakang pinggang. Jaring berisi bola basket diikat di pinggang. Jonan berjalan di sampingnya, menggendong ransel berisi bowling pin kecil dan besar, dua pucuk pistol terselip di perut."Aku biarkan mereka membodohi kita supaya teman kita tidak kenapa-napa," kata Raka. "Mereka terlindung dari kebejatan mafia dengan jadi sandera. Jumlah mafia yang tersisa mungkin lebih dari itu.""Ada saatnya teman kita kenapa-napa, pada saat Doktor Chiara menghabisi kita dengan senjata ballpoint," sahut Jonan. "Aku tahu senjata itu tidak cuma satu. Yang itu sudah dirusak tombolnya.""Berapapun senjata yang dimiliki, dia tetap perempuan.""Doktor itu memiliki senjata laser yang paling hebat dari ciptaan makhluk di bumi.""Jangan memuji setinggi langit hasil ciptaan manusia.""Aku hanya waspada.""Aku tidak percaya kamu bisa mati di tangan perempuan.""Tapi aku tidak bi
Oldi merasa cinta karena fisik ternyata cuma seumur jagung. Dia mulanya terhanyut oleh pesona kecantikan Elena. Setelah mereguk secawan kenikmatan, semua jadi biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada perempuan itu. Oldi tidak peduli saat Elena marah atas perbuatan kurang ajarnya pada Doktor Chiara. Mereka mestinya tahu simpati itu untuk perempuan yang bagaimana. Jangan mentang-mentang satu gender main bela saja. Oldi membiarkan saja Elena pergi ke kamar Inara. Entah kenapa. Saat dia terlalu gampang mendapatkan apa yang diinginkan, dia bukannya senang, malah kecewa. Barangkali dia perlu lebih banyak belajar tentang cinta. Sebenarnya ada rasa gentar di hati Oldi untuk mengarungi hidup bersama Elena. Terakhir perempuan itu jadi simpanan orang besar yang dia tahu memiliki banyak body guard. Tentu orang itu tidak tinggal diam. Dia bisa jadi bulan-bulanan body guard itu. Dia merasa hidupnya tidak bakal nyaman. "Semua perempuan jadi kelihatan biasa kal
Dengan ketus Inara menaiki anak tangga ke atap menara bundar. Di sampingnya menemani Raka, wajahnya kelihatan tenang. Maysha, Kirei, dan Elena mengikuti di belakang. Sore ini Inara ingin pulang sebagai bentuk protes atas investigasi yang menyebalkan itu. "Teman kamu brengsek," dengus Inara muak. "Mempermainkan perempuan seenaknya." "Itu tugas hidupnya," sahut Raka santai. "Jadi sulit berhenti." "Kamu juga?" "Jangan pukul rata." Inara menoleh dengan sinis. "Orang asyik nonton. Tidak ditelanjangi saja sekalian." "Maunya si Jo begitu," kata Raka seolah sengaja ingin membuat Inara tambah marah. "Tapi apa bisa Doktor Chiara cerita sambil telanjang?" "Seneng kali." "Biar lagi marah gak hilang cakepnya." "Sebel." "Senang betul?" sambar Kirei asal. "Jadi kamu
Bangunan itu terletak di bawah tanah. Berlantai dua di sepanjang sisinya. Belasan pria asing berjaga-jaga di lantai atas dengan senjata otomatis di tangan. Mereka mengawasi beberapa pekerja di lantai bawah yang sibuk melakukan packaging. Hasil packaging diangkut oleh forklift ke sebuah ruangan besar di mana kapal selam sudah menunggu. Mesin berukuran raksasa bising beroperasi memproduksi opium duplo. Tabung silinder besar berisi ekstrak komposit bunga matahari dan bakung emas berputar kencang dan hasil penyulingan mengalir melalui sistem yang rumit ke tabung vertikal sebagai penampung, yang selanjutnya mengucur lewat outlet untuk dimasukkan pada bola di sirkuit cakram, bola yang sudah terisi menggelinding ke bagian packaging. Di sebuah ruangan di lantai dua, berkumpul para petinggi kastil. Mereka duduk di sofa lingkar. Doktor Chiara duduk di sofa tunggal, seorang perempuan berwajah pribumi keturunan, sangat cantik dan seksi. Dia tengah memberi instruksi kepada dua or