Share

Bab 2. Pangeran Yang Nakal

Beberapa hari setelah kejadian itu. Dan seperti biasa Pangeran Ardhakusuma mendapat hukuman. Namun hukumannya lebih ringan dari sebelumnya. Anak itu hanya disuruh membaca berpuluh-puluh rontal di dalam bilik khusus selama dua hari dua malam yang di awasi oleh para pelayan dalam. Tetapi Pangeran Ardhakusuma yang tidak pernah membantah ayahandanya menjalani hukuman itu dengan kesungguhan hati. Ia membaca seluruh rontal yang ada di hadapanya itu. Meskipun ia harus menguap dan menahan rasa kantuk.

Di suatu pagi ketika mentari baru saja keluar dari peraduannya. Pangeran Ardhakusuma telah berada didalam sebuah warung yang baru saja dibuka. Tetapi didalam warung itu terdapat beberapa orang yang lain. Agaknya warung itu adalah warung yang paling besar dan paling lengkap menyediakan jenis makanan dan minuman. Karena itu, orang-orang yang telah menyerahkan barang barang dagangannya kepada para tengkulak, telah singgah untuk makan diwarung itu.

Pangeran Ardhakusuma-pun duduk pula di warung itu. Ia-pun memesan makanan dan minuman panas untuk menghangatkan tubuhnya yang baru saja mengalami kegelisahan beberapa saat lamanya.

Untuk beberapa saat Pangeran Ardhakusuma yang duduk bersama seorang perempuan yang agak tua yang datang bersama seorang anak perempuan sebaya dengannya. Tanpa mempedulikan siapa yang duduk bersamanya Pangeran Ardhakusuma telah menikmati hidangannya dengan tenang.

Pangeran Ardhakusuma yang nampaknya tidak memperhatikan kedua orang itu tiba-tiba berkata, “Jangan heran melihat aku makan. Aku makan dua kali lipat dari orang lain. Tetapi aku betah tidak makan dan minum selama tiga hari penuh kecuali menyerap titik titik embun dimalam hari.”

Kedua orang itu menegang sesaat. Namun, keduanya telah menikmati hidangannya pula. Sejak tadi, tidak ada yang mau duduk dengan anak laki-laki yang berpenampilan berantakan itu. Meskipun bahan pakaiannya adalah bahan pakaian yang bagus seperti pakaian seorang saudagar kaya raya. Tetapi bagi mereka, anak itu memang anak yang aneh.

Satu-satu orang-orang yang ada didalam warung itu telah keluar. Meskipun ada juga yang kemudian memasukinya, tetapi yang datang kemudian tidak begitu memperhatikan orang-orang yang sudah duduk didalam-nya.

Sementara itu salah seorang Tumenggung memacu kudanya untuk menghadap Prabu Wijaya Kusuma, sementara itu ia sudah mempersiapkan sepasukan prajurit yang akan dipergunakannya jika perintah Prabu Wijaya Kusuma jatuh.

Sebenarnyalah Ki Tumenggung itu berhasil menghadap Prabu Wijayakusuma, meskipun semula para petugas menganggap bahwa kedatangannya ke istana Saung Galuh masih terlalu pagi.

Dengan singkat Ki Tumenggung itu melaporkan tentang puteranya yang nakal, Pangeran Ardhakusuma yang telah melepaskan seekor harimau di kediamannya sehingga nyaris saja Ki Tumenggung itu mati di terkam harimau itu kalau saja dirinya tidak memiliki landasan ilmu kanuragan yang mumpuni yang sesuai dengan kedudukannya.

“Tangkap anak itu atas perintahku,” berkata Prabu Wijayakusuma yang kemudian menyerahkan tunggul kerajaan sebagai pertanda bahwa Ki Tumenggung Wiragiri menjalankan perintahnya.

Ki Tumenggung Wiragiri tidak mau terlambat. Dengan cepat ia bergerak dengan pasukan berkuda yang memang sudah dipersiapkannya.

Sejenak kemudian pasar-pun menjadi gempar. Sekelompok prajurit berkuda tiba-tiba saja telah mengepung pasar yang tidak terlalu besar itu.

Sementara itu, seorang petugas yang mendahului ke pasar, memang telah menemukan Pangeran Ardhakusuma yang baru saja keluar dari sebuah warung.

Namun ternyata Pangeran Ardhakusuma terkejut. Orang-orang dipasar itu menjadi ribut. Beberapa orang berusaha untuk tetap tenang ditempat masing-masing. Tetapi beberapa orang yang lain telah berusaha untuk menghindar.

Sementara itu terdengar suara diluar pintu gerbang berteriak, “Jangan ribut. Tidak ada apa-apa. Tetaplah berada ditempat masing masing.”

Tetapi kegelisahan itu tidak dapat disembunyikan lagi. Orang-orang yang hatinya mudah berguncang menjadi ketakutan dan gemetar. Mereka berusaha untuk menghindar meskipun ternyata pasar itu sudah terkepung oleh pasukan berkuda.

Pangeran Ardhakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa tentu dirinya yang dicari, “Tentu tingkah Tumenggung Wiragiri.”

Beberapa orang prajurit berjalan kearah Pangeran Ardhakusuma menyusup diantara orang-orang yang kecemasan didalam pasar itu.

Pangeran Ardhakusuma tersenyum. Iapun telah berteriak, “Tinggal ditempatmu berdiri. Jangan mendekat, atau aku bakar kalian dengan asap Dasa Dahana?"

Para prajurit yang melangkah mendekatinya itu-pun tiba-tiba saja telah berhenti. Nampaknya mereka memang ragu-ragu untuk melangkah maju.

“Pergi,” bentak Pangeran Ardhakusuma, “atau aku benar benar harus marah?”

Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak juga melangkah mendekat.

Pangeran Ardhakusuma tiba tiba saja telah tertawa pendek.

Tetapi ternyata para prajurit itu tidak pergi. Mereka memang tidak bergerak maju. Namun ternyata bahwa sikap mereka benar-benar sikap seorang prajurit.

“Pangeran,” berkata salah seorang dari prajurit prajurit itu, “sebaiknya Pangeran jangan melakukan sebagaimana Pangeran katakan. Kami mendapat perintah untuk membawa Pangeran menghadap ayahanda Pangeran. Jika Pangeran melawan, maka akibatnya akan tidak baik bagi Pangeran sendiri.”

Pangeran Ardhakusuma mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil berdesis, “Ternyata kalian tidak menjadi ketakutan.”

Bahkan prajurit itu berkata selanjutnya, "Jika Pangeran mempergunakan kemampuan Pangeran yang kami tidak tahu seberapa jauh kemungkinannya untuk melindungi Pangeran sendiri, tetapi ilmu itu akan mengakibatkan bencana bagi banyak orang dipasar ini. Kami mohon Pangeran mempertimbangkannya. Mungkin bagi kami tidak ada persoalan karena apa-pun yang terjadi atas kami adalah akibat dari kesediaan kami mengabdi bagi Saung Galuh. Tetapi orang-orang dipasar ini yang tidak bersalah, jangan ikut mendapat kesulitan."

Namun Pangeran Ardhakusuma tertawa semakin keras. Bahkan ia-pun mulai beranjak dari tempatnya.

Tetapi sebelum Pangeran Ardhakusuma beringsut, maka tiba-tiba saja jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Tiba-tiba saja ia melihat Tumenggung Wiragiri muncul diantara para prajuritnya sambil membawa Tunggul Kerajaan.

“Pangeran,” berkata Tumenggung Wiragiri, “atas nama ayahanda Pangeran, Sri Baginda Prabu Wijaya Kusuma maka Pangeran diperintahkan untuk menghadap.”

Pangeran Ardhakusuma mengerutkan keningnya. Dipandanginya tunggul yang menyatakan limpahan kuasa ayahandanya.

Sejenak Pangeran Ardhakusuma termangu-mangu. Dipandanginya Tumenggung Wiragiri dengan tajamnya. Namun yang keluar dari mulutnya justru satu pertanyaan aneh, “Ki Tumenggung. Kau apakan luka-lukamu ? Begitu cepat sembuh dan tidak membekas? Apakah kau memiliki ilmu yang dapat menghapus luka-luka?”

Tumenggung Wiragiri mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menarik nafas ia berkata, “Tidak Pangeran. Aku baru membersihkannya. Tetapi luka-luka itu masih tetap menganga pada kulitku.”

“Tetapi kau adalah orang yang luar biasa,” berkata Pangeran Ardhakusuma, “apakah kau tidak merasa sakit?, “

“Tentu Pangeran, aku masih merasa betapa pedihnya kuku-kuku harimau itu. Tetapi atas nama Sri Baginda Prabu, maka aku datang untuk menjemput Pangeran.” Ki Tumenggung Wiragiri.

Pangeran Ardhakusuma justru tertawa. Katanya, “Aku tidak dapat menolak Ki Tumenggung. Bukan karena Ki Tumenggung dapat menakut-nakuti aku. Tetapi aku tunduk kepada tunggul yang kau bawa itu, karena dengan demikian kau ternyata tengah menjalankan kewajibanmu atas nama Ayahanda Prabu.”

Wajah Tumenggung Wiragiri menjadi tegang. Sementara itu Pangeran Ardhakusuma berkata selanjutnya, “Ternyata bahwa Ki Tumenggung benar benar seorang prajurit cengeng. Kenapa kita tidak berusaha menyelesaikan persoalan kita sendiri?, “

“Justru karena aku seorang prajurit Pangeran. Aku terikat pada paugeran seorang prajurit. Aku tidak dapat bertindak atas kemauan dan kesenanganku sendiri. Seandainya tantangan Pangeran untuk menyelesaikan persoalan kita itu dapat menarik hatiku, namun aku tidak akan dapat melakukannya” jawab Tumenggung Wiragiri.

Pangeran Ardhakusuma mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Jika demikian maka kau adalah seorang prajurit sejati  Ki Tumenggung, meskipun sebenarnya kau memang tidak akan mampu berbuat sesuatu diluar kemungkinan yang kau lakukan sekarang.”

Wajah Tumenggung Wiragiri menjadi merah. Ia bukannya orang yang cukup sabar. Namun menghadapi Pangeran Ardhakusuma ia merasa bahwa ia harus berhati hati. Pangeran Ardhakusuma selain putera Prabu Wijayakusuma, anak itu memang seorang anak yang memiliki kemampuan diluar kewajaran.

Karena itu, maka katanya, “Pangeran, apa-pun yang Pangeran katakan, aku mengemban perintah ayahanda Pangeran.”

Pangeran Ardhakusuma mengangguk angguk. Ia-pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Aku akan mengikuti mu.”

Tetapi wajah Pangeran Ardhakusuma menegang ketika  Tumenggung Wiragiri itu-pun kemudian melangkah maju sambil mengacungkan kain cinde sambil berkata, “Pangeran adalah seorang tawanan.”

Pangeran Ardhakusuma termangu-mangu. Dengan nada marah ia bertanya, “Apakah Ayahanda memang memerintahkan demikian?”

“Ya. Ayahanda Pangeran memerintahkan aku untuk menangkap Pangeran.” jawab Tumenggung Wiragiri.

Pangeran Ardhakusuma tidak dapat menolak ketika Tumenggung Wiragiri itu-pun kemudian menyangkutkan kain cinde itu di leher Pangeran Ardhakusuma sebagai pertanda bahwa Pangeran Ardhakusuma adalah seorang tawanan.

Betapa sakit hati anak itu. “Jika saja kau tidak membawa tunggul pertanda limpahan kuasa Ayahanda, kau tidak akan mampu menangkap aku, meskipun kau bawa pasukan segelar sepapan.” geram Pangeran Ardhakusuma.

“Tetapi ternyata aku membawa tunggul ini” jawab Tumenggung Wiragiri.

Beberapa saat kemudian, Pangeran Ardhakusuma telah dibawa oleh pasukan berkuda itu ke Kraton. Seekor kuda kemudian disediakan untuknya. Namun dengan demikian, maka ada sekelompok kecil prajurit yang harus berkuda perlahan-lahan bersama seorang prajurit yang menyediakan kuda untuk Pangeran Ardhakusuma, justru karena Pangeran Ardhakusuma adalah putra Prabu Wijayakusuma, sehingga prajurit itu harus berjalan kaki.

Bagaimanapun juga, Pangeran Ardhakusuma tersinggung atas perlakuan itu. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri dan tidak berbuat sesuatu, betapapun nakalnya, tetapi ia merasa harus patuh terhadap kuasa ayahandanya atau limpahan kuasanya.

Ketika iring-iringan itu melewati jalan raya yang menuju ke Kraton, beberapa orang berdiri berderet dipinggir jalan dengan heran melihat Pangeran Ardhakusuma yang dikawal oleh sepasukan prajurit serta dikenakan kalung cinde di lehernya.

“Akhirnya putera Prabu Wijayakusuma itu ditangkap atas perintah Ayahandanya sendiri,” gumam beberapa orang.

“Prabu Wijayakusuma memang harus bertindak adil terhadap siapapun. Pangeran Ardhakusuma memang nakal sekali,” desis yang lain.

Dua orang yang tadi sempat duduk bersama Pangeran Ardhakusuma juga berada diantara deretan orang-orang yang melihat iring-iringan sepasukan prajurit itu. Perempuan yang tua bertanya pada orang di sekitarnya.

"Siapa anak itu, Ki Sanak ?"

"Dia Pangeran Ardhakusuma, Nyi. Putra bungsu Sri Baginda Prabu. Nakalnya memang bukan main,"

Perempuan tua mengangguk-angguk, "Tapi, bukankah wajar jika anak-anak bersikap nakal, Ki Sanak ?"

"Ya, wajar jika anak-anak bersikap nakal. Tapi, kenakalan Pangeran Ardhakusuma sangat tidak wajar. Kali ini kami mendengar kalau Pangeran Ardhakusuma menangkap seekor harimau hidup-hidup lalu melepaskannya di halaman belakang rumah Tumenggung Wiragiri. Hampir saja terjadi prahara di rumah Tumenggung Wiragiri itu,"

Perempuan tua mengerutkan keningnya, "Menangkap harimau hidup-hidup ? Itu adalah pekerjaan yang sulit dan berbahaya,"

"Pangeran Ardhakusuma memang dikaruniai kesaktian sejak ia dilahirkan. Ketika masih di dalam kandungan ibundanya. Cahaya biru keputihan telah masuk ke dalam kandungannya. Dan ketika dilahirkan tubuh Pangeran Ardhakusuma bercahaya. Begitu kata orang-orang. Agaknya Pangeran Ardhakusuma memang anak ajaib. Sebenarnya Pangeran Ardhakusuma tidak memiliki tabiat buruk. Dia tidak pernah menjaga jarak dengan para punakawan seperti kita meskipun anak itu putra raja. Tetapi, itu nakalnya bukan main. Sehingga beberapa kali ia dimarahi ayahandanya."

Perempuan tua itu kembali mengangguk-angguk, "Mungkin karena kekuatan yang luar biasa yang ada di dalam dirinya. Sehingga kenakalan Pangeran Ardhakusuma menjadi tidak wajar dan mengagetkan banyak orang. Mudah-mudahan seiring berjalannya waktu dia bisa menilai sikapnya. Cahaya biru keputihan itu memang bukan pertanda buruk."

Perempuan tua lalu mengamit anak perempuan yang bersamanya, "Ayo, Wulan. Kita tinggalkan Kota Raja,"

"Kita akan kemana, Nyi Guru ?"

"Kita akan langsung ke Padepokanku. Disanalah aku akan menggemblengmu sehingga kau menjadi sosok pilih tanding. Kau tidak keberatan, bukan ?"

"Tidak Nyi Guru. Kemanapun Nyi Guru pergi. Aku akan ikut. Aku sudah membulatkan tekad untuk menjadi murid Nyi Guru. Lagipula Nyi Guru sudah seperti neneku sendiri,"

"Baguslah. Ayo kita pergi,"

"Baik, Nyi Guru,"

Keduanya lalu meninggalkan Kota Raja

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status